Monday, May 7, 2012

Negara Teater di Bali



ringkasan buku Negara Teater, Clifford Geertz.
Buku ini mengkaji kehidupan Negara di Bali sebelum masa pendudukan kolonial pada tahun 1906. Secara mendetail Geertz menjelaskan dan menganalisa mengenai organisasi sosial di Bali melalui kemampuan analitiknya dalam interpretasi atas mite, upacara, ritual dan simbol yang dipergunakan oleh Negara. Negara, pada abad 19 sebagaimana dibuktikan oleh Geertz, secara meyakinkan menolak berbagai teori politik maupun pendekatan khas Barat mengenai kehidupan politik. Negara secara (nagara, nagari, negeri) berarti ‘kota’, dan juga dapat diartikan sebagai ‘istana’, ‘ibu kota’, ‘negara’, ‘wilayah kekuasaan’, dan ‘kota’. Dalam pengertian klasik, negara merujuk pada peradaban klasik dunia tradisional, yang meskipun dikatakan klasik namun menunjuk pada dunia budaya tinggi dan wewenang politik yang berkembang pesat di wilayah tersebut. Lawan dari negara adalah desa, keduanya berasal dari bahasa sanskrit, yang berarti ‘daerah pedalaman’, atau ‘daerah’, ‘mukim’, ‘tempat’, ’daerah momongan’, dan ‘daerah yang diperintah’.
Berbeda dengan pemahaman ‘modern’ yang kita anut mengenai negara dengan seperangkat sistem politik yang melekat didalamnya, negara dalam konteks Bali adalah ‘theatre state’ atau negara teater. Negara teater diperintah bukan melalui kekuatan maupun paksaan, namun melalui ritual dan simbol-simbol. Negara di Bali tidak lah berbentuk tirani, penaklukan, atau sistem administrasi yang baku, namun lebih pada pertunjukan teatrikal. Dalam pandangan Geertz, berbagai upacara yang dilaksanakan bukan bertujuan untuk melayani kekuasaan, namun kekuasaan lah yang melayani upacara.
Sebagaimana tergambarkan dalam Perang Puputan yang terjadi tahun 1908 yang dilakukan oleh Raja Klungkung dan seluruh pengikutnya, secara jelas menggambarkan bagaimana upacara dilaksanakan bahkan sebelum keruntuhan kerajaan tersebut. Dalam hal ini, Bali menjadi suatu wilayah yang unik, sebab negara teater di Bali adalah satu bentuk negara yang memusatkan seluruh perhatiannya untuk melayani kepentingan upacara, yang pada gilirannya memberikan suatu ‘pesona sihir’ tersendiri bagi setiap orang yang melihat upacara-upacara ini.
Bali adalah negara teater yang didalamnya para raja dan pangeran adalah impresario, para pendeta sebagai sutradara, para petani sebagai aktor pendukung, penata panggung, dan penonton. Semua hal ini bergerak menuju satu pusaran utama: upacara. Sebab upacara adalah napas dari laju dan gerak negara, maka setiap kehidupan negara selalu bertujuan untuk melayani kepentingan upacara. Seremonialisme menjadi suatu kebutuhan khusus dari negara, yang alih-alih menggerakkan upacara untuk menopang negara, namun negara justru menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk menopang upacara.
Negara teater mengambil pijakan dasar dari peristiwa penaklukan Majapahit atas Bali. Bali pada masa kegelapan adalah Bali yang dipenuhi makhluk-makhluk liar tak beradab, dan penaklukan Majapahit menjadi titik awal kebangkitan sejarah Bali. Penaklukan itu memutus barbarisme kebinatangan dan membawa Bali ke arah renaisans yang penuh keagungan estetik maupun kemewahan upacara. Negara teater secara umum dijelaskan melalui suatu pola status menurun, yang pada gilirannya menciptakan sebuah akrobat tumpukan piramida kerajaan dengan berbagai tingkat otonomi dan kekuasaan efektif. Tentu saja yang paling tinggi adalah Klungkung yang dianggap keturunan langsung dari Samprangan dan Gelgel, yang garis nasabnya menyambung ke Majapahit. Di bawahnya adalah para bendoro, yang ditopang oleh para bendoro yang yang lebih rendah, dan begitu seterusnya.
Negara teater secara langsung menjurkirbalikkan apa yang dijelaskan dalam teori politik modern. Kekuasaan publik dibuka sepenuhnya, bahkan diwujudkan sepenuhnya dalam berbagai upacara-upacara, di mana dimensi simbolik memainkan peran yang signifikan ketimbang dimensi politik itu sendiri. Dimensi-dimensi simbolik muncul dalam banyak hal, mulai dari pola kekuasaan yang menurun, hak prerogratif yang disebar, kendali atas pengairan yang diritualkan, kremasi, hingga pada berbagai upacara yang secara penuh mendapat dukungan dari negara. Satu hal penting yang harus dicatat, bahwa pelaksanaan berbagai upacara yang dilaksanakan oleh negara pada dasarnya mengejar satu hal: status yang terwujud dalam kemegahan upacara. Status dalam hal ini adalah jarak antara seseorang dengan kedewataan, sebagaimana tergambar melalui pola status menurun.
Raja, dalam pandangan Geertz, adalah aktor politik yang mendasarkan kekuasaan yang dia miliki melalui serangkaian upacara dan pertunjukan teatrikal. Kultus atas dirinya lah yang menaikkannya menjadi raja, karena melalui drama dan teater lah gambaran kedewataan atas raja tersebut dimunculkan. Lebih jauh, aksi teatrikal barangkali tidak lah membawa manfaat yang maksimal manakala Raja tersebut tidak mampu mengambil loyalitas politis dari orang-orang di bawahnya. Upacara-upacara yang dilaksanakan oleh Raja dengan mengerahkan setiap kemampuan yang dimilikinya boleh jadi merupakan satu mekanisme utama untuk menyerap loyalitas dari para bendoro di bawahnya.
Apa yang digambarkan oleh Geertz mengenai negara teater, dengan berbagai intrik, aliansi, pembunuhan, saling tukar-menukar perempuan, rayuan, bahkan upacara itu sendiri adalah suatu gambaran mengenai kehidupan di Bali, dan agaknya masih sangat terasa dalam konteks dunia modern. Saya setuju sepenuhnya dengan Geertz, bahwa aksi teatrikal itu bukan lah ilusi atau dusta, bukan pula sulap atau khayalan, mereka itu nyata sedemikian adanya.
Dalam buku ini Geertz membangun kerangka studi sejarah sosial yang ekologis, etnografis, sosiologis dari bentuk perdaban asli Indonesia. Buku tersebut ditulis oleh Geertz dengan menggunakan pendekatan strukturis. Penggunaan model pendekatan strkturis nampak dalam buku ini dapat dilihat dalam hal-hal berikut :
Ontology realisme yang menyatakan bahwa masyarakat terbentuk dalam sebuah struktur yang longgar (lostly integrated). Dalam struktur yang longgar akan menunjukkan bahwa perubahan terjadi bukan disebabkan oleh struktur luar, akan tetapi disebabkan oleh struktur dari dalam yaitu tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau kolektifitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, intreraksi berdasarkan pemikiran tertentu. Struktur yang longgar nampak sekali pada struktur masyarakat Bali baik individu maupun kelompok yang masing-masing melakukan peran dan tindakan kongkret. Peran dan tindakan ini akan nampak terutama pada upcara-upacara keagamaan, yang masing-masing memerankan fungsinya. Seperti bagaimana peran rakyat, para bangsawan, pendeta dan raja. Dari tindakan-tindakan dan peran-peran tersebut maka akan terlihatlah apa arti dari negara teater, sebagai sebuah pertunjukkan.
Geertz dengan pendekatan yang hermenuetik berhasil menemukan struktur sosial pada masyarakat Bali. Struktur sosial ini bersifat “emergence” akan nampak manakala dilakukan upacara ritual keagamaan. Pada upacara kegamaan inilah peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi dan pemikiran mentalitie dapat ditemukan. Dengan pendeketan hermenuetik yang simbolik Geertz dapat menemukan pemahaman arti sebuah upacara keagamaan seperti yang ia contohkan dalam upacara ngaben. Dalam pemikiran akal yang sehat, pembakaran mayat adalah suatu tindakan yang tidak beradab. Akan tetapi, dengan memahami unsur mentalitie yang ada pada masyarakat Bali, makna upacara ngaben ini dapat dipahami secara simbolik.
Mentalitie dalam pengertian pendekatan strukturis adalah bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri dan dunia mereka dan bagaimana mereka mengekspresikan diri sendiri melalui agama, ritus-ritus, busana, musik dan sebagainya. Upacara keagamaan merupakan bentuk dari upacara negara. Upacara negara bukanlah suatu kultus negara. Upacara itu merupakan suatu argumen, yang dinyatakan berulang-ulang kali dalam kosakata ritual yang terus menerus, bahwa status duniawi memiliki dasar kosmik, bahwa hierarki adalah asas yang mengatur semesta alam, dan bahwa pengaturan-pengaturan kehidupan manusia hanyalah tiruan-tiruan yang mendekati lebih atau kurang dekat kepada aturan-aturan kehidupan dewata.
Contoh yang lain adalah bagaimana cara memahami seorang janda raja yang ditinggal mati oleh suaminya. Pada saat upacara ngaben janda tersebut harus ikut membakar diri ketika suaminya dibakar. Pada saat menjelang meloncat ke bakaran api, janda tersebut tidak sedikitpun menunjukkan muka kesedihan, dia begitu riangnya bahkan dia merias diri. Tindakan janda tersebut secara akal sehat dapat dikatakan pula suatu tindakan biadab. Akan tetapi dengan memahami “mentalitie” masyarakat Bali, tindakan janda tersebut merupakan suatu tindakan yang luhur. Dia menunjukkan kesetiaan yang tinggi pada suami. Melompat pada api, menunjukkan dia akan menuju alam surga yang penuh dengan kedamaian. Sehingga roman muka yang ditampilkan adalah keceriaan. “Causal mechanism” dapat ditemukan dengan ditemukannya struktur sosial.
Dalam “causal mechanism” akan mempertanyakan mengapa orang Bali melakukan upacara keagamaan seperti upacara ngaben tersebut. Maka jawabannya dapat ditemukan dengan mengetahui unsur “mentalitie”nya. Unsur “agency” dalam karya Geertz dapat ditemukan yaitu pada peran rakyat, pendeta, bangsawan, dan raja. Raja dalam sebuah upacara keagamaan berperan sebagai sutradara dan sekaligus juga pemainnya. Begitu juga rakyat dan kelompok sosial lainnya menjadi pemain dalam pertunjukkan upacara keagamaan. Peran dan tindakan yang dimainkan oleh masing-masing, menunjukkan adanya kekuatan dari masing-masing untuk mengubah struktur.
Dalam memahami realitas sosial Geertz menggunakan pendekatan hermeneutik yang simbolik. Dalam hal ini Geertz memahami bahasa. Sebagaimana telah dikemukakan, dalam pandangan Geertz bahasa melambangkan struktur sosial. Ritus-ritus keagamaan mengandung ungkapan bahasa. Upacara kegamaan merupakan simbol terbentuknya apa yang dinamakan negara. Dalam upacara unsur-unsur simbolik banyak diungkap oleh Clifford Geertz. Sebagai contoh dalam upacara ngaben, seperti. bentuk-bentuk peti mati yang digunakan memiliki simbol strata sosial,. Pendeta dibakar dalam peti mati kerbau, bendoro tinggi dalam singa bersayap, bendoro rendah dalam kijang, rakyat jelata dalam binatang mitologis berkepala gajah berbuntut ikan.
Menurut Greetz  Negara Bali adalah suatu representasi dari bagaimana realitas itu ditata; sebuah sosok yang sangat besar tempat di mana benda-benda seperti keris, bangunan-bangunan (seperti istana), praktik-praktik seperti kremasi, gagasan-gagasan (seperti dalem), dan perbuatan (seperti bunuh diri dinastik), mendapatkan kekuatan seperti yang mereka miliki itu.
Akhirnya bisa kita pahami, bahwa negara di Bali bukanlah suatu tirani, bukan pula suatu birokrasi hidrolik, dan bahkan bukan pula suatu pemerintahan. Melainkan sebuah pertunjukkan (teater) yang diorganisir. Suatu negara teater yang dipakai untuk mendaramatisir obsesi-obsesi kelas yang berkuasa atas budaya Bali: ketimpangan sosial, dan kebanggaan status. Dan negara teater ini paling jelas tergambar dalam diri citra induk dari kehidupan politis, yaitu dalam diri raja.
Dari buku Negara Teater kita tahu bahwa di Bali upacara adalah bagian hidup masyarakat yang sudah ada secara turun-temurun dan terutama dipelihara oleh penguasa sebagai alat peraga untuk “menampakkan diri”. Makin hebat upacara yang diselenggarakan, pada zaman kerajaan-kerajaan abad ke-19 itu, kian memberi kesan bahwa penguasanya besar wibawanya. Cara “menampakkan diri” si penguasa dengan menggunakan berbagai upacara tersebut, sampai kini masih bisa ditemukan di mana pun. (Sri Fitri Ana, Antropologi, Universitas Indonesia

No comments:

Post a Comment