Wednesday, October 3, 2012

KETIKA BERAS MENJADI LANGKA DI BUMI NUSANTARA


Kerawanan pangan saat ini benar-benar  merupakan ancaman nyata dan bersifat laten. Beberapa hasil pengamatan beserta gambaran kondisi pangan dunia saat ini benar-benar mengindikasikan adanya gejala nyata kerawanan dan krisis pangan itu. Program pangan sedunia (world food program) berdasar pengamatan yang sistematis telah mengantisipasi akan terjadinya kerawanan pangan akut pada tahun 2020. Sedangkan untuk penduduk dunia yang makanan pokoknya beras, organisasi pangan dan pertanian PBB (FAO-UNO) telah membuat perhitungan bahwa pada tahun 2025 nanti kebutuhan beras secara global akan mencapai 800 juta ton, padahal saat ini kemampuan produksi beras dunia kurang dari 600 juta. Kekuarangan lebih dari 200 juta ton jelas mengindikasikan adanya kerawanan pangan apabila tidak ada tindakan yang sepadan untuk mengatasinya. Kenyataan itu sekaligus juga menunjukka adanya jurang yang cukup lebar antara kemampuan produksi dan konsumsi pangan dunia. FAO juga memperkirakan bahwa sedikitnya ada 37 negara, termasuk Indonesia yang kerawanan pangan. Disejumlah negara seperti Haiti, Filipina, Mesir, dan Juga Indonesia telah terjadi kenaikan harga pangan hingga 50-100 %.[1]
Situasi dunia tidak jauh beda dengan apa yang dialami di Indonesia, sebagai ilustrasi, pada tahun 2002 terdata adanya 21,7% penduduk rawan pangan. Daerah rawan pangan juga meningkat dari 40 % pada tahun 2001 menjadi 48 % dari kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2002. Kerawanan itu juga ditunjukkan dengan ketergantungan impor pangan luar negeri. Departemen Perindustrian dan Perdagangan mencatat adanya impor beras hingga mencapai 1,5 juta ton. Jumlah ini jauh melebihi impor tahun-tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, pada tahun 1997 misalnya, impor beras hanya sebanyak 349.000 ton. Pembangunan nasional yang bias industri mengabaikan pengembangan potensi pangan lokal dan pemenuhan kebutuhan warga, yang menyebabkan indonesia terjebak dalam arus impor beras, yang menghabiskan lebih dari 50 triliun rupiah (setara dengan 5% APBN) untuk impor pangan. Kebutuhan akan impor beras ini memang tidak terelakkan bila kebutuhan beras nasional didasarkan atas konsumsi per kapita per tahun diperhitungkan sebanyak 133 Kg. Dengan jumlah penduduknya sebanyak 235 juta jiwa maka kebutuhan beras adalah 29,6 ton. Sedangkan produksi beras gabah kering panen adalah 50,46 juta ton (setara dengan 28,26 juta ton beras). Dengan demikian masih terdapat kekurangn sekitar satu juta ton. Terdapat sinyalemen lainnya lagi yang memantapkan pendapat tentang ketergantugan impor beras dari luar. [2]  
Ekonom Inggris, Thomas Robert Malthus yang terkenal dengan rumusan deret ukur untuk pertumbuhan penduduk dan deret hitung untuk pertumbuhan sumber nafkah, dalam bukunya An Essay on the Principle of Population pada tahun 1978, telah mencermati bagaimana variabel kependudukan memiliki dampak terhadap kerawanan pangan. Oleh karena itu, Malthus mengajukan pendekatan untuk mentaisipasi gejala rawan pangan yaitu melalui intervensi terhadap pertambahan penduduk.
Langkah tersebut tidak cukup, persoalan pangan menjadi kian rumit tatkala mencermati apa yang dikemukajan oleh antropolog berkebangsaan Amerika yang banyak menulis tentang Indonesia, Cliffort Geertz, lewat bukunya Involusi Pertanian. Jika gagasan Geertz dikonfrontasikan dengan data-data terbaru seperti yang dikemukakan oleh Bustanul Arifin, bahwa laju konversi lahan pertanian Indonesia sebesar 100.000 hektar pertahun. Artinya fakta-fakta mengenai importasi dan konversi lahan pertanian semakin menegaskan kebenaran teori geertz mengenai involusi pertanian. Bahkan pada tingkat tertentu, kondisi ini kalau tidak diantisipasi dalam jangka panjang, bukan hanya involusi tetapi juga kebangkrutan pertanian (food vulnerability). 
Keinginan pemerintah untuk mengimpor beras  satu juta ton pada tahun 2012 ini menandakan efek dari globalisasi yang melanda, khususnya pangan global. Berkaca dari itu, secara tidak langsung kita mulai tidak berdaulat dalam ketahan pangan kita khususnya bahan pokok bangsa indonesia yakni beras. Yang dimaksud dengan kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian.[3] Sedangkan menurut Masyhuri Ketahanan pangan didefinisikan sebagai suatu situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik secara ekonomi maupun secara fisik untuk mencukupi pangan buat semua warganya, dan rumah tangga tidak dalam posisi beresiko kehilangan akses. Karena itu ada tiga hal penting yang terkait dengan ketahanan nasional, yaitu ketersediaan (availability), stabilitas penawaran (stability) dan keterjangkauaan (accessibility). Ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dengan ketahanan nasional yang terkait dengan kepentingan internasional.[4]
Konsep Swasembada yang selalu dicanangkan pemerintah tidak pernah mencapai kenyataan. Bangsa yang pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pernah membawa indonesia sebagai negara yang Swasembada beras kini hanya tinggal cerita masa lalu saja. Setiap tahunnya indonesia tidak mampu untuk menutupi kekurangan beras dalam negeri sehingga alternatif satu-satunya untuk menutupi stok beras dalam negeri itu di datangkan dari luar negeri, yang menyebabkan bangsa ini selalu terkukung oleh mafia perdagangan impor beras.
Langkah-langkah pemerintah yang perlu dipertimbangkan untuk memperkuat ketahanan pangan khsusnya beras; pertama, berbagai lingkungan yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan kebijakkan pangan adalah globalisasi ekonomi terutama adanya liberalisasi perdagangan dunia, struktur perdagangan pangan internasional, otonomi daerah dan keadaan yang sedang kita hadapi yaitu reformasi dan krisis multidimensial. Liberalisasi perdagangan ditandai dengan diberlakukannya kesepakatan AFTA (Asean Free Trade Area), APEC (Asia Pacific Economic Cooporation), dan GATT (General Agreetment on Tariff and Trade).
Kedua, Pemerintah tidak perlu memaksakan swasembada beras tetapi berusaha untuk mencapai tingkat produksi beras dalam negeri yang aman. Berapa tingkat produksi yang aman tersebut mungkin masih memerlukan pembahasan tersendiri, misalnya target impor (impor rata-rata) sebesar 10% dari volume perdagangan dunia atau target produksi dalam negeri mencapai minimal 90 % dari kebutuhan konsumsi . Ini berarti kebijakan harga, diversifikasi makanan dan kebijakan pangan lain diarahkan kepada minimum target tersebut. Sebagai alternatif kebijakan, pemerintah dapat menyiapkan lahan yang secara potensial dapat memproduksi pangan cukup, sehingga pada keadaan darurat dapat digunakan untuk memproduksi pangan, dalam keadaan normal bebas digunakan untuk usaha lain yang tidak mengganggu konversi ke lahan produksi pangan sewaktu-waktu.
Ketiga, kalau masih menginginkan harga yang stabil harus memadukan berbagai instrumen kebijakan harga yang ada secara dinamis, yaitu dengan menyesuaikan besarnya tarif, stabilisasi nilai tukar mata uang asing, pembelian beras di lokasi tertentu, dll. Karena kebijakan harga ini akan berdampak meningkatkan harga beras, yang tentunya akan memberatkan konsumen, maka konsumen tertentu seperti konsumen berpendapatan rendah (miskin) masih perlu dilakukan OPK (Operasi pasar khusus) maupun bantuan emergensi yang dananya bisa diambilkan dari dana budgeter.
Nampaknya dengan perkembangan ini Bulog masih diperlukan untuk berfungsi sebagaai stok penyangga, distribusi beras dalam rangka OPK, bantuan emergensi dan keperluan strategis, penghubung antar kabupaten dalam melaksanakan kebijakan ketahanan pangan dalam era otonomi daerah dan sebagai cadangan lainnya. Namun masing-masing Dolog perlu diberi otonomi yang lebih besar untuk dapat sebagai alat pemerintah daerah dan penghubung pemerintah pusat. Disamping itu Bulog dituntut mempunyai akuntabilitas yang tinggi, transparansi, konsistensi dan komitmen yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya.
   Semoga dikemudian hari kita bisa tidak lagi mengimpor beras dari luar negeri. Akan tetapi sebaliknya, kita bisa mencapai Swasembada beras yang selalu kita cita-citakan serta mampu mengekspor beras keluar negeri.

Fahrezi (Mahasiswa S2 Politik dan Pemerintahan UGM Yogyakarta)    


[1]  Rahardjo, “Ketahanan Pangan Yang Berkedaulatan”. Jurnal Kebijakan Publik, hal 34. Edisi IV/November/2011
[2]  Lihat Sunyoto Usman (Ed),, “Politik Pangan”. CIRED. Yogyakarta, 2004.
[3] Habib Chirzin, Makalah “Jihad Kedaulatan Pangan Berbasis Hak, Gerakkan Pemberdayaan Masyarakat”. Diskusi Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, 18 Juli 2012.
[4]  Masyhuri, Makalah Revitalisasi Kebijakan Pangan Nasional Dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah.

No comments:

Post a Comment