Monday, June 18, 2012

Wajah Baru Partai Politik Di Indonesia: Antara Koalisi dan Oposisi



1. Pengantar
Pasca jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998, gegap gempita mewarnai euforia kebebasan dan rasa keadilan. Indonesia memasuki babak baru demokrasi, sangat banyak yang harus dibenahi dalam masa transisi. Tarik ulur kepentingan pun mewarnai transisi demokrasi indonesia. Demokrasi merupakan sebuah harapan yang didamba-dambakan rakyat banyak yang dipercaya bisa mensejahterakannya. Seiring perjalanan transisi ternyata agenda-agenda perbuhan reformasi dihadapkan kepada sebuah problematika, sebuah harapan yang menggebu-gebu diawal reformasi mulai tenggelam dengan hadirnya sesuatu yang menggerogotinya. Di tengah polemik tersebut, ditingkat nasional muncul kekuatan-kekuatan koalisi yang mencoba mempertahankan penguasa yang memerintah dengan membentuk blockade kuat di eksekutif dan legislatif. Ketika rakyat kesusaha mencoba menyampaikan suaranya untuk menembus blockade tersebut muncul aktor-aktor baru yang menerobos blockade penguasa. Aktor baru itu bernama oposisi yang seblumnya belum pernah ada dan tidak ada dalam konstitusi negara indonesia.
Sebenarnya pada saat soeharto jatuh pada 1998, partai-partai bermunculan menyambut euforia demokrasi baru indonesia yang lebih beradab. Marcus Mietzner banyak membuat kajian tentang partai politik di indonesia. Sistem kepartaian indonesia pasca jatuhnya soeharto telah bertransformasi dari sistem yang sentrifugal menjadi sistem yangg sentripetal. Hal yang menarik dari kekuasaaan kepartaian pasca jatuhnya soharto adalah perbedaan suara partai yang dimasa orde baru ada satu partai mutlak yang menguasai parlemen sehingga memunculkan koalisi dan oposisi yang disebutkan pada paragraf diatas. Suara-suara partai tidak ada yang mayoritas menyebabkan partai-partai harus berkoalisi untuk menggalang suatu kekuatan yang besar. Mulai dari masa kepresidenan Abdurahman Wahid, Megawati, dan SBY, koalisi merupakan hal yang harus dilakukan. Namun demikian, selain koalisi ada oposisi yang digalang oleh beberapa partai seperti PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan Partai Hanura, meskipun di dalam konstitusi kita tidak pernah disebutkan adanya oposisi. Oposisi perjuangan ini mengkritisi pemerintah yang didukung oleh koalisi yang bernama sekretariat gabungan (setgab).   
2. Konsep Teoritis
Sistem kepartaian pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan jumlah partai yang ada pada suatu negara yakni; satu partai, dua partai, dan multi partai. Kesemuannya berdasarkan atas karakter partai-partainya yakni kompetitif, agregatif, ideologis, pluralistis, dan monopolistis. Tentang hubungan  antara system kepartaian dengan pemerintahan, beberapa ilmuwan berpendapat bahwa system Dua-Partai cenderung menciptakan stabilitas pemerintahan karena hanya salah satu partai yang memenangkan suara mayoritas dalam pemilihan. Sistem Multipartai diangap kurang mendukung stabilitas pemerintaa karena pemerintahan hasul pemilian terantung kepada koalisi antar partai yang seringkali  distribusi perolehan kursinya yang memperoleh kemenang mayoritas tidak dapat dicampuri oleh partai yang kalah karena partai yang disebut belakangan ini segara berposisi sebagai oposisi. Sementara itu, distribusi kekuatan yang hamper seimbang antara partai-partai dengan sistem multipartai mengakibatkan pemerintah bergantung pada koalisi antar partai. Dengan demikian, substansi stabilitas pemerintahan dalam system ini bertumpu pada kompromi antar partai-partai yang berkoalisi, kecuali bila ada ada salah satu partai yang mampu memenangkan mayoritas usar mutlak (diatas 50 persen).
Pada umumnya negara yang menganut sIstem banyak partai (multipartai) adalah Negara yang masyarakatnya bersifat majemuk, salah satunya Indonesia. Kemajemukan masyarakat dapat  ditunjukkan dengan terdapatnya bermacam-macam perbedaan social, seperti ras, suku, agama atau status, dengan adanya kemajemukan masyarakat seperti itu makan golongan-golongan dalam masyarakat seperti itu maka golongan-golongan dalam masyarakat akan lebih cenderung untuk menyalurkan loyalitas mereka ke organisasi yang sesuai dengan ikatan primordialnya daripada bergabung dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda orientasinya. Dengan adanya kemajemukkan masyarakat seperti yang ditunjukan dengan adanya bermacam-macam perbedaan social sebagaimana yang disinggung di atas, paling tidak akan membawa Negara yang bersangkutan untuk cenderung menganut system banak partai.
Namun demikian, untuk Indonesia yang memakai sistem pemerintahan presidensil malah menerapkan system kepartaian yang multipartai. fenomena yang menarik pasca jatuhnya Orde Baru muncul istilah-istilah baru dalam konteks kekuasaan kepartaian, munculnya mereka-mereka yang bernama koalisi dikubu pemerintah, dan munculnya mereka-mereka yang mencoba melawan pemerintah atas nama kubu oposisi. Berikut ini akan dipaprkan beberapa konsep teoritis untuk membedah fenomena ini.
2.1. Hukum Besi Oligarki Partai Robert Michels 
Dalam kehidupan kepartaian modern, aristokrasi menampilkan dirinya dalam selubung demokrasi, sementara substansi demokrasi disusupi elemen-elemen aristokratis, dipihak lain ada dengan kandungan aristokrasi. Penampilan demokratis ini bisa mengelabui para mata pengamat yang tidak hati-hati dari adanya kecenderungan keraha oligarki yang sudah inheren dalam seluruh organisasi partai.  
Partai yang dipandang sebagai suatu entitas dan mekanisme, tidak selalu dapat diindentifikasikan  dengan totalitas anggotanya, apalagi dengan kelas yang memilki partai itu. Partai dibentuk sebagai alat mencapai suatu tujuan. Karena telah menjadi tujuan itu sendiri, dengan target dan kepentingannya sendiri, maka dari sudut pandang teleologis partai terpisah dari kelas yang diwakilinya. Dalam suatu partai, tidaklah jelas apakah kepentingan massa yang bergabung membentuk partai itu akan selaras denagn kepentingan-kepentingan birokrasi yang menjadi personifikasi partai tersebut. Kepentingan-kepentingan suatu badan pekerja selalu konservatif, dan dalam situasi tertentu kepentingan ini dapat menuntut kebijakan yang defensif dan bahkan reaksioner apabila kelas pekerja menuntut kebijakan yang tegas dan agresif. Dalam kasus lain, sekalipun sangat jarang, proses ini bisa saja terbalik. Menurut hukum sosial yang dapat diterapkan secara universal, setiap organ kolektif yang dibentuk karena kebutuhan terhadap pembagian kerja sudah pasti akan menciptakan kepentingan-kepentingannya sendiri begitu organ tersebut mengalami konsolidasi. Eksistensi kepentingan-kepentingan yang khusus itu menimbulkan konflik dengan kepentingan-kepentingan kolektif. Dalam jangka panjang mereka cenderung mengalami transformasi menjadi kelas-kelas terpisah. Pada tahap selanjutnya mendatangkan mereka cenderung berubah menjadi kelas-kelas yang berbeda-beda.   
Dalam konteks ini oligarki terletak pada gabungan koalisi partai-partai politik penguasa atau yang sedang memerintah. Gabungan koalisi tersebut dinamakan dengan Sekretariat Gabungan (Setgab). Keputusan politik kadang-kadang tidak lagi keputusan dari representasi yang mewakili mereka yakni rakyat, melainkan keputusan sekretariat gabunga, yang nantinya diformulasikan menjadi kebijakn-kebijakan pemerintah/penguasa. Sehingga muncul hipotesis awal penulisan ini apakah koalisi telah mengkhianati para pemilih atau rakyat mereka. Ini disebabkan kebijakan yang diputuskan adalah produk politik partai-partai penguasa.
2.2. Penyebab Koalisi dan Oposisi
Koalisi politik pasca pemilu merupakan satu keniscayaan yang harus terjadi di dalam politik Indonesia saat sekarang ini. Keperluan untuk berkoalisi tidak saja dilandaskan kepada fakta politik yang oleh kalayak sama-sama diketahui, yakni tidak adanya partai mayoritas yang tidak ada satupun partai politik yang mampu memperoleh suara mutlak diparlemen semenjak runtuhnya Orde Baru sehingga memunculkan cara untuk berkoalisi untuk menyeimbangkan pola politik mereka.
Setidaknya menurut Anas Urbaningrum dalam Melamar Demokrasi “Dinamika Politik Indonesia” ada dua alasan yang menyebabkan partai-partai cenderung berkoalisi. Pertama, factor ideologi. Tidak dapat dipungkiri faktor ideologi alias aliran-aliran politik merupakan factor yang signifikan bagi terjadinya koalisi politik. Ideology, dalam konteks bisa diartikan sebagai warna politik yang bias dicermati gerak-geriknya lewat tradisi-tradisi politik yang dikembangkan, sehingga membentuk aliran politik. Pernyataan ini didikung dengan penelitian dari Marcus Mietzner  dalam Comparing Indonesi’s Party System Of The 1950 and The Post-Soeharto Era: From Centrifugal To Centripetal Inter Party Competition (2008). Ada pergeseran-pergesaran idiologi partai, mietzner membagi kedalam lima cluster yakni; communism/socialism, populism/authoritarianism, the centre : existing democratic party, Islamic society, dan Islamic state/syariah. Pada tahun 1955 partai yang ideologi communism/socialism diwakili oleh PKI dengan 18 % suara diparlemen dan partai Murba < 1 %. Populism/authoritarianism diwakili oleh PNI dengan 25 %, selain itu ada IPKI (relatif statis) dan Partai Katolik yang condong ke tengah (the centre : existing democratic policy). Untuk the centre:existing democratic policy) sendiri praktis cuma diwakili oleh PSI.di posisi Islamic society diwakili oleh NU 20 % dan yang terakhir ideologinegara islam/syariah diwakili oleh Masyumi 22 %, PSII dan Perti. Mietzner mengelompokkan ini kepada sistem partai yang sentrifugal.
Pemilu pertama setelah jatuhnya Soeharto yakni pemilu 1999, semua partai bermunculan seperti pada tahun 1955 tapi membawa corak baru. PDI P keluar sebagai pemenang Pemilu 1999 dengan meraup 33 % suara di parlemen, pada pemilu 2004, pola sistem partai di Indonesia sudah semakin jelas, yakni bertransformasi kearah sentripetal. Ideologi-ideologi partai sudah mengarah ketengah, mulai meninggalkan kiri dan kanan khususnya radikal kiri dan radikal kanan, semuanya mulai terpusat pada existing democratic party seperti; Golkar, PKB, PD, PAN, PDS, PBR. Pada posisi populis diwakili oleh PDI P dan PKPI, sedangkan Islamic society diwakili oleh PPP, PBB, PKS.Dengan sistem ini, relatif karakter sistem politik partai lebih stabil daripada tahun 1950 yang sentrifugal. Pergesaran ini memungkinkan terjadinya koalisi dikarenakan sudah ada idiologi yang dipahami bersama oleh beberapa partai politik.
Alasan kedua adalah faktor kepentingan politik. Dalam politik ada pepatah yakni tidak ada kawan dan tidak ada lawan yang abadi di dalamnya, kecuali persamaan kepentingan politik. Biasanya, partai-partai politik yang berkoalisi atas dasar persamaan kepentingan politik, praktis akan saling menopang satu sama lain untuk menggulirkan maksud-maksud politik mereka. Tidak jarang, selain hendak menggulirkan maksud-maksud politik mereka dan bahkan koalisi patai politik ini dimaksudkan untuk menjegal lawan yang kebetulan telah menjadi common enemy, kali ini mereka yang berada dikubu oposisi pemerintah.  
Sedangkan demokrasi tanpa oposisi menurut Muhammad Ali Andrias adalah 'demokrasi kuburan', yang sunyi senyap tanpa kritik dan tanpa program alternatif. Padahal, demokrasi modern membutuhkan checks and balances dan kontrol yang bersifat politik dari DPR. Ketika seluruh partai berkoalisi, DPR hanya akan menjadi tukang ketuk palu (rubber stampt) dan mau menuruti kehendak pemerintah. Sementara kepentingan publik ketika ditekan oleh negara dengan segala kebijakannya diabaikan oleh elit-elit politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Maka vox populi vox dei (suara rakyat sebagai suara Tuhan) telah berubah menjadi vox elite vox dei (suara elit sebagai suara Tuhan) Hal ini tentu saja pemerintahan ini hanya mengulangi era pemerintahan Soeharto dengan format yang berbeda. Ini terjadi karena persepsi dari politisi bahwa terlibat dalam cabang kekuasaan lebih memberikan berkah dalam bentuk akses terhadap sumber daya ketimbang menjadi oposisi. Oposisi sering dikonotasikan dengan tersumbatnya akses partai pada sumber daya ekonomi, baik yang ada di sektor swasta maupun melalui penguasaan pada jabatan-jabatan publik.
Oposisi mempunyai pola-pola tersendiri, seandainya kita merenungkan, ternyata perbedaan-perbedaan pola oposisi disebabkan adanya kesadaran baru bahwa dinegara-negara yang mempunyai sistem dmokratis terdapat beranekaragam pola oposisi yang berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh enam hal penting menurut Robert Dahl sebagai berikut:
1.      Kepaduan (cohesion)  atau konsentrasi orang-orang yang beroposisi dipandang dari segi organisasinya.
2.      Daya saing oposisi
3.      Lokasi atau lingkungan pertarungan (encounter) antara kalangan oposisi dan orang-orang yang mengendalikan pemerintah.
4.      Ciri khas oposisi
5.      Tujuan-tujuan oposisi
6.      Strategi-strategi oposisi
Lanjut Dahl, dalam melihat perbedaan-perbedaan tersebut ada delapan hal ukuran yang kelihatannya mempunyai relevansi langsung dalam menilai berbagai pola oposisi yang berbeda-beda. Dalam memperbandingkan dengan berbagai kemungkinan pengaturan yang lain sehinggga sejauh manakah suatu pola tertentu dapat membesar:
1.      Kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat termasuk kesempatan bagi golongan minoritas yang berbeda pendapat untuk memperdengarkan pandangan-pandangan mereka, baik kepada warga Negara yang lain maupun kepada pembuat kebijakan.
2.      Kesempatan bagi warga Negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
3.      Kalau terjadi konflik politik, pengawasan kelompok-kelompok mayoritas (bukan kelompok minoritas) yang terdiri dari para warga negara, para pemilih dan para pejabat yang dpilih, atas dasar keptusan-keputusan yang dibuat pemerintah.
4.      Sikap rasional dalam perbicangan dan pembuatan keputusan politik, dalam arti mempertebal pengertian piha warga Negara dan pemimpin mengenai tujuan-tujuan yang akan dicapai dan sarana terbaik untuk mencapainya.
5.      Konsesus dalam perbincangan dan pembuatan keputusan politik, dalam arti bahwa dicari berbagai cara pemecahan yang akan mengurangi besarnya kaum minoritas yang dikalahkan. Mengurangi dendam mereka dan mengurangi paksaan terhadap mereka, dan memperbesar jumlah warga Negara yang berkesimpulan bahwa tujuan mereka telah cukup terpenuhi dengan cara pemecahan yang telah diambil.
6.      Penanganan konflik secara damai dan meperkeciltimbulnya kekerasan politik.
7.      Penyelseaian masalah kebijakan public yang mendesak dalam arti bahwa pemerintah menagrahkan perhatiannya kepada setiap masalah yang dianggap mendesak dan penting oleh sejumlah besar warga Negara atau pemimpin dan menagmbil berbagai cara pemecahan yang memuaskan bagi jumlah warga Negara yang sebesar mungkin.
8.      Kepercayaan dan loyalitas yang meluas kepada masyarakat politik ang konstitusional dan demokrasi.     

3. Partai Politik: Antara Koalisi Dan Oposisi
3.1. Koalisi Partai Politik di Indonesia Pasca Orde baru
Dari semua persoalan agenda dinamika perubahan perpolitikan Indonesia pasca jatuhnya Soeharto diatas. Tulisan ini mengambil kasus yang dianalisis yakni mengenai partai politik setelah jatuhnya orde baru. Partai politik merupakan salah satu institusiinti dari pelaksanaan demokrasi modern. Dalam sistem demokrasi modern mengandaikan sebuah sistem yang disebut keterwakilan (representasi), baik keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti parlemen di indonesia ini (DPR/DPRD), maupun dalam institusi kepartaian. Partaipolitik secara umum memiliki fungsi yakni, sosialisasi politik, rekrutmen politik, fungsi artikulasi dan fungsi agregasi politik.
Saya tidak akan membahas peta ideologi partai politik seperti Herbeth Feith ketika melakukan kategorisasi partai politik pada tahun 1995 adalah seperti nasionalisme radikal, tradisional jawa, islam (tradisional dan modern), sosialisme demokrat dan komunisme. Saya juga tidak membahas transformasi sistem partai di indonesia menurut Marcus Mietzner dari sentrifugal ke arah sentripetal. Namun demikian, saya juga tidak bisa terlepas begitu saja dari konsep yang digagas Feith dan Mietzner. Saya melihat ada sesuatu yang menarik ketika melihat pertarungan partai politik pasca jatuhnya Soeharto. Mengenai kekuasaan partai politik, terlebih dahulu kita ketahui secara umum ada tiga jenis pengelolaan partai politik yakni sebagai berikut:
1.      Dominasi Partai Pemenang dengan adanya partai oposisi
2.      Dominasi  partai pemenang secara mutlak
3.      Koalisi antar partai.
Model dominasi kekuasaan oleh partai pemenang dengan disertai oposisi adalah realitas kekuasaan politik yang dijumpai ketika partai-partai yang kalah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam koalisi, mampu bersikap resisten dan kritis terhadap dominasi kekuasaan politik yang dipegang oleh partai pemenang pemilihan umum. Oposisi politik yang dilakukan oleh partai-partai kecil yang kalah pun seringkali tidak seragam.
Model kedua dominasi mutlak atas kekuasaan politik terjadi pada kondisi ketika satu partai politik memenangkan pemilihan umum secara mutlak. Partai-partai lainnya, meskipun melakukan koalisi antar partai tidak akan mampu menggoyahkan posisi dominan dari partai pemenang tersebut. Situasi seperti ini bisa dijumpai pada rezi-rezim otoriter yang kadangkala melakukan manipulasi atas pemilihan umum. Model ini bisa menjelaskanIndonesia dimasa orde baru dimana Golkar sebagai yang direstui pemerintah selalu meraup suara lebih dari 60 persen.
Sedangkan model yang terakhir adalah pengelolaan partai politik oleh partai-partai dengan cara koalisi merupakan kolaborasi kepentingan antar partai ketika suara mayoritas dalam legislatif tidak mampu dicapai oleh satu partai tertentu. Maka blok koalisi antar partai pun mengayun kesana kemari seperti pendulum tergantung kepada kepentingan politik yang hendak dinegosiasikan. Pendekatannya karena ada kepentingan bersama, maka pemetaan koalisi antar politik tidak akan bisa didekati dengan pemetaan ideologi masing-masing partai politik, tetapi harus dianalisis berdasarkan kepentingan yang dimiliki setiap partai.
Berbicara kekuasaan partai politik pasca jatuhnya Soeharto, model manakah yang layak untuk menjelaskannya? Berkaca dengan kehidupan politik sekarang, karena tidak adanya suara mayoritas diparlemen menyebabkan partai politik melakukan satu koalisi untuk membentuk suatu kekuatan besar. Pada pemilu 1999 pun dapat kita lihat bagaimana suara PDI P dan Golkar tidak berbeda jauh. Disamping itu, dapat kita saksikan kabinet pertama setelah pemilu 1999, yang ketika itu sering disebut orang dengan kabinet pelangi karena Gus Dur dan Megawati sesungguhnya merupakan proses akomodasi dan konsesional politik terhadap partai-partai yang mempunyai jasa dalam naiknya Gus Dur dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kita tentu mengetahui dengan koalisi Poros Tengah yang dibangun Amien Rais ketika menaikkan Gus Dur dan Poros Tengah juga yang berkoalisi dengan Golkar dan PDI P untuk menurunkan Gus Dur dari tampuk kekuasaanya pada Sidang Istimewa MPR tahun 2001. Bagaimana Partai Golkar, PDI P, PAN, PPP, PBB yang pada Sidang Umum MPR 1999 saling ngotot untuk memenangkan tokoh-tokohnya ketika Sidang Istimewa MPR 2001 tersebut, mendongkel Gus Dur dari kursi kepresidenannya.
Pada Pemilihan Presiden pada tahun 2004, drama partaipolitik dengan episode upaya koalisi untuk persiapan pencalonan Presiden.Ada baiknya kita telusuri perjalanan koalisi tersebut di dunia nyatanya, mulai dari putaran pertama (Pilpres I), putaran kedua (Pilpres II) Selanjutnya dari hasil peringkat suara terbanyak kesatu dan kedua, pada Pilpres I, keluar dua pasangan capres/cawapres untuk maju pada Pilpres putaran kedua. Proses konsolidasi dalam mendukung pasangan capres/cawapres SBY-JK melalui koalisiPartai Demokrat (PD), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilandan Persatuan Indonesia (PKPI) serta Partai Keadilan Sejahtera (PKS), memperlihatkan penggabungan suara partai memberi pengaruh pada pilihan rakyat dalam Pilpres II, sehingga bisa kita katakan bahwa konsolidasi tampak cukup berhasil dengan format koalisi tersebut
Bergabungnya Partai Golkar di masa Jusuf Kalla( Ketum Partai Golkar) makin memperkuat koalisi di parlemen untuk mendukung kebijakan SBY-JK di eksekutif.Sehingga sangat jelas pelajaran dapat ditarik oleh Partai Demokrat, bahwa koalisi parpol yang dibangunnya di tahun 2004 menjelang Pilpres telah memberikan sinergi sangat kuat bagi Partai Demokrat hingga hasil yang dicapainya sekarang. Tidak hanya stabilitas kepemimpinan nasional selama periode 2004-2009, tetapi juga secara kelembagaan Partai Demokrat mengalami proses pelembagaan yang baik dan sangat berarti.Stabilitas ini tidak terlepas dari koalisi yang sesuai arti dan prinsipnya merupakan penggabungan energi dalam dukungan atau dalam mengatasi ancaman. Kalau prinsip atau sebabnya adalah untuk kepentingan konsolidasi politik, maka ukuran-ukuran seperti parliamentary threshold (PT)akan menjadi sebuah indikator akibat dari proses pengerucutan, akibat kesamaan-kesamaan platformpartaipolitik sehingga dapat mendorong terwujudnya multipartai sederhana. Langkah ini berhasil membangun koalisi dengan dukungan mayoritas absolut (sekitar 70 %) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat tidak membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR.
Pada Pemilu 2009 Demokrat sebagai partai penguasa berhasil keluar sebagai pemenang dengan memperoleh 20 % suara di parelemn. Koalisi jilid baru pun dibangun lagi, Seketraiat Gabungan (Setgab) menjadi nama baru payung bagi para partai koalisi SBY-Boediono. Tujuan dibentuknya sekretariat gabungan (setgab) ini untuk menstabilkan pemerintahan dari goncanga-goncangan partai-partai di parlemen, selain untuk menyolidkan. Intinya sekretariat gabungan (setgab) koalisi merupakan forum atau fasilitass untuk koordinasi dan konsultasi diantara sesama partai koalisi baik itu di kalangan eksekutif maupun legislatife, sehingga pada akhirnya pihak koalisi menghormati pihak-pihak yang menjadi penyeimbang agar demokrasi tetap tegak di Indonesia. Namun demikian, pengadaan Setgab ini menurut penulis membungkan pengkritisan terhadap pemerintah terutama bagi partai-partai yang tergabung dalam setgab ini. Setiap anggota legislatife hanya menyuarakan pendapatnya sesuai dengan pendapat partainya. Sedangkan pendapat partai tersebut terlebih dahulu mengakomodasi kepentingan sekretariat gabungan (setgab).     
Namun demikian didalam tubuh koalisi yang dibangun akan terjadi beberapa kendala yang akan terjadi. Kendala ini telah tampak pada koalisi SBY-JK atau yang penulis istilahkan dengan koalisi jilid satu kabinet Indonesia bersatu, selain Partai Demokrat, partai-patai penguasa akan bediri diatas dua pijakan, saat tertentu mereka akan menunjukkan  dirinya sebagai bagian dari patai penguasa, saat yang lain mereka menjadi bagian dari kekuatan penentang pemerintah. Ibarat sebuah permainan sepakbola, oleh karena bola itu yang bundar akan terjadi sesuatu diluar analisi pengamat sebelumnya.
Dalam periode sebelumnya ini dipraktekkan dengan sangat baik oleh Golkar, PKS, dan PAN. dalam situasi tertentu mereka menjaga kohesivitas koalisi, pada kesempatan yang lain merecoki koalisi. Golkar sangat bermanuver ketika presiden membentuk UKP3R (Unit Kerja Presiden Pengelolan Program dan Reformasi). Sementara itu PAN dan PKS bermanuver apik dalam hak interpelasi kasus Iran dan impor beras Bulog. Hal serupa juga terjadi di koalisi jilid dua, ketika sdiang paripurna DPR mengenai kenaikan harga BBM, PKS meloncat pagar dari barisan koalisi dalam voting kenaikan harga BBM tersebut. Dengan melihat fenomena tersebut jelas sekali koalis yang dilakukan adalah yang penulis sebut dengan “koalisi yang kerepos”.
Dalam konteks koalisi yang sekarang, kekeroposan koalisi terutama disebabkan oleh dua hal. Pertama, digerakkan oleh motif elektoral. Motif ini muncul dengan adanya struktur kesempatan dipenghujung lima tahun kedepan. Kekuasaan partai pada tahun 2014 akan menjadi hal yang layak untuk direncanakan. Alasan kedua adalah, kesempatan pencitraan bagi tokoh-tokoh partai koalisi yang akan maju menuju istana pada 2014. Ketentuan konstitusi yang membatasi jabatan presiden hanya sampai dua periode menyebabkan SBY tidak akan bisa lagi untuk maju dalam pemilihan presiden berikutnya. Inilah yang menjadi tujuan beberapa icon partai untuk melirik kuris RI 1 dan RI 2 pada tahun 2014.  
3.2. Oposisi Partai Politik di Indonesia Pasca Orde baru.
Selain adanya koalisi, wajah lain partai politik indonesia juga mulai menyebut-nyebut Oposisi. Meskipun didalam konstitusi negara kita tidak ada pernah disebut-sebut ada oposisi atau memberi peluang kepada oposisi. Namun dapat dipahamioposisi bukanlah penantang, oposisi bukan pula sekedar pihak yang menyatakan ketidaksetujuan, oposisi buakan pula sebagai tukang teriak semata-mata, oposisi bukan juga kalangan yang melawan secara membabi buta/frontal.
Berbicara oposisi, mengutip Eep Saifulah Fatah dalam Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Perubahan politik Masa Depan (1999). Oposisi adalah setiap ucapan atau perbuatan yang meluruskan kekeliriuan tetapi sambil menggarisbawahi dan menyokong segala sesuatu yang sudah ada dijalan yang benar. Maka dalam konteks ini, beroposisi politik berarti melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa juga benar. Ketika kekuasaan menjalani kekeliruan, oposisi berfungsi mengabarkan kepada khalayak kekeliruan itu sambil membangun penentangan dan perlawanan atasnya. Sebaliknya ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara benar maka oposisi menggarisbawahinya sambil membangun kesadaran dan aksi politik untuk meminta kelanjutan konsistensi dari praktik kebenaran itu. Dalam politik kebenaran biasanya diukur dari proses dan produk. Pada tingkat proses, kebenaran hanya diwujudkan keterlibatan sebanyak dan seluas mungkin perspektif dalam kebijakan. Pada tingkat produk kebenaran bisa dilihat dari seberapa adil setiap rumusan dan implementasi sebuah aturan atau kebijakan maka kebenaran dalam politik dapat didefenisikan secara pragmatis sebagai kebijakan publik yang partisipatif dan menghasilkan keadilan.
Oposisi adalah setiap ucapan atau perbuatan yang meluruskan kekeliruan tetapi sambil menggaris bawahi dan menyokong segala sesuatu yang sudah ada di jalan yang benar. Maka dalam konteks ini. Beroposisi politik berarti melalukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa benar. Ketika kekuasaan menjalani kesalahan atau kekeliruan dalam melakukan kebijakannya. Oposisi berfungsi mengabarkan kepada khalayak (publik) kekeliruan itu sambil membangun penentangan dan perlawanan atasnya. Sebaiknya, ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara benar, maka oposisi “menggarisbawahinya” sambil membangun kesadaran dan aksi publik untuk meminta kelanjutan dan konsistensi dari praktik kebenarannya itu.
Partai politik yang menjalankan oposisi menurut Haryanto dalam Partai Politik Suatu Tinjauan Umum, akan selalu berusaha mempergunakan setiap kesempatan yang ada untuk mengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditetapkan dan dijalankan oleh partai penguasa (dalam hal ini Setgab). Pada umumnya kesempatan yang begitu kecil tetap akan dipergunakan oleh partai oposisi untuk melancarkan kritik-kritiknya, dan kritik-kritik yang dilontarknnya itu diusahakan setajam mungkin. Tidak ketinggalan dalam rangka menjalankan oposisi, partai politik ini juga berusaha menarik simpati dan dukungan warga negara sebanyak mungkin untuk berpihak kepadanya dan ikut mengkritik rezim yang sedang berkuasa.
Lanjutnya, partai politik yang menjalankan oposisi pada umunya mengemukakan kekurangan-kekurangan atau keburukan-keburukan program yang dijalankan oleh partai yang sedang berkuasa. Tidak ketinggalan partai oposisi ini juga menawarkan program-program tandingan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan atau keburukan-keburukan yang melekat pada program-program partai yang sedang berkuasa.
Di Indonesia Partai yang mencoba menjadi Oposisi dari pemerintah adalah PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan Parta Hanura. Ketiga partai ini mempertegas posisinya sebagai oposisi dengan tidak masuk kabinet pemerintahan SBY-Boediono. Meskipun suara koalisi oposisi perjuangan ini masih kalah jumlah dengan koalisi-koalisi pemeintah berkuasa dibawah naungan Sekretariat Gabungan (setgab) di parlemen. Akan tetapi oposisi yang digalang ketiga partai ini selalu setia pada perjuangannya khususnya dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang dirasakan merugikan masyarakat banyak khususnya masyrakat kecil. Sebagai konsekuensi mereka siap menerima resiko apapun dari pemerintah, oposisi yang dilakukan adalah salah satu bentuk pengawasan/kontrol terhadap pemerintah (check and balances).
Motor utama dari oposisi ini adalah PDI Perjuangan.  Sebelum PDI P menasbihkan dirinya menjadi oposisi pada pasca pemilu dan Pilpres 2009 ini, terjadi upaya alot yang  dilakukan oleh kubu SBY-Boediono yang berusaha menarik PDI P secara halus kedalam kabinet mereka. Akan tetapi Megwati sebagai komando utama partai berlogo banteng ini mengabaikan sama sekali kalkulasi  pragmatis ini dan memilih jalan yang tidak popular yakni oposisi. Akan tetapi pilihannya ini adalah sebuah pilihan yang tidak menggadaikan idealisme partainya akan tetapi akan meningkatkan kepercayaan publik kepadanya ketika koalisi dipemerintahan yang berkuasa, berkhianat kepada amanah rakyat.
Dengan pengalamannya yang lama diluar pemerintahan, PDI Perjuangan sudah biasa dalam tekanan dari penguasa. Kita pasti ingat dengan terpilihnya megawati pada tahun 1993 meskipun pemerintah melakukan intervensi untuk menghalang-halangi pemilihan terhadap dirinya, Megawati dipilh sebagai pimpinan dengan dukungan masyarakat bawah di dalam tubuh PDI. Sebagai putri Soekarno, presiden pertama Indonesia yang karismatis, Megawati menikmati banyak dukungan massa. Pemilihannya sebagai ketua PDI ketika itu bermakna penguatan nasionalisme lama dan Sukarnoisme dalam politik Indonesia.  Kekerasan lain yang dialami seperti penyerangan kantor DPP PDI oleh sekelompok orang yang dibantu oleh tentara Orde Baru telah memakan banyak korban. Cornelis Lay dalam bukunya Melawan Negara sangat jelas menggambarkan bagaimana PDI begitu apik dalam posisinya diluar pemerintahan. Cornelis melihat, sebenarnya Negara itu tidak begitu kuat dalam masa Orde baru (berbeda dengan pandangan sebagian besar peneliti lain), Negara jauh dari otonom dan mudah dimasuki oleh kekuatan politik diluar dirinya. Sesungguhnya di dalam dirinya yang sensitive, Negara itu cenderung berwatak reaktif dan mudah terfragmentasi. Dengan melihat pengelaman PDI yang kemudian bertransformasi menjadi PDI Perjuangan sudah terbiasa dalam tekanan penguasa, sehingga keputusannya berada pada oposisi sudah hal yang lumrah.
Menurut Sigit Pamungkas dalam Krisis Demokrasi Elektoral, hal yang subtansial dari pilihan PDI Perjuangan ini adalah menempatkannya sebagai partai penyeimbang, menjadikannya harapan demokrasi agar tetap bersemi. Salah satu hukum besi politik adalah kekuasaan itu cenderung menyimpang, kekuasaan absolute cenderung absolute menyimpang. Berangkat dari hokum besi itu, pilihan sebagai partai penyeimbang menghindarkan kekuasaan dapat diminimalisasi.
Namun demikian, berbeda dengan PDI Perjuangan, dua partai lainnya; Partai Gerindra dan Partai Hanura belum sekalipun punya pengalaman berada diluar pemerintah selain mereka memang baru pertama ikut pemilu pada tahun 2009 sangat menarik menyimak kedua partai ini berada dikubu posisi pemerintah. Partai Gerindra dalam Platform hampir sama dengan PDI Perjuangan dikarenakan Gerindra mengklaim massanya adalah kelompok-kelompok kelas akar rumput, para petani dan buruh. Partai ini saat ini mulai solid dengan semakin menguatnya elektabilitas partai Gerindra, terutama sekali sang tokoh dan icon partai Prabowo Subianto. Bahkan dalam polling dari Sugeng Sarjadi Syndicate (SSS), Prabowo Subianto menempati posisi teratas dari tokoh-tokoh yang disukai public untuk 2014 mendatang, sedangkan untuk lebaga survey yang lain Prabowo selalu diposisi dua dibawah pamor Megawati.
Salah satu partai yang mungkin agak berbeda adalah Partai Hanura, munculnya Majelis Penyelamat Partai Hanura (MPPH) secara tidak langsung mempengaruhi konsilidasi internal Partai Hati Nurani Rakyat Ini. Kader-kader  Partai Hanura yang loncat pagar ke Partai Lain seperti salah satu deklarator partai Letjen (purn) Suaidi Marasabessy pindah ke Partai Demokrat juga berpengaruh terhadap kekuatan Resources partai. Akan tetapi, jika Partai Hanura tetap konsisten diluar pemerintahan dan diwaktu yang sama pemerintahan yang berkuasa tidak menjalankan amanah kosntituennya dengan benar, popularitas partai ini akan semakin meningkat dimata simpatisannya. Tidak menutup kemungkinan para pemilih yang sering disebut pemilih indekost bisa memilih Hanura dalam pemilhan berikutnya.  
Kesimpulan terakhir mengenai oposisi ini, penulis melihat barisan oposisi ini memainkan peranan pengkontrol terhadap kecenderungan menyimpang dari partai-partai yang berkuasa. Sehingga oposisi yang dibangun memperlihatkan ada saluran untuk menyuarakan aspirasi rakyat ketika corong pendapat mulai disumbat dengan koalisi di parlemen yang mendukung pemerintah. Ini sebuah era baru bagi perpolitikan indonesia untuk bisa menerima oposisi dalam sebuah negara yang menganut sistem multipartai.
4.      Penutup
Pasca jatuhnya soeharto pada tahun 1998, hal yang menarik untuk dicermati adlh bermunculanya partai-partai baru menyambut euforia reformasi. Demokrasi yang lebih beradab telah memastikan kebebasan setiap orang untuk mendapatkan keadilan. Tujuan-tujuan bersama akan lebih mudah diperjuangkan melalui partai politik. Namun demikian berbeda dengan tahun 1955 yang telah memunculkan banyak partai, pada saat sekarang ini sistem kepartaian indonesia telah bertransformasi dari sentrifugal menjadi sistem kepartaian yang sentripetal. Sistem ini telah menyebabkan lebih stabilnya kepartaian di indonesia dari pertarungan ideologi. Akan tetapi muncul sesuatu yang baru, dimana dengan sistem multipartai dan tidak adanya partai yang mendominasi atau mayoritas diparleman telah memunculkan susuatu yang dinmakan koalisi untuk menggalang suatu kekuatan yang lebih besar. Mulai dari masa kepresidenan Abdurahman Wahid, Megawati, dan SBY, koalisi merupakn hal yang harus dilakukan.
Ketika waktu pemerintahan SBY jilid I dan II jelas sekali bagaimana koalisi partai-partai dibawah penguasa bermain. Untuk mengkonsolidasikan koalisi ini dibuatlah suatu organisasi atau lembaga yang dinamakan Sekretariat Gabungan (Setgab). Keputusan koalisi biasanya banyak bermunculan dari Setgab. Koalisi yang dibangun juga bermunculan riak-riak penghancur, tidak akurnya partai-partai didalam koalisi salah satu sebabnya. Akan tetapi gertakan dari penguasa Setgab juga telah menyebabkan masalah baru selain riak-riak tersebut. Hal ini berdampak kepada ujung-ujungnya mulai munculnya benih-benih oligarki kepartaian dalam satu gabungan yang bernama setgab. Sehingga penulis berkesimpulan koalisi ini sebagai koalisi yang kropos.
Munculnya koalisi juga memunculkan gabungan partai Oposisi. Partai-partai yang berada diluar penguasa ini antara lain PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan Partai Hanura. Yang menarik adalah partai oposisi tidak ada dan tidak dibenarkan dalam kosntitusi kita. PDI Perjuangan sudah terbiasa diluar pemerintahan, ini terbukti ketika masa Orde Baru dimana PDI perjuangan di intervensi dan dimarginalkan oleh penguasa, namun berbeda dengan PDI Perjuangan, dua partai gabungan oposisi yang lain yakni, Partai Gerindra dan Partai Hanura belum sekalipun pernah mempunyai pengalaman diluar penguasa. Hal ini mengakibatkan Partai Gerindra dan Partai Hanura menjadi partai Oposisi ditahun pertama keikutsertaan mereka dalam pemeilihan umum. Oposisi Perjuangan bertujuan ini untuk mengkritisi pemerintah yang didukung oleh koalisi yang bernama sekretariat gabungan (Setgab). Ketika amanah rakyat mulai dikhianti oleh penguasa maka oposisi adalah salah satu pengkontrol kebijakan pemerintah (penguasa). Mekanisme pengawasan langsung ini akan membawa demokrasi di indonesia ke arah yang lebih baik. Sehingga penulis berkesimpulan, oposisi sudah selayaknya diterima dalam kehidupan politik indonesia, sebagai warna baru dalam kekuasaan kepartaian di negeri ini. 



Daftar Pustaka

Adriana Elisabet Sukamto, Dkk (Ed.). 1991. PDI dan Prospek Pembangunan Politik. Jakarta: Grasindo.
Andi Setiono, Dkk. (Ed.). 2000. Tragedi Megawati: Revisi Politik Massa di Indonesia. Yogyakarta: Terawang Press.
Aspinal, Edward. 2005. Opposing Soeharto: Compromise, Resistence, and Regime Change In Indonesia. Stanford: Stanford University Press.
Budiardjo, Miriam. 1981. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: PT Gramedia.
Fatah, Eep Saifullah. 1999. Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hadiz, Vedi. R. 2004. Localising Power In Post-Authoritarian Idonesa. California: Stanford University Press.
Haryanto. 1984. Partai Politik: Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Liberty.
Isra, Saldi. Simalakama Koalisi Presidensial. Kompas 27 November 2008.
Koiruddin. 2004. Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lay, Cornelis. 2010. Melawan Negara: PDI-1973-1986. Yogyakarta: PolGov.
Mietzner, Marcus. 2007. Party Financing In Post-Soeharto Indonesia: Between State Subsidies anda Political Corruptions. Jurnal Contemporory Southeast Asia Vol. 29 No. 2
                             .2008. Comparing Indonesia’s Party Systems of The 1950s and The Post-Soeharto Era: From Centrifugal to Centripetal Inter-Party Competition. Jurnal Contemporory Southeast Asia Vol. 39 No 3.
Poerwantara, A.P. 1994. Partai Politik Di Indonesia. Jakarta. PT Rineka Cipta.
Putra, Fadillah. 2003. Partai Politik dan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Uhlin, Anders. 1998. Oposisi Berserak: Arus Gelombang Demokratisasi Ketiga di Indonesia. Bandung: Mizan Pustaka.
Urbaningrum, Anas. 2004. Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia. Jakarta: Republika.

No comments:

Post a Comment