Monday, December 1, 2014

Beringin Mulai Memanas



Ketika langit tidak lagi membiru (Demokrat),
Dan padi tidak lagi menguning (Golkar)
Partai Golkar memanas, itulah topik yang akhir-akhir ini menghiasai halaman-halaman berita nasional. Partai Golkar yang merupakan partai kuat dalam ranah elektoral indonesia, sekarang mulai mengalami goncangan dari internalnya. Kisruh ditubuh partai berlambang beringin ini, ketika langit tidak lagi membiru (Demokrat), dan padi tidak lagi menguning (Golkar), karena pemenang legislatif pada pemilu kali ini adalah PDI-P, meski jarak selisih suaranya tidak begitu jauh dari Golkar. Makna dari kebalikan jargon di iklan partai Golkar ketika pemilu kemarin, ditambah dengan hasil Pilpres 9 Juli yang diumumkan oleh KPU, begitu kentara ditubuh Partai Golkar saat ini. mengglindingnya isu pelengseran Aburizal Bakrie (ARB) pada saat Munas Partai Golkar bulan oktober nanti terus menguat.
Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar dianggap gagal dalam dua arena elektoral oleh berbagai kalangan. Kegagalan pertama adalah Partai Golkar yang sebelum akhir tahun 2013 selalu leading diberbagai lembaga survei. Dalam kenyataannya Partai Golkar cuma mampu berada diposisi kedua dengan perolehan suara 14,75 % pada Pemilu 2014. Kalau kita melihat perolehan suara Partai Golkar pada pemilu 2014 sama dengan perolehan Partai Golkar pada pemilu 2009, dalam artian pemilih Partai Golkar pada pemilu 2014 kemarin adalah pemilih Partai Golkar pada 2009. Kegagalan kedua adalah Partai Golkar tidak memajukan kadernya dalam Pilpres 2014. Pada dasarnya meski Partai Golkar memperoleh 14,75 % suara, partai ini masih berpeluang menjadikan capresnya Aburizal Bakrie untuk ikut serta bertarung di Pilpres. Namun kenyataannya, lambat-laun Partai Golkar tidak mampu menggaet partai lain untuk berkoalisi, dan disaat yang sama elektabilitas ARB sebagai calon Golkar tidak naik, jika dibandingkan dengan Jokowi dan Prabowo. Akhirnya, keputusan DPP Partai Golkar bulat mendukung Pasangan Prabowo-Hatta karena tidak bisa mencalonkan Aburizal Bakrie sebagai capresnya.
Ternyata sikap dari Partai Golkar mendukung pasangan Prabowo-Hatta tidak diikuti oleh seluruh kadernya, terutama kader dari kalangan muda Partai Golkar, yang menetapkan pilihan kepada pasangan Jokowi-JK. Kisruh beda pendapat dalam mendukung antara pasangan Prabowo-Hatta dengan Jokowi-JK berujung pemecatan kader-kader muda tadi.
Kemenangan pasangan Jokowi-JK, yang juga didukung kader muda Partai Golkar, akan berdampak kepada situasi dan kondisi ditubuh Partai Golkar itu sendiri. Partai Golkar selalu menjadi partai yang hidup didalam kekuasaan (pemerintahan), baik semasa pemerintahan Orde Baru, dimana Golkar menjadi salah satu pilar penopang kekuasaan disamping ABRI dan Birokrasi. Namun, sifat alamiah Golkar terus berlanjut di era reformasi, Golkar baru versi Akbar Tanjung tetap menempatkan partai beringin didalam pemerintahan (sebutan Partai Golkar hanya ada di era Reformasi). Pasca kemenangan Jokowi-JK oleh keputusan MK, kemana sebenarnya arah Partai Golkar nanti?. Partai Golkar sebaiknya tetap didalam pemerintahan, sebagai sebuah partai yang sudah merasakan asam garamnya memerintah, Partai Golkar sangat diperlukan oleh pemerintahan yang berkuasa. Selain itu, Partai Golkar tetap partai penguasa, hal ini dikarenakan hampir 50 % kepala daerah di Indoneisa adalah berasal dari Partai Golkar (baik kader maupun yang diusung). Jika partai Golkar berpegang teguh dengan komitmennya untuk berada diluar pemerintahan sebagai oposisi bersama koalisi merah putih, tentu saja hal ini akan menjadi babak baru bagi partai Golkar dalam kancah perpolitikan indonesia. Peluang partai Golkar untuk menjadi oposisi terhitung sangat kecil, jika kita cermat melihat sejarah Partai Golkar. Meski didalam UUD 1945 sendiri tidak mengenal istilah koalisi dan oposisi. Namun, inilah dilema sistem presidensial yang dipadukan dengan multipartai, dimana tidak ada partai dominan, sehingga dibutuhkan kompromi politik diantara mereka.
Partai Golkar harus mengambil sikap atas begitu banyaknya faksionaliseme ditubuh partai. Partai Golkar sebagai partai lama, sebaiknya belajar dengan banyaknya partai-partai baru yang dahulunya berasal dari Partai Golkar sendiri, sebagai contoh; Partai Hanura, Partai Gerindra, dan yang terbaru adalah Partai Nasdem. Mereka semua dahulunya adalah satu payung dibawah Partai Golkar, ada yang menciptakan partai baru berdasarkan keinginan sendiri, dan ada pula yang menciptakan partai baru karena terlibat konflik dalam tubuh partai golkar, semisal kalah dalam kompetisi menjadi ketua umum. Jika Partai Golkar tidak mampu meredam api konflik di internalnya, tidak menutup kemungkinan akan ada lagi embrio partai baru dari tubuh golkar dikemudian hari.
Menanggapi kisruh yang terjadi di dalam tubuh partai berlambang beringin ini, pengurus partai harus segera melakukan konsolidasi. Semua pihak yang bertikai dundang untuk dapat duduk bersama, disinalah perlu dituntut kepemimpinan ARB yang probem solver (pemecah masalah), dengan melakukan manajemen konflik yang baik. Aburizal bersama dengan pengurus DPP Partai Golkar harus melakukan kembali komunikasi politik dengan pihak Tri Karya selaku ormas sayap dan pendiri Partai Golkar. Hal ini dikarenakan Tri Karya merupakan ormas penopang kemapanan Golkar selama ini, disamping pihak ini jugalah yang terus mengkritisi kepemimpinan Aburizal dan DPP Partai Golkar saat ini.
Bagaimana kelanjutan turbulensi (goncangan) ditubuh Partai Golkar, sama-sama kita lihat pada Munas Partai Gokar bulan oktober nanti, ketua umum?, berkoalisi atau beroposisi?, yang jelas akan mendewasakan Partai Golkar dikemudian hari.   

Fahrezi, S.IP, M.A (Alumni Pascasarjana FISIPOL UGM)


Thursday, September 4, 2014

Mengenal Sistem Pemilihan


A. Keluarga Pluralitas-Mayoritas

1.Sistem Distrik.
Sistem Distrik atau First Past The Post (FPTP) adalah salah satu anggota keluarga Sistem Pluralitas-Mayoritas. Calon yang menang dalam sistem ini ialah yang memperoleh lebih banyak suara dari calon lainnya. “Lebih banyak” bisa berarti mayoritas (lebih dari 50%) atau sekedar pluralitas (lebih banyak dari saingan-saingan lain walaupun jauh di bawah 50%). Pemilu sistem distrik lebih menekankan wakil daripada partai, menggunakan kertas suara yang kategoris (pemilih hanya memilih satu nama partai atau wakil), dan setiap distrik memilih satu wakil. Sistem pemilihan ini digunakan di 68 negara termasuk Inggris, India, dan Amerika Serikat.

2. Suara Blok.
Suara Blok (Block Vote) adalah salah satu anggota keluarga sistem pemilihan Pluralitas-Mayoritas. Sistem pemilihan ini menggunakan distrik multimember atau distrik yang memilih beberapa wakil. Pemilih memiliki suara sejumlah calon yang akan dipilih di distrik itu. Yang dipilih bisa jadi nama calon dan bisa pula nama partai. Calon yang meraih jumlah suara yang lebih banyak dari pesaing-pesaingnya memenangkan kursi. Suara Blok digunakan di tiga belas negara, termasuk Filipina, Palestina, Laos, Thailand, dan Kuwait.

3. Suara Alternatif.
Sistem pemilihan Suara Alternatif (Alternative Vote, AV) adalah anggota keluarga sistem pemilihan Distrik atau Pluralitas-Mayoritas. Tiap distrik memilih satu wakil. Pemilih menggunakan angka untuk menentukan siapa pilihan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya berdasarkan preferensinya. Karenanya, kertas suaranya disebut juga “ordinal.” Calon yang meraih lebih dari 50% suara pilihan pertama dinyatakan terpilih. Kalau tidak ada calon yang meraih suara mayoritas, maka calon-calon yang perolehan “pilihan pertama”-nya paling sedikit dihapuskan dari pencalonan, dan kertas suara mereka dialokasikan kepada calon-calon lain. Bila perlu, proses ini diulang sampai diperoleh calon yang meraih suara mayoritas absolut. Sistem pemilihan ini hanya digunakan di dua negara saja: Australia dan Nauru.

4. Sistem Dua Putaran.
Sistem Dua Putaran atau Two-Round System (TRS) adalah salah satu anggota keluarga sistem pemilihan Pluralitas-Mayoritas. Dalam sistem ini, pemilu kedua akan diadakan apabila tidak ada calon yang meraih suara mayoritas absolut dalam pemilu pertama. Di Ukraina, yang ikut dalam pemilu kedua hanyalah dua peraih suara terbesar dalam pemilu pertama. Di Perancis, yang ikut dalam pemilu kedua hanyalah para calon yang dalam pemilu pertama berhasil meraih minimal 12.5% suara. Selain di Perancis dan Ukraina, Sistem Dua Putaran juga digunakan di 29 negara lain.


B. Keluarga Perwakilan Berimbang
1. Sistem Daftar Perwakilan Berimbang
Sistem Daftar Perwakilan Berimbang (List Proportional Representation), seperti tampak dari namanya, ingin menyeimbangkan perolehan suara partai dengan perolehan jumlah kursi parlemen. Misalnya, partai yang meraih 40% suara akan meraih 40% kursi parlemen. Sistem pemilihan ini digunakan di 66 negara di Afrika, Eropa Barat, Amerika Latin, dan Eropa Timur.

2. Sistem Anggota Campuran Berimbang
Sistem Anggota Campuran Berimbang atau Mixed Member Proportional (MMP) adalah salah satu anggota keluarga sistem pemilihan Perwakilan Berimbang (Proportional Representation). Dalam sistem MMP, sebagian anggota parlemen dipilih lewat sistem distrik, dan sebagian lain dengan menggunakan sistem daftar partai atau Perwakilan Berimbang. Pemilih memiliki dua suara, yang satu untuk partai, yang satu lagi untuk calon dari distrik pemilihan. Sistem pemilihan ini digunakan di tujuh negara, termasuk Jerman, Selandia Baru, dan Meksiko.

3. Single Transferable Vote
Single Transferable Vote (STV). Sistem STV menggunakan distrik yang multimember. Pemilih memberi suara dengan memberikan peringkat kepada pilihan mereka seperti dalam Suara Alternatif. Supaya terpilih, seorang calon harus berhasil melampaui jumlah kuota suara pilihan pertama yang ditetapkan lewat aturan tertentu. Apabila ada calon yang sudah gagal meraih kuota, atau ada calon yang memiliki kelebihan suara, maka kertas suara mereka akan dialokasikan kembali kepada calon-calon lain yang masih mungkin meraih kemenangan. Sistem suara ini disebut yang tercanggih dan paling menarik. Tetapi, sistem pemilihan ini hanya digunakan di dua negara saja, yaitu Irlandia dan Malta.


C. Keluarga Semi-Perwakilan Berimbang
1. Sistem Paralel
Sistem Paralel adalah salah satu anggota keluarga sistem pemilihan Semi-Perwakilan Berimbang. Dalam sistem ini, pemilu perwakilan 120 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan berimbang diselenggarakan bersamaan dengan sistem pluralitas-mayoritas. Sebagai contoh, di Jepang 40% kursi diperebutkan melalui perwakilan berimbang dan sisanya melalui sistem distrik. Selain di Jepang, Sistem Paralel juga digunakan di enam negara lainnya.

2. Single Non-Transverable Vote

Single Non-Transverable Vote (SNTV) menggabungkan distrik-distrik yang multimember dengan cara penghitungan suara Sistem Distrik FPTP. Selain itu, pemilih hanya memiliki satu suara. Sistem ini digunakan di dua negara Yordania dan Vanuatu.

MENGAPA PKS NGOTOT: Sebuah Analisis



Oleh : Fahrezi, S.IP, MA


Analisis saya, bukan sebagai timses jokowi, bukan membuli, namun dilihat dari khazanah akademis..
Mengapa PKS tetap ngotot dan masih bersama prabowo, meski beberapa partai koalisinya mulai meloyo dan mendekat ke kubu pemenang jokowi-jk???

Dalam spektrum ideologi berkoalisi ada beberapa cara berkoalisi (8 cara menurut LIEVEN DE WINTER and PATRICK DUMONT). Dalam hal ini saya khusus membahas  dengan cara “Minimal Connected Winning Coalition”, dalam artian koalisi yang dibangun didasarkan kepada jarak ideologi dan platform partai,,semakin dekat jarak ideologi satu partai dengan partai lainnya,,maka dia dimungkinkan untuk berkoalisi dengan langgeng, kebanyakan koalisi di Eropa didasarkan kepada  ini... beberapa contoh kasus perubahan spektrum ideologi partai berkoalisi di indonesia, bisa dilihat pada karya Marcus Mietzner dalam Comparing Indonesia’s Party Systems of The 1950s and the post-soeharto era: from centrifugal to centripetal inter-party competition, bisa disearch di google, tulisan ini juga yang mengungkap maraknya ideologi partai nasionalis relegious pasca soeharto.

Sekarang kita masuk kepada kasus mengenai kengototan PKS.
Mengapa PKS tetap ngotot,,pertama, PKS kemungkinan besar tidak akan diterima oleh kubu partai koalisi Jokowi-JK dibanding dengan PPP dan Golkar, atau PAN sekalipun... PPP, Golkar, dan secara platform partai dan ideologi yang digunakan adalah Nasionalis Relegius, sedangkan jarak ideologi dan platform partai PDI, Nasdem, Hanura, PKB,PKPI dengan PKS sangat jauh,,ibarat dua kutub yang bertolak belakang,, selain itu,dimungkinkannya PPP bergabung dengan kubu jokowi-jk adalah romantisme masa lalu,,partai ini bersama dengan PDI adalah Opposing Soeharto,,kedua partai ini adalah motor perlawanan terhadap soeharto dimasa lalu..disamping itu, partai ini pernah menjadi duet Mega-Hamzah Haz. Sedangkan Partai Golkar, adalah partai yang selalu hidup dalam penguasa,,Golkar belum pernah berada diluar pemerintah. Meski dimasa Orde Baru berseberangan, namun golkar sekarang adalah Golkar baru, jika kita mengutip perkataan Akbar Tanjung ditahun 1999. Mengapa Golkar Baru,,jika dimasa Orde baru, Golkar tidak pernah menyebut dirinya adalah Partai,,melainkan golongan Karya,,maka ketika Soeharto jatuh, tampuk kepemimpinan Golkar dari Harmoko ke Akbar Tandjung, Akbar menyebutnya dengan Partai Golkar, (istilah Partai Golkar Cuma ada di zaman Reformasi). Romantisme apa partai Golkar dengan Kubu Jokowi-JK, yang utama tentu adanya kader Golkar, yakni Jusuf Kalla, disamping itu  Golkar juga pernah menaikan Megawati, ketika Gus Dur dilengserkan. Dan Golkar bersama PPP juga menjadi bagian dari pemerintahan Mega-Hamzah Haz.

Kedua, kengototan PKS untuk terus dibanding beberapa partai koalisi di Kubu Prabowo adalah Jatah Menteri... mengapa posisi menteri begitu penting bagi PKS?? Arena elektoral yang mahal menyebabkan partai-partai bersikap catch all ketika pemilihan, dan kartel pasca pemilihan untuk persiapan pemilu berikutnya..pembiayan bagi partai politik begitu sangat penting dalam era globalisasi,,media politik seperti televisi dan koran/majalah menjadi begitu mahal dan menggiurkan untuk mempromosikan brand politik sebuah partai. Oleh karena itu, partai membutuhkan pembiayaan. Dibanding partai politik yang lain PKS dinilai tidak memiliki media elektronik terutama televisi, meski di media portal banyak yang dibuat oleh PKS, seperti VOA-Islam, atau PKS Piyungan. Namun dalam hal portal Cuma menjangkau kalangan tertentu saja. Sedangkan pertelevisian menjangkau segala kalayak masyarakat. sehingga opini sering di tumbuhkan oleh media televisi tertentu yang berafiliasi dengan partai politik untuk merubah opini masyarakat.

Kasus LHI adalah contoh nyata, dimana kasus terjadi dikementrian yang dipegang kader dari PKS. Hampir seluruh nama-nama yang disebutkan dalam persidangan, ada kaitan dengan PKS. Jika kita merunut apa yang ditulis oleh Burhanuddin Muhtadi dalam “Dilema PKS”. Menyatakan didalam tubuh PKS ada dua faksi. Faksi pertama adalah yang menginginkan kita harus memperkuat ideologi kita, jalan perjuangan kita, platform partai kita. Sedangkan faksi yang lainnya adalah faksi yang berorientasi kepada elektoralisme, bagaimana kita memenangkan pemilihan, yang termasuk kedalam faksi ini seperti  Luthfi Hasan Ishak sang pesakitan KPK.  

Dalam arena elektoral sekrang, karena keterbatasan pembiayaan, dan menggunakan kementrianya sebagai sapi perahan yang memunculkan kasus impor sapi, PKS dalam pemilu 2014 dikategorikan gagal, jika dibandingkan dengan pemilu 2004 dan 2009, karena PKS Cuma dipilih oleh kader/loyalisnya, dan tidak mampu menggaet massa diluar loyalisnya.

Ketiga, PKS adalah anggota koalisi yang selalu menendang dari dalam/kadang sulit dikontrol anggota koalisi yang lain. Koalisi setgab adalah contohnya berkumpulnya spektrum ideologi yang berseberangan, koalisi yang dibangun sangat fragmatis, cair dan rapuh, sehingga penuh dengan turbulensi (goncangan). PKS adalah partai yang selalu tidak sejalan dengan anggota koalisi yang lain. Dengan partai Golkar, PKS pernah berseteru, karena Golkar mendapatkan jatah 4 menteri dikabinet SBY-Boediono, sedangkan PKS hanya 3 menteri, padahal  Golkar tidak ikut bersama-sama memenangkan SBY-Boediono, karena Golkar mengusung JK-Wiranto pada pilpres 2009, Sehingga PKS menyebut Golkar “Partai yang tidak berkeringat”.  
Saya menyarankan PKS, diluar pemerintahan saja dalam periode sekarang...dan kadernya kembali banyak-banyak menonton film Sang Murobbi, jika Ustad.... yang ada di film Sang Murobbi itu masih hidup, tentu beliau akan marah besar dengan kelakuan para elit PKS sekarang...Elitnya mewah-mewah, kadernya menderita..

Kesimpulannya: Jatah menteri, dan pembiayaan partai politik menghadapi elektoral, merupakan hal dibalik kengototan PKS dalam terus berupaya memenangkan Prabowo-Hatta pasca Keputusan KPU.
Jika ada yang marah,,,ini adalah sebuah analisis berdasarkan landasan teoritis bukan gosip atau boongan.

Friday, April 4, 2014

Padang Kota Tanpa Terminal (Studi: Kegagalan Implementasi Kebijakan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Air Pacah Kota Padang, Sumatera Barat)





Oleh: Fahrezi*
A.    Pengantar
Pemerintah Daerah menghadapi berbagai persoalan dalam melaksanakan tugasnya. Persoalan-persoalan sosial seringkali menghantui implementasi kebijakan Pemerintah Daerah di Indoensia. Persoalan-persoalan tersebut muncul, bisa disebabkan oleh kurang matangnya perencanaan, sampai dengan faktor-faktor non teknis yang mengganggu proses implementasi kebijakan.  Hal tersebut juga melanda Pemerintah Kota Padang, yang memiliki persoalan dalam implementasi Terminal Regional Bingkuang (TRB) Aia Pacah.
Jika kita berkunjung ke Kota Padang, yang juga Ibu Kota Propinsi Sumatera Barat, maka kita tidak akan menjumpai bus-bus yang akan berhenti di terminal. Begitulah keadaan kota Padang saat sekarang ini, kota yang tidak memiliki terminal pemberhentian penumpang. Sebenarnya Kota Padang memiliki terminal yang sangat bagus dengan Tipe A, yang merupakan satu-satunya di Propinsi Sumatera Barat, namun dalam pemanfaatannya terminal ini terbengkalai dengan kata lain tidak dapat difungsikan dengan berbagai persoalan.
Pada awalnya, pembangunan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang ini bertujuan untuk mengembangkan/memperluas pembangunan Kota Padang ke arah utara. Pelaksanaan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang belum berjalan secara maksimal. Dinas perhubungan selaku instansi yang berwenang untuk menjalankan kebijaksanaan mengenai TRB, mengaku kesulitan untuk mengoptimalkan TRB sebagai terminal bis representatif.
Pelaksanaan Pembangunan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang telah mulai dibangun sejak tahun 1999. Pembangunan Terminal Tipe A ini diatas lahan seluas 50 Hektar. Namun pemanfaatannya tidak dapat dirasakan secara nyata untuk perkembangan Kota Padang. Kurangnya infrastruktur penunjang mengakibatkan kurangnya akses masyarakat ke terminal, maka bus AKDP dan AKAP Kota Padang beroperasi dengan menaikkan dan menurunkan penumpang di tempat-tempat yang potensial ramai calon penumpang, seperti Basko Grand Mall Air Tawar, Simpang Tabing, Simpang Kalumpang, Pasar Duku, Simpang Lubuk Begalung, dll. Hal tersebut juga berdampak pada kemacetan. Banyak ruas-ruas jalanan yang berubah menjadi terminal bayangan. Angkutan kota dan taksi pun juga memarkir kendaraannya di kawasan yang sama.  
Hal ini menjadi suatu permasalahan yang sangat serius,  karena terminal penumpang yang telah dibangun dan dirancang sedemikian rupa namun dalam pengoperasian fungsi, dan keberadaannya masih belum dilaksanakan secara utuh. Terlebih lagi sudah diatur di dalam Pasal 36 UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa setiap kendaraan bermotor umum dalam trayek wajib singgah di terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek. Dalam hal ini, adanya sesuatu yang menjadi penyebab kegagalan dalam pengoperasian terminal penumpang khususnya dalam pelaksanaan kebijakan penyelenggaran terminal Air Pacah di Kota Padang, yang menuai kegagalan dalam pelaksanaannya, sehingga perlu dilakukan suatu penelitian.
B.     Kerangka Teoritis
Menurut Van Mater dan Van Horn (Lineberry, 1978:70), implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta, yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan.
Menurut Lineberry (1978:70-71), proses implementasi setidak-tidaknya memiliki beberapa elemen-elemen antara lain: 1). Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana, 2). Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating procedure/SOP), 3). Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran, pembagian tugas di dalam dan diantara dinas-dinas/badan pelaksana, 4). Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.
Konsep implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier (1987:4) mengatakan bahwa mengkaji masalah implementasi kebijakan berarti berusaha memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan diberlakukan atau dirumuskan. Pendapat kedua tokoh ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pada hakekatnya tidak hanya terbatas pada tindakan-tindakan atau perilaku badan-badan administratif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari kelompok sasaran (target group). Namun demikian, hal itu juga perlu memperhatikan secara cermat berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi, sosial yang berpengaruh kepada perilaku semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya membawa dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. 
Namun, tidak semuanya implementasi kebijakan dapat dilakukan dengan mulus. Kegagalan implementasi kebijakan disebabkan oleh keterbatasan kemampuan pemerintah, memberi peluang keterlibatan pasar dan masyarakat dalam implementasi kebijakan (Wahyuningsih, 2011:32). Hal tersebut mendorong berkembangnya konsep segitiga besi, memunculkan metafora jaringan dan komunitas yang memainkan peranut mempengaruhi pembuatan kebijakan dan hasil kebijakan.
Ada beberapa hal yang harus dipahami mengenai kegagalan implementasi sistem transportasi seperti pengoperasian Terminal Regional Bingkuang ini. Sebuah jaringan transportasi umum yang relatif baik perlu menyediakan akses yang mudah dan biaya yang lebih murah untuk para pengguna.  Biaya operasi dan biaya tetap merupakan masalah penting dan nyata bagi terminal transit saat sekarang ini. Selain itu, kenyamanan dan kualitas yang signifikan merupakan hal yang utama bagi penumpang. Studi pada perilaku penumpang  terhadap penggunaan transportasi umum harus dikaji terlebih dahulu ( Rozmi Izmail dkk, 2012: 411). Selain itu, Pemerintah  dalam membuat kebijakan transporatsi harus mengkaji  interval waktu  memulai perjalanan dari satu persinggahan (terminal) ke tempat-tempat tujuan pengguna. Oleh karena itu harus ada sistem yang terintegrasi dalam perencanaan transportasi (Szabolcs Duleba dkk, 268). Sebagai contoh di Belanda, cost benefit Analisis (CBA) adalah alat wajib untuk menilai rencana transportasi yang akan diterapkan oleh pemerintah (Els Boukersn, 2014: 61-72). Dengan melihat perkiraan biaya dan waktu yang dibutuhakan maka kebijakan yang diterapkan sudah dikaji secara mendalam oleh pengambil keputusan.
Hal-hal diatas, menegaskan bahwa transportasi adalah salah satu cabang utama memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi. Layanan transportasi terorganisir dan handal yang diperlukan untuk membantu kinerja di bidang-bidang lain seperti industri, konstruksi, pertaninan dan budaya. (Prentkovskis, 2012: 434). Jika transportasi lancar, seperti dengan adanya terminal yang mumpuni, maka orang-orang akan datang ke Kota Padang.
Gagalnya implementasi kebijakan terminal ini, mengharuskan kita mencarikan solusi rekomendasi kebijakan selanjutnya. William N. Dunn (2004) mengatakan, rekomendasi kebijakan mengharuskan analis kebijakan menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dan alasannya. Hal ini disebabkan karena prosedur analis kebijakan berkaitan dengan masalah etika dan moral. Rekomendasi pada dasarnya adalah pernyataan advokasi.
Pendekatan untuk membuat rekomendasi menurut Dunn, terdiri dari beberapa pilihan. Pertama, public choice versus private choice. Pendekatanya adalah mempertanyakan apakah kebijakan dilakukan dengan pendekatan pemerintah atau swasta (pasar). Kedua, penawaran versus permintaan. Ketiga, pilihan publik murni. Keempat, analisis cost-benefit yang menghitung dalam ukuran moneter. Kelima, analisis cost-effectiveness, sama dengan cost-benefit namun perbandingannya dengan efektivitas kebijakan.
C.    Faktor-Faktor Kegagalan Implementasi Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang
Kegagalan implementasi pengoperasian fungsi dan keberadaan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang disebabkan oleh beberapa persoalan. Faktor-faktor yang menyebabkan persoalan tidak bisa digunakannya Terminal Regional Bingkuang (TRB) Aia Pacah Kota Padang tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Faktor Tata Ruang
Pemilihan lokasi yang terlalu berorientasi/terikat kepada arahan lokasi sesuai dengan rencana umum tata ruang kota (RUTRK) dan skenario perkembangan. Berkaitan dengan pertimbangan terhadap faktor tata ruang ini ditemukan ketidaksinkronan antara kondisi riel perkembangan kota dengan konsep yang diterapkan. Pola perkembangan Kota Padang yang sampai saat ini masih berpola konsentris dan memperlihatkan kecenderungan perkembangan pola sektoral, pada sisi lain pemerintah mencoba menerapkan pola pengembangan kota dengan konsep kota berpusat banyak (multi nuclei) yang paradigma serta pendekatannya akan sangat berbeda dengan konsep pengembangan kota pola konsentris. Akibatnya tentu menyebabkan konsep yang diterapkan tidak akan sesuai dengan kondisi yang perkembangan masyarakatnya seperti pola pergerakan dan sebagainya.
Hal lain yang dapat disimpulkan dari faktor tata ruang adalah lokasi terpilih juga kurang mempertimbangkan karakter kota sebagai tujuan, penempatan terminal kota-kota yang karakter kotanya sebagai kota transit atau kota persinggahan tentu letak terminalnya tidak akan begitu berpengaruh banyak kepada kegiatan kotanya. Lain halnya, kota sebagai tujuan lokasi terminal akan sangat mempengaruhi kegiatan kota lainnya.
2.      Faktor Aksesibilitas
Salah satu penyebab tidak berfungsinya Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang adalah akibat rendahnya aksesibilitas lokasi terminal. Rendahnya asesibilitas lokasi Treminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang terindikasi dari beberapa hal seperti berikut; a). Panjang perjalanan menjadi bertambah jika memanfaatkan terminal, b). waktu perjalanan menjadi lebih lama jika memanfaatkan terminal, c). Biaya atau ongkos angkutan menuju terminal menjadi lebih mahal, d). Trayek serta jumlah armada angkutan menuju terminal sangat terbatas sehingga perlu berganti-ganti angkutan.
Padahal menurut Bert Van Wee (2014: 2) dalam mengkaji sistem transportasi harus ada mengacu kepeda opsi sinkronisasi tata ruang atau sinkronisasi temporal antara lokasi dalam jaringan transportasi. Sinkronisasi dapat meningkatkan accessibility individu dengan mengurangi jarak perjalanan dan waktu perjalanan  antara lokasi yang menjadi aktivitas pengguna terminal.
3.      Faktor Lokasi Site
Artinya lokasi yang terpilih kurang mempertimbangkan atau dengan kata lain mengabaikan hal-hal yang secara teknis disyaratkan dalam pemilihan lokasi suatu terminal seperti; a). Tidak terletak pada arah pelayanan, dalam artian tidak mempertimbangkan arag geografis lokasi pemasaran regional, b). terletak dipinggir Kota yang cukup jauhdari pusat-pusat kegiatan kota, sehingga sulit untuk mencapainya, c). Tidak terletak pada titik kritis pergantian modal angkutan (seperti persimpangan jalan arteri) pertemuan angkutan regional dengan angkutan lokal (kota), d). Tidak terletak pada daerah seperti pusat pemukiman, kawasan industri, pusat-pusat kegiatan kota, f). Tidak integral dengan sistem angkutan primer lainnya seperti pelabuhan laut, bandara, atau dengan stasiun kereta api.
4.      Faktor Keamanan Terminal
Salah satu faktor yang menjadi permasalahan yang dihadapi oleh Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang adalah masalah keamanan penumpang. Banyak keluhan yang disampaikan oleh masyarakat pengguna mulai dari masalah kecil sampai yang berbau kriminal seperti ketertiban calo penumpang, pedagang asongan yang sering memaksa, serta pencopetan dan penodongan, sehingga penumpang merasa tidak aman untuk datang ke terminal. Disamping itu, diperparah lagi oleh kondisi kawasan di sekitar Terminal Regional Bingkuang (TRB) yang masih kosong, sehingga pada sore dan malam hari sangat rawan terhadap tindak kriminal terhadap penumpang.
Faktor-faktor tersebut menyebabkan rendahnya tingkat pemanfaatan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang yang berkaitan langsung dengan jumlah penumpang, karena dengan berkurangnya penumpang di terninal mengakibatkan jumlah bus yang masuk ke terminal juga berkurang. Sedikitnya jumlah penumpang yang mau ke termninal membuat kerugian bagi Pemerintah Kota Padang, karena Terminal yang dibangun sangat megah tidak mampu untuk dioperasikan. Selain itu, Pemerintah Daerah juga tidak mampu untuk meningkatkan pendapatan dari sektor retribusi.
Gambar 1
Peta Letak Terminal Regional Bingkuang
     Ket : Terminal Regional Bingkuang (TRB) Air Pacah
                  Terminal Lama yang menjadi Plaza Andalas
Gambar diatas memberikan gambaran kepada kita, bagaimana letak terminal baru untuk menggantikan terminal lama begitu jauh dari pusat keramaian. Pada awalnya tujuan dari Pemerintah Kota Padang memang patut diapresiasi untuk mengembangkan kawasan kota padang, ke arah kawasan yang masih kurang dalam pembangunan. Namun, kajian yang teknokratis ini tidak melihat sisi-sisi lain seperti tambahan biaya bagi penumpang jika harus ke terminal baru yang sangat jauh dari pusat kota. Hal ini, menyebabkan wisatawan dari daerah malas berkunjung ke kota padang karena jarak yang jauh dari terminal, dan membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke tempat-tempta perbelanjaan di pusat kota.  
D.    Munculnya Terminal Bayangan: Sebuah Dampak Dari Kegagalan Implementasi Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang      
Kegagalan dalam pengoperasian Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang telah menimbulkan masalah sosial yang lain bagi kota Padang. Kegagalan pengoperasian Terminal Regional Bingkuang (TRB) menimbulkan terminal bayangan dimana-mana di kota Padang. Kerap kita dengar di Kota Padang istilah ‘Terminal Bayangan’, terminologi ini berkaitan dengan suatu tempat yang seyogyanya bukan terminal menjadi terminal dan berlangsung secara terus menerus. Misalnya di jalan utama kawasan kampus Universitas Negeri Padang dan kawasan Simpang Lubug Begalung Padang, serta kawasan Gaung dekat Pelabuhan Teluk Bayur.
Gambar 2.
Terminal Bayangan di Deapan Kampus Universitas Negeri Padang
Kegagalan pengoperasian terminal tersebut, menjadikan terminal bayangan, sebagai solusi bagi masyarakat untuk bepergian. Baik di dalam kota, ataupun antar kota dalam provinsi (AKDP). Khusus antar kota antar provinsi (AKAP), sudah di-handle perusahaan masing-masing seperti tempat-tempat diatas.
Selain itu, Terminal angkot di Pasar Raya berubah fungsi jadi pusat perbelanjaan. Setelah terminal tergusur, angkot akhirnya terpaksa nge-tem di depan Masjid Muhammadiyah yang berimplikasi pada kesemrawutan lalu lintas. Kesemerawutan bentuk kota oleh membludaknya angkot-angkot yang tidak memiliki terminal menjadikan jalan Pasar Raya Kota Padang sebagai terminal pemberhentian. Kesemerawutan tersebut, tampak jelas pada gambar berikut ini.
Gambar 3.
Kesemerawutan Kota Padang oleh Terminal Bayangan Angkot
Akibat dari terminal bayangan ini, menjadikan kemacetan tak bisa dihindari. Kesemrawutan transportasi di Kota Padang memang menuntut kerja keras aparatur Negara untuk mengembalikan kondisi kota menjadi tertib dan aman seperti sedia kala. Sebuah kota dikatakan modern tidak saja dilihat dari indicator pembangunanan fisik saja, tapi juga dari perilaku masyarakatanya.  Memang sudah menjadi problema sebuah kota besar dengan kesemrawutan yang mengakibatkan kemacetan lalu lintas yang disebabkan oleh ketidak teraturan manusia dalam berkendara (reflesi budaya).
Kebutuhan sistem transportasi di kota Padang yang lebih aman dan nyaman sudah sangat mendesak.  Sebab dengan  sistem transportasi yang lebih baik lagi, hal itu akan  memiliki efek positif ke berbagai sektor. Ekonomi akan lebih efisien dan bisa berkembang lebih cepat serta  investor akan tertarik menanamkan modalnya. Sistem transportasi yang teratur mencerminkan kondisi kehidupan kota.
E.     Rekomendasi: Dialog Kebijakan Yang Melibatkan Semua Unsur
Kebijakan pembangunan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang dipandang sebagai kebijakan yang teknokratis dan top–down. Kebijakan seperti ini tidak memandang dimensi lain yang ada dalam pendekatan kebijakan publik yang bottom-up, dimana unsur masyarakat juga dilibatkan dalam mengambil keputusan.
Talcot Parson, setelah mengelaborasi pendapat Habermas dan Foucault, mengemukakan argumen bahwa dalam menganalisis kebijakan perlu memahami mode-mode pemikiran tentang “proses” dan “problem”. Pemahaman mode-mode pemikiran tentang proses dan menyiratkan perlunya melakukan analisis kebijakan secara demokratis, tidak elitis, karena harus memahami konteks proses dan konteks pendefenisian masalah yang dihadapi.
Oleh karena itu harus ada sebuah konsep yang mampu untuk menjembatani dua perspektif antara top-down dan bottom-up ini dalam kebijakan publik. Ada sebuah konsep yang dikemukakan Juergen Hebermas yakni collaborative policy, yakni kebijakan yang disusun dengan mempertimbangkan keanekaragaman maupun saling ketergantungan. Basis teori yang digunakan adalah konsep communicative rationality dan transformative power of dialogue, seperti gambar dibawah ini:
Gambar 4.
Konsep Collaborative Policy
Dari kerangka pikir collaborative policy  diatas, dialog yang terbentuk harus bersifat otentik dan bukan bersifat repetisi atau retoris, serta ada pemahaman tentang adanya perbedaan dan saling ketergantungan antar stakeholder. Hal ini berarti perlu pemahaman karakteristik tipikal partisipan, sehingga terbangun resiprositas, kerjasama, pembelajaran antar stakeholder, dan munculnya kreativitas untuk pemecahan masalah. Jadi dalam dialog ini diperlukan adanya saling kepercayaan antar stakeholder, memperkecil kesenjangan kekuasaan, serta adanya pemahaman informasi yang cukup diantara stakeholder sehingga pendapat, aspirasi, dan kebutuhan setiap anggota dapat disampaikan dengan terbuka.
Dari proses tersebut dapat dihasilkan saling pemahaman tentang identitas satu dengan yang lain, berbagai makna antar stakeholder yang selanjutnya akan menjadi social capital baru dalam masyarakat untuk menghasilkan inovasi. Sedangkan pemahaman konteks lokal berfungsi untuk menghubungkan kebijakan dengan politik yang berlangsung. Argumen yang tersembunyi dalam rumusan formal kebijakan didefinisikan ulang melalui pemahaman warga dan aktor-aktor yang tersembunyi dalam rumusan formal kebijakan didefenisikan ulang melalui pemahaman warga dan aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan dilapangan, sehingga bias-bias wacana kebijakan dapat disingkirkan.
Dalam perspektif ini, partisipasi dari masyarakat dan stekeholder lainnya sangat diperlukan. Partisipasi hanya akan berlangsung bila ada kesedian dari kedua belah pihak baik pemerintah daerah maupun warga masyarakat. pemerintah harus mempunyai i’tikad untuk memberikan keleluasaan bagi warganya untuk terlibat dan mempengaruhi keputusan-keputusan yang ada dalam proses kebijakan. Bila belum muncul kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan maka pemerintah daerah (Kota Padang) seyogyanya bersedia membuka ruang dan mekanisme yang memungkinkan partisipasi bisa tumbuh dan berkembang (Tim JPP, 2009:17). Disisi lain, masyarakat pun dituntut untuk bersedia terlibat lebih jauh dalam proses kebijakan yang ada.


Partisipasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan dapat dilakukan dalam dua model yakni:
1.      Dengar Pendapat Publik (Public Hearing)
Teknik ini dilakukan dengan cara membentuk pertemuan publik dalam jumlah yang terbatas. Dalam teknik ini biasanya pemerintah daerah mengundang elemen-elemen masyarakat yang tertarik dan pakar-pakar yang kompeten dalam bidang kebijakan tertentu. Di sini pemerintah daerah merepresentasikan rencana yang ingin dijalankan dan mendengarkan pendapat publik tentang persoalan tersebut.
Teknik ini memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah kemampuan menginformasikan persoalan kepada publik secara cepat, meminimalisasi potensi konflik serta mendorong terciptanya pengambilan keputusan yang lebih baik.
2.      Focus Group Discussion (FGD)
Teknik ini dilakukan dengan cara mendiskusikan satu topik tertentu yang melibatkan perwakilan-perwakilan dari kelompok-kelompok dalam masyarakat; misalnya elemen-elemen organisasi sosisal, etnis, dan pemerintah daerah sendiri. Diskusi ini hanya dilakukan dalam satu kali tatap muka dan sebisa mungkin dijalankan secara informal agar terjadi suasana diskusi yang terbuka. Dengan cara semacam ini diharapkan akan mendorong munculnya ide-ide dan komitmen untuk mengembangkan inovasi-inovasi baru dalam menangani persoalan publik. Sebuah kelompok fokus diadakan untuk menentukan perilaku pengguna terminal transportasi  dan selanjutnya dipelajari untuk memilih variabel yang relevan digunakan sebagai alternatif kebijakan (Dell’Olio dkk, 2012: 277)..
Teknik ini memiliki kelebihan terutama adanya kemungkinan yang besar untuk menciptakan konsensus dan pengayaan informasi diantara para peserta yang mewakili masing-masing elemen masyarakat. Bila persoalan formalitas bisa diatasi maka forum ini bisa menjadi mekanisme diskusi dengan suasana santai. Selain itu, FGD bisa dijadikan salah satu cara untuk mengukur opini publik tentang sebuah persoalan.
Dengan demikian, dari perspektif kebijakan diatas, nampaknya tersedia ruang bagi pemerintah untuk berbagi informasi kepada masyarakat dalam rangka membangun kesepahaman substansi kebijakan. Pemerintah Kota memberi ruang pelibatan warga untuk mengkritisi wacana kebijakan. Demikian pun masyarakat mempertanyakan kembali tunjuan kebijakan versi pemerintah. Masyarakat juga memiliki ruang mengevaluasi implementasi dan manfaat dari kebijakan pemerintah. Selain itu, warga masyarakat juga memiliki kesempatan untuk mengusulkan perubahan kebijakan sesuai kerangka pengalaman dan referensi mereka atas kebijakan yang pernah ada.
F.     Penutup
Terminal Regional Bingkuang (TRB) kota Padang, pada dasarnya mampu memberikan kebanggan bagi kota padang sebagai satu-satunya kota yang memiliki terminal tipe A di Sumatera Barat. Namun dalam pelaksanaannya terdapat berbagai macam kendala. Kendala yang terjadi baik dari segi internal maupun dari eksternal pemerintah sendiri. Dari segi internal Pemerintah Kota Padang belum memperlihatkan konsistensi dan keseriusan dalam upaya mengembangkan Terminal Regional Bingkuang (TRB) sebagai terminal yang representatif. Sedangkan dari segi eksternal adalah kurangnya komunikasi antara Pemerintah Kota dengan pengusaha bus AKDP dan masyarakat sehingga kebijakan yang dibuat tidak bisa diimplementasikan.
Selain itu, beberapa kendala lain adalah lokasi yang dianggap tidak strategis dan jauh dari pusat kota. Hal ini menyebabkan masyarakat/penumpang harus mengeluarkan biaya lebih untuk menuju terminal dan fasilitas lainnya yang dianggap kurang dan tidak mampu memenuhi beberapa kebutuhan pemiliki angkutan. Sehingga untuk memeperoleh kebutuhan armada kendaraannya mereka harus mengeluarkan biaya lebih dan cukup memberatkan.  
Rekomendasi untuk mengatasi kegagalan implementasi terminal di Kota Padang, baik penumpang (masyarakat), pemerintah dan pengusaha diharapkan  mampu  memberikan simbiosis mutualisme diantara ketiganya. Konsep colaborative policy diharapkan mampu untuk menjembatani semua stakeholder yang ada di kota Padang, baik pemerintah maupun aktor diluar pemerintah, sehingga terminal sebagai tempat persinggahan memberikan kenyamanan bagi penumpang dan pengusaha Bus AKDP, serta tentunya memberikan kontribusi yang besar dari retribusi yang dipungut bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang nantinya dapat diteruskan untuk menjalankan pembangunan bagi kota Padang. 

Daftar Pustaka
Arbi Winarko S dan Chalid Sahuri. Implementasi Kebijakan Ketertiban Terminal Penumpang. Jurnal Kebijakan Publik, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 1-118 
Bert Van Wee, Policies for Syinchronization in the transport-land use system. Transport Policy 31 (2014) 1–9.
Dunn, William N. 2004. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas.
Els Beukersn, Luca Bertolini, Marco Te Brömmelstroet.  Using cost benefit analysis as a learning process : identifying interventions for improving communication and trust. Transport Policy 31 (2014) 61–72. journal homepage: www.elsevier.com/locate/tranpol
Gito Sugiyanto, dan Sugiyanto. Elastisitas Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Kebutuhan Angkutan Umum di London dan Yogyakarta. Jurnal Transportasi, Vol. 9 No. 1. Juni 2009.
Hajer, M. And Wagenaar, H. 2003. Deliberative Policy Analysis: Understanding Governance in the Network Society. London: The Policy Press.
John Preston. The Deregulation and Privatisation of Public Transport in Britain: Twenty Years On. Transport Policy 31 (2014) 61–72.
Lisa Davison. A Survey of Demand Responsive Transport in Great Britain. Transport Policy 31 (2014) 47–54
Luigi Dell’Olio1, Angel Ibeas2, Alberto Dominguez3, Felipe Gonzalez. Passenger Preference Analysis: light Rail Transit Or Bus versus Car. TRAN 2012 Volume 27(3): 276–285.
Monograph on Politic and Government Vol.3, No. 1. 2009. JPP UGM, Yogyakarta.
M. Vetrivel Sezhian. Performance Measurement In Public Sector Passenger Bus Transport Company Using Fuzzy Topsis, Fuzzy AHP and ANOVA-A Case Study. International Journal of Engineering Science and Technology (IJEST), Vol 3. No. 2 Feb 2011.
Parson, W. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana Pranada Media Group.
Piere B. Vilain, Janet Cox, and Vicente Mantero. Public Policy Objectivities and Urban Transit. New York and New Jersey
Olegas Prentkovskis. Research Journal Transport Reviewing Process in 2012. http://www.tandfonline.com/TRAN 2012 Volume 27(4): 434–438. Vilnius Gediminas Technical University (VGTU) Press Technika
Ralph Buehler and John Pucher. Demand for Public Transport in Germany and The USA: An Analysis of Rider Characteristics. Transport Reviews, Vol. 32, No. 5, 541–567, September 2012
Rui Careira, Lia Patricio, Renato Natal Jorge, and Chris Magge.  Understanding the Travel Experience and its Impact on Attitudes , Emotions, and Loyality Towards the Transportasion Provider Quantitative Study With Mid-distence Bus Trips. Transport Policy 31 (2014) 35–46.
Rutiana Dwi Wahyuningsih, Membangun Kepercayaan Publik Melalui Kebijakan Sosial Inklusif, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, vol. 15, No. 1. 2011. Yogyakarta
Rozmi Izmail, dkk. Passengers Preference and Satisfaction of Public Transport in Malaysia. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 6(8): 410-416, 2012
Siti Aminah. Transportasi Publik dan Akesesibilitas Masyarakat Perkotaan. FISIP Universitas Airlangga.
Szabolcs Duleba, Tsutomu Mishina, Yoshiaki Shimazaki. A Dynamic Analysis on Public Bus Transport’s Supplay Quality By Using AHP. Transport 2012 Volume 27(3): 268–275. Vilnius Gediminas Technical University (VGTU) Press Technika
Thomas M. Schimitt. Global Cultural Governance, Decesion –Making Concerning World Haritage Between Politics and Science. Vol. 63 No.2. 2009. Jstor.org. 
http://admneg08029.blogspot.com/2011/02/analisis-kasus-kegagalan-implementasi.html

* (Mahasiswa Pascasarjana Politik dan Pemerintahan UGM)