Monday, May 7, 2012

Partai Politik: Antara Koalisi Dan Oposisi


Oleh: Fahrezi*
Dari semua persoalan agenda dinamika perubahan perpolitikan Indonesia pasca jatuhnya Soeharto diatas. Tulisan ini mengambil kasus yang dianalisis yakni mengenai partai politik setelah jatuhnya orde baru. Partai politik merupakan salah satu institusi inti dari pelaksanaan demokrasi modern. Dalam sistem demokrasi modern mengandaikan sebuah sistem yang disebut keterwakilan (representasi), baik keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti parlemen di indonesia ini (DPR/DPRD), maupun dalam institusi kepartaian. Partai politik secara umum memiliki fungsi yakni, sosialisasi politik, rekrutmen politik, fungsi artikulasi dan fungsi agregasi politik.
Saya tidak akan membahas peta ideologi partai politik seperti Herbeth Feith ketika melakukan kategorisasi partai politik pada tahun 1995 adalah seperti nasionalisme radikal, tradisional jawa, islam (tradisional dan modern), sosialisme demokrat dan komunisme. Saya juga tidak membahas transformasi sistem partai di indonesia menurut Marcus Mietzner dari sentrifugal ke arah sentripetal. Namun demikian, saya juga tidak bisa terlepas begitu saja dari konsep yang digagas Feith dan Mietzner. Saya melihat ada sesuatu yang menarik ketika melihat pertarungan partai politik pasca jatuhnya Soeharto. Mengenai kekuasaan partai politik, terlebih dahulu kita ketahui secara umum ada tiga jenis pengelolaan partai politik yakni sebagai berikut:
1.      Dominasi Partai Pemenang dengan adanya partai oposisi
2.      Dominasi  partai pemenang secara mutlak
3.      Koalisi antar partai.
Model dominasi kekuasaan oleh partai pemenang dengan disertai oposisi adalah realitas kekuasaan politik yang dijumpai ketika partai-partai yang kalah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam koalisi, mampu bersikap resisten dan kritis terhadap dominasi kekuasaan politik yang dipegang oleh partai pemenang pemilihan umum. Oposisi politik yang dilakukan oleh partai-partai kecil yang kalah pun seringkali tidak seragam.
Model kedua dominasi mutlak atas kekuasaan politik terjadi pada kondisi ketika satu partai politik memenangkan pemilihan umum secara mutlak. Partai-partai lainnya, meskipun melakukan koalisi antar partai tidak akan mampu menggoyahkan posisi dominan dari partai pemenang tersebut. Situasi seperti ini bisa dijumpai pada rezi-rezim otoriter yang kadangkala melakukan manipulasi atas pemilihan umum. Model ini bisa menjelaskan Indonesia dimasa orde baru dimana Golkar sebagai yang direstui pemerintah selalu meraup suara lebih dari 60 %.
Sedangkan model yang terakhir adalah pengelolaan partai politik oleh partai-partai dengan cara koalisi merupakan kolaborasi kepentingan antar partai ketika suara mayoritas dalam legislatif tidak mampu dicapai oleh satu partai tertentu. Maka blok koalisi antar partai pun mengayun kesana kemari seperti pendulum tergantung kepada kepentingan politik yang hendak dinegosiasikan. Pendekatannya karena ada kepentingan bersama, maka pemetaan koalisi antar politik tidak akan bisa didekati dengan pemetaan ideologi masing-masing partai politik, tetapi harus dianalisis berdasarkan kepentingan yang dimiliki setiap partai.
Berbicara kekuasaan partai politik pasca jatuhnya Soeharto, model manakah yang layak untuk menjelaskannya? Berkaca dengan kehidupan politik sekarang, karena tidak adanya suara mayoritas diparlemen menyebabkan partai politik melakukan satu koalisi untuk membentuk suatu kekuatan besar. Pada pemilu 1999 pun dapat kita lihat bagaimana suara PDI P dan Golkar tidak berbeda jauh. Disamping itu, dapat kita saksikan kabinet pertama setelah pemilu 1999, yang ketika itu sering disebut orang dengan kabinet pelangi karena Gus Dur dan Megawati sesungguhnya merupakan proses akomodasi dan konsesional politik terhadap partai-partai yang mempunyai jasa dalam naiknya Gus Dur dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kita tentu mengetahui dengan koalisi Poros Tengah yang dibangun Amien Rais ketika menaikkan Gus Dur dan Poros Tengah juga yang berkoalisi dengan Golkar dan PDI P untuk menurunkan Gus Dur dari tampuk kekuasaanya pada Sidang Istimewa MPR tahun 2001. Bagaimana Partai Golkar, PDI P, PAN, PPP, PBB yang pada Sidang Umum MPR 1999 saling ngotot untuk memenangkan tokoh-tokohnya ketika Sidang Istimewa MPR 2001 tersebut, mendongkel Gus Dur dari kursi kepresidenannya.
Pada Pemilihan Presiden pada tahun 2004, drama partai politik dengan episode upaya koalisi untuk persiapan pencalonan Presiden. Ada baiknya kita telusuri perjalanan koalisi tersebut di dunia nyatanya, mulai dari putaran pertama (Pilpres I), putaran kedua (Pilpres II) Selanjutnya dari hasil peringkat suara terbanyak kesatu dan kedua, pada Pilpres I, keluar dua pasangan capres/cawapres untuk maju pada Pilpres putaran kedua. Proses konsolidasi dalam mendukung pasangan capres/cawapres SBY-JK melalui koalisi Partai Demokrat (PD), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) serta Partai Keadilan Sejahtera (PKS), memperlihatkan penggabungan suara partai memberi pengaruh pada pilihan rakyat dalam Pilpres II, sehingga bisa kita katakan bahwa konsolidasi tampak cukup berhasil dengan format koalisi tersebut
Bergabungnya Partai Golkar di masa Jusuf Kalla (Ketum Partai Golkar) makin memperkuat koalisi di parlemen untuk mendukung kebijakan SBY-JK di eksekutif.  Sehingga sangat jelas pelajaran dapat ditarik oleh Partai Demokrat, bahwa koalisi parpol yang dibangunnya di tahun 2004 menjelang Pilpres telah memberikan sinergi sangat kuat bagi Partai Demokrat hingga hasil yang dicapainya sekarang. Tidak hanya stabilitas kepemimpinan nasional selama periode 2004-2009, tetapi juga secara kelembagaan Partai Demokrat mengalami proses pelembagaan yang baik dan sangat berarti. Stabilitas ini tidak terlepas dari koalisi yang sesuai arti dan prinsipnya merupakan penggabungan energi dalam dukungan atau dalam mengatasi ancaman. Kalau prinsip atau sebabnya adalah untuk kepentingan konsolidasi politik, maka ukuran-ukuran seperti parliamentary threshold (PT) akan menjadi sebuah indikator akibat dari proses pengerucutan, akibat kesamaan-kesamaan platform partai politik sehingga dapat mendorong terwujudnya multipartai sederhana. Langkah ini berhasil membangun koalisi dengan dukungan mayoritas absolut (sekitar 70 %) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat tidak membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR.
Pada Pemilu 2009 Demokrat sebagai partai penguasa berhasil keluar sebagai pemenang dengan memperoleh 20 % suara di parelemn. Koalisi jilid baru pun dibangun lagi, Seketraiat Gabungan (Setgab) menjadi nama baru payung bagi para partai koalisi SBY-Boediono  


Selain adanya koalisi, wajah lain partai politik indonesia juga mulai menyebut-nyebut Oposisi. Meskipun didalam konstitusi negara kita tidak ada pernah disebut-sebut ada oposisi atau memberi peluang kepada oposisi. Namun dapat dipahami oposisi bukanlah penantang, oposisi bukan pula sekedar pihak yang menyatakan ketidaksetujuan, oposisi buakan pula sebagai tukang teriak semata-mata, oposisi bukan juga kalangan yang melawan secara membabi buta/frontal.
Berbicara oposisi, mengutip Eep Saifulah Fatah dalam Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Perubahan politik Masa Depan (1999). Oposisi adalah setiap ucapan atau perbuatan yang meluruskan kekeliriuan tetapi sambil menggarisbawahi dan menyokong segala sesuatu yang sudah ada dijalan yang benar. Maka dalam konteks  ini, beroposisi politik berarti melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa juga benar. Ketika kekuasaan menjalani kekeliruan, oposisi berfungsi mengabarkan kepada khalayak kekeliruan itu sambil membangun penentangan dan perlawanan atasnya. Sebaliknya ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara benar maka oposisi menggarisbawahinya sambil membangun kesadaran dan aksi politik untuk meminta kelanjutan konsistensi dari praktik kebenaran itu. Dalam politik kebenaran biasanya diukur dari proses dan produk. Pada tingkat proses, kebenaran hanya diwujudkan keterlibatan sebanyak dan seluas mungkin  perspektif dalam kebijakan. Pada tingkat produk kebenaran bisa dilihat dari seberapa adil setiap rumusan dan implementasi sebuah aturan atau kebijakan maka kebenaran dalam politik dapat didefenisikan secara pragmatis sebagai kebijakan publik yang partisipatif dan menghasilkan keadilan.
Di Indonesia Partai yang mencoba menjadi Oposisi dari pemerintah adalah PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan Parta Hanura. Ketiga partai ini mempertegas posisinya sebagai oposisi dengan tidak masuk kabinet pemerintahan SBY-Boediono. Meskipun suara koalisi oposisi perjuangan ini masih kalah jumlah dengan koalisi-koalisi pemeintah berkuasa dibawah naungan Sekretariat Gabungan (setgab) di parlemen. Akan tetapi oposisi yang digalang ketiga partai ini selalu setia pada perjuangannya khususnya dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang dirasakan merugikan masyarakat banyak khususnya masyrakat kecil.
* Mahasiswa S2 pascasarjana Politik dan Pemerintahan UGM
Daftar Pustaka     
Aspinal, Edward. ..... Opposing Soeharto
Fatah, Eep Saifullah. 1999. Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan. Badung: PT Remaja Rosdakarya.
Hadiz, Vedi. R. 2004. Localising Power In Post-Authoritarian Indonesia. California: Stanford University Press
Isra, Saldi.  Simalakama Koalisi Presidensial. (dimuat di
John Harriss, Dkk. 2004. Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos
Koiruddin. 2004. Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mietzner, Marcus. 2007.Party Financing in Post-Soeharto Indonesia: Between State Subsidies and Political Corruptions. Jurnal Contemporory Southeast Asia Vol. 29 No.2.
Mietzner, Marcus. 2008. Comparing Indonesia’s Party Systems of The 1950s and The Psot-Soeharto Era: From Centrifugal to Centripetal Inter-Party Competition. Jurnal Contemporory Southeast Asia Vol. 39 No.3.
Robison, Richard, dan Hadiz, Vedi R. 2004. Reorganizing Power In Indonesia: The Politics of Oligarchy In Age of Market. London: Routlodge Courzon.
Uhlin, Anders. .... Oposisi Berserak.
Urbaningrum, Anas. ... . Melamar Demokrasi


No comments:

Post a Comment