Sunday, May 6, 2012

REVITALISASI DEMOKRASI LOKAL MINANGKABAU BERBASIS NAGARI DI SUMATERA BARAT



A.    Latar Belakang
Hampir dua abad lalu, ketika pertama kali datang didaerah pedalaman Sumatera Barat pada 1818, Sir Thomas Stamford Raffles pernah merasa frustasi terhadap sistem pemerintahan Minangkabau yang bertumpu kepada Mufakat. Disana dia disambut oleh sekelompok pemimpin setempat (penghulu). Raffles meminta merka segera memutuskan berapa dia harus membayar agar diizinkan melewati wilayah mereka.[1]
Setelah diberitahu keinginan Raffles untuk dapat segera melanjutkan perjalanan, dengan tenang mereka mengatakan bahwa mereka telah mempertimbangkan keinginan itu, telah memusyawarhkan sepanjang hari, dan akhirnya sampai kepada kesepakatan  bahwa mereka belum mencapai keputusan apapun, sebab jumlah penghulu yang hadir hanya dua pertiga sedangkan sepertiga lain tidak dapat hadir, dan mereka menawarkan tempat untuk Raffles dan rombongannya untuk menginap selama tiga har sambil menunggu keputusan akhir. Baru setelah sepertiga penghulu itu hadir dan mereka semua bermusyawarah selama sekitarsatu atau dua jam, akhirnya dicapai keputusan tentang jumlah uang yang harus dibayarrombongan Raffles agar dapat melanjutkan perjalanan.
Demokrasi Lokal berbasis nagari tersebut tercabik-cabik pasca pemberontakan setengah hati PRRI dengan Pusatnya Sumatera Barat. Kekecewaan daerah terhadap pusat mulai dari jatuh bangunnya kabinet dan terpuruknya ekonomi serta tidak meratanya pembangunan antara pusat dan daerah. Pasca pemeberontakan tersebut menurut Audrey Kahin (2005:356), setelah perang yang meluluhlantakan banyak mahasiswa kembali kekampus, tetapi pemberontak dari dataran tinggi Sumatera Barat, di mana orang-orang Komunis sangat kuat, takut untuk kembali kekampung mereka, dan banyak yang meninggalkan daerahnya, pergi Jakarta, Malaysia, atau ke tempat lain dimana mereka tidak dikenal.
Pada umumnya, tentara mendapat perlakuan yang lebih baik dari sipil. Bekas pemberontak merasa bahwa pada tahun-tahun sebelumnya pendukung mereka yang tetap tinggal di kota menderita bahkan lebih berat dari teman mereka dihutan. Di Padang, pasukan pemerintah dan pendukung lokalnya, terutama dari OPR (tentara yang berhaluan komunis), menempatkan orang dipenjara, menampar muka mereka. Tahun-tahun sesudah penyerahan banyak pemberontak yang kebali dari hutan mendapat penghinaan yang sama dengan simpatisan mereka di kota pada tahun-tahun sebelumnya.
Tahun-tahun sesudah pemberontakan merupakan titik nadir untuk Sumatera Barat. Banyak orang mengikuti pemberontakan meninggalkan daerah dan dimana mereka mendapatkan tempat berteduh seringkali merasa malu bahkan untuk mengakui identitas Minang mereka. Sumatera Barat sendiri seperti daerah taklukkan, diperintah dinegeri sendiri, sebagaimana dilaporkan oleh Kedutaan Amerika,[2] oleh kerumunanan pejaba dan tentara Jawa yang tumpah kesana selama dan sesudah pemberontakkan. Orang Sumatera Barat melihat diri mereka sebagai warganegara kelas dua.
Hal senanda juga diungkapkan oleh Sofyan Asnawi (1991), selama revolusi orang memimpikan bahwa dalam Indonesia yang merdeka sebagai hasil perjuangan, cita-cita mereka untuk otonomi dan kesamaan akan terpenuhi, dan Sumatera Barat beserta daerah lain akan bergabung menjadi keseluruhan yang kompleks dimana tidak ada unsurnya yang kehilangan keprbadiannya. Harapan ini telah tenggelam sesudah penyerahan kekuasaan, dan tahun-tahunke kecewaan berikutnya telah menyebabkan rakyat didaerah ini berusaha mencapai tujuannya dengan cara yang lebih radikal, memproklamirkan dewan banteng sebagai cara memaksa pembagian kekuasaan yang lebih besar diantara pusat dan daerah. Tetapi mereka menikmatinya hanya dalam waktu yang singkat ditahun 1957, ketika mereka mencapai otonomi daerah sementara pada waktu yang sama berilusi bahwa tindakan mereka sesungguhnya mempengaruhi langkah dan karakter dari Republik. Waktu yang pendek ini telah diikuti oleh perang, kekalahan dan hinaan.
Pada pertengahan tahun 1980 dimasa Orde Baru, Sumatera Barat telah diintegrasikan ke dalam indonesia sedemikian rupa. Pusat pada umunya menentukan bentuk integrasi dengan menekankan politik lokal Sumatera Barat, yang sejalan dengan tindakan jakarta dalam negara secara keseluruhan. Tindakan yang sangat menentukan melawan struktur asli dari kontrol sosial di Sumatera Barat adalah reorganisasi pemerintahan yang terjadi pada tingkat paling bawah dari pemerintahan. Ini mencakup penggantian nagari menjadi satuan administrasi yang lebih kecil yang serupa dengan desa dijawa.
Nagari telah berabad-abad menjadi pusat kehidupan dipedesaan Minangkabau, namun sejak pertengahan abad ke-19 ia telah mengalami sederetan perubahan sebagai hasil campur tangan, mulanya kekuasaan kolonial, dan kemudian dari pemerintah pusat republik. Jadi pada tahun-tahun pertama Orde Baru, nagari tlah diakui memiliki potensi yang besar untuk pembangunan. Pemimpin setempat mendiskusikan bagaimana lembaganya dapat diorganisasikan untuk melaksanakan rencana pemerintah pusat. Namun, segala usaha ini menjadi sia-sia ketika jakarta mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1979, yang dimaksudkan untuk menyeragamkan struktur administrasi pemerintahan desa diseluruh indonesia. Undang-undang itu membuat fungsi dan nama (desa) yang seragam untuk satuan yang paling bawah dari pemerintahan, dan mengatur organisasi internalnya, fungsinya dan hak prerogratifnya dengan pola struktur keseluruhannya berdsarkan model desa di jawa.[3]
Pemecahan nagari menhancurkan institusi lokal tradisional yang sudah ada beratus tahun, lembaga yang mengatur tidak hanya tingkah laku sosial dan kultural dari rakyat pedalaman, tetapi juga basis ekonomi masyarakat dalam hal tanah, warisan, dan pengolahan sawah. Karena seperti yang penulis utarakan sebelumnya, nagari tidak hanya unit teritorial yang sederhana tetapi sesuatu yang didasarkan kepada kelompok garis turunan dan fungsi-fungsi yang luas. Secara hukum, dan sesuai dengan adat yang sudah lama ada, dapat disebut nagari kalau sudah mempunyai persyaratan tertentu, termasuk mesjid, balai, jalan, dan tempat mandi umum.
Perubahan ini menyebabkan disorientasi dalam kehidupan rakyat dipedesaan ketika bentuk kekuasaan simbolis tradisional mereka dan segala isinya dirampas. Dengan memandang pemerintah desa yang baru sebagai ciptaan pemerintah pusat, banyak yang kehilangan keinginan atau kemampuan untuk ambil bagian dalam pembangunan. Makin lama mereka menganggap bahwa pemerintahan Jakarta adalah kekuasaan yang bertanggungjawab untuk membangun daerah dan menyerahkannya ke pusat untuk mengerjakannya. Selain itu pengukuhan desa oleh pemerintah pusat diartikan oleh rakyat Sumatera Barat sebagai penghapusan sisa otonomi lokal dan   memaksakan dominasi jawa.[4]
Jatuhnya rezim orde baru pad tahun 1998, di Sumatera Barat dan diseluruh Indonesia memulai babak baru demokrasi lokalnya setelah dikukung sentralisasi oleh pusat. Merespon hal tersebut,Sumatera Barat menggagas kembali kenagari. Kembali ke nagari berarti sebagai bentuk desentralisasi dan reorganisasi nagari dari local state government (ketika menjadi desa dimasa orde baru), menuju penemuan kembali self-governing community dan pembentukan local self govenment baru. Nagari lama merupakan bentuk self governing community yang berbasis pada adat atau semacam republik kecil yang mempunyai kekuasaan dan otonomi penuh. Pada masa orde baru, pembentukan the local state goverment, sekaligus pemisahan antara desa dan negara dengan adat.[5]
Sekarang ini pasca orde baru, nagari dikembalikan lagi, desa dihilangkan. Tetapi nagari baru tidak menyerupai “republik kecil” dan sedikit berbeda dengan the local state government versi desa. Pembentukan kembali (recreating) nagari sekarang sama dengan pembentukan the local state yang formatnya menyatukan antara desa negara dengan desa adat, menyerupai the local self government. Nagari tidak sepenuhnya diatur oleh adat dan agama yang tercermin dalam pepatah adat bersandi syara’-syara’ bersendi kitabullah, tetapi juga diatur oleh hukum negara yang secara struktural berada dalam kendali kabupaten.
Sebagian ahli berpendapat bahwa kembali bernagari merupakan kembalinya orang minangkabau kejati dirinya. Pilihan untuk menghidupkan kembali pemerintahan nagari didorong oleh UU No 22 Tahun 1999. Semangat yang terkandung dalam UU No 22 Tahun 1999 menjadikan desa atau nagari sebagai self governing comunnunity yang bersifat otonom atau mandiri. Namun demikian terlepas dari itu penelitian Franz dan Keebet Von Benda-Beckmann dalam Identitas-Identitas Ambivalen : Desentralisasi dan Komunitas-Komunitas Politik Minangkabau.[6] Terjadi kontestasi antara penyelenggaran pemerintahan negara dengan otoritas adat LKAAM mengenai pemerintahan nagari di Sumatera Barat. Mereka berangkat dari desentralisasi yang telah menggugah proses untuk dirundingkan kembali batas-batas sosial dan politis di Sumatera Barat diberbagai arena yang saling terkait, masing-masing dengan fokus dan kepentingan-kepentingannya sendiri. Otonomi yang memberikan kabupaten-kabupaten kebebasan untuk merancang kembali hubungan pemerintah dengan nagari-nagari yang sempat menjadi polemik dengan pemerintah (negara), seperti sebuah pertarungan antara otoritas dalam bentuk adat dengan negara.Kembali ke nagari dikarenakan pemerintahan desa bukan budaya minangkabau, pemerintahan yang dipaksakan kepada mereka. Perdebatan-perdebatan kembali kenagari begitu digencarkan ketika kran desentralisasi dibuka kembali. Perdebatan-perdebatan ini terjadi dipusat-pusat perkotaan dan daerah-daerah di Sumatera Barat, sementara para perantau minangkabau juga mengambil peran aktif. Penghubung-penghubung penting ini dibentuk oleh elit-elit perkotaan yang telah secara aktif terlibat dalam politik nagari sebagai pejabat adat atau kapasitas lain. Bagi beberapa hal, ini memungkinkan kepulangan pada nilai-nilai mereka sendiri yang dulu ditindas oleh rezim jakarta yang otokratis. Desentralisasi dan kembali ke negari lebih dari rekonfigurasi geografis dan administraif bagi masyarakat minangkabau/ Sumatera Barat.
Terlepas dari semua itu bagaimanakah konsep revitalisasi kebudayaan demokrasi lokal minangkabau, ibarat membangkitkan sebuah mayat yang telah lama mati dan ini sesuai dengan pepatah orang minangkabau ketika kembali ke nagari, ibarat mambangkik batang tarandam (ibarat membangkitkan batang yang terendam). Penulisan ini ingin melihat konsep-konsep apa sajakah yang bisa menghidupkan kembali suasana asli demokrasi lokal minangkabau dimasa saat sekarang ini.


[1] Memoir of the life and public service of sir Thomas Stamnford Raffles, seperti yang dikutip Audry Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi : Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Saya berangkat dari kasus kecil ini, seperti halnya apa yang diangkat oleh Clitford Geertz dalam melahirkan teori politik aliran Santri, Priyayi, dan Abangan. Awalnya Geerzt Cuma melihat disebuah daerah dipulau jawa, orang disebuah rumah menangis merauang-raung, timbul suatu tanda tanya bagi Geertz apakah yang sebenranya terjadi, ternyata ada orang meninggal dan mayatnya tidak boleh dikuburkan karena dia Komunis/PKI sedangkan masyarakat di sana adalah kalangan NU. Dari hal sekecil itu dia membuat sebuah konsep politik aliran tadi yang diakisahkan dalam bukunya mengenai daerah tersebut yang dia sebutkan dengan nama  tersendiri yakni Mojokuto.
[2] “The West Sumatran Political Scene. Airgram kepada Department of State dari Floyd L. Whittington, Counselor of Embassy for Political Affair. 19 Juli 1963. Seperti di Kutip Audrey Kahin.
[3] Lihat Tsuyoshi Kato dalam Diffent Field Similar Locusts: Adat Communities and the Village Law of 1979 in Indonesia. 1989, hlm. 89-114
[4] Lihat Hasan Basri Durin, Catatan Seorang  Pamong (jakarta: Obor), hlm. 101-104
[5] Betty Sumarty. Revitalisasi Peran Niniak Mamak dalam Pemerintahan Nagari, hlm. 22
[6] Franz dan Keebet Von Benda-Beckmann dalam Identitas-Identitas Ambivalen : Desentralisasi dan Komunitas-Komunitas Politik Minangkabau. Dalam Politik Lokal Di Indonesia, Editor: Nordholt.

1 comment: