Tuesday, June 19, 2012

Kajian Singkat mengenai Politik Indonesia dan Kritikannya: OrdeLama, Orde Baru dan Reformai


Ditulis Oleh : Fahrezi*  
1. Analisis Trend Kajian Politik Indonesia yang dilakukan oleh Para Ilmuwan Politik Indonesia? apa saja yang tetap dan apa sajaa yang bergeser, dari fokus maupun lokus kajian?
Trend politik indonesia  yang pertama dilihat dalam tulisan ini adalah trend politik aliran yang tidak bisa dipisahkan begitu saja dari khazanah kajian politik indonesia. Pencetusnya adalah Clifford Geertz yang pertama kali memperkenalkan istilah politik aliran, ketika mengamati perpolitikan di  indonesia  pada masa pasca kemerdekaan. Geertz sebenarnya membandingkan dengan apa yang diamaatinya dinegeri Belanda. Aliran merupakan sebuah metafora dari kenyataan kehidupan sosial-politik di Indonesia, dimana partai politik pada masa pasca kemerdekaan melakukan mobilisasi massa dengan membentuk sejumlah auxiliary organizations dalam rangka memenangkan pemilihan umum 1955. Partai politik seperti sebuah sungai besar, dimana air mengalir dari sejumlah anak sungai, baik yang besar maupun yang kecil, seperti aliran kanal-kanal yang akan mengalir ke sungai besar. Dalam kehidupankepartaian, aliran merupakan perwujudan dari pembentukkan dukungan mobilisasi massa. Proses mobilisasi massa seperti  itu merupakan hal yang wajar, karena demokrasi politik pada saat itu yang memungkinkannya.
Basis pembentukkan organisasi sosial dan politik pada masa pasca-kemerdekaan adalah orientasi dari perilaku keagamaan. Hal ini digambarkan oleh Gerrtz dari hasil penelitiannya di mojokuto. Pada walanya Geertz melihat di sebuah desa, ada orang meninggal, yang punya rumah menangis meraung-raung, lalu timbul pertanyaan oleh Geertz, apa yang menyebabkannya meangis. Ternyata tidak boleh dikuburkan oleh masyarakat disitu yang merupakan basis massa NU sedangkan yang meninggal ini adalah PKI. Dari sebuah penelitian di Mojokuto Jawa Timur inilah kemudian lahir teori yang paling fenomenal dalam kajian politik keindonesia. Model tersebut disebut dengan model santri, priyayi dan abangan.  Peta masyarakat yang digambarkan oleh Geertz sebenarnya, memperlihatkan pemilahan sosial yang bersifat cummulative dan consolidated, karena telah terjadi proses penguatan dalam hal pengelompokkan sosial, terutama di jawa yang menjadi pusat politik indonesia ketika itu. Orang-orangan abangan memiliki orientasi politik dan ekonomi yang berbeda dengan orang-orang santri. Orang-orang abangan cenderung memilih untuk berpihak kepada partai politik yang tradisional, sekuler, dan nasionalistik. Sementara, orang-orang santri cenderung memilih untuk berpihak pada partai-partai islam.
Partai-partai politik ketika itu dengan jelas melihat dan memobilisasi aliran-aliran ini lewat pembentukan organisisasi pendukung yang meliputi semua sektor umur, profesi, atau lapangan pekerjaan. Partai Komunis Indonesia (PKI), misalnya, memiliki sejumlah organisasi seperti: Pemuda Rakyat, Gerwani, CGMI, IPPI, Sobsi, BTI, Lekra, PGRI Non-Vaksentral, dan lain-lain. Demikian juga dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), dengan organisasi pendukung seperti Pemuda Marhaen, Wanita Marhean, GMNI, GSNI, Petani, dan Leknas. Partai Nahdatul Ulama (NU) memiliki organisasi seperti pemuda Anshor, Muslimat NU, Fathayat, PMII, IPPNU, Pertanu, Lesbumi dan lain-lain. Dan partai Masyumi dengan organisasi pendukungnya seperti, GPII, HMI, PII, Gasbiindo, dan lain-lain.
Pada saat sekarang teori ini masih berlaku dalam perpolitikan indonesia. Partai-partai masih mempergunakan organisasi sayap untuk mendukung dan mendongkrak popularitas partai. Aliran-aliran ini masih relevan dengan kajian kekinian, orang-orang abangan masih memilih partai-partai yang berhaluan nasionalis dan orang-orang agamais memilih partai yang sehaluan dengan kepercayaannya. Perbedaan yang mencolok adalah, partai-partai di tahun 1955 tidak ada satu pun yang tinggal, meskipun mereka bertranformasi dalam bentuk partai yang baru, misalnya massa PNI dulu saat ini relatif mendukung PDI Perjuangan, PNI Marhaenisme, PNBK, atau misalnya beberapa massa Masyumi relatif memilih Partai Bulan Bintang, partai yang didirikan Yusril Ihza Mahendra yang merupakan anak didik tokoh Masyumi seperti Natsir, Syafrudin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap, juga ada partai yang bernama Maysumi Baru tetapi tidak begitu signifikan dalam meraih suara pada pemilu 1999. Sedangakan massa nahhdlyin masih memilih Partai berhaluan NU seperti PKB yang didirikan mantan Ketua PBNU Abdurahman Wahid meski juga ada PNU.    
Politik aliran yang berkontestasi pada awal kemerdekaan sampai dengan Demokrasi Parlementer berpengaruh terhadap kelangsungan institusi kenegaraan. Harbert Feith dan seorang sejarawan sosial dan politik Harry J. Benda terjadi perdebatan yang alot diantara kedua ilmuwan ini. Mengapa demokrasi Parlementer di Indonesia sampai gagal? Herbert Feith didalam karyanya yang sangat monumental dalam khazanah ilmuwan perpolitikan indonesia, karya Feith yang berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Feith mengajukan tesis bahwa kegagalan demokrasi parlementer di Indonesia adalah karena adanya dua gaya kepemimpinan yang sangat berbeda diantara kalangan elit indonesia pada masa pasca-kemerdekaan, yaitu disatu pihak apa yang disebut Feith  dengan solidarity makers, dan di lain pihak apa yang dimaksudkan ke dalam kategori administrator atau problem solver (pemecah masalah). Mereka mempunyai visi, gaya, kecakapan dan basis kepemimpinan yang berbeda didalam mencoba membawa indoneisa merdeka sebagai sebuah negara yang modern. Sehingga kemudian terjadi konflik yang berkepanjangan diantara kedua jenis ini, yang pada akhirnya menggagalkan proses demokrasi itu sendiri. Kenyataan yang dapat kita lihat adalah jatuh bangunnya kabinet dimasa parlementer ini. Umur kabinet hanya berusia tiga sampai delapan bulan saja, ini mengakibatkan pemerintahan tidak stabil.
Namun demikian tesis yang diajukan oleh Harbert Feith dipertanyakan oleh Harry J. Benda, dia melihat pertanyaan yang diajukan oleh Herbeth Feith adalah pertanyaan yang aneh.  Kita seharusnya bukan menanyakan mengapa demokrasi di indonesia gagal, akan tetapi menurut Benda yang paling penting adalah mengapa ada demokrasi di Indonesia?. Menurut Benda, Feith tidak memperhatikan hal yang menyangkut konsep legitimasi kekuasaan sehingga apa yang disebut dengan problem solvers yang dominan dalam proses politik yang berjalan. Menurut benda, mereka tidak lain daripada sekelompok orang yang asing ditanahnya sendiri, yang tidak memiliki basis legitimasi kekuasaan, yang tentu saja ditentang oleh kalangan solidarity makers.
Dari hasil riset pada demokrasi parlementer ini, Feith dan Castles telah menambah bumbu-bumbu tentang konsep dominannya politik aliran dimasa demokrasi parlementer yang juga menyebabkan demokrasi ini gagal. Konsep ideologi yang tertanam didalam masyarakat telah menyebabkan pergulatan ideologi yang sangat hebat ketika itu. Feith dan Castles ini membagi kelompok-kelompok tadi menjadi lima aliran besar yaitu, Islam, Jawa Tradisional, Sosialis Demokrat, Nasionalis Radikal, dan Komunist.  Islam merupakan suatu kekuatan politik sendiri, yang ditopang oleh sejumlah organisasi massa. Demikian juga dengan nasionalis, dan kelompok aliran yang lainnya. Berikut ini akan disajikan gambar bagaimana pemilahan kelompok-kelompok dan Partai politik yang memakainya/memaknainya.
Gambar 1.
Partai Politik dan Kelompok Alirannya

 












Kuatnya pertarungan ideologi-ideologi ini seperti disinggung diatas telah menyebabkan ketidkstabilan politik. Bagaiamana dengan waktu sekarang ini? Pada saat sekarang ini idologi ini sduah mengarah ketengah yang menyebabkan satu sama lain mulai berkompromi dan terbuka dengan partai yang bukan satu ideologi dengan mereka. pada kenyataannya, sebenarnya disaat sekarang konsep aliran besar ini tinggal empat aliran saja dikarenakan minus aliran dari komunis. Komunis, marxime dan leninisme dinyatakan sebagai aliran yang terlarang di Indonesia. Studi yang jelas sekali melihat transformasi ideologi politik, yang dulu sentrifugal tetapi pasca reformasi terjadi pergeseran-pergeseran menjadi kearah yang sentripetal adalah Marcus Mietzner dalam Comparing Indonesi’s Party System Of The 1950 and The Post-Soeharto Era: From Centrifugal To Centripetal Inter Party Competition (2008). Ada pergeseran-pergesaran idiologi partai, mietzner membagi kedalam lima cluster yakni; communism/socialism, populism/authoritarianism, the centre : existing democratic party, Islamic society, dan Islamic state/syariah. Pada tahun 1955 partai yang ideologi communism/socialism diwakili oleh PKI dengan 18 % suara diparlemen dan partai Murba < 1 %. Populism/authoritarianism diwakili oleh PNI dengan 25 %, selain itu ada IPKI (relatif statis) dan Partai Katolik yang condong ke tengah (the centre : existing democratic policy). Untuk the centre:existing democratic policy) sendiri praktis cuma diwakili oleh PSI.di posisi Islamic society diwakili oleh NU 20 % dan yang terakhir ideologinegara islam/syariah diwakili oleh Masyumi 22 %, PSII dan Perti. Mietzner mengelompokkan ini kepada sistem partai yang sentrifugal.
Pemilu pertama setelah jatuhnya Soeharto yakni pemilu 1999, semua partai bermunculan seperti pada tahun 1955 tapi membawa corak baru. PDI P keluar sebagai pemenang Pemilu 1999 dengan meraup 33 % suara di parlemen, pada pemilu 2004, pola sistem partai di Indonesia sudah semakin jelas, yakni bertransformasi kearah sentripetal. Ideologi-ideologi partai sudah mengarah ketengah, mulai meninggalkan kiri dan kanan khususnya radikal kiri dan radikal kanan, semuanya mulai terpusat pada existing democratic party seperti; Golkar, PKB, PD, PAN, PDS, PBR. Pada posisi populis diwakili oleh PDI P dan PKPI, sedangkan Islamic society diwakili oleh PPP, PBB, PKS.Dengan sistem ini, relatif karakter sistem politik partai lebih stabil daripada tahun 1950 yang sentrifugal.
Dimasa demokrasi terpimpin fokus kajian politik Indonesia sudah berubah dari yang tadinya mengenai behavioral partai politik yang mengandalkan ideologi politiknya yang berasal dari aliran-aliran yang ada dimasyarakat sekarang berubah menjadi figur Soekarno dan kekuatan baru bernama Militer. Masuknya militer dalam ranah politik indonesia menjadi sebuah warna baru dalam politik indonesia ketika itu. Soekarno menempatkan dirinya sebagai kekuatan sentral, nampaknya Soekarno menhayati betul konsep kekuasaan dalam perspketif orang jawa, seperti apa yang dikemukakan oleh Bennedict Anderson. Politik pada massa terpimpin merupakan upaya untuk menemukan keseimbangan antara ketiga kekuatan politik, yaitu Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Angkatan Darat. Ketiga kekuatan ini dapat kita gambarakan sebagai berikut, dimana Soekarno merupakan kekuata utama, PKI dan Angkatan Darat sebagai kekuatan penopang.
Gambar. 2
Kekuatan Demokrasi terpimpin

Presiden Soekarno


                                       PKI                                                       Angkatan Darat

Soekarno membutuhkan dukungan PKI karena merasa terancam akan kemungkinan pengambilaalihan kekuasaan oleh angkatan darat. Ini dikarenakan Soekarno tidak dapat hanya mengandalkan PNI yang lebih membutuhkan Soekarno. Harbert Feith menyatakan Soekarno tidak meempunyai partai politik sendiri yang dapat diandalkan, makanya Soekarno butu PKI. Lalu bagaimana dengan Angkatan Darat?, Seokarno juga harus berbagi kekuasaan dengan Angkatan Darat, karena dalam kenyataan Angkatan Darat mempunyai kekuasaan riel, terutama di daerah-daerah. Masuknya Angkatan Darat kedalam kancah politik Indonesia adalah ketika Soekarno mengeluarkan SOB, yang menyatakan negara dalam keadaan darurat perang ketika terjadi pemberontakan didaerah-daerah. praktis setelah itu Angkatan darat memainkan peranan yang sangat menentukan karena Angkatan Darat merupakan pelaksana penguasa perang daerah (Paperda). Namun akhirnya kekuatan-kekuatan ini memakan korban juga, pasca G 30 S/ PKI, kekuatan Soekarno digembosi sehingga menglengserkannya dari tampuk kepresidenan, sedangkan salah satu penopangnya PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia, penopangnya yang lain yakni Angkatan Darat menuju kemenangannya, praktis 32 Tahun mereka berkuasa setelah kejadian ini.
Pada saat sekarang kekuatan militer sudah mulai dikurangi dalam kancah perpolitikan indonesia. Salah satu agenda reformasi adalah menghapuskan Dwi Fungsi ABRI, sejak tahun 2004 militer tidak lagi mempunyai wakil di legislatif. Militer saat sekarang ini lebih difungsikan sebagai alat negara bukan sebagai alat politik. Militer lebih difungsikan sebagai penjaga keamanan pertahanan negara dari gangguan dan ancaman negara lain.
Kajian-kajian mengenai orde baru banyak dikupas oleh Edward Aspinal dalam Opposing Soeharto: Compromise, Resistence, and Regime Change In Indonesia dan Anderh Uhlin dalam Oposisi Berserak yang hasil dari penelitian keduanya hampir sama. Kejatuan Soeharto tidak muncul dengan seketika saja, melainkan ada riak-riak yang telah mengikutinya.Pada tahun 1997 krisis moneter menjadi pelatuk untuk riak-riak ini menjadi gelombang besar untuk menumbangkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya selama 32 tahun. Pemikiran-pemikiran konseptual yang mencoba menerangkan jatuhnya Soeharto dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi dari tahu 1970-an sampai dengan 1998. Aspinal dan Uhlin sama-sama melihat adanya fenomena-fenomena yang mencoba memaksa Soeharto untuk turun dari kekuasaannya.Secara garis besar dapat ditarik empat inti utama dalam pemikiran Edward Aspinal dan Andres Uhlin yakni; 1).Pembangkangan elit yang terbagi kedalam kelompok-kelompok seperti Petisi 50, YKPK, dan Forum Demokrasi, 2).Timbulnya proto-proto oposisi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat. 3). Student activism yang dikelompokkan kedalam liberal populis, popular political, dan Islamic, 4). Yang terakhir mulai adanya semi opposision yang dimainkan oleh PDI dibawah Megawati.
Banyaknya aktor elit yang kecewa memilih untuk bungkam, tetapi sebagian dari mereka membentuk sejenis oposisi. Kelompok yang dipandang sebagai pembangkangan elit paling efektif adalah kelompok Petisi 50 yang beranggotakan orang-orang yang membesarkan negara ini. Generasi LSM senior seperti Adnan Buyung Nasution mendirikan sebuah LSM yang mempunyai profil politik tinggi yang bernama Lembaga Bantuan Hukum (LBH). LBH tidak hanya semata-mata dimaksudkan menjadi organisasi yang menyediakan advokasi hukum. Akan tetapi bantuaan Hukum yang dimaknai oleh LBH sebagai bantuan hukum secara struktural. Ini berarti bahwa bantuan hukum harus bertujuan mengubah basis ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik. tidak ketinggalan juga  aktivis Mahasiswa yang ambil bagian dalam menggerogori penguasa. Aktivisme mahasiswa telah diarahkan untuk menentang rezim orde baru, protes-protes mahsasiswa pada 1974 dan 1978 adalah kasus yang paling signifikan dimasa awal Orde Baru, pada akhirnya kekuatan yang digalang mahasiswa pada 1998 telah berhasil menjatuhkan rezim Soeharto. Kekuatan terakhir yang dilihat oleh Aspinal dan Uhlin adalah munculnya semi oposision yang digalang oleh Megawati. Sebagai putri pertama dari Soekarno, Megawati telah menikmati banyak dukungan massa. Tekanan terhadap Megawati adalah ketika dia berhasil menjadi ketua umum PDI, pemerintah melihat ini sebagai ancamanan. Pemerintah memobilisasi orang-orang PDI yang loyal dengan pemerintah dibantu dengan tentara pada 27 juli 1996 menyerang kantor DPP PDI.
Pada saat sekarang ini pergeseran yang terjadi adalah pergerakkan dari LSM tidak seperti dulu, LSM sekarang banyak dimasuki kepentingan-kepentingan, sehingga ada istilah LSM bayaran. Pergerakan mahasiswa juga demikian. Tidak adanya common enemy seperti dimasa orde baru, dengan adanya Soeharto sebagai musuh bersama telah menyolidkan mahasiswa. Pergeseran ini ditambah perparah oleh banyaknya mantan aktivis 1998 yang tersangkut dengan dugaan kasus korupsi, sebut saja Rama Pratama dari PKS mantan ketua Senat UI, selain itu ada Anas Urabningrum mantan ketua umum PB HMI yang sekarang menjadi ketua Partai Demokrat. Sedangkan PDI yang sekarang bertransformasi menjadi PDI perjuangan setelah tidak lagi berkuasa kembali kepada seperti dizaman orde baru, berada diluar penguasa menjadi oposisi.
Pasca orde baru, terjadi pergeseran-pergeseran dalam kajian-kajian perpolitikan indonesia lebih difokuskan dalam tingkat lokal. Ini bisa dilihat dari studi-studi yang dilakukan oleh Vedi R. Hadiz, Richard Robinson, John Sidel, Syarif Hidayat, yang semuanya lebih melihat dalam konteks lokal indonesia kekinian dan juga membandingkan dengan masa lampau. Corak kajian yang dilihat dari aras lokal ini telah membawa perubahan baru dalam studi-studi perpolitikan indonesia. beberapa studi-studi tersebut seperti berikut ini.
Pertama, agenda perubahan pasca jatuhnya soeharto adalah mengubah sentralisasi menjadi desentralisasi. Ada pengalihan wewenang kepada daerah-daerah untuk mengurus otonominya sendiri. Vedi R. Hadiz didalam Localising PowerIn Post-Authoritarian Indonesian (2004) UU No 22 tahun 1999 menandai otonomi yng seluas-luasnya kepada daerah. Selama orde baru daerah dikuras sumber daya alam yang menjadi kekayaannya tanpa ada pembangunan tidak merata di daerah-daerah yang potensial sumber daya alamnya ini.Semua diatur secara besar oleh pemerintah pusat (sentralisasi), oleh karena itu pasca jatuhnya soeharto pemerataan pembangunan di daerah-daerah khususnya luar jawa menjadi prioritas agenda reformasi.
Desentralisasi sesungguhnya merupakan upaya untuk memastikan bahwa kedua sisi dari konsep kewarganegaraan tersebut dapat dipenuhi secara lebih baik. Dalam konteks ini mempertanyakan persoalan governance, khususnya di daerah menjadi penting. Dari hal ini terlihat jelas bahwa konsep governance secara fundamental mempermasalahkan hubungan antara negara (state) dengan masyarakat (society). Secara lebih konkrit, arena negara dalam ini direpresentasikan oleh political office dan birokrasi, sedangkan arena masyarakat secara lebih rinci dapat dipilah kedalam masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Dengan demikian pengertian governancelebih khusus lagi, berkaitan dengan bagaimana arena political office (jabatan-jabatan politik), birokrasi, masyarakat sipil, dan masyarakat ekonomi berhubungan satu dengan yang lain untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi, guna mencapai tujuan-tujuan bernegara.
Namun demikian kecenderungan agenda-agenda perubahan ini telah melahirkan dampak yang diluar pengertian desentralisasi. Di daerah-daerah mulai tumbuh orang kuat lokal baru.local strongman menurut Migdal dan local bossism menurut John Sidel. Para orang kuat lokal tersebut menambahkan kekuatannya pasca orde baru. Sidel melihat transisi pemilihan yang teratur di Indonesia dimulai paa tahun 1999, kondisi kurang lebih sama dengan yang ditemukan di Filipina dan Thailand, juga berlaku di Indonesia menurut Sidel. Hal ini desebabkan kemungkinan akumulasi kekuasaan oleh mafia, jaringan dan marga di lokalitas seluruh Indonesia. Pemilihan umum 1999 menghasilkan penyerahan kekuasaan negarakepada mereka yang sanggup menggalang dan merebut suara pemilih dan terpilih menduduki posisi tertentu. Kekuasaan orang kuat lokal ini bertahan sampai saat ini.
Oligarki keluarga tumbuh di daerah-daerah, akses kebijakan dikuasai oleh orang kuat ini. Walaupun good governance menjadi sebuah resep diberikan oleh IMF dan World Bank dalam pelaksanaan otonomi didaerah. Akan tetapi Good Governanceini harus berhadapan dengan yang namanya Shadow State. Seperti yang dikatakan Reno seperti yang dikutip oleh Syarif Hidayat dan Abdul Malik dalam Good Governance vs Shadow StateDalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, bahwa praktik shadow stateakan hadir, tumbuh dan berkembang tatkala terjadi pelapukan fungsi pada institusi pemerintah formal. Penyebab utama dari terjadinya pelapukan fungsi tersebut, antara lain, karena para elite penyelenggara pemerintah formal mengalami ketidakberdayaan dalam berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan politik dominan yang berada di luar struktur pemerintah. Selain itu manipulasi kebijakan publik untuk kepentingan pengusaha berupa transaksi bawah tangan anatara penguasa dan pengusaha dalam tender proyek-proyek pemerintah, dan pemaksaan swastanisasi aset-aset negara.
Selain itu hal yang menarik untuk dicermati pasca Orde Baru, ekonomi Indonesia masih tidak berubah.Kapitalisme semu masih saja menggerogoti bangsa ini. Vedi R. Hadiz seorang pengkritik Neo Institusionalism bersama dengan Robison dalam studi mereka yang berjudul Reorganizing Power: Post Soeharto in Indonesia: Politics of Oligarchy In Age of Market (2004). Robison dan Hadiz melihat oligarki yang berjaya dimasa Soeharto, puncaknya paa tahun 1980-anternyata masih tumbuh subur di Indonesia. Pasca krisis moneter 1997 terjadi reorganizing oligarki.Robison dan Hadiz dalam studi tersebut memaknai oligarki sebagai sistem pemerintahan dengan semua kekuasaan politik berada ditangan sekelompok kecil orang-orang kaya yang membuat kebijakan publik lebih untuk keuntungan finansial mereka sendiri.Melalui kebijakan subsidi langsung terhadap perusahaan-perusahaan milik mereka. Oleh karena itu Robison dan hadiz menyatakan rezim oligarki soeharto menciptakan predatory-state (Negara predator) yang artinya kebijakan-kebijakan dan barang publik dinikmati dan diperjualbelikan oleh para pejabat dan politisi untuk mendapatkan dukungan publik.
Robison dan hadiz menganalisis tumbuhnya kelas kapitalis yang berkuasa yang berintegrasi dengan pasar global.Jatuhnya rezim oligarkis soeharto tidak serta merta merubah oligarkisme melainkan membuatnya bermetamorfosa menjadi model oligarkis yang baru.Metamorfosa yang terjadi adalah munculnya kekuatan oligarkis sejenis ditingkat provinsi maupun kabupaten.Sehingga dengan analisis Robison dan Hadiz ini kita bisa melihat politik lokal di Indonesia. Kasus korupsi yang menjerat para pejabat daerah, baik eksekutif maupun legislatife, menunjukkan bagaimana penyalahgunaan wewenang  untuk kepentingan pribadi dan jaringan oligarkinya bekerja nyata ditingkat lokal. Kekuasaan ditingkat lokal dibagi-bagi ditangan para pengusaha kaya, para birokrat kaya hasil bisnis kapitalisme semu, maupun jaringan keluarga telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
2. Apa kritik saudara atas fokus dan lokus kajian dalam kajian politik indonesia?
Kritik yang ingin saya sampaikan akan dijabarkan dalam beberapa hal. Pertama, para ilmuwan dalam melihat orde lama tidak melihat dalam konteks perspektif orang daerah. Kita semua tahu bahwasanya berbicara politik indonesia pasti tidak lepas dari konsep politik tradisonal jawa, dan ketika itu juga pusat pergerakkan indonesia berada dijawa. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, kita masih memaknai politik indonesia dalam konteks jawa, ini yang tidak dilihat oleh ilmuwan ketika itu, dimana mulai munculnya saparatisme di daerah-daerah seperti DI TII Kahar Muzakar di sulawesi, Daud Baerueh  di aceh dan yang paling besar pemberontakan setengah hati PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi. Penghilatan dari kacamata jawasentris ini telah mengaburkan mata para peneliti ketika itu, ternyata masih ada perspektif yang belum dijamah yakni seperti tadi dari perspektif kacamata daerah diluar jawa.
Kritikan Kedua, dalam konteks demokrasi terpimpin, kritik yang paling tajam saya adalah ilmuwan tidak melihat angkatan lain diluar Angkatan Darat, ini terlihat dari terlibatnya Angkatan Udara dalam konflik berdarah G 30 S/PKI. Dipergunakannya lapangan Halim Perdanakusuma dan akan diserang oleh Angakatan Darat. Oumar Dhani sebagai KASAU adalah salah satu figur sentral dalam kontestasi elit militer ketika itu. Oumar Dhani adalah Komando Mandala Siaga Ganyang Malaysia, Soeharto hanya menjadi wakilnya ketika tahun 1963 itu . Keikutsertaan atau keterlibatana oknum-oknum Angkatan Udara memperlihatkan ketika itu siapa mendahului siapa.
Kritikan Ketiga, dalam konteks Orde Baru. Kajian-kajian yang dilakukan lebih kepada melihat negara sentris. Semua ilmuan melihat dari perspektif negara, dan mengatakan bahwasanya negara itu sangat kuat. Jarang sekali kita menemukan buku-buku kajian semasa Orde Baru yang melihat negara dari perspektif society. Kajian Orde baru lebih kepada figur sentral Soeharto, sebagai bukti banyak buku-buku ketika itu yang melihat bagaimana pribadi soeharto, bagaimana konsep pembangunan yang dimaknai oleh Soeharto. Salah satu buku yang fenomenal adalah The Smiling Genereal karya O.G Roeder.
Kritikan keempat, Negara orde baru yang dimaknai sebagai negara kuat tadi juga mendapatkan kritik setelah bebrapa tahun rezim orde baru jatuh. Pada tahun 2010 keluar buku dari bapak Cornelys Lay yang berjudul Melawan Negara. Dalam bukunya tersebut jelas konsep negara kuat yang selama ini dialamatkan kepada orde baru ternyata bisa dibantahkan. Menurut Cornely lay negara itu jauh dari kata kuat, negara jauh dari otonom dan mudah dimasuki oleh kekuatan politik diluar dirinya. Sesungguhnya di dalam dirinya yang sensitive, Negara itu cenderung berwatak reaktif dan mudah terfragmentasi.
kritikkan kelima, adalah kajian politik lokal di indonesia memang telah membawa warna baru di indonesia. akan tetapi, konsep-konsep yang tertanam dari Good Governance dan Reiventing Governance yang dimaknai oleh pemerintah indonesia adalah cangkokan dan pesanan dari IMF dan lembaga donor lainnya, sehingga sulitnya untuk mengembangkan konsep ekonomi kerakyatan yang diamanatkan oleh konstitusi.
Kritikan terakhir atau yang keenam adalah, kita selalu disuguhi dengan hasil-hasil studi dan buku dari persepektif ilumawan asing yang masih banyak dan bertambah banyak dalam menggali khazanah kajian perpolitikan di indonesia, sedangkan para peneliti kita yang dari indonesia masih sedikit dibandingkan dengan jumlah peneliti asing tersebut yang telah memberikan karya-karya monumentalnya terhadap indonesia. semoga dikemudian hari ilmuwan indonesia bertambah banyak untuk meneliti kajian perpolitikan indonesia.Orde Lama, Orde Baru, dan Reformsi.

* Mahasiswa  Pacasarjana UGM

1 comment:

  1. Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
    Tshirt Dakwah Quote

    Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
    Punya Pasangan Sempurna Nggak Indah Kelihatannya

    ReplyDelete