Wednesday, November 21, 2012

Pengaruh Jumlah Perolehan Kursi Di Parelmen Terhadap kekuaatn Parlemen Serta Kekuatan Kabinet


1.  Pengantar
Pemilu 2009 telah menghasilkan pertarungan beberapa partai besar dan kecil yang berkontestasi. Tulisan ingin mengungkap tabir hasil perolehan pemilu 2009 yang berpengaruh besar terhadap kekuatan parlemen yang memberi efek terhadap kabinet . Tulisan ini berangkat dari hasil kajian Brian Blau mengenai the effective number of parties at four scales yang mencoba menghitung jumlah partai hasil pemilu dengan cara membandingkan pendekatan Giovani Sartori yang difokuskan kepada kompetisi yang berkaitan dengan suara dan kursi, menggunakan metode kualitatif. Selain itu blau mencoba membadingkan juga dengan pendekatan Laksoo dan  Taagepera dengan metode kuantitatif. Brian Brau sendiri mencoba menawarkan formula untuk menghitung jumlah kursi yang efektif. Dari empat indikator (suara, kursi, kekuatan legislative, dan kekuatan Kabinet) yang ditawarkan Brian Blau, tulisan ini berfokus pada kekuatan legislative dan kabinet dengan melihat hasil pemilu 2009 di Indonesia.
2.  Kerangka Teori
Jumlah partai ' adalah konsep dasarnya diperdebatkan. Kami tidak sepakat tentang bagaimana cara menghitung partai sebagian karena kita tidak setuju tentang bagaimana partai berat ukuran yang berbeda atau relevansi. Hal ini pada gilirannya sering mencerminkan perbedaan pendapat tentang apa yang 'penting untuk pemahaman tentang dinamika penting dari sistem kepartaian' (Webb, 2000: 4-5) - yang mungkin mencerminkan perbedaan pendapat sendiri tentang apa dinamika penting dalam sistem kepartaian ini. Singkatnya, pilihan partai  dan menghitung metode bukan hanya masalah teknis akan tetapi memiliki fondasi yang lebih dalam mengenai hal tersebut. Karena berbagai jenis penelitian yang mungkin perlu berbeda partai dan metode penghitungan, kita harus menghindari menyiratkan bahwa ada satu jawaban.
Pada bagian ini, Blau membahas kekuatan dan kelemahan dari dua pendekatan utama untuk menghitung partai, yang kadang-kadang disebut pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif sederhana menggunakan aturan penghitungan biner: partai dikatakan relevan atau tidak relevan. Pendekatan paling terkenal kualitatif oleh Giovanni Sartori yang memberikan reaksi terutama untuk Duverger (1964) tetapi tidak sistematis kepada pihak menghitung, Sartori dalam menghitung jumlah partai relevan jika memiliki potensi koalisi atau memiliki potensi intimidasi secara politik (blackmail). Potensi koalisi berarti bahwa, dari waktu ke waktu yang mengatur partai atau dapat menentukan.  Blackmail berarti partai yang potensial mempengaruhi taktik partai dengan potensi koalisi.
Yang terpenting, Sartori tidak hanya menghitung partai: ia berfokus pada sistem kepartaian pemerintah , pada interaksi partai saat mereka bersaing untuk pemerintah (Sartori, 1976: 119-25, 186-92, 300-4, 1994: 33-40). Tapi pendekatannya memiliki masalah epistemologis dan konseptual. Masalah epistemologis  ini akan sulit untuk mengetahui mana partai memiliki potensi mengintimidasi secara politik ( blackmail ) (misalnya Norris, 1997: 66-7). Salah satu solusinya adalah dengan mengabaikan potensi blackmail (Katz, 1997: 145). Masalah yang lebih serius adalah konseptual - pendekatan dikotomis Sartori itu. Masing-masing pihak dinilai sebagai baik penting atau tidak penting, tanpa status di antara, dan pesta dengan potensi blackmail dinilai sebagai sama pentingnya ke partai di pemerintahan.
Sartori dengan benar menyatakan bahwa pemerintahan setiap mengandung 'partai relevan yang membuat tidak ada perbedaan'. Tapi dia menyimpulkan bahwa kita hanya harus menghitung 'pihak-pihak terkait, pihak yang menentukan sifat dari sistem partai (Sartori, 1994: 33, penekanan dihapus, 1976: 121-2). Kesimpulan ini tidak valid, menyiratkan bahwa semua pihak yang terkait harus juga relevan. Namun, bahkan pihak-pihak terkait mungkin berbeda dalam kepentingan mereka (Lijphart, 1999: 66; Siaroff, 2003: 268). Benar, persaingan pemerintah dipengaruhi oleh apakah ada tiga, empat atau lima pihak terkait. Tetapi ukuran relatif dari pihak juga penting, seperti di Jerman setelah pemilu 2005.
Entah bagaimana, kemudian kita harus menanggung beratnya pihak-pihak terkait daripada memperlakukan mereka semua sama. Salah satu jawabannya adalah untuk memasukkan 'partai setengah' (Blondel, 1968: 184-6, Epstein, 1964: 49). Perbaikan  yang paling ketat dari ide Alan Siaroff (2003: 268-73). Meskipun Siaroff melakukan klasifikasi, Namun, terkadang dia beralih ke pendekatan Sartori. Siaroff awalnya menyatakan bahwa Inggris telah bergeser dari sistem dua partai ke sistem dua setengah partai , tetapi kemudian menambahkan bahwa partai setengah (Demokrat Liberal Party) telah hampir tidak terpengaruh pemerintah, sehingga Inggris 'terus berfungsi secara efektif sebagai partai dua Sistem '(Siaroff, 2003: 272-3, 276, 286). Pendekatan Sartori secara jelas dikemukakan oleh Siaroff, namun masih keraguan mengenai apakah ini  akhirnya akan berfokus pada kursi dan / atau pemerintah. Masalah kedua, pada kenyataannya: kita memahami Inggris baik dengan menggambarkannya sebagai suatu sistem dua partai dan dua setengah partai di kursi dan dua sistem partai di pemerintahan.
Blau sekarang beralih ke pendekatan kuantitatif. Sedangkan pendekatan kualitatif jumlah pihak sebagai 0 atau 1 (atau setengah), pendekatan kuantitatif menghitung masing-masing Partai pada skala kontinu antara 0 dan 1. Indeks paling terkenal kuantitatif dikemukakan oleh Laakso dan Taagepera (1979) mengenai ukuran jumlah efektif partai '(atau ENP). ENP indeks banyak digunakan saat ini: yang efektif jumlah partai di : (NV) dan jumlah efektif partai di kursi parlemen (NS):
            Oleh karena itu tulisan ini mencoba menganalisa dan menghitung jumlah efektif partai di kursi parlemen di Negara indonesia dengan melihat hasil pemilu 2009. Adapun rumus yang di tawarkan oleh blau kami gunakan sebagai alat perhitungan . 

Adapun catatan dan keterangan cara menghitung Jumlah kursi di parlemen (NS). NS adalah jumlah kursi, untuk mendapatkan kursi tahap pertama jumlah kursi partai dibagi jumlah kursi keseluruhan dalam parlemen.


Sumber : Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nasional.
Dari data tersebut diatas, kami mengambil salah satu partai sebagai contoh penjelasan dari proses perhitungan perolehan kursi (NS).
Partai Demokrat : untuk mendapatkan hasil persentase kursi diperoleh dari jumlah kursi partai (150 kursi ) dibagi jumlah keseluruhan kursi parlemen (560 kursi) dikali (100%) Maka hasilnya ialah 26,78571 % kursi.
Untuk mencari hasil jumlah kursi partai (Si)  diperoleh dari hasil prosentase kursi dibagi 100 jadi menghasilkan 0,2678571 yang kemudian dikuadratkan sehingga hasilnya menjadi 0,0717474.
Catatan. Perhitungan ini berlaku pada seluruh partai yang menduduki kursi di parlemen.
Untuk memperoleh Jumlah kursi tulisan mengacu para rumus matematik yang ditawarkan  oleh Laakso dan Taagepera seperti di bawah ini :
NS ( efektif jumlah kursi diparlemen)
Si2 ( hasil prosentase kursi partai)
3.  Kekuatan legislative dan kekuatan cabinet pasca pemilu 2009 di Indonesia
 
3.1      Kekuatan legislative Indonesia hasil pemilu 2009
Hasil pemilu 2009  meloloskan Sembilan partai politik yang ke parlemen , antara lain Partai democrat 20,85%, Partai Golka 14,45%, PDI Perjuangan 14,03%, PKS 7,88%, PAN 6,01%, PPP 5,32,%,  PKB 4,94%, Gerindra 4,46%, dan Hanura 3,77%. [1]Tidak adanya partai yang menjadi suara mayoritas di parleman pasca pemilu 2009, mengharuskan partai-partai yang berada di DPR untuk membangun koalisi. 
Tabel ENP 2009 Nasional Berbasis Kursi
No
Nama Partai
Jumlah kursi
% kursi
(Si)2
1.
Demokrat
150
26.78571
0.071747
2.
Golkar
107
19.10714
0.036508
3.
PDIP
95
16.96429
0.028779
4.
PKS
57
10.17857
0.01036
5.
PAN
43
7.678571
0.005896
6.
PPP
37
6.607143
0.004365
7.
PKB
27
4.821429
0.002325
8.
Gerindra
26
4.642857
0.002156
9.
Hanura
18
3.214286
0.001033
Sumber : data olahan
Terjadinya koalisi ini adalah implikasi penerapan sistem multipartai, dimana tidak adanya partai yang menang mutlak lebih dari setengah jumlah kursi di DPR. Hal ini memungkinkan tingkat pelembagaan kepartaian rendah dan kekuatan politik diparlemen cenderung terfragmentasi. Fragmentasi kekuatan politik sangat sulit dihindari dalam sistem multipartai yang memiliki tingkat kemajemukan partai cukup tinggi. Sebab, kekuatan politik di parlemen cenderung terdistribusi secara merata. Sehingga akan sulit memperoleh kekuatan mayoritas dalam parlemen. Konsekuensinya, partai harus melakukan koalisi di parlemen. Karena tipologi partai Indonesia rata-rata memiliki ideologi yang lemah dan bersifat pragmatis, pada akhirnya ikatan koalisi yang dibangun bersifat rapuh.[2]
Koalisi parpol sulit dihindari dalam kondisi multipartai yang kekuatan politiknya cenderung terfragmentasi. Kemunculan koalisi partai politik dalam kondisi multipartai bukanlah sebuah penyimpangan sistem presidensial, tetapi justru sebuah bentuk kompromi untuk stabilitas dan keseimbangan berjalannya sistem politik. Bahkan, koalisi partai politik merupakan sebuah pilihan politik rasional, meskipun pilihan ini melahirkan beberapa konsekuensi politik.
Ikatan koalisi partai politik yang rapuh merupakan salah satu corak pelembagaan multipartai di Indonesia. struktur multipartai ini merupakan struktur politik dalam kajian ini. sistem presidensial sebagai struktur konstitusi negara yang dipraktikan di atas fondasi struktur politik multipartai akan memengaruhi kekuasaan presiden, baik secara institusi maupun personalitas presiden. Karena itu, penerapan sistem presidensial harus berkompromi ketika diterapkan dalam situasi multipartai yang pragmatis.[3]
Kemunculan koalisi merupakan konsekuensi politik yang sulit untuk dihindari dalam sistem multipartai Indonesia. koalisi merupakan karakteristik turunan dari fragmentasi kekuatan politik di parlemen. Karakteristik kemunculan koalisi antarpartai politik ini juga telah menjadi karakteristik pelembagaan sistem multipartai di Indonesia. tetapi, koalisi yang terbentuk sangat kropos dan rapuh.
3.2      Kekuatan kabinet di Indonesia
Kemunculan koalisi diparlemen berimbas juga pada koalisi di Kabinet pemerintahan. Setiap  kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh pemerintah mengalami dilemma, kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah dalam sistem multipartai membuat pemerintah mutlak mengandalkan koalisi untuk dapat meraih suara mayoritas untuk melancarkan kebijakan politik yang dibuat presiden. Kekuatan mayoritas diparlemen dibutuhkan untuk menjamin stabilitas pemerintahan presiden terpilih agar mendapatkan dukungan mayoritas diparlemen.
Hadirnya koalisi adalah konsekuensi yang sulit dihindari dalam sistem multi partai di Indonesia. Koalisi yang ada merupakan karakteristik turunan dari fragmentasi politik diparlemen dan selanjutnya karakteristik munculnya koalisi antar partai politik menjadi karakteristik pelembagaan partai politik di Indonesia.
Idealnya, untuk menjaga stabilitas pemerintahan dalam struktutr politik presidensial, partai presiden haruslah partai mayoritas, yaitu partai yang didukung mayoritas diparlemen. Kekuatan mayoritas ini diperlukan dalam parlemen, untuk menjamin stabilitas pemerintahan presiden terpilih agar presiden mudah mendapatkan dukungan secara politik dari parlamen guna melancarkan kebijakan politik yang dibuat presiden. Namun, suara mayoritas ini sulit diperoleh oleh partai presiden dalam situasi multipartai, kecuali mengandalkan koalisi partai politik diparlemen dan kabinet agar dapat meraih suara mayoritas untuk menjamin stabilitas pemerintahan. [4]
Dengan berkaca pada hasil pemilu 2009, partai presiden (partai Demokrat) cuma mendapatkan 20,85 % atau tidak lebih dari ¼ komposisi parlemen menyebabkan SBY sebagai presiden hasil Pilpres 2009 kurang pede untuk menciptakan pemerintahan. imbas dari ini menyebabkan SBY harus mengakomodir para pendukungnya seperti koalisi di parlemen. SBY harus mengalokasikan kursi menterinya untuk beberapa partai pendukungnya. Dengan cara seperti ini lah, pemerintahan SBY dapat dipertahankan untuk menghadang laju oposisi yang dibangun oleh lawan-lawan politiknya.
Dalam pembentukan kabinet, koalisi menjadi kebutuhan tak terhindarkan. Konsekuensinya, manajemen pemerintahan dan efekvitas kebijakan kerap kali akan terhambat oleh kepentingan-kepentingan untuk memelihara koalisi. Padahal tradisi dalam sistem presidensial, pengangkatan anggota kabinet merupakan hak perogratif presiden sepenuhnya tanpa mepertimbangkan partai politik atau kekuatan politik diluar presiden. Namun, konsekuensi dari multipartai melahirkan cabinet koalisi menuntut presiden mengakomodir kepentingan partai politik. Konsekuensinya, pengangkatan menteri lebih didasarkan atas latar belakang basis partai politikya ketimbang kompetensi dan profesionalitas.[5]
Pada akhirnya, koalisi yang dibangun menciptakan pemerintahan yang riuh. Pemerintahan yang riuh disebabkan oleh rapuhnya koalisi. Terdapat beberapa catatan atas proses terbentuknya koalisi partai penguasa. Koalisi dimulai dengan diskusi untuk pembagian kursi menteri bagi para anggota koalisi. Beberapa contoh yang membenarkan argumentasi ini adalah pada saat-saat menjelang deklerasi SBY-Boediono. Pertama, Detik-detik akhir kepastian PKS merapat ke SBY menjadi salah satu bukti fenomena ini.
Kedua, kolisi dibangun diatas peluang elektabilitas. Amien Rais ketika mendorong PAN berkoalisi dengan SBY salah satunya karena melihat peluang menang SBY tidak terbendung. Diskusi tentang platform koalisi nihil. Terakhir, dalam proses koalisi terdapat partai yang sekadar numpang menang. Golkar menjadi partai yang tanpa bekerja tetapi dibayar mahal oleh koalisi. Meskipun tidak proporsional dengan perolehan suaranya, Golkar mendapatkan 3 jabatan menteri. Jumlah yang tidak sedikit untuk partai yang tidak mengeluarkan keringat setetespun bagi terpilihnya pasangan SBY-Boediono. Mendapat jatahnya Partai Golkar menimbulkan resistensi yang tinggi dalam koalisi. ini disebabkan oleh karena partai Golkar adalah lawan koalisi SBY-Boediono dalam pemilihan presiden 2009. Reistensi ini terlihat dari rencana mau keluarnya PKS dari koalisi ketika itu.
Dalam kondisi-kondisi seperti ini, bangunan koalisi yang besar akan mengalami persoalan serius dalam membangun solidaritas, ini disebabkan seringnya partai anggota-anggota koalisi menendang (mengancam) dari dalam. Masing-masing partai akan berfikir kepentingannya sendiri-sendiri. Konstestasi partai-intra koalisi ini akan semakin jela erutama sekali ketika pemerintahan sudah berlangsung setengah jalan. Pada saat itu pakta integritas, komitmen dan berbagai hal yang dimaksud untuk mengikat solidaritas koalisi menjadi tidak berfungsi. Pemerintah yang berkuasa yakni SBY harus ekstra bekerja keras meredam gejolak anggota koalisi.
Dari semua pemaparan diatas mengenai hasil pemilu 2009 yang berimbas kepada kekuatan Kabinet, dapat ditarik kesimpulan yakni bahwasanya koalisi yang dibangun adalah koalisi jangka pendek.
Daftar Pustaka
Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel: studi tentang sistem kepartaian di Indonesia era reformasi, Jakarta : KPG (keputusan popular Gramedia):
Pamungkas, Sigit. 2010. Krisis demokrasi electoral, Yogyakarta: institute for democracy and welfarism.
Pamungkas, Sigit. 2010. Pemilu Perilaku Pemilih dan Kepartaian. Yogyakarta: institute for democracy and welfarism.
Yuda, Hanta. 2010. Presidensialisme Setengah Hati, Jakarta : PT Gramedia
Ramses, La Bakry (Ed). 2009. Politik dan Pemerintahan Indonesia. Jakarta: MIPI
KPU.go.id

325980 abdullah achmad madani
326237 fahrezi
325994 aenal fuad adam


[1]  Diolah dari KPU.go.id
[2] Sigit Pamungkas, Krisis demokrasi electoral, institute for democracy and welfarism, Yogyakarta, 2010, hlm 59.
[3]  Kuskridho Ambardi, mengungkap politik kartel: studi tentang sistem kepartaian di Indonesia era reformasi, KPG (keputusan popular Gramedia), Jakarta, 2009.
[4]  Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati, PT Gramedia, Jakarta, 2010, hlm. 39
[5]  Ibid, 53