Wednesday, October 10, 2012

Kearifan Lokal Dalam Arus Globalisasi: Studi Kasus (Nagari Sebagai Lembaga Penyaring Globalisasi Di Sumatera Barat)



Oleh : Fahrezi, S.IP*
Mengenal Nagari
Perubahan itu tidak untuk dilawan akan tetapi untuk dijalankan. Siapa yang melawan perubahan, maka ia akan mati ditelan perubahan itu sendiri. Masuknya globalisasi di dalam kehidupan kita saat sekarang ini bukan dianggap sebagai ancaman melainkan sebagai sebuah tantangan untuk kemajuan. Tulisan saya berikut ini akan memaparkan kearifan lokal yang ada di Sumatera Barat untuk dapat mengadopsi globalisasi tanpa menghilangkan jati diri orang minangkabau sendiri. Sistem yang memfilter (menyaring)  globalisasi ini disebut sebagai Nagari. Lembaga pemerintahan asli orang Minangkabau sejak dulu kala.
Nagari pada awalnya dinilai sebagai basis demokrasi di Minangkabau. Institusi ini dipercaya sudah ada sejak lama, bahkan, jauh sebelumnya dikenal sistem kerajaan (Ronidin, 2006:77). Nagari bersifat otonom, seperti tercermin dalam ungkapan adat salingka nagari (adat selingkar nagari). Selain memiliki teritorial yang jelas, nagari juga mempunyai pemerintahan dan adat tersendiri yang mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Itulah sebabnya mengapa nagari-nagari di Minangkabau disebut ’republik-republik mini’ (Manan, 1995). Nagari merupakan bentuk self governing community yang berbasis pada adat atau semacam republik kecil tadi yang mempunyai kekuasaan dan otonomi penuh (Summarty, 2007:22).
Nagari menyerupai sebuah the local state, tetepi ia mungkin tidak bisa dikatakan sebagai sebuah Negara modern dalam pengeritian Max Weber sebagai lembaga yang mempunyai monopoli penggunaan sarana-sarana kekerasan secara absah (Eko, 2005:21). Artinya nagari bukanlah  bentuk kecil Negara sebagai organisasi kekuasaan yang  tersusun secara hirearkhis-sentralistik serta ditopang oleh birokrasi yang digunakan penguasa untuk memerintah rakyatnya. Namun, nagari yang seperti ditegaskan oleh Mestika Zed (1996), justru menyerupai “Negara-kota” (polis) pada zaman Yunani Kuno, dimana setiap nagari bertindak seperti republik-republik kecil yang satu sama lain tidak mempunyai ikatan structural dan terlepas dari kekuasaan federal pusat. Nagari yang dipmpin secara kolektif oleh penghulu suku bersifat otonom dan tidak tunduk pada raja di pagaruyung, melainkan berbasis mewakili kaum (warga) dan keluarga dalam nagari itu sendiri.
Menurut pemahaman sederhana dalam sistem republik kecil, unit-unit politik ada secara terus menerus tanpa menghiraukan masuk dan keluarnya pemimpin-pemimpin tertentu. Anggota-anggota unit politik tidak dilihat sebagai “saudara”, tetapi sebagai warga. Kepemimpinan ditandai oleh adanya pejabat resmi, para spesialis, dan dewan-dewan. Mereka dapat mendelegasikan aspek-aspek tertentu dari tanggung jawab kepemimpinannya kepada asosiasi, atau komite, dan mereka biasanya mempercayai bahwa dewan orang-orang merdeka, atau dewan suku dan dewan nagari memiliki keuasaan tertinggi dalam memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan umum. Dalam sistem republik beberapa ketentuan diikuti, antara lain pemilihan atau rotasi pemimpin-pemimpin, tugas-tugas pemimpin dengan jelas ditentukan , pemimpin-pemimpin mempunyai kekuasaan tertinggi, jabatan merupakan kepercayaan masyarakat dan pejabat adalah pelayan masyarakat. 
Pada dasarnya, nagari disusun berdasarkan prinsip-prinsip sistem kekerabatan matrilineal dan teritorial. Sebagai unit pemerintahan terendah, nagari adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan melalui Kerapatan Adat Nagari yang berfungsi sebagai badan eksekutif, legislatif dan yudikatif merunut trias politica Montesque. Kerapatan Adat Nagari (KAN) juga mewakili kepentingan nagari terhadap nagari-nagari lainnya ataupun struktur kekuasaan lebih tinggi (Rafni dan Suryanef, 2005:353-354).
Pepatah adat menyebutkan persyaratan sebuah nagari adalah ”babalai bamusajik, balabuah balanggang, batapian tampek mandi”. Dengan demikian, suatu daerah dikatakan sebuah nagari jika daerah tersebut telah memiliki balai adat tempat bermusyawarah, masjid tempat beribadah, jalan untuk kepentingan penghubungan, gelanggang untuk berolahraga dan bermain, dan tepian tempat mandi (AA. Navis, 1984:92).
Pada awalnya, pembentukkan nagari melewati proses yang panjang, sepanjang sejarah kehidupan masyarakat tinggal di nagari tersebut. Pembentukkan nagari selalu berkaitan dengan proses persebaran penduduk, perpindahan, atau penggabungan kelompok masyarakat. Ada empat proses terbentuknya nagari yaitu banjar, taratak, koto, dan baru menjadi nagari (Oki, 1978:4). Banjar atau disebut juga kabul merupakan tahap awal dalam pembentukkan nagari. Masyarakat ini masih belum terlalu lama menetap disatu tempat dan masih tinggal di bangunan panggung sedang bertiang empat (dangau). Penduduk yang tinggal di banjar hanya berasal dari satu suku dengan mata pencaharian berburu dan berladang. Dari banjar selanjutnya berubah menjadi Taratak, yang mempunyai arti bercocok tanam, sedangkan kampung tempat para penduduknya tinggal disebut dusun. Di dusun ini tinggal dua suku asal, dengan adanya dua suku asal yang berbeda ini, terbuka kemungkinan diantara kemungkinan diantara mereka menikah dan mengembangkan keturunan. Setelah masyarakat dusun ini semakin berkembang, mereka akan turun ke kaki bukit dan bermukim disana. Kelompok ini cenderung memilih bermukim di pinggiran sungai dan anak-anak sungai. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi koto. Koto terdiri dari tiga suku berbeda. Perkembangan peduduk tahap ketiga ini semakin pesat sehingga mereka membutuhkan lahan yang leih luas. Biasanya mereka akan mencari tempat-tempat yang lebih luas untuk perkampungan mereka. Sebagian besar penduduknya sudah membangun rumah permanen. Perkembangan ini kemudian masuk pada tahap terakhir yakni tahap menjadi nagari.  
Dalam sistem nagari, berlaku kepemimpinan tungku tigo sejarang secara bersama-sama memimpin masyarakat. Penghulu memimpin dalam sistem kemasyarakatan, ulama dalam bidang keagamaan dan kaum cerdik pandai (intelektual) dalam kehidupan sosial ekonomi serta pendidikan, sesuai dengan hakikat dari demokrasi yang tidak bertumpu pada satu orang kekuasaan atau monopoli kekuasaan layaknya otoriter, di adat Minangkabau kepemimpinan kolektif itu memang berasal dari rakyat yang dipilih dan diangkat oleh warga nagari, tidak ada kepemimpinan berdasarkan garis keturunan (feodalisme) dan tidak terpusat pada satu kekuasaaan layaknya otoriter.
Secara sosiologis historis, Minangkabau memiliki akar budaya yang kuat dan kokoh dalam proses meletakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang terintegrasi dengan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat Minang itu sendiri. Masyarakat Minangkabau terkenal sebagai masyarakat yang sejak dulunya sangat demokratis dan egaliter sebagaimana tercermin dari perbedaan pandangan para leluhur orang Minangkabau (Ronidin, 2006:103).
Musyawarah mufakat sebagai landasan demokrasi lokal, orang Minangkabau cenderung menganggap musyawarah sebagai demokrasi ’khas’ etnik Minangkabau. Pemusyawaratan yang dilakukan oleh pemimpin tidak berdasar pada suara mayoritas sehingga sistem voting tidak dikenal. Musyawarah untuk mencapai mufakat didasari asas saiyo-sakato (seia-sekata) serta kesepakatan (konsensus). Hal itu tercermin dalam pepatah ’bulek lah buliah digolongkan, picak lah buliah dilayangkan’ (jika bulat sudah boleh digolongkan dan kalau pipih sudah boleh dilayangkan). Artinya suatu kesepakatan telah memperoleh persetujuan bersama dan dapat dilaksanakan. Untuk mencapai kesepakatan, musyawarah harus berpegang teguh pada prinsip alur dan patut (asas rasionalitas) yang disesuaikan dengan kondisi, situasi, waktu dan tempat. Dengan kata lain, tidak berlaku segala zaman dan keadaan.
Perbedaan pendapat dalam musyarawah di kenagarian tidak menjadi penghalang dalam mencapai mufakat, itu dapat ditunjukkan dengan ungkapan basilang kayu dalam tungku mako api ka iduik (bersilang kayu dalam tungku, api akan hidup) artinya berbeda pendapat, kalau dikelola dengan baik maka dapat memicu kemajuan. Namun demikian, solusi atas perbedaan pendapat sedapat mungkin dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti disebut dalam ungkapan bulek aia dek pambuluah bulek kato dek mufakaik (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat). Musyawarah mufakat ini jelas merupakan tradisi yang mengandung nilai-nilai demokrasi dan telah berlangsung lama sejak dahulu.
Selain hal itu, dalam musyawarah ini juga memberikan pelajaran kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Dan bisa menerima perbedaan dalam setiap musyawarah, ini bertujuan mencegah terjadinya pepatah adat yang mengatakan “rumah selesai, pahat berbunyi” yang artinya setelah kata kesepakatan dibuat, namun dibelakang terdapat ketidakpuasan yang berujung pada usaha penggagalan keputusan yang telah dibuat bersama. Dengan demikian musyawarah harus mengakomodir semua kepentingan yang ada, sehingga tidak ada lagi permasalahan dikemudian hari setelah keputusan tersebut dibuat. 
Oleh sebab itu, dapat dikatakan karakteristik dari sistem otoritas tradisional minangkabau adalah demokrasi. Setiap orang secara adat adalah sama suaranya, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Semua masalah dirundingkan dalam permusyawaratan unit sosial tadi. Putusan diambil sebagai hasil musyawarah, yang putusan tersebut dinamakan dengan mufakat seperti dijelaskan diatas.
Watak demokratis adat Minangkabau juga tercermin dari posisi perempuan dalam sistem kemasyarakatan. Perempuan minangkabau di lambangkan dengan predikat ‘bundo kanduang’ yang merupakan figur sentral dalam keseluruhan sistem keluarga. Dalam arti fungsional, bundo kanduang dipersonifikasikan oleh anggota keluarga, matang, dan memiliki kearifan (Naim, 2006:54). Dengan demikian, salah satu karakteristik demokrasi Minangkabau, antara lain adanya penghargaan terhadap posisi perempuan sebagai bundo kanduang yang memiliki figur sentral dalam sistem keluarga.
Kaum perempuan yang disebut bundo kanduaag tadi, tidak hanya bergiat didalam kegiatan PKK dan karang taruna tetapi juga terlibat dalam musyawarah BPN. Dalam pemilihan walinagari hak perempuan, juga tak dibatasi. Meskipun calon yang muncul umunya laki-laki, calon perempuan bukannya tidak dimungkinkan. Akhir-akhir ini beberapa nagari di Sumatera Barat telah ada yang wali nagari-nya perempuan seperti nagari Gantuang Ciri di Kab. Solok dan pjs wali nagari di nagari Tanjung  Kab. Tanah Datar juga perempuan. Secara umum boleh dikatakan bahwa perempuan telah dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan publik di nagari. Dalam adat Minangkabau posisi perempuan kuat karena dialah yang memiliki tanah. Kelompok minoritas pun dilindungi, terutama pendatang. Para pendatang biasanya hidup berbaur dengan masyrakat dalam bentuk perkawinan atau pekerjaan.
Sebenarnya perempuan Minangkabau dinilai punya watak progresif. Alisyabana menggambarkan bahwa perempuan minangkabau mempunyai kepercayaan atas dirinya sehingga mereka tidak bergantung sepenuhnya pada suami yang dijemputnya. Dalam kehidupannaya perempuan minangkabau bisa bekerja dan bertanggung jawab atas anak, rumah, dan tanah yang ikut dimilikinya serta dikerjakan dan dinikmatinya. Kepada suami yang dijemputnya, perempuan Minangkabau tidak merasa berhutang budi dan tidak bergantung. Dalam perbuatannya., mereka bebas.
Kepercayaan diri perempuan Minangkabau ditunjang oleh penguasaan mereka atas harta pusaka. Harta pusaka di Minangkabau diturunkan melalui garis ibu (matrilineal). Itu berarti bahwa yang berhak menerimanya adalah anggota keluarga perempuan. Anggota keluarga laki-laki dari sebuah keluarga matrilineal tidak behak menerima harta pusaka. Mereka hanya berkewajiban untuk menjaga harta pusaka itu agar tidak hilang dan mengusahakannya bermanfaat bagi kaum kerabaytnya berdasarkan garis keturunan ibu.         
Dalam sistem demokrasi sejumlah nilai budaya politik demokratis berkembang dengan baik. Dinamika sosial ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik dan pembangunan. Dalam sistem pemerintahan tradisional, partisipasi masyarakat tidak hanya tetjadi dalam memilih pemimpin adat, tetapi juga dalam membangun rumah gadang (rumah kaum). Dalam hal itu, selain menyumbang material, masyarakat juga bergotong royong menyumbangkan tenaganya. Suasana komunal masih sangat terasa pada masyarakat Minangkabau.
Aktor-Aktor Dalam Pemerintahan Nagari
Sejak pemerintahan desa diganti dengan pemerintahan nagari, maka dimulailah era baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Nagari disusun berdasarkan prinsip-prinsip sistem kekerabatan matrilineal dan teritorial. Sebagai unit pemerintahan terendah, nagari adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan melalui Kerapatan Adat Nagari yang berfungsi sebagai badan eksekutif, legislatif dan yudikatif merunut trias politica Montesque. Kerapatan Adat Nagari (KAN) juga mewakili kepentingan nagari terhadap nagari-nagari lainnya ataupun struktur kekuasaan lebih tinggi.



Bagan 1.
Struktur Kelembagaan Nagari di Sumatera Barat

a)      Pemerintahan Nagari
Secara kultural, nagari merupakan federasi genealogis yang dihuni beberapa suku, sebagai kesatuan masyarakat yang terbentuk berdasarkan ikatan kekeluargaan menurut pertalian keturunan yang ditarik dari garis ibu (matrilineal). Nagari mempunyai wilayah sendiri dengan batas-batas alam yang jelas dan mempunyai pemerintah yang beribawa dan ditaati penduduknya. Pemerintahan nagari dilakukan oleh Dewan Kerapatan Adat yang anggota-anggotanya terdiri atas penghulu-penghulu andiko sebagai wakil keluarga, kaum atau suku.
Pemerintahan nagari dijalankan Wali Nagari bersama dewan harian nagari (DHN). Keanggotaan Dewan Nagari dipilih langsung oleh rakyat yang mengurus masalah-masalah pemerintahan. Bila dimasa lalu pengambilan keputusan dilakukan dengan musyawarah mufakat, sejak saat itu dilakukan didasarkan pada suara terbanyak.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Wali Nagari dibantu oleh beberapa orang Kepala Jorong, semacam ketua RT. Wali Nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari) secara demokratis. Biasanya yang dipilih menjadi wali nagari adalah orang yang dianggap paling menguasai tentang semua aspek kehidupan dalam budaya Minangkabau, sehingga wali nagari tersebut mampu menjawab semua persoalan yang dihadapi anak nagari. Adapun fungsi dari Wali Nagari antara lain sebagai berikut:
1)      Melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangga Nagarinya
2)      Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam wilayah Nagarinya
3)      Melaksanakan kegiatan yang ditetapkan bersama Badan Perwakilan Nagari
4)      Melaksanakan koordinasi terhadap jalannya pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakat di Nagari.
5)      Melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat
6)      Melaksanakan urusan pemerintahan lainnya.
Dalam menjalankan pemerintahan nagari sehari-hari, seorang Wali Nagari dibantu oleh Sekretaris Nagari. Sekretaris nagari berkedudukan sebagai unsur staf pembantu Wali Nagari dan memimpin secretariat nagari. Sekretaris Nagari mempunyai tugas melaksanakan administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di nagari serta memberikan pelayanan administratif  kepada Wali Nagari. Adapun fungsi dari Sekretaris Nagari sebagai berikut: 
1)      Melaksanakan urusan surat menyurat, kearsipan dan laporan
2)      Melaksanakan urusan keuangan
3)      Melaksanakan administrasi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyaratan
4)      Melaksanakan tugas dan fungsi wali nagari apabila wali nagari berhalangan melaksanakan tugasnya
Secara kultural perubahan dari pemerintahan nagari ke pemerintahan desa di Sumatera Barat menimbulkan beberapa implikasi. Diantaranya seperti kepemimpinan formal terendah telah bergeser dari kepemimpinan kolektif tali tigo sapilin (tali tiga sepilin) dan tungku tigo sajarangan (tiga tungku sejarangan) kepada Wali Nagari. Masa jabatan walinagari adalah 6 tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali untuk satu kali periode berikutnya.
Istilah “tigo tungku sajarangan” sendiri muncul setelah masuknya islam, yakni penghulu, ulma, cerdik pandai yang berlangsung di nagari-nagari dan suku-suku (sejenis marga) di minangkabau (Zuhro 2009: 102). Pada tingkat alam minangkabau (wilayah adat seluruh orang minang) eksistensi tigo tungku sajarangan terlihat adari pembagian kewenangan antara raja alam di pagaruyuang, raja ibadat di sumpur kudus, dan raja adat dib u. ini menunjukkan bahwa kepemimpinan diminangkabau bersifat kolektif dan setara.
Hal senanda juga diungkapkan Nusyirwan Effendi (2004) pada awalnya sebelum masuknya islam, tigo tungku sajarangan tidak dikenal dinagari, yang ada adalah istilah limbago (institusi) yang dikenal dengan sebutan limbago niniak mamak yang mengatur kehidupan masyarakat nagari disegala bidang seperti adat, ekonomi, sosialdan lain-lain. Istilah tali tigo sapilin baru dikenal setelah terjadi perubahan nagari menjadi desa selama orde baru dengan acuan tali tigo sapilin (adat, agama, dan hokum negara).  
b)     Badan Perwakilan Nagari (BPN)
Sebagai level pemerintahan terendah dan memiliki otonomi sepertihalnya desa dijawa, maka nagari juga memiliki sebuah badan legislatif yang bernama Badan . Perwakilan Nagari (BPN). Kehadiran BPN diharapkan dapat membawa perbahan bagi kehidupan perubahan bagi kehidupan sosial politik masyarakat nagari yang selama ini bergerak selama ini bergerak secara sentralistis tanpa adanya mekanisme checks and balances serta adanya pemandulan partisipasi masyarakat.
Keanggotaan Badan Perwakilan (BPN) ini merupakan utusan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat nagari atau wakil dari penduduk nagari dengan mempertimbangkan keterwakilan wilayah dan unsur-unsur masyarakat yang ditetapkan secara musywarah mufakat. Keanggotaan BPN berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat No 9 Tahun 2000 dan telah diperbaharui dengan Perda Prov. Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari. Menurut peraturan tersebut keanggotaan BPN adalah berasal dari unsur ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang dan pemuda. Tiap unsur ini memiliki basis pada tingkat jorong, sehingga pada pemilihan anggota BPN maka masing-masing jorong mengutus masing-masing dua orang, kemudian utusan ini bermusyawarah untuk menentukan siapa wakilnya dalam BPN.
c)      Kerapatan Adat Nagari (KAN)
Kerapatan Adat Nagari (KAN) merupakan lembaga yang telah ada sejak tumbuh dan berkembangnya masyarakat minangkabau. Keberadaan KAN ini tidak bisa dipisahkan dari ninik mamak karena seluruh penghulu/ninik mamak yang ada dalam sebuah nagari akan tergabung dalam KAN. Setiap nagari melaksanakan kekuasaan yudikatif melalui kerapatan adat, didalam kerapatan adat berkumpul para ninik mamak yang mewakili kaumnya dan melakukan peradilan atas kaumnya.
Sebagai konsekuensi dihapusnya nagari sebagai unit pemerintahan terendah pada masa orde baru, maka KAN sebagai salah satu struktur dalam nagari pun dibekukan . akan tetapi kerapatan nagari sesungguhnya masih ada untuk melindungi nagari sebagai satu kesatuan hukum adat dikeluarkan sebuah peraturan daerah dengan No 13 pada tahun 1983. Perda ini kembali mengukuhkan keberadaan KAN.
Perda Provinsi Sumatera Barat No 9 tahun 2000 dan diperbaharui lagi dengan Perda No 2 tahun 2007 tentang ketentuan pohon pemerintahan nagari masing-masing kabupaten menyikapinya dengan Perda Kabupaten. Pemerintahan nagari mau mendengarkan dan memperhatikan pendapat dari KAN, Pemerintah nagari dharapkan mengakomodir sumbang saran KAN, sehingga hubungan antara walinagari dan KAN berjalan efektif.
Menurut Mochtar Naim (2004), bahwa dalam masyarakat tradisional minangkabau, kepemimpinan para ninik mamak merupakan salah satu unsur kepemimpinan “tungku tigo sajarangan”, yang terdiri dari para ninik mamak, alim ulama, dan cerdik pandai. Peran ninik mamak berkaitan dengan adat dan hubungan kedalam dan negosiasi keluar nagari. Sebelum masuknya islam niniak mamak merupakan pemimpin resmi masyarakat minangkabau yang kuat dan berwibawa terutama sekali dalam nagari. Saat sekarang ini niniak mamak sebagian besar adalah pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam masyarakat minangkabau. Ketua KAN biasanya dipegang oleh salah satu niniak mamak yang ada dinagari.
Cara-Cara Nagari Menyaring Globalisasi
a.      Sifat Egaliter masyarakat Minangkabau
Keberhasilan masyarakat ranah Minang Sumatera Barat dalam menata hubungan kekeluargaan selama ini sangat ditunjang oleh penerapan nilai-nilai egaliter yang kita warisi dan tampak jelas dalam hubungan kekerabatan duduk sama rendah dan tegak sama tinggi.
Walaupun  secara  formal  seorang pemimpin punya kedudukan  lebih  tinggi,  akan tetapi posisi pemimpin tidak terlalu berjarak dengan  masyarakat. Dalam filosofi budaya Minangkabau pemimpin itu tak dapat memainkan peran sebagai raja,  sultan,  atau kaisar. Ia hanya diberikan kedudukan sedikit saja lebih  tinggi  dari  rakyat  biasa,  seperti  tercermin dalam ungkapan tradisional  ditinggikan  sarantiang didaulukan selangkah (ditinggikan seranting   didahulukan   selangkah). Konsekuensi  politisnya,  kalau pemimpin  berlaku  sewenang-wenang  atau  tidak aspiratif, maka rakyat atau lembaga perwakilan rakyat boleh membantah dan bahkan menggantinya dengan pemimpin yang dianggap lebih baik. Sesuai dengan pepatah adat orang Minangkabau rajo alim rajo disambah, rajo lalim rajo disanggah (raja yang alim raja yang disembah, raja yang zalim raja yang disanggah), jadi ada semacam mosi tidak percaya dari masyarakat kepada pemimpin yang tidak benar dalam kepemimpinannya.
b.      Perubahan dimungkinkan dalam adat Minangkabau
Perubahan bagi masyarakat Minangkabau adalah alamiah dan ini mengakibatkan perubahan terhadap struktur budaya mau pun struktur nagari di Minang menjadi hal mesti. Kiranya asumsi ini didukung oleh filosofi Minang “sakali aia gadang, sakali tapian barubah (sekali air besar, sekali tepian berubah)”. Pepatah adat ini bermakna bahwa perubahan dikiaskan dengan banjir tadi, bisa terjadi kapan saja, dan ini akan membawa efek bergesernya nilai-nilai adat tersebut yang dikiaskan dengan tepian. Pepatah ini juga dimaknai bahwa perubahan (banjir) boleh saja terjadi, tetapi adat (tepian) tidak boleh hilang dan hanya boleh bertransformasi.
c.       Pemilihaan wali nagari (kepala Pemerintahan nagari)
Nagari adalah produk dari sejarah. Maka perubahan-perubahan pun hampir tidak pernah luput dari pertumbuhan nagari, ini membuat nagari dari masa ke masa semangkin jauh berlari meninggalkan identitas aslinya. Hal ini berkaca dari perubahan bentuk “demokrasi” yang membentuk bangunan nagari, pada awalnya demokrasi dalam pembentukan struktur-formalnya lebih bersipat representatif, namun akhirnya terpecah-pecah dalam puing pencarian formasi struktural-formil dan kini bermuara pada demokrasi liberal dan cenderung memaknai proses demokrasi sebagai. Saat ini nagari menganut sistem trias politica Montesque. Pemilihan walinagari saat ini sudah bergeser dari yang dahulu kala bertumpu pada pemangku adat, namun saat sekarang ini untuk menjadi seorang walinagari harus melalui pemilihan langsung masyarakat nagari.
d.      Semangat juang merantau orang minangkabau (kompetensi)
Tradisi unik orang Minangkabau adalah “merantau”, yang dimaksud dengan merantau dalam perspektif orang minangkabau adalah apabila seseorang pergi keluar daerah budayanya dengan kemauan sendiri atau tidak dapat dipandang sebagai perbuatan merantau, selanjutnya meratau mengandung makna bahwa orang yang merantau tersebut bukan lagi berkomunkasi dan berintekrasi hanya dengan kaum kerabatnya atau anggota kelompok etnisnya, melainkan juga dengan orang yang latar belakang etnis dan kulturnya berbeda-beda. Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, merantau telah terlembaga secara sosial dan budaya.
Rantau merupakan suatu petualangan pengalaman dan geografis. Orang nagari akif mengunjungi rantau, secara sadar ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan sanak saudara untuk mencoba merantau, mengadu peruntungan. Merantau memberikan semacam saluran-saluran atas tekanan-tekanan yang mungkin dengan mudah meletup dalam keluarga matrilineal sebagai inti masyarakat minangkabau. Rantau, karenanya menyediakan semacam “katup pelepas” yang mampu melindungi tekanan-tekanan sosial dan eksplosi. Dengan demikian, tenaga-tenaga atau kekuatan yang menciptakan timbulnya ketegangan-ketegangan mungkin dapat tersalur diluar. Lagi pula, ia dapat disalurkan secara positif dan menguntungkan keluarga atau malah untuk keluarga secara keseluruhan. Keluarga-keluarga yang memiliki sedikit sawah untuk membantu anggota keluarganya, lebih suka berusaha mencari tambahannya dengan cara merantau.
e.       Pendidikan generasi muda
Dalam upaya pembinaan generasi muda dalam budaya orang minangkabau biasanya mendidik mereka di Surau (mesjid, langgar). Surau pada masa dahulu merupakan kelengkapan suku dan tempat berkumpulnya anak-anak muda serta remaja dalam upaya menimba ilmu pengetahuan. Surau sekaligus juga digunakan sebagai tempat tidur bersama, membahas berbagai ilmu, dan juga dimanfaatkan sebagai tempat penyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapi oleh suku melalui musyawarah bersama yang merupakan inti demokrasi kultural nagari. 
f.       Peranan otoritas adat dalam penggunaan tanah ulayat oleh Investor
Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai lembaga yudikatif mengenai permasalahan-permasalahan yang ada dinagari. Sejak era globalisasi melanda seluruh dunia termasuk sampai ke Sumatera Barat, banyak tanah-tanah ulayat yang mulai dipergunakan untuk pembangunan perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit. Otoritas adat sebagai perwakilan masyarakat nagari bersama-sama dengan pemerintah nagari mencoba mendekatkan masyarakat dengan kesejahteraan. Namun demikian, tentu semuanya tidak berjalan dengan mulus, ada beberapa kasus persengketaan antara investor dan masyarakat. Persengketaan anatara masayarkat dan pihak perkebunan ini lah yang seharusnya bisa diselesaikan oleh pemerintah nagari bersama dengan pemerintah daerah setempat. Selama ini kebiasaannya pihak investor selalu memberikan dana CSR nya kepada otoritas adat untuk dapat diperuntukkan kepada pembangunan nagari.
Penutup
Sebenarnya adat, bagi orang Minangkabau bukanlah sebuah aturan yang sifatnya kaku dan statis, tetapi harus ditempakan sebagai sebuah aturan yang dinamis tadi, dan memungkinkan untuk mengalami perubahan. Ini tertuang dalam pengklasifikasian adat menurut orang Minangkabau sendiri, yang dibagi atas adat babuhua mati yaitu adat yang cenderung dipertahankan dan tidak boleh diubah, serta adat babuhua sentak yaitu adat yang memungkinan untuk dimodifikasi dan diperbaharui sesuai tuntutan perkembangan masyarakat itu sediri. Memposisikan adat seperti itu, membuat masyarakat Minangkabau tetap mampu mempertahankan adat itu sendiri ditengah derasnya arus perubahan dan intervensi budaya luar yang masuk kedalam kehidupan masyarakatnya (globalisasi).



Daftar Pustaka
Asnan, Gusti. 2007. Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Benda-Beckmann, Kebeet. 2000. Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Jakarta: Gresindo
Eko, Sutoro. 2005. Menggantang Asap ? Kritik dan Refleksi Atas Gerakan Kembali Ke Nagari. Yogyaarta: IRE
Fattah, Eep Syaifullah. 1999. Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Politik Masa Depan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Graves, Elizabeth E. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Held, David. 1995. Demokrasi dan Tatanan Global (Democracy and The Global Order). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kahin, Audry. 2005. Dari Pemberontakan Ke Integrasi: Sumatera Barat 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Manan, Imran. 1995. Birokrasi modern dan otoritas tradisional minangkabau. Padang : Yayasan pengkajian kebudayaan minangkabau.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
                          2006. Tiga menguak Takdir: Perempuan Minangkabau di Persimpangan Jalan. Jakarta : Hasanah.
Oki, Akira. 1978. Social Changes in The West Sumatran Village: 1908-1945. Disertasi, Canberra Department of Pacific and Souhteast Asian History. The Austalian National University (online). Diunduh 20 Juni 2012.
Rafni, Al dan Suryanef. 2005. Kembali ke nagari: kembali ke identitas dan demokrasi lokal. Jakarta: LP3ES.
Ronidin. 2006. Minangkabau di mata anak muda. Padang : Andalas University Press.
Summarty, Betty. 2007. Revitalisasi Peran Ninik Mamak Dalam Pemerintahan Nagari. Yogyakarta: Polgov UGM
Zainuddin, Musyair.2008. Implementasi pemerintahan nagari berdasarkan hak asal usul adat minangkabau. Yogyakarta : Ombak.
Zed, Mustika. 1996. ”Nagari Minangkabau dan Pengaruh Sistem Kolonial”. Jurnal Genta Budaya 3.
Zuhro, R. Siti dkk. 2009. Demokrasi lokal: nilai-nilai budaya politik lokal. Yogyakarta : Ombak.


* Mahasiswa S2 Politik dan Pemerintahan UGM

No comments:

Post a Comment