Wednesday, November 21, 2012

Pemilihan Kepala Daerah Di Indonesia


Oleh : Fahrezi, S.IP*
 
Pemilihan kepala daerah adalah sarana untuk mendapatkan pemimpin yang demokratis. Dengan adanya pilkada memungkinkan terjadinya partisipasi masyarakat. Munculnya partisipasi merupakan salah satu pilar dalam berdemokrasi. Pasca jatuhnya Orde Baru, direpon oleh para reformis untuk segera membenahi sistem pemerintahan di Indonesia, termasuk menegnai pemerintahan daerah. UU No 22 tahun 1999 merupakan produk awal untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, meskipun pemilihan kepala daerah masih dilakukan oleh DPRD. Paling tidak konsep ini sudah menciptakan keseimbangan antara eksekutif dan legislatif di daerah. Selama Orde Baru peran DPRD daerah selalu di depolitisasi oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun demikian, pemilihan di DPRD masih meninggalkan celah-celah kesenjangan dalam pemilihan kepala daerah. Ketika UU No 32 Tahun 2004 menggantikan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya, mulai lah kita untuk menata pemilihan langsung kepala daerah. Memindahkan sistem yang sebelumnya cuma diwakilkan kepada legislatif yang merupakan representasi dari rakyat kepada pemilihan langsung oleh rakyat untuk memilih pemimpin yang mereka kehendaki. Dalam pelaksanaan pemilihan langsung di Indonesia tersebutlah yang akan dibahas secara mendeteil dalam tulisan ini. Mulai dari akar kesejarahan mengapa kita pemilihan beralih dari DPRD ke pemilihan langsung. Selanjutnya adanya peluang untuk melakukan pemilihan langsung dalam otonomi daerah yang dilakukan di Indonesia. Bagian selanjutnya mencoba membandingkan rangkaian pelaksanaan dimasa UU No 22 tahun 1999 dengan UU No 32 tahun 2004. Serta bagian akhir mengenai prospek ke depan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia.   
1.      Akar Kesejarahan Pilkada Dalam Dinamika Politik Lokal
Pemilihan langsung kepala pemerintahan derah kabupaten/kota merupakan sebuah kebutuhan untuk mengoreksi terjadinya penyimpangan penerapan otonomi daerah yang ditunjukkan para elite ditingkat lokal. Asumsi bahwa otinomi daerah akan lebih meningkatkan kualitas pelayanan publik.  Kalangan pemerintah dan DPRD mempertontonkan semangat mengeruk keuntungan pribadi dengan mengabaikan pandangan dan kritikan masyarakat luas. Hal ini disebabkan oleh sistem pemilihan kepala pemerintahan daerah kabupaten/kota yang dilakukan oleh anggota parlemen. Alih-alih melayani kepentingan masyarakat, para kepala daerah lebih banyak memfokuskan perhatian kepada kepentingan-kepentingan DPRD.
Pembicaraan mengenai pemilihan langsung kepala daerah kabupaten/kota haruslah dimasukkan dalam kerangka besar untuk mendorong terwujudnya pemerintahan lokal yang demokratis. Tanpa itu, pemilihan langsung kepala deerah kabupaten/kota hanya menjadi aktivitas ritual tanpa mengandung roh secara esensial memberikan pengaruh bagi kehidupan dempkrasi di Indonesia.
Pemerintahan lokal yang demokratis mengangandung pengertian sebuah tata pemerintahan di tingkat lokal yang tidak hanya melibatkan perangkat birokrasi tetapi juga masyarakat secara luas melalui interaksi yangberlangsung secara demokratis. Pemerintahan lokal yang demokratis dapat meningkatkan kinerja sistem demokrasi pada tingkat lokal, karena masayrakat dapat berpartisipasi secara maksimal dalam penyusunan kebijakan di daerah bersangkutan, termasuk dalam mendorong prioritas-prioritas yang dibutuhkan. Pada sisi lain, aparat pemerintah memiliki kesempatan untuk bisa berperan lebih efektif dan peka terhadap kebutuhan masyarakat sehingga dapat mendorong akuntabilitas mereka. Gagasan pemerintahan lokal yang demokratis berupaya mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintahan yang sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Pemilihan langsung dalam bingkai pemerintahan lokal yang demokratis, akan memberikan beberapa urgensi , antara lain: pertama, pemilihan secara langsung diperlukan untuk memutus mata rantai oligarkhi partai di DPRD. Kepentingan partai-partai dan bahkan kepentingan segelintir elite partai acapkali dimanipulasi sebagai kepentingan kolektif masyarakat. Dengan demikian pemilihan secara langsung bagi kepala daerah diperlukan untuk memutus mata rantai politisasi dan atas aspirasi publik yang cenderung dilakukan partai-partai dan politisi partai jika kepala daerah dipilih oleh elite politik DPRD saja.
Kedua, pemilihan secara langsung bagi kepala daerah diperlukan untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas para elite politik lokal, termasuk kepala-kepala daerah. Mekanisme pemilihan kepala daerah yang berlaku dewasa ini cenderung menciptakan ketergantungan berlebihan kepala-kepala daerah terhadap DPRD. Akbiatnya, kepala-kepala daerah lebih bertanggung jawab kepada DPRD ketimbang kepada masyarakat. Dampak lebih jauh dari kecenderungan ini adalah munculnya fenomena kolisi dan politik uang (money politik) antara para calon dan anggota DPRD di balik proses pemilihan kepala-kepala daerah. Fenomena yang sama bisa dilihat dalam pemberian laporan pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD yang tak jarang dijadikan semacam proyek yang relatif “basah” oleh anggota Dewan.
Ketiga, pemilihan langsung kepala daerah diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan ditingkat lokal. Pemberhentian atau pencopotan kepala daerah ditengah masa jabatannya yang acapkali berdampak pada munculnya gejolak politik lokal, dapat dihindari. Melalui pemilihan secara langsung atas kepala-kepala daerah diharapkan bahwa gubernur, bupati, dan walikota yang terpilih dapat menunaikan masa jabatannya secara penuh selama lima tahun.
Keempat, pemilihan langsung kepala daerah akan memperkuat dan meningkatkan kualitas seleksi kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah atau daerah. Kecenderungan yang tidak sehat selama ini adalah bahwa para elite politik nasional hanya berasal dari dan “beredar” di jakarta saja. Hampir tidak ada peluang bagi elite politik lokal untuk mengembangkan kariernya menjadi elite nasional, sehingga seolah-olah kita tidak mempunyai banyak pilihan ketika memutuskan siapa yang pantas menjadi elite nasional. Padahal salah satu tujuan otonomi daerah menurut Smith  dalam Decentralization: the teritorian dimension of the state adalah dalam rangka rangka pelatihan kepemimpinan nasional.
Kelima, pemilihan secara langsung jelas lebih meningkatkan kualitas keterwakilan (representative) karena masyarakat dapat menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya di tingkat lokal.  
Dari pamaparan tersebut, dapat kita tarik benang merah mengenai keuntungannya, jika kita melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung, bukan lagi dipilih DPRD.
·         Rakyat bisa memilih pemimpinya sesuai dengan hati nuraninya, sekaligus memberikan legitimasi yang besar bagi kepala daerah yang terpilih.
·         Menghindari peluang distorsi oleh anggota DPRD untuk mempraktekkan politik uang.
·         Terbuka peluang munculnya calon-calon kepala daerah dari individu-individu yang memiliki integritas dan kapabilitas dalam memperhatikan kepentingan rakyat, bukan berdasarkan kepentingan partai tertentu, karena dengan sendirinya rakyat hanya akan memilih calon kepala daerah yang memiliki track-record yang baik dalam memperjuangkan kepentingan mereka.
·         Mendorong calon kepala daerah mendekati rakyat agar bisa terpilih dengan demikian, tidak ada lagi orang yang tidak dikenal rakyat di suatu daerah tiba-tiba menjadi kepala daerah tersebut.
·         Mendorong terjadinya peningkatan akuntabilitas pertanggungjawaban kepala daerah kepada rakyat.
2.      Otonomi daerah dan Kecenderungan Kearah Demokrasi Langsung (Direct Democracy)
            Ada trend yang menarik bila melihat sistem demokrasi yang tengah berkembang di beberapa negara yang tengah mengalami proses tarnsisi demokrasi layaknya indonesia. Kebanyakan  negara itu tidak percaya lagi pada “representative democracy” karena justru membuat dan memperkuat sistem kekuasaan yang otoriter. Semula democracy representative di adopsi sebagai ciri dari sebuah negara modern. Pada tahapan ini sebagian kekuasaan diserahkan kepada kelompok tertentu atau politisi yang membuat putusan untuk dan atas nama kepentingan masyarakat.
Dalam konteks pemilihan langsung sebenarnya eksistensi otonomi daerah mengandung makna strategis untuk setidaknya tiga kepentingan yang saling terkait. Pertama, perluasan arena demokrasi. Asumsi ini didasarakan pada harapan-harapan bahwa proses-proses pengambilan kebijakan termasuk didalamnya pilkada, haruslah mempraktikkan konsep demokrasi seperti yang sudah dijelaskan. Apalagi semakin rendah level otonomi, semakin efektif pula pengejawantahan konsep dan nilai demokrasi. Hak-hak individu warga negara (citizen) dalam konteks ini benar-benar realisir.
Kedua, mengefektifkan pelayanan masyarakat. Ketika segala kebijakan diambil pada tingkat lokal (daerah otonom), dimana dengan sendirinya memotong rantai birokrasi yang menjadi penghambat utama dalam pengelolaan pemerintahan yang sentralistik, maka kebutuhan aspirasi dan kepentingan masyarakat pun bisa dijawab oleh pemerintahan lokal.
Ketiga, mempertahankan eksistensi keindonesian berdasarkan kepuasan masyarakat lokal. Ketika kekuasaan dan kewenangan dilimpahkan ke daerah, ketika nilai-nilai demokrasi substansial diwujudkan dalam pengelolaan daerah otonom, dan ketika pelayanan masyarakat lokal dilakukan secara prima, maka pada saat itu masyarakat daerah akan terpuaskan. Mereka akan beranggapan bahwa dengan otoda masyarakat daerah akan menemukan sendiri hakekat kemanusiaanya.
3.      Demokrasi dan Pilkada secara Langsung
Demokrasi bukanlah konsep yang statis, tetapi secara histori berevolusi. Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani “Demos” dan “kratos” yang berarti pemerintahan oleh rakyat. Tetapi, dikalangan ilmuwan politik, tidak terdapat konsensus tentang makna demokrasi itu. Sebagaimana diakui oleh Arend Lijphart dan Robert Dahl mengenai delapan kriteria mengenai demokrasi memperoleh dukungan yang cukup luas dan sering menjadi rujukan para ilmuwan ketika berbicara mengenai demokrasi. Kedelapan kriteria yang dikemukakan oleh Dahl adalah; 1). Adanya hak untuk memilih, 2). Hak untuk dipilih, 3). Hak para pemimpin politik untuk bersaing memperebutkan dukunngan dan suara, 4). Adanya pemilu yang bebas dan fair, 5). Kebebasan berorganisasi, 6). Kebebasan berekspresi, 7). Terdapatnya sumber-sumber informasi alternatif, dan 8). Adanya institusi-institusi pembuatan kebijakna-kebijakan publik yang bergantung pada suara dan ekspresi-ekspresi pilihan lainnya. Dalam kerangka yang lebih empiris lagi, delapan kriteria itu dikerucutkan ke dalam dua dimensi teoritis demokratisasi, yaitu dimensi kompetisi dan dimensi inklusivititas.
Berangkat dari dua dimensi demokrasi Dah itu, Renake Doorenspleet mengatakan bahwa suatu rezim dikatakan demokratis manakala memenuhi dua kriteria: 1). Adanya institusi dan prosedur yang memungkinkan warga negara mengekspresikan pilihan-pilihannya secara efektif mengenai kebijakan-kebijakan alternatif ditingkat nasional, dan adanya mekanisme kompetisi yang terlembagakan di dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, dan 2). Adanya inklusivitas yang cukup atau hak berpartisipasi di dalam menseleksi para pemimpin atau kebijakan-kebijakan di tingkat nasional.
Gagasan yang muncul dari “deliberative democracy” pada dasarnya dimaksudkan untuk membawa demokrasi dari sekedar mencakup ranah prosedural ke ranah yang lebih subtansial. Gagasan demokrasi model demikian bermula dari kritik terhadap model demokrasi prosedural bahwa demokrasi itu bukan sekedar angka. Misalnya saja, berapa orang memilih atau setuju dengan kebijakan-kebijakan tertentu, sehingga keluarlah siapa yang menjadi pemenang di dalam sebuah kompetisi, atau kebijakan-kebijakan tertentu. Demokrasi, di dalam pandangan para penggagas “deliberaive democracy “ harus berangkat dari kerangka keterbukaan, adanya pemahaman yang lebih serius mengenai isu-isu yang hendak diperbincangkan, menyadari adanya beragam kepentingan, serta partisipatif di ranah-ranah publik. Dengan kata lain, di dalam “deliberative democracy”, deliberasi publik itu dilakukan secara bebas dan warga negara dipandang secara sama, dan hal  ini merupakan unsur terpenting di dalam menilai legitimate tidaknya keputusan-keputusan politik. Dalam situasi seperti ini, demokrasi membutuhkan adanya instrumen yang memungkinkan terjangkaunya ranah-ranah publik itu.
Secara ideal, gagasan di dalam teori “deliberative democarcy” berangkat dari tiga tantangan di dalam proses demokrasi. Pertama adalah apa yang disebut “the inclusive constrain”. Didalam hal ini semua pihak harus dipandnag sama untuk ikut memilih mengenai bagaimana memecahkan masalah-masalah bersama, meskipun pilihan yang dihasilkan tidak harus didukung  oleh suara bulat (a unanimous vote). Kedua adalah the judgment constraint. Sebelum diadakan pemungutan suara, semua anggota yang terlibat di dalam proses itu diasumsikan memiliki perhatian bersama mengenai masalah-maslah yang akan dipecahkan. Ketiga, adanya “the dialogical constraint, yaitu bahwa semua pihak harus terlibat di dalam dialog yang terbuka, tanpa adanya paksaan, antara yang satu dengan yang lain, apakah hal itu dilakukan dalam konteks forum yang tersentralisasi maupun yang terdesentralisasi. Tantangan seperti ini relatif mudah terpecahkan ketika masyarakatnya sudah memiliki informasi yang cukup (well-informed). Tetapi, manakala masyarakatnya terfragmentasi secara sosio-kultural, termasuk adanya kesenjangan didalam kepemilikan inforemasi (pendidikan), tantangan seperti itu tidak mudah dipecahkan.
Pelaksanaan sistem demokrasi dalam suatu pemerintahan bisa dilihat dari dua perspektif; perspektif minimalis-prosedural, dan perspektif maksimalis-substantif. Perspektif minimalis prosedural memandang demokrasi sebagai sebuah prosedur penentuan pemimpin politik. Sedangkan perspektif maksimalis-substantivis memandang demokrasi sebagai sarana untuk mewujudkan kehendak rakyat, sebagai sarana untuk meraih kebijakan umum. Dari kaca mata terakhir ini demokrasi membutuhkan substansi kultur dan jiwa agar demokrasi terus lestari.
Kedua perspektif sama pentingnya karena kualitas kehidupan yang diharapkan muncul dari demokrasi tidak akan pernah hadir kalau tidak melalui prosedur yang demokratik. Sementara itu terlalu menitikberatkan pada prosedur akan mengeser demokrasi menjadi arena dan institusi politik formal semata.
Prinsip terpenting dari prinsip demokrasi prosedural adalah pendapat Joseph Schumpeter dalam bukunya capitalism, socialism, and democracy (1950). Menurut schumpeter demokrasi itu pada dasarnay bersifat elitis, karena apa yang dikatakan sebagai kehendak rakyat (common will) adlah konsep yang itopis. Secara empirik, apa yang dikatakan sebagai kehendak rakyat dalah hasil dari proses politik. Demokrasi harus diarahkan pada pemberian akses yang besar kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses politik tersebut.
Pengertian demokrasi kemudian direduksi sebagai suatu prosedur  atau metode politik untuk menentukan pemimpin. Menurut Schumpeter, demokrasi adalah  pengatturan kelembagaan untuk mencapai keputusan politik didalam mana individu-individu melalui perjuangan untuk memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan.
Pelaksanaan demokrasi itu sendiri bisa dinilai dari tiga indikator  utama yaitu, pertisipasi, kompetisi, dan kebebasan sipil. Ketiga hal pokok ini kemudian dilembagakan dalam pemiliu. Melalui pemilu yang menjamin  tiga elemen pokok tadi, pejabat-pejabat politik di eksekutif dan legislatif yang akan membuat dan menjalankan kebijakan degan memperhatikan aspirasi dan kepentingan publik.
Secara normatif Pilkada Langsung mempunyai peranan yang besar dalam upaya untuk mendorong pendalaman demokrasi di tingkat lokal.  Secara prosedur sistem pemilihan langsung lebih menjamin keterlibatan masyarakat, ketimbang sistem perwakilan yang didominasi DPRD yang mengandalkan formalisme semata dan rawan terhadap bentuk-bentuk penyelewengan. Peranan itu antara lain: pertama, Pilkada Langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik ditingkat lokal. Kedua, pilkada langsung mmungkinkan munculnya kandidat-kandidat yang lebih beragam dalam suatu kompetisi yang lebih terbuka. Dibandingkan dengan sistem perwakilan, pilkad langsung mereduksi praktik-praktik yang tidak fair seperti politik dagang sapi dna politik uang. Ketiga, warga negara memiliki posisi yang setara dlam mengaktualisasikan hak-hak politiknya tanpa harus mengidnuk pada kepentingan-kepentingan elit politik. Keempat, Pilkad langsung memungkinkan munculnya pemimpin yang aspiratif, handal dan memilki basis legitimasi dalam masyarakat. Harapan ini membuka prospek bagi peningkatan kualitas dan tanggungjawab pemerintah daerah terhadap masyarakat. Kelima, dengan basis legitimasi yang kuat melalui pilkda, kepala daerah sama-sama mengklaim mandat dari masyarakat sehingga muncul perimbangan kekuatan. Perimbangan kekuatan ini sangat krusial bagi munculnya mekanisme check and balances, sebagai pengganti mekanisme kompromi yang kolutif.
Faktor utama yang menentukan keberhasilan untuk mendapatkan manfaat dari Pilkada langsung adalah menghindari pilkada langsung adalah menghindari perangkap demokrasi prosedural. Hal ini karena pertama, penekanan pada proses pemilihan mengangagap bahwa demokrasi telah selesai setelah bupati, walikota, dan gubernur terpilih. Seharusnya proses ini hanya menjadi entry point bagi keterlibatan yang lebih mendalam pada proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan. Kedua, terlalu menekankan pada proses pemilihan juga menyebabkan faktor-faktor diluar dimensi pemilihan dan partai politik, seperti budaya politik masyarakat terabaikan. Padahal budaya politik masyrakat ini menyangkut orientasi /cara pandang, sikap masyarakat terhadap sistem politik mereka . perangkap demokrasi formal juga mendorong pengabaian variable lokal ini kebali akan membuka peluang bagi superioritas nasional/pusat. Jika ingin berhasil baik, otonomi daerah dibarengi dengan otonomi masyrakatyang dilambari dengan basis kultural lokal.
4.      Rangkaian Pelaksanaan Pilkada
4.1.            Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD
Dalam UU No 22/1999, pemilihan kepala daerah masih dilakukan oleh DPRD Provinsi, DPRD kab/kota. Harus diakui, bahwa UU No 22/1999 telah memberi penguatan kepada DPRD untuk menjalankan fungsi-fungsi normatifnya. Salah satu fungsi normatif yang dibebankan kepada DPRD adalah memilih Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota. Adanya fungsi ini sekaligus menunjukkan bahwa kedudukan DPRD lebih tinggi dari kedudukan Kepala Daerah, apalagi dengan adanya mekanisme pertanggung jawaban kepala daerah kepada DPRD, dimana dalam tataran normatif memungkinan DPRD untuk menolak pertanggungjawaban Kepala Daerah.
Dari segi mekanisme pemilihan kepala daerahm kedudukan DPRD ibarat penentu segala-galanya, sebab hasil akhir dari proses pencalonan, penilaian, dan pemilihan bakal calon (balon) hingga menjadi calon, dan seterusnya hingga ditetapkan menjadi kepala daerah, sepenuhnya berada pada DPRD. Berikut ini kami akan paparkan dalam sebuah bagan mengenai alur pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) provinsi, Kabupaten dan kotamadya.
Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah Oleh DPRD
Rapat Paripurna DPRD :
Pasangan calon yang meraih suara terbanyak dalam pemilihan di DPRD, ditetapkan sebagai kepala daerah dengan keputusan DPRD
Rapat Paripurna DPRD :
Panitia pemilihan melaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakilnya
Penilaian oleh pemipin DPRD dan Ketua-Ketua Fraksi, selanjutnya penetapan pasangan Calon Kepala Daerah dengan Keputusan Pimpinan DPRD (pasal 37 ayat 4 dan pasal 38 ayat 2)
Rapat Paripurna DPRD :
Mengukuhkan dan menetapkan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakilnya yang di ajukan oleh fraksi-fraksi
Fraksi-fraksi menetapkan, kemudian mengajukan calon Kepala Daerah dan Wakilya di sertai penjelasan dalam Rapat Paripurna DPRD (Pasal 36 ayat 2 dan Pasal 37 ayat 1)
Setelah melalui proses penjaringan setiap fraksi menyaring bakal calon (balon) menjadi calon kepala Daerah dan Wkil Kepala Daerah (Pasal 36 ayat 1)
Panitia Pemilihan :
Memriksa dan meneliti berkas identitas bakal calon Kepala Daerah dan Wkilnya (pasal 35)
Rapat Paripurna DPRD :
Panitia pemilihan melaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakilnya
 
 

4.2.            Pemilihan Kepala Daerah secara langsung
Sedangkan dalam UU No 32/2004, yang saat ini dipakai di Indonesi alur  pemilihan kepala daerah adalah sebagai berikut. Calon pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah  pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik (pasal 59 UU No. 32 tahun 2004). Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Selain dari partai, juga dimungkinkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berasal dari jalur Independen. Ketentuan pengajuan calon independen ini berdasarkan jumlah penduduk yang mendukung pencalonan calon. Syarat dukungan pasangan independen untuk tingkat Gubernur:
Ø  Untuk provinsi berpenduduk 2 juta jiwa harus didukung minimal 6,5% populasi
Ø  Untuk provinsi berpenduduk 2-6 juta jiwa harus didukung minimal 5% populasi
Ø  Untuk provinsi berpenduduk 6-12 juta jiwa harus didukung minimal 4% populasi
Ø  Untuk provinsi berpenduduk  12 juta jiwa harus didukung minimal 3% populasi
Syarat dukungan pasangan independen untuk tingkat Kabupaten/Kota:
Ø  Untuk kab/kota berpenduduk  atau sama dengan 250 ribu jiwa harus didukung minimal 6,5% populasi
Ø  Untuk kab/kota berpenduduk 250-500 ribu jiwa harus didukung minimal 5% populasi
Ø  Untuk kab/kota berpenduduk 500-1 juta ribu jiwa harus didukung minimal 4% populasi
Ø  Untuk kab/kota berpenduduk 1 juta jiwa harus didukung minimal 3% populasi.
Pada saat mendaftarkan pasangan calon partai politik atau gabungan partai politik wajib menyerahkan:
a.       Surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik yang bergabung.
b.      Kesepakatan tertulis antarpartai politik yang bergabung untuk mencalonkan pasangan calon.
c.       Surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan yang dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau para pimpinan partai politik yang bergabung.
d.      Surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan.
e.       Surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon.
f.       Surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
g.      Surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
h.      Surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya sebagai pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya.
i.        Surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
j.        Kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
k.      Naskah visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.
l.        Kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
m.    Naskah visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.
n.      Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan pasangan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lain.
o.      Masa pendaftaran pasangan calon paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon.
Tahapan berikutnya KPUD melakukan penelitian terhadap pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik. Bilamana menurut KPUD pasangan calon tidak memenuhi semua persyaratan yang ditentukan sebagaimana diatur pada pasal 59 UU No. 32 tahun 2004; KPUD menetapkan pasangan calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan pasangan calon (Pasal 61 UU No. 32 Tahun 2004). Partai politik atau gabungan partai politik dilarang menarik calonnya dan/atau pasangan calon dan pasangan calon atau salah seorang dari pasangan calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPUD.
Tahapan berikutnya dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah adalah pasangan calon kepala daerah yang diusulkan dalam Pilkada memasuki masa kampanye.
Dalam hal salah 1(satu) calon atau pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara sehingga jumlah pasangan calon kurang dari 2 (dua) pasangan, tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ditunda paling lambat 30 (tiga puluh) hari dan partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya berhalangan tetap mengusulkan pasangan calon pengganti paling lambat 3 (tiga) hari sejak pasangan calon berhalangan tetap dan KPUD melakukan penelitian persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti paling lambat 4 (empat) hari sejak pasangan calon pengganti didaftarkan.
Setelah masa kampanye berakhir, maka pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan melalui masa persiapan dan tahap pelaksanaan. Masa persiapan adalah meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.       Pemberitahuan DPRD kepada daerah mengenai berakhirnya masa jabatan.
b.      Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah.
c.       Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara, dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
d.      Pembentukan Panitia Pengawas Kecamatan (PKK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kepala Panitia Pemungutan Suara (KPPS).
e.       Pemberitahuan dan pendaftaran  pemantau.
Demikian diatur dalam pasal 65 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004. Tahapan pelaksanaan Pilkada berdasar Pasal 65 ayat (3) UU ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.       Penetapan daftar pemilih.
b.      Pendaftaran  dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah.
c.       Kampanye.
d.      Pemungutan suara.
e.       Penghitungan suara.
f.       Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan.
Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah, KPUD mempunyai tugas dan berwenang sebagai berikut (Pasal 66 ayat (1)):
a.       Merencanakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
b.      Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
c.       Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
d.      Menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
e.       Meneliti persyaratan partai politik dan gabungan partai politik yang mengusulkan calon.
f.       Meneliti persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusulkan.
g.      Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan.
h.      Menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye.
i.        Mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye.
j.        Menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
k.      Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pilkada.
l.        Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur oleh  peraturan perundang-undangan.
m.    Menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan hasil audit.
Berdasarkan ayat (3) pasal 66 DPRD dalam penyelenggaraan Pilkada bertugas dan berwenang:
a.       Memberitahukan kepada kepala daerah mengenai akan berakhirnya masa jabatan.
b.      Mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan mengusulkan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpiliah.
c.       Melakukan pengawasan pada semua tahapan pelaksanaan pemilihan.
d.      Membentuk panitia pengawas.
e.       Meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD.
f.       Menyelenggarakan rapat paripurna untuk menyelenggarakan penyampaian visi, misi, dan program dari pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Panitia pengawas yang dibentuk oleh DPRD mempunyai tugas dan wewenang menurut Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
a.       Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pilkada.
b.      Menerima laporan adanya pelanggaran pendaftaran peraturan perundang-undangan dalam Pilkada.
c.       Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pilkada.
d.      Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan, kepada institusi yang berwenang.
e.       Mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semua tingkatan.
Sebelum memasuki tahapan pemungutan suara, pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah menyelenggarakan kampanye. Berdasar pasal 75 Undang-Undang ini masa kampanye adalah 14 (empat belas) hari dan berakhirnya 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara.
Penetapan kampanye dan tim kampanye dibentuk oleh pasangan  calon bersama-sama partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon tim kampanye menurut Undang-Undang ini didaftarkan ke KPUD bersamaan dengan pendaftaran pasangan calon. Penanggungjawab kampanye adalah pasangan calon, yang pelaksanaannya dipertanggungjawabkan oleh tim kampanye.
Mengenai jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh KPUD dengan memperhatikan usul dari pasangan calon (Pasal 75 ayat 9 UU No. 32 tahun 2004). Pelaksanaan kampanye dapat dilaksanakan melalui:
a.       Pertemuan terbatas.
b.      Tatap  muka dan dialog.
c.       Penyebaran melalui media cetak dan media elektronik.
d.      Penyiaran melalui radio dan/atau televisi.
e.       Penyebaran bahan kampanye kepada umum.
f.       Pemasangan alat peraga ditempat umum.
g.      Rapat umum.
h.      Debat publik/debat terbuka antar calon, dan/atau
i.        Kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Demikian diatur dalam Pasal 76 ayat (1) Undang–Undang ini. Dalam penyampaian materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif. Berdasar pasal 78 UU ini dalam kampanye dilarang melakukan hal-hal sebagai berikut:
a.       Mempersoalkan Dasar Negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
b.      Menghina seorang, agama, suku, ras, golongan calon kepala daerah/wakil kepala daerah dan/atau partai politik.
c.       Menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
d.      Menggunakan kekerasan, ancaman kekuasaan dan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau partai politik.
e.       Mengganggu keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum.
f.       Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk  mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah.
g.      Merusak dan atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan calon lain.
h.      Menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah.
i.        Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan.
j.        Melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan atau dengan kendaraan di jalan raya.
Dalam pelaksanaan kampanye pasangan calon dilarang, menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari (Pasal 85 UU No. 32 tahun 2004):
a.       Negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing, dan warga negara asing.
b.      Penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya.
c.       Pemerintah, BUMN, dan BUMD.
Pasangan calon yang  melanggar ketentuan sebagaimana tersebut di atas dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPUD. Setelah pelaksanaan kampanye Pilkada selesai dilaksanakan, pelaksanaan pemungutan suara siap dilaksanakan. Penentuan waktu dimulai dan berakhirnya pemungutan suara ditetapkan oleh KPUD (Pasal 92 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004).
Dalam hal pelaksanaan pemungutan suara, suara yang dianggap sah untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah apabila sesuai dengan yang ditetapkan dalam Pasal 95 Undang-Undang ini. Setelah pelaksanaan pemungutan suara Pilkada selesai dilaksanakan dimulai penghitungan suara di tempat pemungutan suara oleh KPPS.
Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih (Pasal 107 ayat 1). Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 107 ayat 1 tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersebut terdapat lebih dari satu pasangan calon yang memperoleh suaranya sama, penentuan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas (pasal 107 ayat 3 UU No. 52 tahun 2004).
Dalam  hal tidak terpenuhi atau tidak ada yang mencapai 25% dari jumlah suara yang sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih pengesahan dan pengangkatannya dilakukan oleh presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari (Pasal 109 ayat 1). Sedang pengangkatan pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari (pasal 109 ayat 2).
Berdasar pasal 109 ayat (3) Undang-Undang ini pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD Provinsi, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU, Provinsi untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan. Untuk calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota terpilih, diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU Kabupaten/Kota untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.

4.3.            Sebuah kasus dari Jogja!
Dalam Pilkada Kota Yogyakarta tahun 2011, tiga pasang calon wali kota dan wakil wali kota bertarung. Ketiga pasangan ini memperebutkan sebanyak 322.840 suara. Pasangan nomor urut 1 adalah kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Zuhrif Hudaya bersama wakilnya, Aulia Reza Bastian. Bakal calon wali kota yang telah ditinggal Gerindra ini diusung PKS, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Kasih Demokrasi Indonesia, Partai Karya Peduli Bangsa, dan Partai Republikan Nusantara.
Pasangan nomor urut 2 adalah putra mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais, Hanafi Rais dan Tri Harjun Ismaji,mantan Sekretaris Daerah Provinsi DIY. Hanafi dan Tri Harjun diusung empat partai besar dan sembilan partai yang tergabung dalam Koalisi Mataram. Keempat partai pengusung Hanafi-Tri Harjun adalah Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Gerakan Indonesia Raya.
Adapun sembilan partai yang tergabung dalam Koalisi Mataram adalah Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Sejahtera, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Pekerja dan Pengusaha Indonesia, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Demokrasi Pembaruan, dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama. Pasangan nomor urut 3 adalah, Wakil Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, yang berpasangan dengan Imam Priyono. Pasangan ini didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar.
Pemilihan Langsung Walikota Yogyakarta  ini dimenangkan oleh pasangan nomor urut 3, Haryadi Suyuti dan Imam Priyono. Hasil rekapitulasi perolehan suara secara keseluruhan, suara sah sebanyak 200.726, sedangkan suara tidak sah 8.017 suara. Pasangan nomor urut 1, Zuhri Hudaya-Aulia Reza Bastian memperoleh 19.557 suara atau 9,7 persen. Pasangan nomor 2, Hanafi Rais-Tri Harjun Ismaji memperoleh 84.122 suara atau 41,9 persen. Pasangan nomor 3, Haryadi Suyuti-Imam Priyono memperoleh 97.074 suara atau 48,3 persen.   
5.      Problematika Pilkada
Keberhasilan pilkada bisa dilihat dari sejauhmana proses Pilkada secara kualitatif mendorong demokratisasi di tingkat lokal. Pada tataran prosedur, Pilkada dihadang oleh serangkaian masalah yang tidak kurang akan menghambat tercapainya tujuan demokrasi lokal. Pertama, persoalan partisipasi. Partisipasi dalam pilkada akan mendorong peningkatan kualitas demokrasi lokal apabila ada kesadaran kritis dari masyarakat untuk menggunakan hak-haknya. Persoalan yang mendesak dari segi partisipasi adalah tingkat kepercayaan masyarakat untuk menggunakan hak-haknya. Persoalan yang mendesak dari masyarakat untuk menggunakan hak-haknya. Persoalan yang mendesak dari segi partisipasi ini adalah tingkat kepercayaan masayrakat yang rendah pada partai politik dan otonomi daerah. Kondisi ini cenderung mendorong perilaku golput sebagai bentuk protes terhadap sistem politik. Persoalan lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah munculnya pola-pola partisipasi semu sebagai hasil mobilisasi dan pembelian suara. Peluang ini sangat dimungkinkan oleh kelemahan sistem administrasi kependudukan,  dan kondisi sosial ekonomi masyrakat yang rawan dosogok.
Kedua, persoalan kompetisi. Meskipun persoalan-persoalan kompetisi yang timpang dalam UU No. 32/2004. Persoalan bisa muncul dari kredibilitas dan kemampuan KPUD dan panitia pengawas. Dalam aturan yang disesuaikan KPUD memiliki posisi yang sangat besar dalam pilkada, sementara pertanggungjawaban KPUD kepada publik tidak diatur secara jelas kecuali KPUD hanya akan mempertanggungjawaban anggaran kepada DPRD.
Pada posisi pengawasan, anggota Panwas diangkat dan bertanggung jawab kepada DPRD, sehingga mengurangi independesi. Terlebih lagi UU tidak banyak mengatur limitasi pengkajian laporan dan level pengadilan nama yang berwenang mengadili perkara-perkara yang timbul dalam pilkada. Persoalan lain menyangkut posisi netral birokrasi Pemda. Ada indikasi yang kuat bahwa dalam birokrasi dimanfaatkan terkait dengan upaya politik dari kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya untuk mendukung salah satu kandidat.
Ketiga, persoalan kebebasan sipil. Persoalan yang mengemuka dari kebebasan sipil ini adalah pengguna instrumen-instrumen kekerasan untuk memaksa pemilih melalui intimidasi, teror dan premanisme. Kalau ini terjadi, pilkada justru menjadi penghambat kebebasan sipil. Persoalan kebebasan juga trerkait dengan miskinnya informasi pemilih terhadap proses pejaringan kandidat, maupun pendanaan pemilihan. Ada sebuah prediksi kuat bahwa Pilkada cenderung dimenangkan oleh pejabat lama  (incumbent), karena relatif memiliki publisitas dan dikenal masyarakat. Untuk melengkapi proses pemilihan, penyelenggaraan pilkada langsung juga harus dibarengi dengan perbaikan-perbaikan dalam sisi partisipasi, kompetisi dan kebebasan sipil. Dari segi partisipasi harus mulai dipikirkan secara serius format pendidikan politik agar masyarakat bisa menggunakan hak-haknya secara berkualitas. Penggunaan hak itu harus didahului penanaman kesadaran kritis agar masyarakat bisa menentukan pilihannya secara mandiri. Selain itu, Pemda juga harus mulai menata adminsitrasi kependudukan, sehingga kecenderungan mobilisasi pemilih, kecurangan daftar pemilih dan diskriminasi pemilih bisa dihindari.
Dari segi kompetisi, batas-batas legitimasi politis yang dimiliki oleh kepala daerah dan legitimasi profesional yang dimiliki oleh birokrasi harus ditegaskan. Penegasan ini akan mendukung netralitas birokrasi. Terlebih lagi penegasan itu akan memantapkan birokrat sebagai alat pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan, bukan alat dari kepala daerah.
Dari segi kebebasan politik, perbaikan harus dilakukan dengan menggiatkan wacana pluralisme dalam masyarakat. Wacana-wacana pendatang pribumi dan perbedaan primordialime lainnya akan berakibat kontraproduktif terhadap proses pemilihan kepala daerah yang demokratis. 
5.1.       Kekerasan politik
Kekerasan politik terus berlangsung tanpa henti secara teoritikk termasuk salah satu ciri failed satae, Perang Kota Kecil karya Gerry Van Klinken menjelaskan bahwa kekerasana politik merupakan bagian integral dari perjalanan pilkada itu sendiri. Bahkan beberapa laporan mengatakan bahwa PILKADA mengarah pada kekerasan politik.
Ketidak berdayaan negara dalam mnecegah kekerasan politik dalam pilkada mengisyarakatkan menipisnya otoritas negara sebagai pemangku sah pangguna kekerasan. Dari sisi aktor yang terlibat menggunakan kekerasan politik dalam pilkada bisa di pilah menjadi tiga, yakni
Pertama elit partai politik yang tidak menerima kekkalahan sering kali menyulut terjadinya konflik dan perpecahan dalam masyrakat, kedua, masyrakat pada tataran akar rumput terjadi ledakan dalam bentuk huru hara, kekerasan politik, , amuk massa, di hampir semua penyelenggaraan pilkada, ketiga aparatur negara (birokrasi, tentara, pejabat politik yakni DPRD) sering kali melakukan mobilisasi proses pelakanaan pilkada yang berujung pada kekerasan politik.
Keterlibatan tiga aktor tersebut dalam kekerasan politik mempunyai daya rusak yang tinggi. Daya rusak yang di timbulkan lewat kekerasan politik bisa berbentuk fisik maupun non fisik.
5.2.         Hukum yang labil
Banyaknya kasus pelanggaran hukum terjadi akibat dari lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara (pengadilan, jaksa, polisi) sudah berlangsung lama. Kasus seperti penggelembungan suara, mencuri start dalam kampanye, pemukulan hingga penggunaan politik uang.
Hukum yang tidak di tegakkan akan mudah membuat situasi pemerintahan mengalami dis order. Dan ketidakteraturan itu, bisa berdampak pada huru-hara-kekerasan politik-pemaksaan kehendak. Dalam konteks pilkada, pemaksaan kehendak yang  dilakukan oleh masyarakat terhadap kpud terjadi dibanyak daerah pemilihan kepala daerah. misalnya massa yang tidak mau menerima calonnya yang tidak lolos verifikasi. Hal ini terjadi di daerah sukoharjo, surabaya dan halmahera.
Politik uang dalam pilkada sudah menjadi tren baru dalam perebutan kekuasaan, baik di tingkat nasional maupun tinggkat daerah. dan hampir peristiwa politik tidak pernah lepas dari mekanisme penggunaan politik uang. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila di katakan bahwa hampir semua pilkada yang dilaksanakan tidak pernah sepi dari persoalan politik uang. Bahkan ada pengamat yang mensinyalir bahwa aroma politik uang dalam pilkada begitu kental warnanya.
Hasil jajak pendapat Kompas juga menyebutkan bahwa 73,3% calon kepala daerah tidak pernah lepas dari politik uang. Mulyana W Kusuma menambahkan praktik penyelenggaraan pilkada telah menghabiskan biaya amat tinggi baik biaya resmi negara maupun biaya amat tinggi. Baik biaya resmi negara maupun biaya politik yang dikeluarkan bakal calon maupun calon pasangan resmi.
Hasil riset TIM Politik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD) Universitas Gajah Mada mengakui hal ini dalam laporannya menyebutkan bahwa “persoalan politik uang merupakan persoalan akut yang masih mewarnai  tahapan kampanye serta proses pilkada. Politik uang dalam ini merupakan cara ilegal dalam mempengaruhi prilaku pemilih sehingga bersedia memberikan dukungan terhadapa calon tertentu. Dalam masa kampanye pilkada, praktek politik uang ini muncul dalam berbagai bentuk, seperti pembagian sembako-pemberian uang kehadiran-pemberian uang transport dan seterusnya”
Politik uang sudah menjadi bagian integral dari penyelenggaran pilkada. Dahsyatnya pengaruh uang dalam pilkada terekam begitu indah dalam ingatan kolektif masyarakatpada kali ini, politik uang mengikuti pemilih dan penggiat partai politik. Di beberapa daerah partai politik tidak sungkan-sungkan memasang tarif khusus jika ada kandidat yang membutuhkan tumpangan. Tentu saja gejala politik seperti ini berbeda pada masa orde baru, dimana politik uang hanya mengikuti para anggota DPRD yang jumlahnya sangat terbatas di parlemen.
Sangat masuk akan bila dikatakan bahwa politik uang dalam pilkada sudah terlembaga begitu sempurna. Politik uang memiliki akar sejarah yang panjang dalam pilihan pemimpin di tinggkat lokal. Patut dicatat bahwa tradisi politi, baik secara etis-politik maupun hukum tidak bisa dibenarkan. Bahkan secara konstitusi, politik uang tidak mendapat ruang .
Secara umum, politik uang dalam pilkada mengingkari tiga hal yang paling esential. Mengutip pendapat Georgoris Sahdan yakni pertama, vote buying mengikari cita-cita etis masyrakat, untuk membentuk, mengembangkan dan mengelola pemerintahan yang demikratis. Tantanan pemerintahan yang demokratis, akuntabel dan berkeadilan hanya bisa berdiri diatas sendi-sendi kandidat yang baik, kebebasan rakyat untuk menentukan pilihan dan kejujuran dalam berkompetisi.
Kedua, vote buying dapat mendistorsi kualitas calon kepala daerah. kandidat kesejahteraan masyarakat yang terpuruk yang mempunyai uang yang banyak dengan sumber yang tidak jelas dapat mengelabui konstituen. Dengan kondisi kesadaran politik masyarakat yang masih lemah, uang dapat di terima sebagai tawaran kegembiraan, apalagi jika didukung dengan kemiskinan yang akut. Kondisi busung lapar di beberapa daerah merupakan lahan subur  bagi penggunaan politik uang dalam pilkada.
Ketiga, aktor-aktor yang bermain di dalam pilkada secra etis  dipandang sebagai orang-orang yang memiliki niat, cita-cita dan tujuan yang mulai. Dengan menggunakan uang, aktor-aktor ini melukai nat baiknya sendiri. Menjadi kepala daerah bagi mereka sebagai “alat prosduksi capital” yang bisa menghasilkan uang sebanyak-banyknya. Dengan begitu, tujuan  utnuk menjadi kepala daerah bukan untuk menjamin pertembuhan demokrasi, ekonomi, kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat, tetapi unutk mengakumulasi kekayaan.
6.      Prospek Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
6.1.            Pilkada dan prospek akuntabilitas Pemerintah Daerah
Proses demokrasi ditingakat lokal tidak hanya berhenti sampai dengan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah (segi prosedur). Dari segi substansi Pilkada Langsung merupakan instrumen untuk mendapatkan kepemimpinan politi yang lebih akuntabel dan responsif, mendekatkan pemerintah ddaerah dengan warga, yang akan mendorong peningkatan pelayanan dan kesejahteraan bagi kepemimpinan politik yang muncul hanya representasi kepentingan segolongan elite yang berkuasa. Ajuntabilitas ini akan menjadi ukuran keberhasilan substantif-kualitatif dari demokrasi lokal, sekaligus menjadi pencapaian penting bagi perkembangan kultur/jiwa demokrasi di tingkat lokal.
Akuntabilitas sering didefinisikan secara luas. Manin, Przeworski dan Stokes menyatakan: sebuah pemerintahan dikatakan sebagai akuntabel apabila warga negara bisa membedakan pemerintahan yang representatif dan tidak representatif, dan warga negara bisa memberikan sanksi dan mempertahankan mereka-mereka yang mempunyai kinerja baik dan membuang yang bekinerja buruk. Suatu mekanisme akuntabilitas adalah sebuah peta dari hasil tindakan pejabat publik dan sanksi yang diberikan oleh warga negara.   
Pada tataran yang sama, Starling (1998) menyatakan bahwa akuntabilitas adalah kesedian untuk menjawab pertanyaan publik. Artinya suatu organisasi harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari luar dirinya, dan ketika ada kesalahan maka seseorang harus bertanggung jawab. Benang merah dari dua pendapat tersebut adalah bahwa yang akuntabilitas adalah ukuran yang menunjuk apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai yang dianut masyarakat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat dengan demikian akuntabilitas terkait dengan falsafah bahwa lembaga-lembaga pemerintah bertugas melayani rakyat dan bertanggungjawab kepada rakyat.
Pilkada merupakan akses bagi terbentuknya kepemimpinan daerah yang akuntabel. Kekuatan Pilkada terletak pada pembentukan dan implikasi legitimasi yang dihasilkannya. Kepala daerah membutuhkan legitimasi yang terpisah dari DPRD sehingga harus dipilih oleh rakyat. Mekanisme pemilihan ini secara teoritik akan lebih mendekatkan kepala daerah dengan masyarakat, perhatian yang lebih besar terhadap kepentingan masyarakat dan terutama tanggungjawab kepala darah kepada rakyat. Melalui pemilihan terpisah, kepala daerah memiliki kekuatan yang berimbang dengan DPRD sehingga mekanisme check and balance akan berjalan lebih baik. kepala daerah dituntut untuk menghasilkan kinerja yang optimal dalam melayani, melindungi dan membangun kesejahteraan masyarakat. Kalau kinerja itu tidak muncul, logika pemilihan akan menggusur kepala daerah dari jabatannya.
Perubahan menuju akuntabilitas pemerintah daerah hanya bisa dilakukan melalui sinergi yang dibangun oleh kelompok-kelompok yang bergerak di wilayah sipil dan mereka-mereka yang bergerak di politik. Sinergi itu akan muncul dalam kualitas penyelenggaraan pemerintahan seperti prinsip kontrol dan pengawasan, prinsip transparansi anggaran, akomodasi kepentingan masyarakat dalam formulasi kebijakan daerah, peningkatan pelayanan publik dan peningkatan kapasitas pemerintah dalam menangani permasalahan-permasalahan daerah.


6.2.            Gubernur dipilih DPRD, Bupati / Walikota dipilih langsung (Sebuah Tawaran)
Melihat fenomena sekarang ini, dimana biaya pilkada yang begitu besar dan juga berbagai kendala lainnya, sudah saatnya kita menata ulang kembali pelaksanaan Pilkada di indonesia. Biaya yang dikeluarkan untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur begitu besar sedangkan kewenangan yang diberikan kepada Gubernur saat ini sangat terbatas. Tugas Gubernur adalah saat ini kebayakan tugas dekonsentrasi sehingga Gubernur tidak sepenuhnya menjalankan tugas otonom. Jika terjadi politik uang, besaran uang yang dikeluarkan tidak sebesar pilkada langsung. Untuk pembiayaan pemilihan juga bisa ditekan daipada pemilihan langsung. Bayangkan saja tahun ini dalam rencana Pemilihan Gubernur Jawa Timur diperkirakan akan memakan biaya 900 miliar rupiah. Uang yang sebenarnya diperuntukkan kepada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat hanya habis dalam pemilihan kepala daerah (khusus Gubernur/Wakil Gubernur)  yang diselenggarakan beberapa hari. Selain dengan biaya yang besar, ini bisa menyebabkan APBD daerah-daerah yang miskin bisa defisit, malahan mungkin bisa menjadi hutang untuk melaksanakan sebuah Pilkada langsung.
Sedangkan untuk pemilihan Bupati/ Wakil Bupati dan Walikota/ Wakil Walikota tetap dalam bentuk pelaksanaanya secara langsung. Ini disebabkan Bupati dan Walikota tugas nya begitu besar dalam otonomi daerah saat sekrang ini. Tugas utama mereka adalah melayani masyrakat. Dengan asumsi demikian kami bermaksud memberikan tawaran ini karena tugasnya melayani, maka orang yang melayani (bupati/walikota) tersebut adalah orang pilihan masyarakat. Konsep untuk menekan biaya langsung dalam pemilihan Bupati/Walikota secara langsung ini adalah dengan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak.    



* Mahasiswa Pascasarjana FISIPOl UGM

Daftar Pustaka
Afifi, Subhan. Dkk. (Ed.). 2005. Pilkada Langsung dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Yogyakarta: UPN Press.
Dahl. A, Robert. 2001. Perihal Demokrasi. Jakarta: IKAPI
Djojosoekarto, Agung Dkk (ed.) . 2004. Pemilihan langsung kepala daerah: transformasi menuju demokrasi lokal Jakarta: Adeksi.
Dwiatmoko, Arif. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah Terhadap UU No 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah). Jurnal
Eko, Sutoro. 2003. Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya Rezim Orde Baru. Yogyakarta: APMD Press.
Huntington, Samuel P. 1983. Tertib Politik. Jakarta: CV Rajawali.
Klinken, Gerry Van. 2007. Perang Kota Kecil, Jakarta : YOI dan KITLV-Jakarta.
Laporan Riset PLOD, ”Rapid Assesment on Pilkada 2005”, PLOD 2005
Lasleet, Peter (Ed.). 2003. Debating Deliberative Democracy. Melbourne: Blackwell Publishing.
Marijan, Kacung. 2006. Demokratisasi Di Daerah: Pelajaran dari pilkada secara langsung. Surabaya: PusDeHAM.
Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta: Polgov
Robinson, R, dan Hadiz, V.R. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The politics of Oligarchy in an Age of Market. London: Routledge.
Sahdan, Haboddin, Dkk (Ed.). 2008. Negara Dalam Pilkada. Yogyakarta: IPD Press.
Syafruddin, ”Demokrasi di Bantul: Studi Tentang Pilkada di Bantul”. Thesis S2 PLOD, Tidak dipublikasikan.
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

No comments:

Post a Comment