Sunday, March 4, 2012

Kekuasaan dan Negara


CRITICAL REVIEW
Kekuasaan lebih diartikan sebagai kapasitas untuk bertindak untuk menciptakan dominasi dan otoritas
(Jeffrey Issac)
Berikut ini saya akan memaparkan critical review saya mengenai jurnal yang berjudul A Resource-Based Learning Approach “Power and Politic”. Negara adalah sebuah kompenen yang terdiri dari organ-organ yang menjadikannya sebuah sistem yang bisa bekerja. Negara  diisi oleh organ-organ yang memberdayakan kehidupan sosial dengan menciptakan aturan-aturan serta mengelola sumber daya pelayanan sosial yang berasal dari salah satunya pajak.  Negara yang dikatakan bukan sebuah benda karena sebuah struktur hubungan sosial. Negara  yang dimaksud diawal ini tidak menyinggung tentang bagaimana lembaga non-government organization (NGO) ikut berpengaruh dalam memberdayakan negara karena negara Cuma memberdayakan, PNS, Polisi, dan Tentara, serta Perusahaan). Padahal kelompok ini salah satu pendongkak atau penyeimbang kebijakan yang dikeluarkan pemerintah,
Secara garis besar teori kekuasaan dalam memberdayakan organisasinya dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Teori kekuasaan pluralis
Menurut teori ini kekuasaan dipandang oleh berbagai kelompok yang ada dimasyarakat dimana semua kelompok saling bersaing memperebutkan kekuasaan. Tidak adanya kelompok yang mendominasi satu antara lain karena sistem check and balances yang dibangun untuk sebuah sistem demokrasi. Walaupun demikian menurut hemat saya ini akan berpengaruh terhadap hegemoni sebuah kelompok. Teori hegemoni yang dicetuskan antonio gramsci, dengan  banyaknya komunitas dimasyarakat barang tentu akan ada sebuah komoditas yang bisa mendominasi atas kekuasaan yang lain. Walaupun dalam taraf elite paham ini juga aka tetap terjadi karena sudah ada bergaining (kerjasama) dengan kelompok/konstituennya atau pemilih terbesar dari partainya.
2.      Teori Elite
Adanya sekelompok elit yang bisa memaksakan kehendak mereka kepada seluruh masyrakat. Teori elit dicetuskan oleh Mosca dan Pareto
3.      Teori Hukum Kelas
Teori yang dicetuskan oleh Marx ini sehingga disebut teori marxis yang berpendapat bahwa kekuasaan pada dasarnya diajukan dengan pemilik dan pengendali produksi ekonomi (kaum borjuis). Teori ini mengidentifikasi Kelas Hukum yang tidak hanya mengendalikan alat-alat produksi, distribusi dan pertukaran dalam masyarakat kapitalis tetapi  juga mendominasi dan mengontrol lembaga kekuasaan politik. Teori ini terbagi atas dua:
a.       Instrumental Marx
Model ini adalah model kekuasaan yang strukturalis yang berbasiskan pemikiran marx yang membuktikan secara empiris sifat hukum dominasi kelas di masyarakat.
b.      Strukturalis marxis
Menurut strukturalis ini mencoba menunjukkan bagaimana kelas yang berkuasa mampu mendominasi seluruh masyarakat secara ekonomi.
Kedua hal diatas yang menjadi penjabaran mengenai hokum teori kelas tidak menyinggung bagaimana posisi dari kelas bawah yang dikuasai oleh kelas yang mendominasi. Penulis tidak menyinggung dalam hal tersebut bagaimana kesadaran akan kelas, terutama kesadaran subjektif proletariat untuk menghadapi kelas penguasa.
Perbedaan antara pluralis mengenai teoritis dan fungsionalis, teori pluralis seperti yang juga diutarakan oleh Talcott Parson, secara umum dapat dibedakan dari fungsionalisme berdasarkan tiga ide utama :
1.      Sifat daya
Jumlah sumber daya dalam masyarakat manapun akan terlihat relative tetap (konstan). Untuk kelompok apapun yang ingin mendapat kekuasaan, ia harus melakukannya dengan mengorbankan kelompok sosial  yang lain. Kritikan saya mengenai gagasan salah satu ide penulis tentang teori pluralis ini adalah masalah kestagnanan (tetap). Sumber daya yang ada dalam masyarakat menurut hemat saya yang jumlah daya yang ada didalam masyarakat tersebut akan terus bergerak dan lebih bersifat kearah fleksibel. Sehingga pendapat ini dimungkinkan dalam sistem kekuasaan yang terbuka.
2.      Nilai Konsensus
Teori ini cenderung menolak gagasan marxis, bahwa kelas sosial adalah atribut yang paling signifikan dari individu, dan selain itu juga menolak argument fungsionalis bahwa konflik relatif tidak penting dalam penjelasan distribusi dan teorisasi hubungan kekuasaan. Walaupun teori ini dibenarkan dalam menciptakan suatu konsesus dalam komunitas sebuah Negara yang terdiri dari berbagai kelompok dan lapisannya (pluralis). Akan tetapi konflik juga terjadi dalam sistem distribution of power (pembagian kekuasaan) selalu ada tolak ukur kepentingan, ini yang mungkin menjadi catatan mengenai teori konsensus ini dimana konflik diperlukan. Untuk mengatahui apa yang sebenarnya yang diinginkan, yang nantinya akan bermuara pada musyawarah untuk mufakat (konsensus). Akan tetapi perlu digaris bawahi, konflik yang diamaksud adalah bukan dalam bentuk kekerasan fisik, kareana ini  bukan suatu hal yang baik dan bisa dikatakan Colapsed State (Negara gagal), melainkan konflik-konflik kepentingan dalam menyuarakan pendapatlah yang diperlukan. Sehingga semua individu berhak untyuk menyampaikan pendapatnya, walaupun itu bertentangan dengan penguasa.
3.      Negara
Negara dikatakan sebagai suatu bentuk “perantara” diantara berbagai kepentingan yang ada dimasyarakat Negara menjadi penengah antar berbagai kepentingan dan mencetuskan konsensus diantara kelompok yang bersaing. Sehingga saya melihat ini tak obahnya dengan politik intermediary yang dimainkan oleh Negara, dimana pemerintah memiliki peranan yang besar dalam mengakomodasi kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok. Selain itu, pemerintah menjadi sebagai pengadil dikarenakan menjadi penengah diantara persaingan kelompok.
Ada dua elemen penting untuk melihat kekuasaan menurut Parsons. Pertama, Parsons berpendapat keuasaaan adalah sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat secara keseluruhan. Sedangakan yang kedua, kekuasaaan merupakan kemampuan untuk memobilisasi sumber daya umum dalam masyarakat untuk mencapai tujuan sosialnya dengan demikian, menurutnya. Masyarakat meminta tujuan-tujuan pembangunan dan sifat kolektifitas.
Pluralisme klasik
Dalam masyarakat pluralism klasik ini, Negara melihatnya sebagai sesuatu yang netral dalam melihat lembaga sosial. Dalam demokrasi pluralisme klasik ini. Kelompok-kelompok yang ada mengoorganisir kelompok politiknya untuk mendapatkan atau mengambil kontrol dalam sistem begara. Masing-masing mereka akan menjatuhkan pilihan kepada partai yang menurut mereka mencerminkan jati diri dan kepentingan-kepentingan identitas kelompoknya. Dalam tulisan tersebut mencontohkan partai Konservatif menarik bagi pebisnis atau kalangan pengusaha, sedangkan partai buruh mewakili buruh yang terorganisir. Kalau di Indonesia dapat dicontohkan, kalau PDI P menyatakan basisnya wong cilik. PKB dengan mewakili masyarakat NU, walaupun ada tumpang tindih dimana yang loyal kepada PKB adalah masyarakat NU yang yang dari kalangan mapan. Selain itu mereka terafiliasi ke kepada partai lain seperti PNU, dan PPP.  
Dalam sistem politik ini dapat digambarkan sebagai berikut:
1.      Partai politik harus memiliki daya tarik yang cukup luas untuk mengumpulkan suara dalam memenangkan pemilu. Dalam memperluas daya tarik mereka untuk kalangan yang berbeda orientasi kepentingannya. Saya  melihat ini mulai banyak diminati oleh partai-partai politik di Indonesia. Dimana sekarang kita mengenal ideologi-ideologi partai itu Nasionalis Religius. Ini membuka kesempatan bagi semua kalangan untuk masuk kedalam partainya tanpa melihat satu identitas tertentu dalam masyarakat yang dijadikan basis. Contoh partai yang menganut ini adalah Golkar, Partai Demokrat, PAN, dsb.
2.      Pemerintah sebelumnya tunduk kembali pada pemilihan berikutnya yang mempunyai rentang waktu tertentu yang disepakati secara bersama.
3.      Pemerintah beroperasi dalam batas-batas norma tertentu yang lebih dikenal dengan sebutan konstitusi (aturan-aturan).
4.      Independen, otonomi, dan mempunyai lembaga peradilan.
Lebih lanjut demokrasi dalam paham pluralisme klasik ini ditandai dengan hal, a). Partai politik yang pluralis. b). kelompok kepentingan yang pluralitas, c). sebuah konsensus yang lebih luas mengenai legitimasi lembaga-lemabaga politik. Kesemuanya ini masih dipakai sampai pada saat sekarang ini. Walaupun pahamnya klasik, kita akan melihat gagasan Martin Deutsch yang membahas bagaimana Negara berteori dalam pandangan pluralisme klasik.
1.      Liberal konservatif yang melihat Negara sebagai pasif, dia hanaya menanggapi lebih luas jika ada perubahan-perubahan social yang dapat mempengaruhi stabilitas masyarakat.
2.      Sosial demokrat yang melihat Negara sebagai sesuatu yang menangkap adanya tujuan-tujuan yang coba ditekankan oleh masyarakat untuk membawa yang namanya demokrasi.
Dari kedua hal diatas saya melihat Negara dipandang sebagai sesuatu yang mempengaruhi atau responsive terhadap tekanan sosial sehingga Negara harus netral tidak mendukung salah satu pihak. Pandangan Deutsch  diatas dalam realitanya mendapatkan sebuah tantangan. Tantangan apa yang saya maksud ? Paham ini membuka sebuah monopoli kepentingan yang secara nyata dapat dilihat secara kasat mata, dimana Negara belum bias bersifat netral. Ini dikarenakan masih melihat untung rugi dari kelompok politisi atau decision making bukan dari kacamata masyarakat yang merupakan input dari kebijakan sesuai teorinya G. Almond.
Elit Pluralisme
Perkembangan pemikiran ini dikemabangkan dalam pemikiran pluralis yang muncul sebagai respon terhadap kritikan terhadap tidak semua kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memilki tingkat kekuasaanya sama, dan tingkat akses kekuasaanya juga sama. Sehingga untuk menjawab itu konsep kelompok elit pun dikembangkan. Dimana elit dilihat sebagai peserta utama dalam proses pengambilan keputusan. Apa yang disebut elit pun meliputi; organisasi bisnis, administrasi pemerintahan, partai politik, serikat buruh, budaya elit, dsb. Dalam sistem demokrasi ditandai dengan persaingan elit dalam hal pengaruh. Dalam hal ini kelompok elit terlihat mempunyai strategi dalam menciptakan kekuasaan. Kritikan yang paling pas untuk elit pluralisme ini adalah wewenang yang begitu besar kepada partai penguasa atau partai pemerintah yang menang dalam pemilu. Seperti diungkapkan dalam tulisan tersebut bahwa sebagai contohnya partai konservatif yang menjadi partai pemerintah. Hal ini akan menyebabkan tidak pernahnya kekuasaan itu akan dirasakan ditangan kelompok-kelompok minoritas. Karena akan terjadinya kompetisi baik ditingkat structural maupun kepentingan berbagai kalangan.
Kritikan saya berikutnya mengenai level struktural dan  level strategis. Ini menitipberatkan persoalan kebijakan ditangan segelintir elit penguasa. Kebijakan yang dirancang senantiasa berasal dari muartan-muatan politik pemerintah yang duduk disana merupakan partai pemenang. Mereka akan lebih mudah untuk menyiapkan level strategi untuk menimbang untung rugi terhadap kemajuan partainya. Tidak adanya kelompok penyeimbang dalam merumuskan kebijakan akan menjadi persoalan tersendiri dalam sistem ini. Dan pendapat saya diatas senada dengan apa yang dikatakan Lukes yang mengatakan pluralisme elit itu mempunyai kekuatan untuk  membuat keputusan dan kekuatan untuk masalah dari agenda politik akan tetapi gagal untuk mengatasi kemampuan untuk membentuk keinginan rakyat.
Sehingga tulisan tersebut juga memuat masalah yang belum tuntas dengan pluralisme elit yang meliputi; 1). Dalam demokrasi ada perbedaaan jelas, luas, kekuasaan, yang artinya sejauh mana kekuatan sebenarnya tersebar dalam di dalam masyarakat tidak jelas. 2). Pluralis elit gagal untuk menganalisis cara dimana kelompok elit memonopoli kekuasaan untuk memberdayagunakan kepentingan mereka sendiri, sehingga opini publik mencerminkan kepentingan kelompok yang kuat.
Teori Elit
Teori elit yang dikembangkan oleh Pareto dan Mosca adalah yang paling dikenal dikalangan penggiat masalah elit ini. Pareto melihat kekuasaan politik itu sebagai sebuah sirkulasi yang terus menerus dari kelompok elit. Ini disebabkan oleh tingkat kecerdasan yang tinggi, pendidikan, licik dan sebagainya yaitu kualitas kepribadian yang unggul. Sedangkan Mosca berpendapat bahwa kelompok-kelompok elit politik yang memerintah dikarenakan kemampuan unggul organisasi mereka. Sedangkan penulis melihat massa dikontrol untuk dimanipulasi, propaganda dan sejenisnya untuk melayani kepentingan elit yang kuat.
Ide Pareto mengenai jenis kelompok elit mengikuti ide dari Machiavelli, ia membedakan dua jenis kelompok elit; a). Elit Singa yang mampu memerintah dengan kekerasan (misalnya rezim militer), b). Elit Rubah yang mampu memerintah dengan manipulasi (misalnya rezim demokratis liberal). Pendapat ini menurut saya memang sesuatu yang diperlukan oleh elit untuk mendapatkan pengakauan/legitimasi dari kekuasaanya. Dalam karyanya yang monumental “The prince” Machiavelli mengharuskan pemimpin itu seperti singa dan rubah, dimana dia harus keras seperti singa dan dia juga harus licik/pandai dalam situasi tertekan. Menurut hemat saya berdasarkan penjelasan teoritis tersebut, Soeharto adalah elit yang menganut paham ini. Dimana dia menekan stabilitas kekuasaanya dengan yang namanya sebuah badan yang bertanggung jawab untuk itu, seperti Kopkamtib yang dpernah diemban oleh Ali Mortopo dan LB. Moerdani. Serta dengan menakuti premanisme yang bertato dengan adanya istilah Petrus (penembak misterius). Selain itu untuk melanggengakan kekuasaanya Soeharto bersifat seperti rubah dengan memanipulasi pemilihan yang bisa dikatakan hanya sebagai seremonial belaka, dikarenakan hasilnya pun sudah diketahui seperti apa.
Sedangkan Mosca melihat lebih kepada penekanan latar belakang sosial dari para elit. Dalam hal ini elit memerintah karena kemampuan organisasi internalnya yang unggul. Lebih lanjut mosca melihat elit mengkooptasi massa untuk kepentingan yang kuat (bukan sebuah kepentingan yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat). Mosca juga menyebut adanya konsolidasi ditingkat elit.
Secara teoritis perkembangan teori elit yang lebih radikal diusulkan oleh C. Wrigtt Mills. Dia berkonsentrasi pada cara-cara kelompok elit mengatur dan mengambil kekuasaan dalam masyarakat yang demokratis. Mills mengembangkan suatu bentuk teori konflik non-marxis tentang elit didalam masyarakat demokratis. Ide nya ini muncul bahwa kelompok elit tertentu untuk mengontrol berbagai institusi dalam masyarakat. Mills mencontohkan masyarakat Amerika ditahun 1950, Negara dianggap signifikansi dalam hal untuk memegang kekuasaan kekuasaan di masyarakat; a). Bidang Korporasi, b). Militer, c). Pemerintahan Federal. Dimana masing-masing lembaga membentuk blok kekuatan dalam dirinya sendiri dan masing-masing didominasi oleh elit internal (para pemimpin partai politik di pemerintahan, angakatan bersenjata, dan pemimpin perusahaan yang kuat). Lebih lanjut mills melihat partai politik yang menginginkan kekuasaan hanya bisa mencapainya atas dasar kerjasama dari elit ekonomi dan militer.
Dalam pandangan saya, ini adalah hubungan dimana sipil dan militer bermain. Kekuatan militer tidak dapat begitu saja ditinggalkan dalam konstelasi politik. Ikut campurnya militer juga bisa dilihat dari mulai berkurangnya kekuatan-kekuatan sipil sehingga militer memiliki celah untuk ini. Para pebisnis dengan mudah mengendalikan politik dan kebijakan dengan kekuatan finansial yang mereka miliki, ini membuat pemahaman semakin ke arah jika ingin berpolitik harus jadi pengusaha dulu. Partai-pengusaha-militer akan terus saling terkait dalam membangun sistem pemerintahan khususnya dalam menciptakan elit penguasa.