Tuesday, December 20, 2011

Hasil Tes DNA Tan Malaka Diumumkan Januari 2012

TEMPO.CO, Yogyakarta - Pengarang buku ‘Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia’, Harry A. Poeze, mengatakan hasil tes DNA terhadap sisa-sisa kerangka manusia yang diduga kuat adalah bekas tubuh Tan Malaka akan keluar pada Januari 2012.
Menurut keponakan Tan Malaka, Zulfikar Kamarudin, hasil tes DNA kedua dari laboratorium di Korea rencananya diumumkan ke publik pada bulan itu juga.
»Setahun lebih saya menunggu-nunggu hasilnya. Saya di Indonesia hingga 20 hari mendatang juga untuk melihat pengumumannya ke publik,” kata Poeze seusai menjadi pembicara dalam bedah buku terbarunya ‘Madiun 1948, PKI Bergerak’ di sekretariat Institute Research for Empowerment (IRE) Yogyakarta pada Senin 19 Desember 2011.
Hasil tes DNA itu, kata Harry, akan memastikan teka-teki lokasi eksekusi Tan Malaka dan menjadi bukti kuat tesisnya yang menduga pengarang buku Madilog itu dikuburkan di pemakaman sekitar Desa Selopanggung, Kediri.
Sebelumnya, pada akhir 2009 lampau, hasil uji tes DNA yang dilakukan oleh tim dokter dari Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hanya menemukan 9 kecocokan dari 14 unsur yang semestinya positif sesuai dengan DNA keluarga Tan.
»Memang sangat susah, isi makamnya hanya sisa-sisa kerangka, mirip debu. Hanya terlihat ada debu membentuk posisi manusia terlentang dengan tangan terikat ke belakang,” terang Poeze.
Harry mengaku memiliki kesan khusus terhadap sejarah revolusi di Indonesia. Di sejarah revolusi Indonesia, dia menemukan kiprah generasi paling idealis dari bangsa Indonesia modern awal saat itu.
»Semua tokoh pendiri bangsa ini adalah orang idealis. Tan, Soekarno, Hatta, Muso, dan lainnya selalu tegas memilih prinsip politik, kalah atau menang tak masalah,” kata Poeze.
Dia mencontohkan dalam buku terbarunya, ada cerita ketegaran seorang Amir Syarifudin saat dieksekusi oleh pasukan Siliwangi bersama 10 petinggi Partai Komunis Indonesia pada 1948. »Sebelum ditembak dia menyeru ‘hidup kaum buruh, aku mati untukmu’,” ungkap Poeze.
Menurutnya, semangat idealis tokoh-tokoh revolusi kemerdekaan ini pantas menjadi teladan bagi generasi bangsa Indonesia belakangan. Karena itu, ia beranggapan, sebaiknya penulisan sejarah revolusi Indonesia, yang selama ini lebih banyak melibatkan indonesianis asing, mulai diambil alih oleh peneliti Indonesia sendiri.
»Sayangnya, banyak peneliti sini (Indonesia) tak menguasai banyak bahasa, jadi sulit teliti dokumen yang berbahasa Belanda, Jerman, Rusia dan lainnya. Apalagi, dana riset minim,” keluhnya

Pemikiran Politik Gus Dur

Gus Dur adalah contoh paling otentik, baik secara ideologis maupun secara biologis, tentang wajah keagamaan dan politik kebangsaan Nahdlatul Ulama (NU).

Maka ketika warga NU menggetarkan langit Indonesia pada hari ulang tahun kelahiran (harlah) yang ke-82 dua pekan lalu, nama Gus Dur selalu muncul. Komentar positif maupun minornya selalu menjadi berita, ulasan-ulasan media massa tentang harlah NU selalu dikaitkan dengannya, dan ungkapan takzim kepadanya selalu diucapkan pada sambutan-sambutan resmi acara harlah NU di berbagai tempat.

Ada disertasi doktor (S-3) tentang Gus Dur yang baru diluluskan di Universitas Gadjah Mada (UGM). Munawar Ahmad, penulis disertasi itu, dinyatakan lulus cum laude (dengan pujian) setelah mempertahankannya di depan para profesor penguji pada Program Pascasarjana UGM.

Disertasi dengan judul "Kajian Kritis terhadap Pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 1970-2000" itu dipertahankan dalam rapat terbuka Senat Pascasarjana UGM tanggal 18 Desember 2007 lalu di depan delapan dari sembilan penguji, yaitu Yahya Muhaimin, Mohtar Mas'oed, Purwo Santoso, Joko Suryo, Moh Mahfud MD, Yudian Wahyudi, I Ketut Putra Ernawan, dan Edi Martono. Bachtiar Effendi yang juga menjadi penguji berhalangan hadir.

Metode CDA

Munawar Ahmad yang dosen pada Fakultas Usuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta layak lulus dengan pujian (cum laude) karena hasil kerja kerasnya yang tergambar dari isi disertasinya itu.

Disertasi itu membedah dengan tekun kira-kira 500 tulisan Gus Dur yang dipublikasikan sejak 1970 sampai dengan 2000. Di dalam disertasi itu ada daftar tulisan tersebar karya Gus Dur sebanyak kira-kira 300 artikel ditambah 17 buku yang menghimpun berbagai tulisan Gus Dur sehingga keseluruhannya jika dipecah-pecah dalam tulisan aslinya memang tidak kurang dari 500 artikel. Metodologi yang dijadikan bingkai atau kerangka kerja penulisan itu adalah metode critical discourse analysis (CDA).

Berbeda dengan metode content analysis lainnya seperti analisis wacana atau analisis framing, metode CDA ini mempunyai kelebihan dam diyakini mampu untuk menjawab permasalahan penelitian yang oleh Munawar dirumuskan dalam tiga hal. Pertama, bagaimana konstruksi akar pemikiran politik Gus Dur sebagai prototipe pemikiran politik Islam kontemporer di Indonesia? Kedua, mengapa Gus Dur melakukan difference dengan cara selalu menawarkan diskursus alternatif terhadap grand politics di Indonesia?

Ketiga, bagaimana karakter ijtihad politik yang dibangun Gus Dur ketika memetakan, mengomentari, dan mendialektikakan teks ilahiah (nash) dengan konteks keindoinesiaan (urf)? Metode CDA ini mempunyai kelebihan karena mampu melakukan analisis multi-track, yakni mikro, messo, dan makro sehingga kajian terhadap diskursus tidak hanya memberi arti atau memaknai saja, melainkan juga mampu menjelaskan kontekstualitas teks itu terhadap solusi sosiologisnya yang akhirnya pada tahap makro mengkritisi temuan data.

Metode CDA dengan demikian tidak hanya melakukan elaborasi, tetapi juga melakukan kritik atas teks itu sendiri. Munawar mengatakan bahwa CDA ini mampu membongkar kejujuran dan kebohongan yang terkandung di dalam teks-teks yang dianalisis.

Lima Traktat

Apa yang menarik dari Gus Dur sehingga diangkat dalam sebuah penelitian setingkat disertasi? Munawar beralasan karena pada diri Gus Dur melekat berbagai predikat, yakni kiai, politisi, intelektual, budayawan, mantan tokoh pergerakan, dan mantan Presiden RI.

Kemampuan Gus Dur melakukan gerakan politik diakui oleh kawan dan lawan yang ditunjukkan oleh keberhasilannya meraih jabatan presiden. Bagi sarjana politik, pemikiran dan perilaku Gus Dur dapat dipandang sebagai khazanah dalam dinamika pemikiran politik di Indonesia. Gayanya yang nyleneh menunjukkan adanya tipikal pemikiran politik saat melakukan interaksi dan advokasi politik yang untuk sebagian orang NU dianggap sebagai bentuk anomali.

Sikap nyleneh dan anomali itu merupakan keunikan sekaligus kelebihannya sebagai nilai tawar di hadapan politisi lain. Salah satu kelebihan Gus Dur yang patut diperhitungkan adalah kemampuannya membangun intelektualisme dan aktivisme sekaligus yang sangat jarang dilakukan oleh ulama klasik yang melingkunginya. Ia berjuang melalui politik praksis sambil melakukan perlawanan terhadap kebodohan politik itu sendiri dengan intelektualismenya.

Disertasi ini menemukan lima traktat pemikiran Gus Dur, yakni (1) dinamisasi dan modernisasi pesantren (1973) yang mengusung ide pendekatan ilmiah model Marxian terhadap situasi politik Indonesia; (2) pengenalan Islam sebagai sistem kemasyarakatan (1978) yang berisi semangat mengembangkan Islam klasik serta bagaimana syariah diimplimentasikan dalam menghadapi masalah-masalah mutakhir; (3) Islam dan militerisme dalam lintasan sejarah (1980) yang berisi ide perlawanan kultural model Marxian terhadap kekerasan (violence); (4) konsep kenegaraan dalam Islam (1983) yang berisi ide sekularistik dan integralistik pemikiran Gus Dur tentang hubungan antara agama dan negara; serta (5) pribumisasi Islam (1983) yang berisi pendekatan humanisme dalam politik dan keagamaan.

Dengan traktat-traktat itulah Gus Dur tampil sebagai tokoh nasional yang menguasai jagat pemikiran, jagat keagamaan, dan jagat politik di Indonesia. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh pejuang demokrasi yang sangat pluralis, egaliter, dan humanis. Dalam berjuang Gus Dur juga bekerja sesuai dengan adagium bellum omnium contra omnes yang mendalilkan bahwa kekuasaan hanya dapat dilawan dengan kekuasaan.

Namun perlawanan kekuasaan Gus Dur terhadap kekuasaan dilakukan melalui perjuangan kultural dan antikekerasan. Bahkan Gus Dur juga lihai melakukan perlawanan melalui humor. Tentang ini ada tulisan Gus Dur yang berjudul "Melawan Melalui Lelucon" (Tempo, 2000) dan saya sendiri pernah menulis (Jawa Pos,15-3-2006) berjudul "Politik Humor Gus Dur".

Gus Dur juga dicatat sebagai pemain politik "tebar jala" yang ulung sehingga pada saat tertentu semua kekuatan politik dapat didekatinya sesuai dengan kebutuhan psikologis politik masing-masing. Maka, meski PKB hanya meraih 12 persen pada Pemilu 1999, Gus Dur dapat terpilih menjadi presiden.

Moh Mahfud MD
(ketua Mahkmah Konstitusi RI)

Saturday, December 17, 2011

Sutan Syahrir, Diplmat Ulung Indonesia


-SEORANG DIPLOMAT SEJATI
Sutan Syahrir adalah tokoh utama dalam perundingan-perundingan RI dan Belanda dalam rangka menentukan siapa yang berdaulat atas Indonesia. Pada tanggal 14 November 1945 ia dijadikan Perdana Menteri (PM) oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang sejak itu menjalankan fungsinya sebagai DPR. Kedudukan PM yang menyalahi UUD 1945 itu sengaja diciptakan untuk memungkinkan RI mengadakan perundingan dengan Belanda yang secara tegas menolak Presiden Soekarno sebagai mitra perundingan.

Jabatan PM dijabat oleh Syahrir selama dua tahun (November 1945-Juni 1947). Dengan dukungan penuh dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta, Syahrir melaksanakan perundinan dengan Belanda untuk mencapai kedaulatan Indonesia. Lawan-lawan politik utama dari Syahrir adalah partai-partai yang bergabung dalam “Persatuan Perjuangan” dari Tan Malaka yang menolak perundingan dan menginginkan perang.

Mitra perundingan Sutan Syahrir adalah Dr. H.J. van Mook yang menjabat sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda sejak Oktober 1945-November 1948. Dalam perundingan-perundingan itu, terutama yang dilaksanakan secara rahasia pada bulan Maret 1946, kedua tokoh itu menelorkan prinsip-prinsip dasar untuk penyelesaian konflik Indonesia-Belanda. Inilah yang kemudian dikenal sebagai “Konsep Batavia”. Isinya yang utama antara lain adalah perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia dari negara kolonial Hindia Belanda menjadi Negara serikat (federal). “Konsep Batavia” itu ternyata bertahan sekalipun Syahrir dan kemudian van Mook harus melepaskan jabatan mereka. Konsep itu direalisasikan pada akhir 1949 melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).

Apa yang menyebabkan Sutan Syahrir memilih diplomasi dan menolak perang sebagai cara untuk menyelesaikan konflik? Pemikiran politik Syahrir terutama bias kit abaca dalam tulisannya yang berjudul Perjuangan Kita yang diterbitkan pada November 1945. Pertama-tama ideologi sosial-demokrat, yang dianutnya sejak ia belajar di negeri Belanda, yang secara prinsipil menolak perang. Sebab itu selama pendudukan Jepang, Syahrir menolak bekerjasama dengan tentara Jepang dan melancarkan “gerakan bawah tanah”.

Dalam situasi itu ia sudah pasti pernah mendengar mengenai “Atlantic Charter” yang dikeluarkan oleh para pemimpin Sekutu bulan Agustus 1941. Kesepakatan itu antara lain menetapkan bahwa dalam masa pasca Perang Dunia tatanan dunia akan diubah total. Pertama-tama penjajahan tidak mendapat tempat lagi (kolonialisme harus dihapus). Penegakan HAM serta perdamaian dunia akan diusahakan melalui suatu organisasi internasional.

Pemikiran Sekutu yang dikembangkan terus selama masa perang itu bisa diketahui oleh Syahrir melalui cara mendengarkan siaran-siaran radio secara rahasia. Sebab itu sudah sejak awal ia telah yakin bahwa cepat atau lambat Belanda akan meninggalkan Indonesia, dengan demikian cara diplomasi atau “cara damai untuk mencapai perdamaian” diyakininya sebagai cara yang akan lebih berhasil ketimbang perang.

Gagasan mencapai kedaulatan secara damai adalah suatu sikap moral yang sangat terpuji. Ini diwujudkannya sendiri dalam bentuk Persetujuan Linggajati pada bulan November 1946, yang merupakan hasil perundingannya dengan delegasi pemerintah Belanda yang dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Schermerhorn.

Linggajati juga merupakan pancaran sikap tegas Sutan Syahrir dalam membela kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Dalam rancangan persetujuan itu yang disodorkan oleh Belanda pada pasal 2 tercantum bahwa “Negara Indonesia Serikat adalah negara yang merdeka”. Syahrir dengan sangat tegas menolak kalimat itu dan menuntut agar diganti dengan kalimat “Negara Indonesia Serikat adalah negara yang berdaulat”. Ketika delegasi Belanda berhadapan dengan Soekarno-Hatta di Kuningan pada tanggal 13 November, mereka terpaksa menerima tuntutan Syahrir itu, sehingga serta-merta Presiden Soekarno menyatakan menerima sepenuhnya persetujuan itu.

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa pemikiran Sutan Syahrir yang masih relevan hingga kini adalah penyelesaian konflik dengan cara damai. Bahwa ia menyetujui federalisme kemungkinan besar hanyalah suatu strategi, mengingat dukungan pada diplomasi Syahrir. Tetapi apakah Syahrir menganggap federalisme sebagai taktik perjuangan atau akhir perjuangan masih perlu diteliti lebih lanjut

Pemikiran Politik Sutan Sjahrir

Sutan Sjahrir Perdana Menteri Pertama Indonesia, telah menorehkan tintas emas perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ia lahir di Padangpanjang Sumatera Barat 5 Maret 1909, dan meninggal dunia pada usia 57 tahun setelah dirawat sekian lama akibat sakit yang dideritanya. Sutan Sjahrir bukan saja sebagai founding father bersama Soekarno dan Mohamad Hatta, tetapi juga meletakan pemikiran politik yang berlandaskan gagasan anti kolonialisme, anti fasisme, dan antifeodalisme.

Berangkat dari gagasan itu, Sutan Sjahrir sangat menitikberatkan pada upaya-upaya melakukan pendidikan untuk rakyat. Kolonialisme bisa bertahan lama di bumi pertiwi, karena kemiskinan dan kebodohan membuatnya semakin terperdaya. Sepulangnya dari studi di Belanda tahun 1931, Sutan Sjahrir langsung bergulat dengan dunia pergerakan, dan bersama Bung Hatta mendirikan PNI Baru (Pendidikan Nasional Indonesia).

Sutan Sjahrir memimpin PNI Baru organisasi yang menghimpun kaum pergerakan nasional. PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusioner kemerdekaan nasional. Ketakutan akan potensi revolusioner PNI Baru, medio Februari 1934 pemerintah kolonial Belanda menangkap dan memenjarakan Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul Papua selama setahun. Mereka lalu dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Pandangan Politik
Sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari suasana pasca Perang Dunia (PD) II. Perang dingin antara blok timur yang dimotori Uni Sovyet-Rusia dan blok barat Amerika Serikat dengan sekutunya telah mempengaruhi dinamika politik nasional. Sutan Sjahrir dan para pemuda yang tergabung dalam kelompok Parapatan 10, sejak semula melakukan gerakan bawah tanah non-kooperatif terhadap Jepang yang saat itu menduduki wilayah Hindia Belanda. Sementara jalan yang ditempuh Soekarno-Hatta bekerjasama dengan Jepang dalam meraih kemerdekaan nasional.

Pada titik ini, timbul perbedaan pandangan mensikapi momentum proklamasi kemerdekaan. Pandangan kelompok Sjahrir, kekalahan Jepang kubu fasis oleh sekutu berdampak bahwa kemerdekaan hasil pemberian Jepang akan dianggap pemerintahan Indonesia sebagai kolaborator fasisme Jepang. Dan, sangat memalukan jika Soekarno-Hatta sebagai pemimpin pemerintahan yang baru merdeka kemudian diadili oleh Mahkamah Internasional sesuai keputusan konfrensi Postdam. Oleh karenanya, muncul gerakan kaum muda mendesak proklamasi untuk menunjukan kemerdekaan nasional bukan janji yang diberikan Jepang, tetapi hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia.

Pada fase selanjutnya, dengan kekuatan diplomasi Sutan Sjahrir membawa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sutan Sjahrir menyadari sebuah negara baru merdeka, dan berada ditengah arus dua kutub politik yang sedang bersaing. Hanya kecerdasan dan kecerdikan membaca situasi politik, membuat posisi Indonesia tidak mudah terperangkap dalam pusaran konflik perang dingin, dan ancaman kembalinya kolonialisme Belanda.

Didepan sidang Dewan Kemanan PBB tanggal 14 Agustus 1947 Sutan Sjahrir menyampaikan pandangan politik. Ia mengupas Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki budaya dan peradaban lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, pada forum itu secara cerdas Bung Sjahrir juga mematahkan argumen-argumen yang disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Melalui jalan politik diplomasi ini, akhirnya Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah negara berdaulat dan bermartabat di pentas internasional.

Pikiran Sjahrir
Jalan Politik yang diambil Sutan Sjahrir, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh jiwa patriotik dan pemikirannya yang menjunjung tinggi persamaan derajat setiap manusia. Sutan Sjahrir dengan tegas menolak segala bentuk totalitarianisme. Baik totalitarianisme kanan dalam bentuk fasisme, maupun komunisme sebagai wujud totalitarianisme kiri. Keduanya mengekang kebebasan perorangan yang membuat manusia tidak lebih dari budak kekuasaan semata.

Menurut Sutan Sjahrir nasionalime harus berpijak pada demokrasi, karena nasionalisme bisa tergelincir pada fasisme jika bersekutu dengan feodalisme lokal. Nasionalisme juga bisa menjadi chauvinistik dalam hubungan internasional, jika tidak dilandasi pemikiran humanistik (kemanusiaan). Hal ini yang dialami oleh Hitller dan Musolini yang kemudian menimbulkan Perang Dunia kedua.

Penegasan Sutan Sjahrir akan jalan demokrasi dan penentangan terhadap segala bentuk totalitarianisme, ia mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sosialisme yang dimaksudnya adalah sosialisme berdasarkan kerakyatan yang mengakui kemerdekaan setiap orang untuk berpikir dan bertindak sesuai keyakinannya. Sutan Sjahrir menekankan secara jelas tujuan dan strategi kaum sosialis berbeda dengan kaum komunis. Diktator Proletar sebagai sebuah tahapan revolusi bagi kaum komunis, buat kaum sosialis merupakan bentuk kediktatoran yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi.

PSI lahir pada 12 Februari 1948 diYogyakarta, setelah perbedaan ideologi dan politik dalam partai sosialis (PS) pecah dan tidak bisa ditautkan lagi. Sikap resmi PSI menekankan bahwa sejak Maret 1947 di dalam Dewan Partai PS muncul perbedaan faham yang prinsipil tentang sikap pendirian, pandangan (visi) serta corak dan cara melanjutkan perjuangan untuk menyelamatkan dan menyelesaikan revolusi nasional.Perbedaan faham tersebut menyangkut: (a) Pembubaran Kabinet Syahrir dan kelanjutan sikap partai. (b) Sikap dan cara pimpinan partai diwaktu perang, bahkan pimpinan organisatoris yang tegas sama sekali tidak ada.(c) Tentang siaran penjelasan keadaan politik dari sayap kiri tanggal 22 januari 1948, yang ditanda tangani juga oleh anggota dewan partai dan berakibat memecah persatuan dan kekuatan nasional. (d) Tentang sikap pendirian terhadap presidentiil terhadap kabinet Hatta.Syahrir dan pengikutnya menganggap sikap oposisi terhadap kabinet Hatta dalam situasi politik RI yang sulit lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya, justru karena Hatta adalah eksponen yang berpengaruh di Sumatera sangat diperlukan pada saat itu.

Perbedaan prinsipil tersebut, menurut Soe Hok Gie membuat golongan komunis dalam sayap kiri tersebut mulai memaki-maki Syahrir dan mengorbankannya untuk kepentingan ‘wajah’ revolusioner kaum kiri umumnya dan kaum komunis khususnya.PS sendiri merupakan partai hasil fusi antara Partai Rakyat Sosialis (Paras) pimpinan Sutan Syahrir dengan partai Sosialis Indonesia (Parsi) pimpinan Amir Syarifudin, pada 20 November 1945. Atas dukungan inilah Sutan Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri RI dari 15 November 1945 – 3 Juli 1947. Diantara keduanya waktu itu tidak ada perbedaan yang prinsipil, karena memiliki kesamaan rencana untuk menyusun barisan politik dalam mencapai cita-cita ideologis mereka. Namun Soe Hok Gie mencatat bahwa persatuan diantara kedua tokoh ini lebih didasarkan oleh sikap anti fasis dan kepentingan bersama untuk menghadapi Tan Malaka dengan persatuan perjuangan10 sehingga, setelah bahaya itu hilang persatuan yang ada juga akan meretak, tulis Soe Hok Gie.Ikatan yang lebih bersifat taktis ini akhirnya memang tidak bertahan lama, praktis hanya berlangsung dari 20 November 1945 – 12 Februari 1948.

Sutan Sjahrir yang menjadi ketua PS (Amir Syarifudin menjadi wakil ketua PS) beserta Johan Syahrusah, Wijono, Soemartojo, Soebadio, Sitorus, Soepeno, Tedjasukmana, Tobing, Soejono, Murad, Wangsawijada, Itji, Soehadi, Nurullah, Rochan, Kusnaeni, Kartamuhari, Soegondo, Soenarno, Sukanda. Rusni dan Sastra keluar dari PS dan mendirikan PSI, menolak komunisme, PKI, Uni Soviet dan mendukung kabinet Hatta.Sedangkan Amir Syarifudin dan pengikutnya seperti Setiadjit, Tan Ling Djie, Abdul Majid bergabung dengan PKI dan membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang menerapkan kebijakan kelas dalam bentuk class warfare, wujudnya revolusi menentang Republik Indonesia, dikenal sebagai pemberontakan madiun 1948, dipimpin Musso11.Sebelum pemberontakan terjadi, pada 29 Agustus 1948, Amir Syarifudin mengumumkan bahwa ia sebenarnya seorang komunis12. Amir Syarifudin dan Musso menjemput ajalnya akibat pemberontakan ini.

Sutan Sjahrir secara tidak langsung mengungkapkan perpecahan tersebut dalam tulisannya tentang Masa Depan Sosialisme Kerakjatan. Sutan Sjahrir mengatakan, “Mengapa tidak diadakan satu partai sosialis saja di negeri kita ini, yang menyebarkan cita-cita dan pengertian sosialis diantara rakyat dan bangsa kita. Persoalannya tidak semudah dan segampang itu. Cita-cita dan pengertian yang kita, dari pihak partai sosialis Indonesia, ajarkan dan sebarkan ternyata berlainan dengan apa yang disebarkan oleh golongan lain yang menamakan dirinya sosialis. Hal ini terutama berlaku untuk golongan yang tergabung dalam partai komunis Indonesia. Sosialisme yang tiap hari mereka nyatakan adalah lain dari apa yang kita kehendaki dan perjuangkan. Misalnya, bagi mereka penindasan terhadap pemberontakan dan perjuangan kemerdekaan bangsa Hongaria yang dilakukan kaum yang berkuasa di Uni Soviet, adalah Sosialisme sedangkan bagi kita hal itu adalah perbuatan kaum imperialis dan merupakan penindasan kemerdekaan dan adalah perbuatan dan semangat yang tidak diharapkan oleh sosialisme seperti yang kita anut, pemerintahan di negeri (Uni Soviet) yang disebutkan oleh kaum PKI sebagai kaum yang menuju kepada Sosialisme, sebenarnya adalah pemerintahan yang menindas kehidupan rakyat banyak, tani dan buruh malahan kerap kali lebih daripada kaum kapitalis dijaman sekarang. Mereka yang berkuasa dinegara yang dipuja sebagai contoh kaum PKI. Tidak mengindahkan martabat kemanusiaan bahkan tiap hari menginjak-injaknya dengan cara yang kejam dan keji, kita dari Partai Sosialis Indonesia menegaskan bahwa apa yang dinamakan Stalinisme itu bukanlah sosialisme, kita sebagai kaum sosialis yang menghendaki kemerdekaan manusia dari segala macam penindasan dan penghisapan serta bertugas pula menentang dan melawan ajaran palsu yang menamakan dirinya ajaran sosialis”.

Melawan ajaran dan pengaruh komunisme di dalam negeri yang bekiblat kepada negara Uni Soviet nampaknya merupakan penjelasan yang lebih prinsipil, selain penjelasan resmi PSI. Dari perpecahan ditubuh PS, yang memungkinkan PSI berdiri sendiri. Pecahnya fusi partai Sutan Sjahrir dan Amir Syarifudin ini menurut Robert J. Myers sebagaimana dijelaskan secara panjang lebar oleh Sutan Sjahrir karena, the increased communist-orientation of the socialist party, which let to a growing emphasis on class warfare and alignment with the Soviet Union.Program Nasional PSI dan Politik Negara Kesejahteraan.

Partai Sosialis Indonesia, akhirnya bersama Partai Masyumi dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno dengan alasan yang tidak cukup jelas. Partai berbasis kader ini, walaupun dalam Pemilu 1955 mengalami kekalahan, tetapi berhasil mencetak kader-kader tangguh. Sutan Sjahrir berhasil membuka jalan demokrasi, dan memberi pelajaran etika berpolitik yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia.

Andai saja Sutan Sjahrir seorang yang haus kekuasaan, maka dengan segala potensi ia bisa meraih dan mempertahankannya. Namun, Bung Sjahrir meyakini politik tidak semata diartikan tindakan merebut dan mempertahankan kekuasaan an-sich. Politik bukan machtsvorming dan machtsaanwending, tapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya, karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai. Jadi, politik harus dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji dengan kriteria moral.

Sutan Sjahrir-pun seorang anak bangsa yang telah memberi arti banyak bagi tegaknya republik, diakhir hayatnya lebih memilih jalan sunyi. Mohamad Hatta pernah berkata, Ia (Sjahrir) berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan untuk Indonesia merdeka, ikut membina Indonesia merdeka, tapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka, ia lebih banyak menderita di dalam Republik Indonesia yang ia cintai, daripada di dalam Hindia Belanda kolonial yang ditentangnya.

PEMIKIRAN MOH. NATSIR


-faktor Mempengaruhi Pemikiran Kenegaraan Moh. Natsir

Kecendrungan pemikiran politik intelektual Islam Indonesia, seperti Natsir, pada kurun waktu 1945 sampai tahun 1965 pada hakekatnya dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, kondisi sosial politik Indonesia selama dua dasa warsa (1945-1965) tersebut mengalami tiga masa, yaitu revolusi fisik (1945-1950), masa demokrasi parlementer (1950-1959) dan masa demokrasi liberal (1959-1965). Kedua, pemahaman dan interprestasi intelektual Islam, termasuk Natsir, terhadap ajaran Islam yang diyakininya bahwa Islam adalah ajaran yang komplit dan sempurna, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia itu dapat dilihat hukumannya dalam al-Quran dan hadits.

Ketiga, pemikiran politik Natsir di samping terpengaruh pemikiran politik intelektual muslim masa klasik dengan karya-karya monumentalnya seperti al-Mawardi dengan al-Ahkam al-Sulthaniyyah, juga terpengaruh oleh pemikiran politik intelektual muslim modern seperti al-Maududi dan al-Afgani. Keempat, trend pemikiran politik Barat yang sedang merebak di dunia Islam sebagai akibat kontak dengan peradaban Barat dalam bentuk imperialisme Barat di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, tak terkecuali Indonesia yang pernah dijajah oleh kolonial Belanda selama kurang lebih 350 tahun seperti terma-terma demokrasi, dewan perwakilan rakyat, republik, nasionalisme, dan lain-lainnya. Konsekuensi dari pengenalan terhadap terma-terma politik Barat tersebut, para intelektual Indonesia baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis hampir tidak dapat ditemukan pemikiran politiknya tentang pendirian sistem monarki dengan didasarkan ikatan agama, melainkan mereka menghendaki suatu negara republik yang didasarkan pada rasionalisme. Kelima, visi dan tujuan organisasi keagamaan dan politik yang digeluti oleh para intelektual Islam telah mempengaruhi arah pemikiran dan sikap atau perilaku politik mereka dalam mengaktualisasikan dan mengartikulasikan politiknya. Natsir sebagai salah satu intelektual Islam modernis terpengaruh oleh visi dan tujuan Masyumi.

PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian tentang pemikiran kenegaraan Mohammad Natsir, tampak bahwa pemikiran Mohammad Natsir dengan ciri khas relegiusitasnya akan tetapi tidak kalah dengan dengan pemikiran intelektual sekular. Hal itu disebabkan karena Natsir secara informal melakukan dialog edukatif yang intensif tentang masalah-masalah agama, dan selain itu, ia juga belajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda, yang tentunya syarat dengan gagasan modern tentang negara, seperti demokrasi, nasionalisme, republik. Keberhasilan Natsir dari satu sisi adalah berhasil merekonsiliasikan pemikiran modern dengan pesan-pesan nash al-Quran maupun hadits. Selain itu, dari waktu ke waktu, ia memiliki karakteristik, kecenderungan dan visi tersendiri, disesuaikan dengan setting sosiopolitik yang ada sehingga munculnya pemikiran Natsir merupakan respon atau jawaban terhadap peroblema yang muncul.

Hubungan Islam dan negara dalam pandangan Natsir adalah hubungan yang integral dan simbiotik, tidak ada dikotomik yang bermuara kepada sekularisasi. Baginya, agama Islam adalah agama universal yang menata seluruh mekanisme kehidupan, termasuk masalah negara.

Sementara mengenai sistem pemerintahan menurut Natsir, bahwa di dalam Islam tidak ada uraian yang spesifik mengenai mekanismenya, yang ada hanya prinsip-prinsip saja. Oleh karenanya, sebagai produk ijtihad politiknya, ia mengusulkan sistem pemerintahan parlementer.

Tentang kepala negara, menurut Natsir tidak ada penyebutan yang spesifik, dan tidak harus terpaku pada istilah Islam klasik, yaitu khalifah. Baginya kepala Negara bisa khalifah, Amirulmu’minin, atau presiden. Yang paling penting, seorang khalifah, karena negara Indonesia mayoritas Islam, maka negaranya harus Islam. Dan mengenai aparaturnya, tidak mesti Islam, tetapi memberi peluang kepada agama lain untuk menduduki jabatan strategis lainnya.

Mengenai kedaulatan negara, Natsir mengungkapkan istilah teodemokrasi, yaitu demokrasi yang tidak hampa dari nilai-nilai ketuhanan, atau demokrasi yang tidak tercerai dari nilai-nilai ketuhanan.

Mengenai dasar negara, sebelum sidang konstituante Mohammad Natsir sangat gigih membela Pancasila. Ia menyatakan bahwa Pancasila merupakan hasil kristalisasi yang disebutnya lima ciri kebijakan hasil musyawarah antara pemimpin-pemimpin bangsa, dan tidak bertentangan dengan al-Quran. Namun ketika sidang konstituante dan pasca itu, Natsir sangat gigih menggelorakan semangat dan mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Hal ini cukup beralasan, karena selain ia memiliki latar belakang pendidikan informal keagamaan kepada A. Hasan yang terkenal memiliki pemikiran Islam radikal, juga Natsir menyuarakan partai Islam, yaitu mewakili Masyumi. Ia menyatakan bahwa Pancasila sekular dan netral.

Implikasi pemikiran Natsir yang memiliki kecenderungan politik identik dan kritis terhadap roda pemerintahan yang kurang mengindahkan demokrasi, adalah tersingkirnya ia dari pentas politik, karir politiknya berakhir di penjara menjadi tahanan politik serta dibubarkannya partai Masyumi.


Rekomendasi

Pemikiran Natsir perlu dikembangkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya mengenai pemikirannya tentang teodemokrasi, yaitu demokrasi yang tidak hampa dari nilai-nilai ketuhanan, atau demokrasi yang tidak tercerai dari nilai-nilai ketuhanan.Dalam konteks kekinian, menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam adalah suatu hal yang tidak mungkin sebagaimana yang dicita-citakan oleh Natsir, akan tetapi menyemangati semua konsep dan prilaku para penyelenggara negara dengan konsep yang ada dalam al-Qur’an dan Hadits adalah sesuatu hal pula yang mungkin dapat diprakktekkan saat ini.

Pemikiran Sosial Politik Mohammad Natsir : Islam dan Tata Negara

Perumusan konsep negara merupakan salah satu isu sentral dalam sejarah pemikiran kenegaraan, termasuk dalam pemikiran Islam di Indonesia. Pemikiran kenegaraan Islam sebenarnya merefleksikan upaya pencairan fondasi intelektual bagi fungsi dan peran negara atau pemerintahan sebagai faktor instrumental untuk merealisasikan ajaran Islam. Pemikiran kenegaraan Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang berlangsung (Syamsuddin, 1993: 4, Cropsy, 1987: 17).Rata Penuh

Diskusi panjang tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia muncul seiring dengan timbulnya gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yaitu pada awal abad ke-20. Pada masa perjuangan kemerdekaan tersebut, sejumlah intelektual muslim, tak terkecuali Mohammad Natsir (1908-1993), dari berbagai organisasi sosial keagamaan dan politik seperti Sarekat Islam, Persatuan Muslim Indonesia (Permi), Persatuan Islam (Persis), dan lain-lain telah mulai melontarkan pemikiran-pemikiran politiknya berkenaan dengan hubungan antara Islam dan kebangsaan.

Pandangan tentang bangsa dari sejumlah intelektual Muslim tersebut akhirnya meningkat pada persoalan negara. Hal ini karena telah muncul kesadaran dari kalangan intelektual muslim di mana tujuan utama dari pergerakan kemerdekaan ialah mendirikan negara yang merdeka dari segala macam penjajahan.

Pandangan Natsir tentang hubungan Islam dan negara adalah bahwa agama bukanlah semata-mata ritual peribadatan dalam istilah sehari-hari seperti salat dan puasa, akan tetapi agama meliputi semua kaedah-kaedah, batas-batas dalam muamalah dan hubungan social kemasyarakatan. Oleh karenanya, menurutnya, untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah saw kepada kaum muslim bahwa sesungguhnya Allahlah pemegang dengan kekuasaan penguasa (Natsir, 1973: 436-437).

Dari pernyataan di atas, nampaknya Natsir ingin menegaskan bahwa Islam dan negara itu berhubungan secara integral, bahkan simbiosa, yaitu berhubungan secara resiprokal dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bidang etika dan moral (Syamsuddin, 1993: 6). Hal ini karena dalam pemahaman Natsir bahwa Islam merupakan ajaran yang lengkap. Ajaran Islam tidak mengandung persoalan ibadah saja, tetapi juga mengandung aspek lain seperti bidang hukum tentang kenegaraan, maka pendirian sebuah negara adalah suatu kemestian Sebagaimana pendapat H.A.R. Gibb, bagi Natsir, Islam itu bukan sekedar agama, tetapi juga merupakan peradaban yang komplit. Untuk itu dalam Islam tidak relevan adanya pemisahan agama dari negara karena nilai-nilai universal Islam itu tidak dapat dipisahkan dari ide pembentukan sebuah negara (Mahendra, 1995: 136).

Pandangan Natsir tentang kemestian pendirian sebuah negara ini memiliki kesamaan dengan pemikiran politik Ibn Taimiyyah (w. 1328 M) yang mengatakan memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agama. Bahkan pelaksanaan agama tidak mungkin terealisasi kecuali dengan adanya kepemimpinan (Taimiyyah, 1988: 138).

Terkandungnya hukum-hukum kenegaraan dalam ajaran Islam, menurut Natsir, adalah suatu bukti bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Pandangan Natsir ini didasarkan pada Alquran, al-Dzariyyat: 56 (Natsir, 1973: 436-437).

Dalam kasus Turki, kata Natsir, Turki bukanlah pemerintahan Islam, karena di Turki tidak ada lagi integrasi antara agama dengan negara. Karenanya, negara hanya merupakan instrumen, bukan tujuan, maka tidak perlu ada perintah Tuhan untuk mendirikan Negara. Yang perlu adalah pedoman untuk mengatur negara supaya negara itu menjadi kuat dan subur dan menjadi media yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang terhimpun dalam negara itu; baik untuk keselamatan maupun kesentosaan individu dan masyarakat (Natsir, 1973: 443).

Begitu pula dengan penyebutan bagi kepala negara, karena negara itu hanya merupakan instrumen, bukan tujuan, menurut Natsir, seorang kepala negara itu tidak perlu bergelar kholifah, akan tetapi bisa juga dipergunakan nama lain, seperti amir al-mu’minin, presiden atau yang lainnya. Yang penting adalah bahwa sifat-sifat, hak dan kewajiban mereka harus sebagaimana dikehendaki oleh Islam. Dengan demikian, yang menjadi syarat bagi kepala negara itu adalah agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya dan bukan dilihat dari asal bangsa dan keturunannya ataupun semata-mata inteleknya saja (Natsir, 1973 : 443).

Bagi kepala negara terpilih, tugas utama yang diembannya, menurut Natsir adalah melakukan musyawarah dengan orang-orang yang dianggap patut dan pantas atau layak untuk memecahkan persoalan-persoalan umat. Sementara dalam hal-hal yang sudah ada ketentuan hukumnya, tidak perlu dimusyawarahkan kembali seperti masalah alkohol, zina, perkawinan, waris, zakat dan fitrah, adalah tanggung jawab penguasa. Adapun dalam persoalan pengambilan keputusan terhadap sesuatu masalah, itu dapat diserahkan kepada perkembangan sesuatu masyarakat, apakah seperti yang dipraktekkan oleh Abu bakar atau berdasar pada pemilihan umum secara lazim yang berlaku sekarang; yang penting musyawarah itu dilakukan (Natsir, 1973: 443).

Dari pandangan Natsir di atas, kelihatannya Natsir tidak begitu menekankan pada label dan bentuk dalam sebuah negara, melainkan lebih menekan pada isi. Dengan demikian, pemikiran Natsir tentang negara masa perjuangan kemerdekaan ini cenderung subsantivistik. Akan tetapi kenyataannya, pada masa demokrasi parlementer (1950-1959), terutama saat berlangsungnya sidang konstituante, pemikiran kenegaraan Natsir dapat dikatakan cedrung formalistik. Hal ini dilihat dari pandangannya tentang signifikansi Islam untuk dijadikan dasar negara bagi negara republik Indonesia yang baru merdeka.

Signifikansi Islam untuk dijadikan dasar negara, menurut Natsir, dilandasi atas beberapa hal. Pertama, Islam itu adalah agama yang lengkap dan sempurna. Namun begitu, kesempurnaan ajaran Islam itu terutama doktrin sosial politiknya hanya memberikan pedoman pedoman yang bersifat global dan tidak dalam bentuk rincian-rincian (Natsir, 1957: 377). Kedua, secara sosiologis, di samping Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, Islam juga merupakan agama yang menghargai dan menghormati agama lain. Sebagaimana dinyatakan oleh Natsir sendiri bahwa: “Bukan semata-mata lantaran umat Islam adalah golongan yang terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnja, kami mengajukan Islam sebagai Dasar Negara kita, akan tetapi berdasarkan kepada kejakinan kami, bahwa adjaran-adjaran Islam jang memiliki ketatanegaraan dan masjarakat hidup itu adalah mempunjai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat dan dapat mendjamin hidup keragaman atas saling harga menghargai antara pelbagai golongan di dalam negara: kalaupun besar tidak akan melanda, kalaupun tinggi, malah akan melindungi” (Natsir,1959: 166).

Dalam memperkuat argumentasinya, Natsir mengikuti pendapat Ibn Khaldun yang membandingkan masyarakat dengan Negara; yaitu bahwa di antara keduanya seperti hubungan antara benda dengan bentuknya: yang satu bergantung kepada yang lain. Maka dari itu, kata Natsir, negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat (Natsir, 1957: 7). Di samping itu, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim itu memerlukan suatu landasan yang kokoh bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan dijadikannya Islam sebagai dasar negara, menurut Natsir, diharapkan terciptanya baldatun tayyibatun wa robbun ghafur (Natsir, 1958: 22, 36).

Oleh karena itu, Natsir dengan tegas mengatakan bahwa: Pancasila itu netral dan sekuler. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara sangat kabur dan tidak bermakna apa-apa bagi umat Islam yang telah memiliki suatu ideologi yang pasti, jelas dan sempurna. Karenanya, Natsir mengidealisasikan adanya negara yang berdasar Islam (Natsir, 1970: 218-219).

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian tentang latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian adalah apakah pemikiran kenegaraan Mohammad Natsir cendrung substantivistik atau formalistik?

Agar pemahaman itu dapat dicapai, maka masalah pokok tersebut dapat dipecah dalam beberapa sub pokok masalah yang terangkum dalam pertanyaan-pertanyaan : (1) Bagaimana perkembangan pemikiran kenegaraan Natsir dari masa ke masa?. (2) Apakah implikasi dari pemikiran kenegaraan Natsir? (3) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pergeseran kenegaraan Natsir?

TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pemikiran kenegaraan Mohammad Natsir. Untuk tercapainya tujuan tersebut maka dijelaskan perkembangan pemikiran kenegaraan Natsir dari masa ke masa, implikasi pemikiran kenegaraan Natsir, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran kenegaraan Natsir.

Kerangka konseptual dari penelitian ini adalah bahwa pemikiran kenegaraan Mohammad Natsir itu bermula dari kondisi sosial politik yang terjadi pada masa itu dengan mencari solusinya dari ajaran Islam, di samping pemikiran politik intelektual muslim klasik dan modern. Natsir yang berlatar belakang pendidikan pesantren (agama) sekaligus Barat (umum) berpijak dari terma-terma pemikiran politik barat dan reformasi Islam dalam upaya meresponi tantangan zaman.

Temuan-temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep kenegaraan di Indonesia pada khususnya dan memperkaya khazanah keislaman, kemodernan dan keindonesiaan di bumi pertiwi pada umumnya. Di samping itu, pada tingkat yang lebih praktis, dapat dijadikan pembangkit semangat bagi kemajuan Islam di Indonesia, terutama bagi cendekiawan muslim Indonesia sekarang.

METODE PENELITIAN

Sumber penelitian dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah sumber-sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama (Surakhmad, 1982: 134). Sumber primer ini dapat berupa dokumen ataupun karyaka Mohammad Natsir.

Dari survei kepustakaan tentang pemikiran kenegaraan Mohammad Natsir, sumber primer yang digunakan, di antaranya adalah: M. Natsir, Capita Selecta 2 jilid, (Natsir,1957: ) Capita Selecta, Islam sebagai Dasar Negara, Islam sebagai Ideologi, Tentang Dasar negara RI dalam Konstituante 3 jilid, Risalah Perundingan, Konstituante Republik, Jilid V-VII, Menyelamatkan Umat, Herbert Feith and Lance Castles 9ed), Indonesia Political Thinking 1945-1965.

Sumber sekunder adalah sumber yang mengutip dari sumber lain. Dengan kata lain, sumber yang didapat bukan dari tangan pertama, tetapi dari tangan kedua atau orang lain yang membahas tentang pemikiran kenegaraan Mohammad Natsir. Di antara sumber sekunder yang digunakan adalah Anwar Harjono, et. al. Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Yusuf Abdullah Puar, (ed), Muhammad Natsir 70 tahun: Kenang-kenangan dan Perjuangan, Ahmad Syafii, Islam dan Masalah kenegaraan, studi tentang Percaturan Politik dalam Konstituante, dan Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Deliar Noerr, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Partai Islam di Pentas Nasional, Howard M. Federspiel, Persatuan Islam, Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Isa Anshary, Filsafat Perjuangan Islam.

Sebagai suatu penelitian terhadap pemikiran kenegaraan Mohammad Natsir, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah (historical approach) (Natsir, 1988: 62). Karena ini adalah penelitian tokoh dan sejarah maka jenis penelitian ini juga termasuk kepada penelitian biografis, yaitu penelitian terhadap kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat, sifat-sifat, watak, pengaruh pemikiran, dan idenya, serta pembentukan watak tokoh tersebut selama hidupnya. (Natsir, 1988: 62). Langkah-langkah penelitian yang digunakan meliputi a) pengumpulan data, b) penilaian data, c) penafsiran data, dan d) penyimpulan (Surakhmad, 1982 : 133).

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan membaca sumber-sumber primer dan sumber sekunder yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas.

Dalam menganalisis data, digunakan analisis ini (content analysis) Analisis isi merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi. Secara teknis analisis isi mencakup upaya: a) Klasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi, b) menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi, dan c) menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi (Muhadjir, 1966: 49). Jadi yang dimaksud analisis isi dalam penelitian ini adalah melakukan analisis terhadap pemikiran politik intelektual Islam yang tertuang dalam tulisan-tulisan dan dokumen-dokumen.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Pemikiran Kenegaraan Mohammad Natsir dari Masa ke Masa

Perhatian bangsa Indonesia selama masa 1945-1950 lebih banyak tercurah kepada usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan dalam bentuk perjuangan fisik (Noer, 1987: 197). Seperti yang diucapkan oleh kaum intelektual Islam, termasuk di dalamnya Natsir, bahwa pada masa revolusi bukanlah saat yang tepat untuk mendesak terlaksananya cita-cita Islami. Bagi mereka, mempertahankan kemerdekaan harus didahulukan (Nasution, 1965: 76)

Spirit perjuangan pada umumnya diliputi oleh spirit Islam, seperti dikumandangkannya seruan jihad fi sabilillah (Noer, 1988: 10). Tidak hanya dalam perjuangan fisik saja yang terwarnai oleh spirit Islam akan tetapi juga dalam bidang diplomasi dan perjuangan darurat. Seperti Natsir yang menjadi penasehat delegasi dalam diplomasi tahun 1949 antara Mohammad Roem (delegasi Indonesia) dan Van Royen (delegasi Belanda) (Noer, 1988: 10). Meskipun Natsir sendiri, kata Yusril, (Mahendra, 1995: 123), keberatan dengan negosiasi yang dilakukan oleh kedua delegasi tersebut. Namun boleh dikatakan, diplomasi itu membuahkan hasil dengan disepakatinya penyerahan kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1949 (Feithm, 1964: 13).

Keberatan Natsir dengan diadakannya diplomasi itu nampaknya dilatarbelakangi sikap kekhawatiran jika diplomasi itu membuahkan hasil yang memberatkan bagi bangsa Indonesia. Mungkin juga ketakutan bila Indonesia akan tetap dianeksasi Belanda. Dengan demikian, pada masa ini, disebut dengan masa revolusi fisik, dan pemikiran politik intelektual Islam, termasuk Natsir, cenderung realistik, karena hanya tercurahkan kepada persoalan membela kemerdekaan dan kebebasan menghadapi musuh bersama dari luar. Karena bagaimanapun, dalam pandangan intelektual Islam, perjuangan kemerdekaan Indonesia itu sekaligus merupakan perjuangan untuk kemerdekaan Islam. Dengan kata lain, perjuangan kemerdekaan itu bukan hanya untuk negeri tetapi juga untuk eksistensi agama Islam dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.

Pasca kemerdekaan sebelum sidang konstituante, Natsir terkesan gigih membela dasar negara Pancacila dengan mengatakan bahwa pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam, seperti yang disebutkan di atas. Akan tetapi sebaliknya, dalam sidang konstituante, Natsir seakan berbalik. Natsir bukan lagi sebagai sosok pembela Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dalam sidang tersebut, Natsir merupakan salah seorang wakil Islam yang paling vokal dalam menggolkan Islam sebagai dasar Negara. Seperti apa yang diucapkannya dalam sidang konstituante tersebut bahwa Pancasila itu pure concept yang tidak memiliki substansi. Bagian Pancasila itu bersifat sekular dan netral, karena tidak mengakui wahyu ilahi sebagai sumber. (Risalah Perundingan, 1957: 276). Jadi, jika kenetralannya lenyap, maka raison de etre bagi fungsinya sebagai pemersatu akan hilang. Untuk itu Pancasila tidak dapat dijadikan sebagai falsafah negara. Hal ini karena Pancasila sangat kabur dan tidak bermakna apa-apa bagi umat Islam yang telah memiliki suatu ideologi yang pasti, jelas dan sempurna. Natsir, dalam hal ini, mengingatkan umat Islam bahwa pindah dari Islam ke Pancasila adalah bagian melompat dari bumi ke tempat berpijak ke suatu ruang hampa udara (Natsir, 1970: 218-219)

Dalam Islam dan Tata Negara, ajaran Sejarah dan Pemikiran, dijelaskan bahwa perubahan pendirian Natsir, menurut pengamat politik, disebabkan oleh pidato Soekarno pada rapat Gerakan Pembela Pancasila di Jakarta pada tanggal 17 Juni 1954 yang memberikan kesan bahwa sila Ketuhanan yang maha Esa itu merupakan ciptaan manusia. Namun Munawir Sjadzali sendiri, dalam hal ini, tidak mengetahui tentang faktor-faktor apa yang mendorong sampai terjadinya perubahan pendirian dalam sikap Natsir tersebut (Sjadjali, 1990: 196). Meski demikian, diduga kuat bahwa perubahan pendirian dalam sikap Natsir dalam sidang konstituante itu disebabkan, paling tidak oleh dua hal. Pertama, dorongan sebagai ketua Masyumi untuk merealisasikan manifesto politik partai; dan kedua, pancasila telah menjadi monopoli golongan tertentu, kelompok sekuler.

Munculnya respon dari kalangan intelektual, termasuk Natsir, yang komprontatif dengan pemerintah berkuasa di kala itu adalah dengan terjadinya perbedaan yang berkepanjangan dalam sidang konstituante yang berjalan selama kurang lebih dari dua setengah tahun. Pertentangan terjadi antara kelompok intelektual Islam yang menghendaki labelitas Islam versus kelompok intelektual sekunder. Karena antara kedua kalangan terebut tidak ada yang mau melepaskan pendiriannya, maka atas desakan tentara, Presiden Soekarno membubarkan Majelis itu pada tanggal 5 Juli 1959, dan mendekritkan berlakunya kembali UUD 45 (Maarif, 1985: 90). Masa ini kemudian dikenal dengan masa demokrasi terpimpin.

Pada masa itu, menurut Deliar Noer, demokrasi Indonesia yang telah berjalan begitu baik, bukan saja menurun, tetapi hampir saja berubah menjadi diktator. Setidak-tidaknya, masa ini mulai berjangkit dan berkembangnya suatu pemerintahan otokrasi (Noer, 1987: 389), dimana hak memerintah berada di tangan satu orang. Ini terbukti dengan pimpinan pemerintah dan pimpinan revolusi dipegang oleh suatu orang, yaitu Presiden Soekarno.

Seperti diketahui, 43 hari setelah dekrit, Presiden Soekarno mengucapkan pidato hari Proklamasi 17 Agustus 1959 yang diberi judul Penanaman Kembali Revolusi kita. Dalam perkembangannya pidato tersebut ditetapkan sebagai GBHN dan diberi nama Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Pemikiran ini kemudian diringkas dalam slogan Manipol Usdek (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialistic ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia), dan menjadi landasan demokrasi terpimpin. Perkembangannya, 1960, Presiden Soekarno melengkapi ideologi Indonesia dengan slogan Nasakom, doktrin kesatuan tiga unsur, yaitu nasionalis, agama dan komunis. Jadi, gagasan Soekarno menjadi lengkap, yaitu Manipol Usdek dan Slogan Nasakom dan dipaksakan untuk diaplikasikan oleh setiap institusi, baik institusi pendidikan maupun institusi pemerintah, maupun lembaga kemasyarakatan.

Terhadap indoktrinasi Soekarno ini, kelompok intelektual modernis sangat menentang dan menolaknya. Bahkan, Natsir sebagai tokoh intelektual modernis, membuktikan ketidaksetujuannya terhadap kediktatoran Soekarno yang direfleksikan dalam bentuk dukungannya terhadap pembrontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (Ricklefs, 1981: 250).

Implikasi Pemikiran Kenegaraan Mohammad Natsir

Telah diuraikan dalam paparan di atas, bahwa pemikiran politik idealistik yang didengungkan oleh para intelektual Islam modernis pada masa demokrasi terpimpin itu bertujuan untuk mengembalikan kedudukan pemerintah yang dipegang oleh Soekarno dengan Manipol Usdek dan Nasakomnya yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Namun, sayangnya, sikap korektif terhadap pemerintahan otokrasi dan diktator Soekarno yang dilancarkan oleh sebagian intelektual Islam modernis berakhir dalam penjara, seperti Natsir dan kawan-kawan. Bahkan partai Masyumi yang dipimpin Natsir pun ikut dibubarkan (Fieth, 1964: 138-139). Pembubaran Partai Masyumi terjadi dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 200/1960 yang diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1960 dan pada tanggal 13 September 1960, Pimpinan Partai Masyumi menyatakan partainya bubar untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam keputusan presiden (Ma'arif, 1985: 75).

Sebagaimana diilustrasikan oleh Deliar Noer bahwa masa demokrasi terpimpin sebagai masa yang mirip dengan peperangan, tidak merefleksikan nilai-nilai demokrasi yang dikandungnya, di mana orang berbeda pendapat dianggap sebagai musuh, dan oleh karena itu harus dibasmi (Noer, 1983: 46).

Dengan begitu, implikasi dari pemikiran politik yang idealistik dalam pemerintahan yang tidak mengindahkan demokrasi yang sesungguhnya dapat dicontohnkan dengan tersingkirnya para intelektual Islam modernis dari panggung politik praktis. Karena dalam suatu pemerintahan yang tidak menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kritik yang konstruktif dalam perjalanan sebuah pemerintahan, orang-orang kritis seperti Natsir dan kawan-kawannya dianggap sebagai penghalang bagi teraplikasinya program-program pemerintahan.

Faktor-faktor Mempengaruhi Pemikiran Kenegaraan Moh. Natsir

Kecendrungan pemikiran politik intelektual Islam Indonesia, seperti Natsir, pada kurun waktu 1945 sampai tahun 1965 pada hakekatnya dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, kondisi sosial politik Indonesia selama dua dasa warsa (1945-1965) tersebut mengalami tiga masa, yaitu revolusi fisik (1945-1950), masa demokrasi parlementer (1950-1959) dan masa demokrasi liberal (1959-1965). Kedua, pemahaman dan interprestasi intelektual Islam, termasuk Natsir, terhadap ajaran Islam yang diyakininya bahwa Islam adalah ajaran yang komplit dan sempurna, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia itu dapat dilihat hukumannya dalam al-Quran dan hadits.

Ketiga, pemikiran politik Natsir di samping terpengaruh pemikiran politik intelektual muslim masa klasik dengan karya-karya monumentalnya seperti al-Mawardi dengan al-Ahkam al-Sulthaniyyah, juga terpengaruh oleh pemikiran politik intelektual muslim modern seperti al-Maududi dan al-Afgani. Keempat, trend pemikiran politik Barat yang sedang merebak di dunia Islam sebagai akibat kontak dengan peradaban Barat dalam bentuk imperialisme Barat di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, tak terkecuali Indonesia yang pernah dijajah oleh kolonial Belanda selama kurang lebih 350 tahun seperti terma-terma demokrasi, dewan perwakilan rakyat, republik, nasionalisme, dan lain-lainnya. Konsekuensi dari pengenalan terhadap terma-terma politik Barat tersebut, para intelektual Indonesia baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis hampir tidak dapat ditemukan pemikiran politiknya tentang pendirian sistem monarki dengan didasarkan ikatan agama, melainkan mereka menghendaki suatu negara republik yang didasarkan pada rasionalisme.

Kelima, visi dan tujuan organisasi keagamaan dan politik yang digeluti oleh para intelektual Islam telah mempengaruhi arah pemikiran dan sikap atau perilaku politik mereka dalam mengaktualisasikan dan mengartikulasikan politiknya. Natsir sebagai salah satu intelektual Islam modernis terpengaruh oleh visi dan tujuan Masyumi.

PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian tentang pemikiran kenegaraan Mohammad Natsir, tampak bahwa pemikiran Mohammad Natsir dengan ciri khas relegiusitasnya akan tetapi tidak kalah dengan dengan pemikiran intelektual sekular. Hal itu disebabkan karena Natsir secara informal melakukan dialog edukatif yang intensif tentang masalah-masalah agama, dan selain itu, ia juga belajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda, yang tentunya syarat dengan gagasan modern tentang negara, seperti demokrasi, nasionalisme, republik. Keberhasilan Natsir dari satu sisi adalah berhasil merekonsiliasikan pemikiran modern dengan pesan-pesan nash al-Quran maupun hadits. Selain itu, dari waktu ke waktu, ia memiliki karakteristik, kecenderungan dan visi tersendiri, disesuaikan dengan setting sosiopolitik yang ada sehingga munculnya pemikiran Natsir merupakan respon atau jawaban terhadap peroblema yang muncul.

Hubungan Islam dan negara dalam pandangan Natsir adalah hubungan yang integral dan simbiotik, tidak ada dikotomik yang bermuara kepada sekularisasi. Baginya, agama Islam adalah agama universal yang menata seluruh mekanisme kehidupan, termasuk masalah negara.

Sementara mengenai sistem pemerintahan menurut Natsir, bahwa di dalam Islam tidak ada uraian yang spesifik mengenai mekanismenya, yang ada hanya prinsip-prinsip saja. Oleh karenanya, sebagai produk ijtihad politiknya, ia mengusulkan sistem pemerintahan parlementer.

Tentang kepala negara, menurut Natsir tidak ada penyebutan yang spesifik, dan tidak harus terpaku pada istilah Islam klasik, yaitu khalifah. Baginya kepala Negara bisa khalifah, Amirulmu’minin, atau presiden. Yang paling penting, seorang khalifah, karena negara Indonesia mayoritas Islam, maka negaranya harus Islam. Dan mengenai aparaturnya, tidak mesti Islam, tetapi memberi peluang kepada agama lain untuk menduduki jabatan strategis lainnya.

Mengenai kedaulatan negara, Natsir mengungkapkan istilah teodemokrasi, yaitu demokrasi yang tidak hampa dari nilai-nilai ketuhanan, atau demokrasi yang tidak tercerai dari nilai-nilai ketuhanan.

Mengenai dasar negara, sebelum sidang konstituante Mohammad Natsir sangat gigih membela Pancasila. Ia menyatakan bahwa Pancasila merupakan hasil kristalisasi yang disebutnya lima ciri kebijakan hasil musyawarah antara pemimpin-pemimpin bangsa, dan tidak bertentangan dengan al-Quran. Namun ketika sidang konstituante dan pasca itu, Natsir sangat gigih menggelorakan semangat dan mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Hal ini cukup beralasan, karena selain ia memiliki latar belakang pendidikan informal keagamaan kepada A. Hasan yang terkenal memiliki pemikiran Islam radikal, juga Natsir menyuarakan partai Islam, yaitu mewakili Masyumi. Ia menyatakan bahwa Pancasila sekular dan netral.

Implikasi pemikiran Natsir yang memiliki kecenderungan politik identik dan kritis terhadap roda pemerintahan yang kurang mengindahkan demokrasi, adalah tersingkirnya ia dari pentas politik, karir politiknya berakhir di penjara menjadi tahanan politik serta dibubarkannya partai Masyumi.

Rekomendasi

Pemikiran Natsir perlu dikembangkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya mengenai pemikirannya tentang teodemokrasi, yaitu demokrasi yang tidak hampa dari nilai-nilai ketuhanan, atau demokrasi yang tidak tercerai dari nilai-nilai ketuhanan.Dalam konteks kekinian, menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam adalah suatu hal yang tidak mungkin sebagaimana yang dicita-citakan oleh Natsir, akan tetapi menyemangati semua konsep dan prilaku para penyelenggara negara dengan konsep yang ada dalam al-Qur’an dan Hadits adalah sesuatu hal pula yang mungkin dapat diprakktekkan saat ini.

Sumber :
Islam dan tata negara:Pemikiran sosial politik mohammad natsir, khumaidi, IAIN STS Jambi, http://kontekstualita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=82:islam-dan-tata-negara-pemikiran-sosial-politik-muhammad-natsir&catid=37:kontekstualita-volume-23-nomor-1-juni-2008&Itemid=55

DAFTAR PUSTAKA

  • Anonim, Risalah Perundingan, Konstituante Republik, Indonesia, jilid V. Tanpa kota: tanpa penerbit, 1957
  • Ahmad, Zainal Abidin, Islam dan Parlementarism, Jakarta: Pustaka Antara, 1952
  • -----, Republik Islam Demokratis, Tebing Tinggi Delli: Pustaka Maju, 1957
  • Brockelmann, Carl, History of the Islamic Peoples, London: Routledge and Kegan Paul, 1979
  • Cropscy, Leo Straussadan Joseph, (ed), History of Political Philosophy, Chicago & London, 1987
  • Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, Kasus Sumatera Thawalib Yogyakarta: Tiara Wacana, 1980
  • Edmund Bosworth, Clifford, The Islamic Dynasties, Edinburgh: at the University Press, 1967
  • Feith, Herbert and Lance Castles, Indonesia Political Thingking, 19451965 (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1967
  • -----, (ed.), Indonesia Political Thingking 19451965. Ithaca dan London: Cornell University Press, 1970
  • Feith, Herbert, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1964
  • Federspiel, Herbert M, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1970
  • Graaf, H.J. Dc, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1986
  • -----, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I. Jakarta: UI Press, tt
  • Haidar, M. Ali, Nahdhatull Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fiqh dalam Politik, Jakarta: Gramedia, 1994.
  • Hitti, Philip K, The Arab, A Short History, London; Macmillan Pres Ltd, 1974
  • Hassan Bandung, Syafiq A. Mughni, Pemikiran Islam Radikal, Surabaya: Bina Ilmu, 1990.
  • Hasan, Ahmad, Pemerintahan Tjara Islam, Malang dan Bangil: Toko Timoer, 1946
  • Ibn Taimiyyah, al-Siyasah al-Syariyyah fi Islah alRayi wa al-Raiyyah. Bairut: Dar al-Aflaq al-Jadidah, 1988
  • Isjwara, F, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Angkasa, 1966
  • Isa, Anshary, .Filsafat Perjuangan Islam,. Bandung, 1994
  • -----, .Filsafat Perjuangan Isla,. Medan: Saiful, 1951
  • -----, Revolusi Islam, Surabaya: Hasan Aidit, 1953
  • -----, Islam dan Nasionalisme, Bandung: Pustaka, 1954
  • -----, Mujahid Dawah, Bandung, Diponegoro, 1991
  • Islamika, Jakarta dan Bandung: INIS dan Mizan, No. 1 Juli-September 1993
  • -----, Ensiklopedi Islam, Volume 2. Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 1994
  • Kantaprawira, Rusadi, Sistem Politik Indonesia. Suatu Model Pengantar. Bandung. Sinar Baru, 1983
  • Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 15001900 dari Emporium sampai Imperium, Jilid 1 Jakarta: Gramedia, 1993
  • Lubis, M. Ridwan, Pemikiran Soekarno tentang Islam,. Jakarta: Haji Masangung, 1992
  • Mahendra, Yusril Ihza, Modernisasi Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Mohammad Natsir, Islamika No. 3, Januari-Maret, 1994
  • -----, Combining Activism and Intelektualism, the Biography of Muhammad Natsir (19081993), dalam studi Islamika. Harun Nasution, et. Al. (Ed.), Volume 2, Nomor 1 Jakarta: INIS, 1995
  • Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996
  • Musa, Yusuf, Nizam al-Hukm fi al-Islam, Alih Bahasa M. Thalib. Surabaya: al Ikhlash, 1990
  • Marbun, BN, Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996
  • Moertono, Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Studi tentang Mataram II, Arab XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995
  • Moeliono, Anton, Et all (Ed.), Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 17 (Jakarta: Cipta Andi Pustaka, 1995
  • Moeliono, Anton, M, Kamus Besar Bahasa Indonesi, Jakarta: Balai Pustaka,1988
  • Naim, Mochtar, Mohammad Natsir dan Konsep Pendidikan yang Integral, Youth Islamic Study Club alAzhar, 16-17 Juli 1994, 1994
  • Natsir, Islam sebagai Ideologi. Djakarta: Pusat Aida, 1958
  • Natsir, dalam Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam konstituante, jilid 1. Bandung: Konstituante RI, 1959
  • -----, Capita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
  • -----, Capita Selecta, Jilid 1 dan 2 Jakarta: Pustaka Pendis, 1975
  • -----, Islam Sebagai Dasar, Bandung Fraksi Masyumi dalam Konstituante, 1975
  • -----, Islam Sebagai Ideologi, Djakarta: Pustaka Aida, 1959
  • -----, Agama dan Politik, Capita Selecta, II. Djakarta: Pustaka Pendis, 1958
  • -----, Kebebasan Berbicara Lenyap, Zaman Penjajahan Kembali, Abadi 1 Maret, 1957
  • -----, Membela Nikmat Yang Diberikan Demokrasi Harus Ditebus Dengan Perjuangan Yang Berat, Abadi 8 Maret, 1957
  • -----, The Danger of Secularism, dalam Herbert Feith dan Lance Castles, (ed)., Indonesia Political Thinking, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1970
  • -----, Islam sebagai Dasar Negara. Bandung: Fraksi Masyumi dalam konstituante,1957
  • -----, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
  • -----, Risalah Perundangan, Konstituante Republik Indonesia, jilid V, tt
  • Noer, Deliar, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali, 1973
  • -----, Islam dan Politik: Mayoritas atau Minoritas, Prisma No. 5 tahun XVII, 1988.
  • -----,.Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafitipers, 1988
  • -----, Partai Politik Islam di Pentas Nasional 19451965. Jakarta: Grafiti, 1988
  • -----, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta: rajawali, 1973
  • -----,The Modernist Muslem Movement in Indonesia 1900-194, London: Oxforrd University Press, 1973
  • Nasution, Harun, The Islamic State in Indonesia: The Islamic in Indonesia: The Rise of the Ideology, the Movement for Its Creation and the Theory of the Masyumi, M.A. Thesis, Institute of Islamic Studies, Montreal: McGill University, tt
  • Ricklefs, M.C, A History of Modern Indonesia. London and Basingstoke, The MaxMillan Press Ltd., 1981.
  • Ridwan, Kafrawi, et.al. (ed), Ensiklopedi Islam, Volume 4. Jakarta: Ichtiar batu Van Hoeve, 1994
  • Surakhmad, Winarno, Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode, Teknik, Bandung: Tarsito, 1982
  • Syafii Maarif, Ahmad, Islam Indonesia dalam Perspektif Sejarah Kontemporer, dalam penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam sorotan, Muin Umar, ed. Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985
  • Sjadzali, Munawir, Islam dan tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990
  • Syamsuddin, M. Din, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Ulumul Quran Volume IV, Nomor 2 th, 1993
  • Shalabi, Ahmad, Mausuat al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, Jilid V. Mesir: Maktabah alNahdhat, 1979
  • Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985
  • Zainuddin, H.M, Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan: Pustaka Iskandar Muda, tt
  • Zuhri, Saifuddin, Kalaedoskop Politik di Indonesia, Jilid 1. Jakarta: Gunung Agung, 1981
  • -----, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung: Maarif, 1981

PLATO & ARISTOTELES "FILSUF DEMOKRASI"


Menurut Oxford Dictionary (1994). Demokrasi adalah, a government by the whole population, usual, through elected representatives. State so governed. classless and tolerant society, Greek Democratia : rule of the people. (sebuah pemerintahan -yang dilaksanakan- oleh seluruh populasi, yang biasanya, berlangsung pemilihan representatif/ perwakilan. Negara begitu/ sangat mengatur, tanpa perbedaan golongan, masyarakatnya toleran. Bahasa Yunaninya demokratia arinya aturan -yang dibuat oleh- orang-orang).
Demokrasi berasal dari dua kata (Greek/ Yunani), demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), artinya kekuasaan (Modern: kedaulatan) sepenuhnya di tangan rakyat. Aristoteles mengatakan Demokrasi adalah pemerintahan yang menyimpang, karena terjadi pemanfaatan kepentingan hanya untuk (beberapa kalangan) orang-orang saja. Singkatnya demokrasi adalah aturan / sistem pemerintahan yang aturannya berdasarkan kehendak rakyat banyak, yang para pejabatnya baik dewan perwakilan rakyat, maupun peradilan menghendaki untuk dibayar atau diupah.
Dahulu kala, pada 594 SM (Sebelum Masehi), Solon, negarawan Athena meletakkan dasar-dasar Demokrasi. Para petani dibebaskan dari segala hutang mereka, sedangkan orang-orang Yunani yang dijadikan budak harus memperoleh kembali kemerdekaannya. Walaupun begitu pemerintahan Athena waktu itu belum murni Demokrasi, masih tetap Oligarki (pemerintahan oleh beberapa orang bersama-sama).
Singkat cerita, lahirlah seorang Plato (Sang Guru Aristoteles), para ahli sejarah bingung dalam menentukan dimana dia lahir dan tahun berapa, maklum masa itu adalah The Ancient History (sejarah Kuno), yang sangat sulit mencari sanad riwayat. Tapi yang jelas, ia lahir dimasa puncak kemunduran Demokrasi yang dipimpin oleh Pericles. Pada masa Demokrasi itu banyak diktator yang membunuh para filsuf, seperti dibunuhnya Socrates sang guru filsafat Plato, oleh pemerintah Demokratis kala itu.
Akibat menjalankan pemerintahan Demokrasi kala itu, Athena dikalahkan oleh Sparta (404 SM), sehingga Plato memandang hal tersebut, disebabkan Demokrasi tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyat di bidang politik, moral dan spiritual.
Dalam pemerintahan demokratis, kepentingan rakyat diperhatikan sedemikian rupa dan kebebasan pun dijamin oleh pemerintah. Semua warga negara adalah orang-orang yang bebas. Kemerdekaan dan kebebasan merupakan prinsip yang paling utama. Lebih lanjut Plato berstatemen:

.......they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like. (Republic, page: 11)
......mereka adalah orang-orang yang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh melakukan apa yang disukainya.

Dan orang-orang semakin mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas. Akibatnya ialah bencana bagi negara dan juga bagi para warganya sendiri. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah berbagai kerusuhan yang disebabkan oleh berbagai tindakan kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), kejangakkan/ tidak bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).
Menurut Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rusak. Ia pun menyaksikan betapa negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena Demokrasi terlalu mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana bagi negara, yakni anarki (kebrutalan), dari sini muncul tirani (kezaliman). Banyak orang yang (kala itu) melakuan hal yang tidak senonoh, anak-anak kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas.

Pendangan Terhadap Marxis

 
Saya sangat mengagumi pemikiran marxis terutama penganutnya Tan malaka dan Leon troutsky. negara ini harus bisa menyejahterakan rakyatnya. para buruh harus aktif dalam pergerakan nasional, karena masyarakat akar rumput ini adalah salah satu komunitas terbesar di insonesia. walaupun saya mengagumi marxis dan tan malaka yang progresiv revolusioner dengan menganut paham komunisme dari lenin, akan tetapi saya sangat anti dengan yang namanya partai komunis, karena partai komunis identik dengan tradisi memberontak tidak hanya bolsevik tetapi di indonesia juga telah terjadi 3 kali pemberontakan/pengambilan alihan kekuasaan. pertama, pemberontakan di silungkang sumbar dan banten (1926-1927). musso dan amir syafridun di madiun 1948 dan terakhir kudeta yg paling tragis dan blum tahu siapa dalang sebenarnya. G 30 S/PKI, bahkan sastrawan pramoedya ananta toer mengkisahkannya dalam karyanya yang fenomenal "malam jahanam". intinya saya mengagumi marxis yang lebih identik kepada sosialisme tetapi saya sangat anti yang namanya partai komunis. 
Fahrezi S.IP (yogyakrta,15-12-11)

Friday, December 16, 2011

Pemikiran Politik Putra Sang Fajar


Kalau kata-kata tidak bisa lagi menyehatkan  pikiran yang keblinger, mungkin senjata bisa melakukannya
(soekarno)

Mungkin itu adalah ungkapan kemarahan Bung Karno terhadap kelompok reaksioner yang selalu menghambat proses penuntasan revolusi Indonesia, yang menurutnya Revolusi kita belum selesai. Siapa yang tidak mengenal keberanian dan radikalisme salah satu pemimpin dunia yang paling disegani pada saat itu, berkali-kali pidatonya baik di panggung politik nasional maupun internasional (seperti Sidang Umum PBB) selalu dengan garang mengecam Imperialisme dan Neokolonialisme. Karena keteguhan dan keberaniannya itulah, pemimpin-pemimpin dari Asia-Afrika sangat kagum dengan Soekarno bahkan beberapa tahun setelah kejatuhannya mahasiswa-mahasiswa dari Afrika masih membawa buku-buku dan Biografi Soekarno dalam Pertemuan mahasiswa anti imperialis Internasional (Catatan Perjalanan sebulan GiE di AS). Namun, dibalik kharismanya yang gilang gemilang tersebut, beberapa tokoh intelektual kanan Belanda justru berpendapat negatif terhadap Soekarno sebagai seorang “Quisling” yang menjual bangsanya kepada Jepang. Tetapi tuduhan ini kehilangan pengaruh, ketika sampai sekarang orang semakin mengeluh-eluhkan sosok Soekarno, Pemimpin yang teguh melawan penjajahan asing.
7.jpeg7.jpeg7.jpeg


Pemikiran Soekarno dan Revolusi Nasional

Pemikiran Radikal-progressif Soekarno sudah terbentuk sejak usianya masih sangat muda, salah satu tulisannya yang bisa menjadi acuan adalah “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Dalam Tulisan yang dimuat secara berseri di Jurnal Indonesia Muda tahun 1926 itu, Soekarno dengan terang-terangan mengatakan bahwa maksud kedatangan kolonialis datang ke Indonesia adalah untuk memenuhi hasratnya mengakumulasi modal dan keuntungan (ekonomis). Dengan kepentingan Akumulasi Modal itulah, Soekarno membedah hubungan Imperialisme dan Kapitalisme Itu sendiri, kapitalisme mendorong terjadinya apa yang ia sebut sebagai exploitation de l’homme par l’homme atau eksploitasi manusia oleh manusia lain. Keberpihakan pada teori perjuangan klas sangat kental dalam pemikiran Soekarno, Dalam sejumlah pidatonya ia menjelaskan tentang keberadaan tiga unsur sosial mendasar yang ada di kalangan massa yang dimiskinkan tersebut. Yakni proletariat, petani dan orang-orang yang dimiskinkan lainnya (pedagang asongan, dan mereka yang sedang mencari penghidupan). Pada tahun 1920-an, ia juga merumuskan konsep Marhaen (secara harfiah adalah nama seorang petani miskin yang pernah ia ajak bicara). Awal mulanya, Marhaen mengacu pada lapisan penduduk yang memiliki beberapa perkakas produksi sendiri (misalnya, seekor kerbau) dan bekerja untuk diri mereka sendiri tetapi masih tetap miskin, sebagaimana juga yang dialami buruh pabrik atau buruh perkebunan. Soekarno mengidentifisir realitas keberadaan negeri yang dipenuhi lautan semi-proletariat dan borjuis kecil yang miskin (Max Lane, Bangsa Yang belum Selesai; Aksi, Kejatuhan Soeharto dan Sejarah Indonesia, 2007).

Pemikiran politik Soekarno kemudian di Praksiskan dengan mendirikan Partai progressif Partai Nasionalis Indonesia (PNI) tanggal 4 Juli 1927, Tujuannya jelas untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1928 ia menulis artikel berjudul Jerit Kegemparan di mana ia menunjukkan bahwa sekarang ini pemerintah kolonial mulai waswas dengan semakin kuatnya pergerakan nasional yang mengancam kekuasaannya. Ketika pada tanggal 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dan pada tanggal 29 Agustus 1930 disidangkan oleh pemerintah kolonial, Soekarno justru memanfaatkan kesempatan di persidangan itu. Dalam pledoinya yang terkenal berjudul Indonesia Menggugat dengan tegas ia menyatakan perlawanannya terhadap kolonialisme. Dan tak lama setelah dibebaskan dari penjara pada tanggal 31 Desember 1931 ia bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yakni partai berhaluan Radikal non-koperatif dengan kolonialis belanda  yang dibentuk pada tahun 1931 untuk menggantikan PNI yang telah dibubarkan oleh pemerintah kolonial.
Meskipun mengakui dekat dan mengagumi Marxisme, Namun Soekarno mencoba membuat pemilahan dengan teori-teori umum Marxisme. Selain istilah Marhaen yang memiliki perbedaan dengan proletariat menurut Marx, ia lebih condong memodifikasi Marxisme untuk kebutuhan perjuangan pembebasan nasional melawan kolonialisme dengan menyerukan persatuan nasional dari unsur-unsur tertindas dari massa rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh Ruth McVey, bagi Soekarno rakyat merupakan “padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx,” dalam arti bahwa mereka ini merupakan “kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika digerakkan dalam gelora revolusi, akan mampu mengubah dunia.
Soekarno dan ”Revolusi Indonesia Belum Selesai”
Kaki kami telah berada di jalan menuju demokrasi,” lanjut Presiden Soekarno dalam pidatonya di depan Kongres AS itu. “Tetapi kami tidak ingin menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa kami telah menempuh seluruh jalan menuju demokrasi,” sambungnya. Ia sangat sadar bahwa meskipun indonesia selama bertahun-tahun sudah merdeka, tetapi kepentingan dan Neo-Kolonialisme dan imperialisme masih terus bercokol di Indonesia. Bagi Soekarno ancaman bagi revolus Indonesia sebenarnya tidak hanya datang dari luar tetapi muncul dari dalam negeri sendiri, dalam Pidatonya di HUT PKI, Ia mengatakan bahwa ”Salah satu tingkat dari Revolusi Indonesia adalah mengganyang musuh-musuh Revolusi”. Soekarno sangat menyadari kekuatan-kekuatan kontra yang mencoba menjatuhkan dan menghambat revolusinya. Upayanya memperkuat perjuangan anti-Imperialisme- anti-Kolonialisme dengan ide ”Nasionalisme-Agama-dan Komunisme” justru menjadi alat bersembunyi bagi kekuatan kanan dengan berpura-pura mendukung Nasakom dan masuk dalam front Nasional.
Kudeta Militer, 1965 adalah kontra-revolusi untuk memutus dan menghentikan proses revolusi yang di gagas Soekarno. Segera setelah Orde Baru berkuasa upaya membunuh karakter dan pribadi Soekarno berlangsung secara sistematis. Mulai tuduhan ber istri banyak dan punya daya tarik seksual mirip dengan raja-raja Jawa, hingga tuduhan bangsa Soekano adalah dalang G.30.S/PKI (Antonie Dake, dalam bukunya dengan judul; Sukarno File). Namun upaya sistematis ini tidak mampu membunuh kharismatiknya, karena (1) tiap tanggal 17 Agustus Rakyat Indonesia memperingati proklamasi kemerdekaan dimana Soekarno adalah tokoh kuncinya. (2). Propoganda Hitam terhadap bung Karno lebih banyak pada kehidupan pribadi, tetapi jarang pada tantangan gagasan-gagasannya. Bahkan rakyat masih menganggap belum ada presiden Indonesia sesudahnya yang menyamai kemampuan dan gagasan Soekarno. Soekarno adalah orang yang bersih soal kredibilitas politik, tidak ada satupun kasus korupsi yang dilakukannya bahkan ia meninggal dalam kondisi sangat miskin. (3). Sepak terjangnya, Pandangan Politiknya, hingga Pidato-pidatonya masih terus menggema di bangsa Asia –Afrika termasuk di Indonesia sendiri. Sehingga semakin banyak rindu dengan figurnya, terbukti dengan kemenangan Megawati di pemilu 1999 (salah satu faktornya—orang rindu Figur Soekarno).
Go To Hell With Your Aid” mungkin harus menjadi pidato Soekarno yang diulang-ulang di telinga pemimpin dan elit politik saat ini, setidaknya untuk mengasah nyalinya agar sedikit lebih berani. Kehancuran Industri Nasional, dan dominasi kuat modal asing di semua sector kehidupan ekonomi betul-betul telah menempatkan bangsa Indonesia tidak ubahnya “Bangsa kuli”. Mentalitas korup dan keinginan memperkaya diri sendiri ditengah kemelaratan dan kemiskinan missal yang melanda lebih dari separuh penduduk negeri ini, sudah menjadi budaya pejabat di negeri ini. Sangat kontras dengan kehidupan pribadi Soekarno, yang sangat merakyat sehingga di juluki “Penyambung Lidah Rakyat”. Saatnya Soekarno baru hidup kembali!



Pengaruh Islam pada Pemikiran Politik Soekarno

Ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam Falsafah Ilmu Tauhid dari Universitas Muhammadiyah, Jakarta, 3 Agustus 1965 di Istana Negara, Presiden Soekarno dalam pidatonya, ”Tauhid adalah Jiwaku” mengatakan bahwa ia kurang memadai mendapatkan pejalaran agama Islam. Hal ini disebabkan latar belakang orang tua. Sambil mengacu pada ayat 86 dari Asyo Sya’ara, ia menjelaskan bahwa sesungguhnya ayahnya termasuk orang-orang yang sesat, ia menganut apa yang dikenal orang sebagai agama Jawa.

Soekarno mulai tetarik pada agama Islam, ketika berusia 15 tahun. Pada waktu itu Kiai Hadji Achmad Dahlan, seorang tokoh Muhammadiyah berdakwah di dekat kediaman HOS Tjokroaminoto, di mana Soekarno mondok. Ia mengaku mengerti dakwah Kiai Achmad Dachlan, sehingga ia mengikuti dakwah-dakwah selanjutnya dari Kiai Achmad Dachlan di Surabaya.

Dekat Allah

Di dalam sel yang kecil di Sukamiskin, ia mulai merenungkan tentang Sang Pencipta yang menciptakan jagat raya ini. Berkaitan dengan agama Islam, di tempat itu ia mulai berhasrat sekali mempelajari agama Islam, dengan membaca berbagai kitab-kitab agama Islam.

Keberangkatan Soekarno pada tanggal 17 Februari 1934 menuju Endeh tempat pembuangannya merupakan suatu perjalanan menuju kesepian. Baginya yang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian umum, keberangkatannya dari pula Jawa itu merupakan pendahuluan dari apa yang akan dirasakannya dalam kehidupan sunyi-sepi yang menantikannya. Pernah ia mengatakan bahwa dirinya yang berada di dalam kesepian dan kesendirian itu bagaikan burung Elang yang dipotong sayapnya.

Kedatangannya di Flores tidak mendapatkan sambutan apa-apa, bahkan pada mulanya banyak orang takut kepadanya. Ia mengatakan bahwa hanya ada dua atau tiga orang yang berani berkunjung kepadanya. Di tempat pengasingan itu, untuk pertama kalinya ia merasakan ketidakberdayaan melawan tekanan penguasa kolonial. Ia teringat kembali akan keambrukan semua teorinya yang terdahulu di dalam sel penjara di tanah Pasundan. Di dalam kesepiannya itu Soekarno menyadarkan diri pada perlindungan Allah.

Selama berada di Endeh, selain membaca buku-buku Islam, seperti The Spirit of Islam, karangan Sayed Ameer Ali dan The Rising Tide of Color, The New World of Islam Lothrop Stoddard, ia juga seringkali berkorespondensi dengan Achmad Hassan, seorang ulama Islam yang terkenal di Bandung. Selama mempelajari Islam secara intensif ia mengalami semacam pertobatan.

Di dalam surat-surat Soekarno, yang dikenal dengan surat-surat Islam dari Endeh, Soekarno banyak berbicara tentang keadaan umat Islam di Indonesia yang diliputi oleh kebekuan dan kekolotan itu, Soekarno mengeritik kiai dan ulama yang dianggap kurang mempunyai kesadaran sejarah. Walaupun mereka bisa mengutip ayat-ayat Al-Qur”an dengan benar, pengetahuan mereka mengenai sejarah umumnya kurang memadai.

Kegandrungan Soekarno akan pembaruan, yang kelihatannya memang bisa dimaklumi mengingat kelumpuhan yang sedang menimpa dunia Islam, mendorongnya untuk melangkah jauh melampui batas-batas yang dhormati oleh setiap Muslim, bahkan oleh mereka yang menginginkan pembaruan sekalipun. Soekarno mempertanyakan kumpulan hadits Al Buchari yang sudah dinyatakan sahih itu dan percaya bahwa Buchari telah memasukan ke dalam kumpulan +hadits-hadits yang lemah,” yang untuk sebagian besar telah menyebabkan kemunduran Islam.

Di Bengkulu tempat pembuangan berikutnya, Soekarno menemukan satu lapangan baru di dalam “perjuangannya yang tak kenal damai”. Karena ia dilarang melawan kekuasaan asing, maka “murid Historische van Marx “ itu – sebagaimana ia dengan bangga menamakan dirinya – mengalihkan konsepnya mengenai dialektika yang terus berlangsung dari gelanggang politik ke gelanggang agama. Tetapi ia tidak melepaskan tujuan yang lebih besar yakni mencapai kemerdekaan dari dominasi Barat.

Di Bengkulu, Soekarno terjun ke dalam gerakan Muhammadiyah pada tahun 1938. Ia bekerja dan berjuang di bawah panji-panji modernisme Islam Majalah Muhammadiyah Pandji Islam yang terbit di Medan memberi tempat bagi tulisan-tulisannya. Di sinilah polemiknya dengan M Natsir terjadi, yang berkenaan dengan bentuk negara Indonsia setelah merdeka. Apakah agama (Islam) dan negara bersatu atau berpisah? Soekarno dalam polemik ini merujuk buah pikiran tokoh-tokoh nasionalis Islam di Turki, India dan Timur Tengah.

Kalau melihat penghayatan terhadap agama Islam selama itu, tidak mengherankan kalau tulisan-tulisan maupun pidato Soekarno bernafaskan Islam. Solichin Salam merangkum pikiran-pikirannya bernafas Islam dalam buku kecil, Bung Karno dan Kehidupan Berpikir dalam Islam. Bahkan ia mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Al Azhar dan Muhammadiyah berkaitan dengan perhatiannya terhadap agama Islam.


Api Islam


Tulisannya pada majalah Indonesia Moeda dalam tiga kali penerbitan berturut-turut dengan judul “ Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,” yang diterbitkan pada tahun 1926 – 1927. Melalui tulisan itu Soekarno ingin menyatakan bahwa dengan nasionalisme, aliran-aliran yang berbeda itu dapat bersatu dalam satu arus. Di mana kaum marxis dalam Islam dapat hidup dalam tubuh nasionalisme seperti di rumah sendiri. Nasionalisme yang berkembang di Indonesia adalah nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai wahyu, dan menjalankan rasa hidupnya itu sebagai bakti.

Dalam penulisan ini, terutama mengenai nasionalisme, terlihat Soekarno terpengaruh semangat Islam. Hal ini dapat dikaitkan dengan Surat Al-Hujarat ayat 13, yang mengatakan bahwa Sang Pencipta menciptakan laki-laki dan perempuan dan dijadikan berbagai bangsa dan berbagai puak. Di mana mereka yang berada di muka Allah adalah mereka yang paling takwa di antara Hamba Allah. Surat ini menunjukan mengenai penting terbentuknya bangsa-bangsa. Bangsa sifatnya terbatas, tidak mungkin hanya satu bangsa tinggal di bumi ini.

Berkaitan dengan Marhaenisme ini tampak Soekarno terpengaruh oleh ajaran-ajaran Islam karena isi dari pemikiran itu adalah satu pembelaan dan upaya untuk melepaskan rakyat dari satu sistem, yaitu penjajahan. Surat An-Nisa ayat 75,menganjurkan bahwa hendaknya setiap hamba Allah berperang di jalan Allah, dan membela orang-orang yang tertindas.

Tosan Suhastoyo dalam skripsinya, Pengaruh Islam dapa Pemikiran Politik Soekarno dan Hatta (1920-1930) mengatakan bahwa terlihat adanya pengaruh Islam dalam isi pidato Soekarno mengenai Pancasila ini, terutama jika kita melihat masing-masing sila yang terkandung di dalamnya. Di samping Soekarno menawarkan Kebangsaan sebagai sila pertama sebagai persatuan antara manusia dan tempat berpijaknya yang telah ditunjuk oleh Allah SWT. Sila kedua, Internasionalisme yang harus berpijak pada nasionalisme agar hidup subur, menyiratkan persatuan antara sesama mahluk Tuhan di atas bumi. Adanya Mufakat sebagai sila ketiga sebagai tempat terbaik untuk memelihara agama alias keselamatan agama. Sila keempat, kesejahteraan sosial yang mencoba meniadakan kemiskinan di dalam alam Indonesia Merdeka dengan menghidupkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Kemudian Soekarno mengatakan bahwa hendaknya bukan saja bangsa Indonesia yang bettuhan, tetapi hendaknya masing-masing orang Indonesia bertuhan, Tuhannya sendiri sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Soekarno memilih sila kelima adalah Ketuhanan.

Lain halnya dengan M.A. Gani dalam bukunya Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam mengatakan bahwa Pancasila yang dirumuskan Soekarno secara tidak langsung merupakan penjelmaan dari hasil pemikiran dan renungan HOS Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam yang telah lama dituangkan dalam Tafsir Program Azas dan Program Tandhim Syarikat Islam yang disusun sejak tahun 1917 dan kemudian beberapa kali disempurnakan sampai dengan tahun 1930. Jadi prinsip Soekarno dengan HOS Tjokroaminoto mengenai kemerdekaan Indonesia adalah sama. Hanya susunan kalimat dan susunan-susunan katanya saja yang berbeda, tetapi prinsipnya sama, bahwa Indonesia harus merdeka lebih dahulu.

Badri Yatim dalam bukunya Soekarno, Islam dan Nasionalisme mengatakan bahwa pengaruh ajaran Islam dalam pemikirannya, terlihat pada konsep Ketuhanan yang terkandung di dalam Pancasila. Kalau melihat rumusan diperas menjadi tiga : Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Trisila ini kemudian dikenal dengan nama Marhaenisme sebagai asas Front Marhaenis. Terlihat ada perkembangan, kalau dulu tidak terkandung nilai agama, sekarang justru ada. Dengan adanya Sila Ketuhanan dapat dikatakan merupakan penghayatan terhadap agama Islam yang diperoleh di balik penjara maupun tempat pembuangan, seperti di Bandung, Endeh dan Bengkulu.

Menurut Muhammad Ridwan Lubis, keterkaitan Soekarno kepada Islam yang tampak sewaktu Soekarno menyampaikan pidato bersejarah di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia tanggal 1 Juni 1945 .yang berisi dasar dari negara yang akan dibentuk kelak yaitu Pancasila, Menurut Soekarno, kelima sila yang diusulkannya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu disebabkan karena Pancasila itu digali dari budaya Indonesia yang pada dasarnya lahir dari berbagai agama dan secara kuat peranan itu dimiliki Islam. Nilai-nilai Islam telah terintegrasi pada sila-sila itu, dan sebagai puncak dari Pancasila itu adalah ujung dari kegiatan manusia (causa finalis) yaitu persatuan secara metafisis dengan Tuhan. Jadi konsep Soekarno tentang Pancasila itu sekalipun berisi pandangan politik, namun sepenuhnya dilandasi semangat keislamannya dan pandangan inilah agaknya yang dapat menyakinkan tokoh umat Islam yang diajaknya membicarakan rancangan dasar negara yang akan disampaikannya pada tanggal 1 Juni 1945.


Soekarno dalam pidatonya sewaktu gelar Doctor Honoris Casusa dalam Filsafat di Al Azhar, Kairo University pada tanggal 24 April 1960 antara lain mengatakan,”Pancasila adalah suatu manifestasi dari nasionalisme Indonesia yang kuat, yang juga merupakan manifestasi bagi keimanan kita terhadap Islam. Baik nasionalisme dan Islam, keduanya saling mempengaruhi, juga telah melahirkan lima dasar pokok yang tercakup dalam Pancasila.”


Pernyataan itu wajar, kalau kita melihat kenyataan di dalam perjuangan melawan penguasa kolonial, di mana kedua kelompok tersebut, kelompok nasionalis dan kelompok Isalm saling bahu membahu memberi tenaga baru dan menambah kekuasaan hidup rohani dalam menghancurkan Imperialisme beserta kapitalisme, yang dimanifestasikan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Di samping itu dalam konsep Pancasila, warga negara diharuskan menjadi warga negara yang bertuhan, di samping setiap sila dari Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Ada baiknya kita membaca pidatonya. “Temukan Kembali Api Islam,” ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dari IAIN, Jakarta, 2 Desember 1964, Soekarno mengatakan .”Karena itu dengan keyakinan saya, saya berkata, negara yang tidak menyembah Tuhan, akhirnya celaka, lenyap dari muka bumi ini.”


Soekarno dalam bukunya, Pancasila, yang merupakan kumpulan tulisan dari kursus mengenai Pancasila di Istana Negara pada tahun 1959, Soekarno mengatakan bahwa salah satu karakteristik bangsa Indonesia adalah selalu hidup di alam pemujaan dari sesuatu hal yang kepada hal itu menaruh segenap harapannya, kepercayaannya. Di sini Soekarno melihat persoalan Ketuhanan bukan ke masalah teologis tetapi sosiologis. Kepercayaan kepada Tuhan merupakan realitas sosiologis dalam masyarakat Indonesia.


Tosan Sehastoyo menyimpulkan bahwa trilogi – Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme – Marhaenisme dan Pancasila merupakan hasil pemikiran beruntut menunjukkan adanya pengaruh Islam pada pemikiran politik Soekarno di atas. Dasar pemikiran politik Soekarno adalah Rakyat Indonresia yang dilanda penderitaan akibat adanya penjajahan dimuka bumi Nusantara Dan Soekarno berkeinginan untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan merupakan cerminan pengaruh dari semangat Islam.

Ada hal yang menarik, ketika Soekarno menjadikan dirinya sebagai simbol sintesis dari ketiga aliran yang berkembang pada masa pergerakan nasional itu. Aliran-aliran pokok identitas Indonesia kepada dalam dirinya, ”Apakah Soekarno itu? Nasionaliskah? Islamkah? Marxiskah? Pembaca-pembaca, Soekarno adalah campuran dari semua isme-isme itu.” Begitu kata Soekarno mencoba menjawab mengenai siapa dirinya di hadapan sidang pembaca lwat tulisannya yang di tulis di pengasingan Bengkulu pada tahun 1941.

Pernyataan di atas itu, menunjukkan bahwa sebenarnya ia terpengaruh semangat Islam, walaupun Soekarno mengaku bahwa keislamannya kurang sempurna. Meskipun Soekarno tidak menguasai bahasa Arab namun ternyata Soekarno cukup mempunyai pengertian dan memahami cita-cita ajaran Islam, khususnya masalah kemasyarakatan dan politik kenegaraan. Islam is not only a religion of the mosque, but also a religion of life and struggle. Begitu kata Soekarno