1.
Pengantar
Hampir
dua abad lalu, ketika pertama kali datang didaerah pedalaman Sumatera Barat
pada 1818, Sir Thomas Stamford Raffles pernah merasa frustasi terhadap sistem
pemerintahan Minangkabau yang bertumpu kepada Mufakat. Disana dia disambut oleh
sekelompok pemimpin setempat (penghulu). Raffles meminta merka segera
memutuskan berapa dia harus membayar agar diizinkan melewati wilayah mereka
(Kahin, 2005).[1]
Setelah
diberitahu keinginan Raffles untuk dapat segera melanjutkan perjalanan, dengan
tenang mereka mengatakan bahwa mereka telah mempertimbangkan keinginan itu,
telah memusyawarahkan sepanjang hari, dan akhirnya sampai kepada
kesepakatan bahwa mereka belum mencapai
keputusan apapun, sebab jumlah penghulu yang hadir hanya dua pertiga sedangkan
sepertiga lain tidak dapat hadir, dan mereka menawarkan tempat untuk Raffles
dan rombongannya untuk menginap selama tiga hari sambil menunggu keputusan
akhir. Baru setelah sepertiga penghulu itu hadir dan mereka semua bermusyawarah
selama sekitar satu atau dua jam, akhirnya dicapai keputusan tentang jumlah
uang yang harus dibayar rombongan Raffles agar dapat melanjutkan perjalanan.
Istilah
minangkabau sendiri adalah nama sebuah etnik atau suku bangsa di Sumatera.
Kebanyakan orang mengidentikannya dengan Sumatera Barat (Sumbar), namun
demikian sebenarnya daerah Minangkabau juga terbentang sampai ke Prop. Riau bahkan sampai ke
Malaysia yakni Negeri Sembilan. Karena pada awalnya orang minangkabau membagi
daerahnya kepada daerah Luhak (asal seperti Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan
Luhak Lima Puluh Kota) dan daerah Rantau.
Saya dalam tulisan ini tidak akan bercerita tentang asal usul orang minangkabau
yang dikatakan berasal dari perjalanan anak Alexader
The Great (Iskandar Agung) dari Masedonia yang mengatakan
dia melihat waktu itu Gunung Merapi (gunung yang meliputi Kab. Agam dan Kab.
Tanah Datar serta dapat dilihat juga dari Kab. Lima Puluh Kota) sebesar telur
itik. Tambo (bukti sejarah) menyebut tiga orang putera
Iskandar Zulkarnaen, yakni: Maharajo Alif, Maharajo Depang (atau: jepang) dan
yang terkecil Maharajo Dirajo, yang berlayar bersama-sama dilaut lepas. Dalam
pelayaran mereka bertengkar siapa diantara mereka yang memilki mahkota
berikutnya. Selagi mereka bertengkar, mahkota yang diperebutkan itu jath ke
laut. Namun pengiring dari yang terkecil, yang juga pandai bernama Cati Bilang
Pandai membuatkan gantinya yang persis yang serupa dengan yang aslinya dan ditunjukkan
kepada kedua kakaknya sebagai mahkota yang hilan telah ditemukan kembali. Kedua
kakanya percaya bahwa ia yang menemukannya, maka dengan demikian Maharajo
Dirajo lah yang berhak atas takhta. Ketiga kakak beradik itu kemudian berpisah,
Maharajo Alif seterusnya menjadi raja Bizantim dan memerintah bahagian barat
dari kerajaan. Maharajo Dapang menjadi raja Cina dan Jepang dan memerintah
bagian timur kerajaan, sementara Maharajo Dirajo melanjutkan pelayaran
keselatan dan menjadi raja Minangkabau. Dalam pelayarannya keselatan kapalnya
tersandung pada puncak merapi yang waktu itu masih sebesar “telur itik” tadi
terapung dilaut. Ketika banjir besar Nabi Nuh surut dan reda, raja dan dan
pengikutnya bergerak kebawah dan demikianlah bermulanya alam Minangkabau.
Cerita
lain juga menyebutkan asal muasal nama minangkabau juga dari pertarungan kerbau
jawa dengan kerbau orang daerah tersebut, kerbau orang daerah dikasih minang
(tanduk runcing) yang dipasangkan pada kerbau kecil tersebut yang tidak
disatukan dengan induknya selama tiga hari sehingga dia perlu susu, jadi ketika
dia bertarung, karena melihat kerbau besar tadi langsung menyerunduk karena dia
kehausan, maka kemudian tercabik-cabik lah perut kerbau besar tadi oleh minang
(besi runcing yang dilekatkan di tanduk kerbau kecil tadi). Itu adalah salah
satu cerita asal muasal kata minang kerbau (minangkabau) dan masih banyak
cerita asal muasal namanya yang keabsahannya pun dipertanyakan, tetapi diyakini oleh orang miangkabau secara turun
temurun.
Namun
demikian tulisan saya lebih kepada mengeksplorasi
nilai-nilai
demokrasi yang dianut oleh orang minangkabau tadi, seperti cerita Raffles yang
dibuat pusing karena keputusannya harus merepresentasikan semua kelompok yang
ada. Sebenarnya Minangkabau sejak lama sudah dikenal sebagai suku bangsa
(etnik) yang menjunjung nilai-nilai demokrasi yang dianut oleh etnik
minangkabau tersebut ada yang bersifat lokal (partikular) dan ada yang bersifat
universal. Seperti halnya dalam budaya masyarakat modern, kedua nilai tersebut
juga ditemukan pada sistem pemerintahan
nagari (desa).
Nilai-nilai
demokrasi lokal yang penulis angkat ini dapat menambah khasanah kajian
demokrasi lokal dalam ruang politik indonesia. Akan tetapi lebih dari itu,
penulis ingin membongkar teorisasi demokrasi khas bagi politik lokal indonesia,
dimana selama ini teorisasi demokratisasi dalam skala global lebih dominan
dalam studi politik di Indonesia.
2. Konsep
Teoritis
2.1.Demokrasi
Pada prinsipnya demokrasi seperti yang dikutip dari
Diane Revitch (2005: 13) adalah kebebasan yang menurut pendapat orang pada
umumnya, hanya dapat dinikmati dalam negara seperti itu. Hal ini diakui sebagai
tujuan utama setiap demokrasi. Salah satu prinsip kebebasan adalah setiap orang
secara bergantian wajib memerintah dan diperintah serta memang keadilan
demokrasi merupakan penerapan persamaan jumlah bukan proporsi. Dari sini
disimpulkan bahwa mayoritas harus memiliki kekuasaan tertinggi, dan apapun yang
disetujui oleh mayoritas harus menjadi tujuan dan adil. Setiap warganegara
dikatakan harus mempunyai persamaan dan oleh karenanya dalam sebuah demokrasi,
kaum miskin mempunyai kekuasaan lebih banyak daripada kaum kaya, ini disebabkan
karena jumlahnya yang lebih besar.
Selain
itu, Pengertian demokrasi menurut J. Van Den Doel adalah kumpulan berbagai
metode untuk mengkoordinasikan di luar pasar
keputusan orang-orang atau badan-badan yang secara hirearkis mempunyai
kedudukan yang sejajar. Maka oleh karena itu demokrasi sama dengan
dekonsentrasi, ia melihat inti demokrasi dalam melindungi minoritas terhadap
mayoritas dan mayoritas terhadap minoritas. Aristoteles misalnya mengambil
kesimpulan bahwa demokrasi memang
didasarkan atas persamaan, akan tetapi
baru dapat dikatakan ada demokrasi apabila rakyat menguasai mayoritas
keputusan rakyat menjadi undang-undang
(Doel, 1987:10-11).
Selanjutnya,
model-model demokrasi menurut David Held
(1995: 5-6). Pertama demokrasi langsung
atau demokrasi partisipasi, suatu sistem pengambilan keputusan mengenai
masalah-masalah publik dimana warganegara terlibat secara langsung. Ini adalah
tipe demokrasi asli yang terdapat di Athena kuno. Kedua, ada demokrasi liberal
atau demokrasi perwakilan, suatu sistem pemerintahan yang mencakup
pejabat-pejabat terpilih yang melaksanakan tugas “mewakili”
kepentingan-kepentingan atau pandangan-pandangan dari para warganegara dalam
daerah-daerah yang terbatas sambil tetap menjunjung tingggi aturan hukum.
Ketiga, demokrasi yang didasarkan atas model satu partai (meskipun sementara
orang mungkin meragukan apakah hal ini merupakan suatu bentuk demokrasi juga).
Sedangkan menurut Dahl, kriteria demokrasi
itu mencakup 1). Hak suara yang merata, 2). Partisipasi yang selektif,
3).pengertian yang berdasarkan informasi, 4). Kontrol akhir terhadap agenda
rakyat. (Dahl, 1992: 40-41). Perkataan Dahl tersebut berkaitan dengan bagaimana
mensinkronisasikan Peran negara didalam sistem demokrasi untuk mengentaskan
kemiskinan yang melanda masyarakatnya. Tujuan akhir dari proses demokrasi
seperti diakuinya setiap hak individu yang merata dimana semua dipandang sama
oleh negara, semua mempunyai kesempatan pekerjaan yang sama oleh negara. Mereka
bisa berpartisipasi untuk melakukan akses politik di dalam sistem demokrasi.
Pernyataan
diatas mengisyaratkan bahwasanya setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang
sama dimata negara. Demokrasi seperti hidup dizamannya sendiri terutama pada
saat sekarang ini. Banyak negara-negara di penjuru ini mulai dan menyukai
sistem demokrasi berkembang dinegaranya. Umumnya negara-negara ketiga yang
lebih sering disebut dengan negara berkembang termasuk indonesia didalamnya
menganut sistem ini dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
2.2.Model Mengkaji Representasi Demokrasi Lokal
Minangkabau
Demokrasi
Lokal dihadapkan kepada bagaimana merepresentasikan kepentingan-kepentingan
masyarakat terhadap negara. Berikut ini akan dipaparkan penjelasan mengenai
metode yang bisa untuk mengkaji demokrasi yang orientasinya representasi, model
yang digunakan berasal dari konsep yang ditawarkan oleh Olle Tornquist (2009),
seperti model dibawah ini.
Bagan 1.
Model
Untuk Mengkaji Demokrasi Yang
Berorientasi Representasi
Dari
model Olle Tornquist tersebut sejumlah masalah krusial dapat dipaparkan
sebagai; pertama, institusi
pemerintahan apa saja yang didekati pertama oleh para aktor ?. kedua, bagaimana aktor-aktor utama
mencapai dan mempengaruhi institusi pemerintahan itu?. Kita bisa melihat
persoalan dari dua cara analisis. Pertama, berhubungan dengan kecenderungan
umum mengenai lemahnya urusan publik dan menguatnya pemerintahan yang
polisentris. Isu paling krusial disini adalah bagaimana prospek pengaturan
demokratis terhadap institusi-insttusi pemerintahan yang kurang lebih
terprivatisasi, dan bukan persoalan bagaimana merebut insitusi-institusi itu,
yang mungkin tidak dapat dilakukan. Seperti tergambar pada kotak-kotak paling
atas dari model Olle Tornquist, yaitu sarana transportasi massal, sekolah dan
pelayanan kesehatan yang diprivatisi.
Pertanyaan
mendasar lainnya adalah apakah tata pemerintahan yang demokratis dapat atau
tidak dapat mendukung pemberantasan korupsi dan mendorong pertumbuhan ekonomi
yang sekaligus bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan ?. Ada kebutuhan
mendesak untuk menganalisis alternatif-alternatif demokratis terhadap munculnya
tesis yang mensyaratkan
perlunya mengutamakan penguatan institusi-institusi penegakan hukum dan
pembangunan ekonomi, daripada mengedepankan kedaulatan rakyat melalui
aturan-aturan yang otoritarian. Ada juga kebutuhan mencari
alternatif-alternatif demokratis untuk mengakomodasi kelompok separatis seperti
di Aceh, lebih penting daripada melalui cara-cara klientelisme dan hubungan-hubungan
istimewa.
Dalam
skema representasi, upaya-upaya unuk mengaplikasikan pemerintahan yang
partispatoris, untuk meningkatkan daya tanggap dan akuntabilitas, perlu
dilakukan melalui pengaturan yang lebih substansial menyangkut partisipasi dan
representasi yang melekat pada berbagai institusi pengelola urusan publik
terutama di jajaran eksekutif dan kelompok-kelompok masyarakat.selain itu
pertumbuhan ekonomi yang dijamin oleh negara dengan kesepakatan upah kolektif
dan pengangguran yang terjadi antara kelompok-kelompok kapital produktif dalam
konteks institusi privat dan kelompok pengelola urusan publik yang relevan
serta kelompok serikat buruh yang terorganisir dengan baik.
Apa-apa yang direpresentasikan bisa bersifat
subtantif, deskriptif dan simbolik. Representasi substantive adalah ketika
wakil bertindak untuk (acts for)
mereka yang diwakili, seperti misalnya sorang pemimpin memperjuangkan
kepentingan buruh. Representasi deskriptif adalah ketika wakil berdiri untuk (stands for) orang-orang yang secara
ojektif serupa. Misalnya, seorang perempuan mewakili perempuan dan seorang
penduduk desa mewakili keseluruhan desanya. Jenis terakhir adalah representasi
simbolik yaitu ketika seorang aktor dianggap oleh mereka yang diwakili, juga berdiri
untuk (stands for) mereka, tetapi kali ini dalam pengertian
kesamaan kebudayaan dan identitas.
Cara
analisis model tersebut, yang berhubungan dengan mediasi antara masyarakat dan
urusan publik. Mediasi itu berhubungan dengan baik dengan sisi input maupun
output demokrasi. Pengaturan untuk partisipasi dan representasi berhubungan
dengan berbagai macam institusi pengelolan urusan publik berada dalam bagian
paling atas pada model tersebut. Hal ini bukan hanya meliputi dewan legislatif
terpilih dan eksekutif ditingkat nasional maupun lokal. Berbagai institusi yang
memungkinkan untuk konsultasi dan partisipasi dalam hubungannya dengan sejumlah
dewan dan komisi administratif, partisipasi pekerja dalam pengelolaan
perusahaan, pertemuan antar organisasi warga, atau organisasi swakelola
dilingkungan akademis.
Dalam
sebagian besar kasus, pengenalan atas bentuk-bentuk representasi yang
terlembagakan dilakukan dari bawah melalui program-program percontohan dan atau
tuntutan dari politisi. Dibagian paling bawah dari gambar model tersebut,
representasi juga dibingkai oleh berbagai formasi dan ekspresi masyarakat yang
berbeda-beda, begitu pun dengan perangkat representasinya. Perangkat-perangkat
itu meliputi aktor dan mandat, daya-tanggap dan akuntabilitas ini dilakukan
dengan dasar kesetaraan politik. Di sisi kiri dari model tersebut adalah bentuk
representasi dan partisipasi, secara pasti dapat dikatakan bahwa hanya inilah
bentuk demokrasi langsung, dimana tidak ada perwakilan yang terlibat. Disisi
kanan adalah representasi dengan mediator. Mediasi memiliki perbedaan yang
mendasar diantaranya melalui: 1). Masyarakat sipil yang didefenisikan sebagai
kehidupan asosiasional antara warga negara dengan LSM yang berorientasi pada
isu-isu kewarganegaraan, komunitas lokal, organisasi masyarakat, media,
akademisi dan organisasi budaya. 2). Pemimpin-pemimpin informal dan asosiasi
non-sipil seperti tokoh pelindung, asosiasi komunal,pemimpin suku dan
figur-figur populer, serta . 3). Lembaga politik, termasuk partai politik, dan
organisasi yang kepentingan yang berbasis politik serta kelompok penekan dan
lobi.
3. Demokrasi
Lokal Minangkabau
3.1.
Muatan Demokrasi Dalam Adat Orang Minangkabau
Untuk
kasus demokrasi lokal minangkabau sendiri akan penulis jelaskan sebagai
berikut. Sebenarnya pengertian demokrasi yang dikemukakan diatas adalah makna
demokrasi yang dilaksanakan waktu belakangan ini sedangkan demokrasi di
Minangkabau telah berlangsung setidaknya sejak adat Minangkabau ada pada
zamannya Dt. Perpatih nan sabatang dan Dt. Katumanggungan yang merancang adat
tersebut dengan musyawarah pada abad ke-12 dulu. Menurut orang “bijak” bahwa
“demokrasi di Minangkabau” dulu terkenal di luar.
Faktor utama yang menentukan dalam dinamika demokrasi masyarakat
Minangkabau tradisional ialah terdapatnya kompetisi yang konstan diantara
individu dan keluarga-keluarga untuk mendapatkan penghargaan dan status seerti
posisi-posisi yang dicapai secara mandiri (achieved
status), pada saat yang sama juga posisi yang diterima atau diperoleh dari
kekuasaan dan prestise keturunan menurut adat. Kelahiran, kekayaan dan prestise
dalam berbagai bentuknya telah membuka jalan untuk mencapai posisi puncak bagi
suatu keluarga atau anggota-anggota keluarga yang menginginkannya. Walaupun
nagari-nagari secara sepintas cenderung menunjukkan jaringan oligarkis
(persekutuan) yang ketat untuk mengatur kepentingan-kepentingan kelompok
sebagai pewaris langsung dari keluarga induk yang mula-mula mendiami suatu
nagari tertentu, namun dilihat secara lebih dekat maka jelaslah bahwa sirkulasi
yang konstan justru terjadi di dalam dan di luar jaringan kebangsawanan ini.
Maka factor kelahiran, walapun mungkin paling penting, tidaklah selalu berarti
menentukan sama sekali. Nilai pentingnya lebih banyak ditentukan oleh tingkat
pengaruh yang dimiliki oleh pihak keluarga-keluarga tertentu dalam persaingan
mereka untuk meperoleh kekayaan dan prestise daripada yang berdasarkan darah
keturunan itu sendiri. Terlihat jelaslah bagaimana watak egaliter orang
minangkabau untuk ikut serta dalam setiap kompetisi dalam bidang kehidupan
yang pada akhirnya mencipatakan sebuah
sistem demokrasi yang khas. Demokrasi
di Minangkabau (Zainuddin,
2008:113) dapat dilihat implementasinya pada
peninggalan-peninggalan buah tutur, tambo (bukti
sejarah) maupun warisan lainnya seperti :
- Dalam memilih walinagari, walinagari dipilih secara langsung oleh
masyarakat nagari. Kerapatan Ninik Mamak di sanagari-sanagari merupakan
perwakilan masyarakat nagari melalui pimpinan sukunya masing-masing. Dalam
pemerintahan suku/kaum, musyawarah dipimpin oleh penghulu dan mendengarkan
pendapat dari semua anggota suku (mempunyai hak suara yang sama) baik
laki-laki maupun perempuan (Bundo Kanduang). Pada musyawarah ini terkenal
dengan pepatah adat yang mengatakan:
Kamanakan barajo ka mamak kemenakan ber-raja ke mamak
Mamak barajo ke penghulu mamak ber-raja ke penghulu
Panghulu barajo ka mupakaik penghuluber-raja ke mufakat
Mupakaik barajo ka-nan bana mufakat ber-raja kepada kebenaran
Nan bana berdiri sendirinyo yang benar berdiri sendirinya
Kebenaran yang dicari secara bersama-sama itulah yang
merupakan otoritas tertinggi dalam alam pikirkan orang Minangkabau. Dengan
demikian otoritas tertinggi terletak pada nilai abstrak. Hakekat otoritas menurut
teori politik orang Minangkabau terletak pada dewan, otoritas merupakan sebuah
abstraksi dan sebuah kebenaran yang harus dicari dala permusyawaratan sebuah
dewan adat. Dalam hubungan ini menarik melihat perbedaan antara konsepsi
kekuasaan yang tersirat dala teori politik masyarakat Jawa tradisional yang
melihat kekuasaan sebagai sesatu yang konkret dan tebatas. Sementara orang
Minangkabau memandang kekuasaan besumber dari otoritas yang bersifat abstrak,
relatif, dan mesti dicari melalui penggunaan yang tepat dan penalaran dan
logika.
b.
Masyarakat
Minangkabau adalah masyarakat yang hidup dalam suasana yang penuh
kegotoroyongan. Rasa gotong royong dalam kerangka nilai-nilai ke-minangkabau-an
memiliki makna yang dikaitkan dengan dengan akhlak dan budi seseorang. akhlak
dan budi berdasarkan kesanggupan merasakan perasaan orang lain yang dapat
dirasakan bagi diri sendiri, karena menurut adat yang disebut raso (rasa) adalah yang terasa bagi diri, pareso (perasaan) adalah yang terkandung
dalam hati, dengan demikian lahirlah rasa seperti kata adat nan elok de awak katuju de urang, sakiek dek
awak sakiek dek urang (yang baik bagi kita juga baik bagi orang lain, yang
sakit bagi kita juga sakit bagi orang lain).
Dalam kehidupan sehari-hari telah dilaksanakan secara luas di dalam adat
Minangkabau yang melahirkan sifat tolong menolong, saling membantu yang
terlepas dari perhitungan laba dan rugi, karenanya masyarakatnya dihubungkan
oleh tali kekeluargaan yang kuat dan kokoh yang senantiasa menghayati budi
luhur dan halus. Dari budi inilahnya sifat baik lainnya dan berbagai bentuk
sifat sosial dalam kehidupan.
c.
Masyarakat
Minangkabau adalah masyarakat yang Egaliter,
nilai-nilai keterbukaan dan kesamaan
(egaliterianisme) tercermin dalam pepatah duduak samo randah tagak samo tinggi
(duduk sama rendah berdiri sama tinggi).
Walaupun secara formal seorang
pemimpin punya kedudukan lebih tinggi, akan tetapi posisi pemimpin tidak terlalu berjarak
dengan masyarakat. Dalam filosofi budaya Minangkabau pemimpin itu tak
dapat memainkan peran sebagai raja, sultan, atau kaisar. Ia hanya
diberikan kedudukan sedikit saja lebih tinggi dari
rakyat biasa, seperti tercermin dalam ungkapan
tradisional ditinggikan
sarantiang didaulukan selangkah (ditinggikan
seranting didahulukan selangkah). Konsekuensi
politisnya, kalau pemimpin berlaku sewenang-wenang
atau tidak aspiratif, maka rakyat atau lembaga
perwakilan rakyat boleh membantah dan bahkan menggantinya dengan pemimpin yang
dianggap lebih baik. Sesuai dengan pepatah adat
orang Minangkabau rajo alim rajo
disambah, rajo lalim rajo disanggah (raja yang alim raja yang disembah,
raja yang zalim raja yang disanggah), jadi ada semacam mosi tidak percaya dari
masyarakat kepada pemimpin yang tidak benar dalam kepemimpinannya.
d.
Dalam pengambilan kebijakan,
ada dua model dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Pengambilan kebijakan ini
didasarkan kepada kelarasan suku di Minangkabau yakni kelarasan Koto
Piliang dari Dt. Katumanggungan dan
Kelarasan Bodi Chaniago dari Dt. Parpatih Nan Sabatang. Kelarasan Koto Piliang
pengambilan kebijakannya lebih bersifat top down, dengan falsafahnya titiak dari ateh (titik dari atas) yang
lebih teknokratis. Sedangkan kelarasan Bodi Chaniago lebih bersifat bottom up,
dengan falsafahnya mambasuik dari bumi
(muncul dari bumi/bawah) yang lebih kepada keputusan dari rakyat.
- Di Minangkabau perkawinan bersifat eksogami dimana laki-laki yang
datang dirumah perempuan. Bila keluarga suku mempunyai anak perempuan maka
mempunyai pertanda sebagai pelanjut generasi suku/kaum dan persiapan
membuat rumah baru. Kehidupan dan posisi perempuan di Minangkabau lebih
terhormat, hal ini merupakan wujud demokrasi yang memiliki penghargaan
yang baik terhadap perempuan.
- Pembagian harta di Minangkabau mengunakan prinsip berkeadilan dan
komunal. Harta, di Minangkabau terbagi dua yakni: sako dan pusako. Sako
adalah nama/gelar yang ada dalam suku (gala
salingka kaum, adaik salingka nagari) dan pusako adalah berbentuk
benda tak bergerak maupun bergerak seperti tanah/sawah/ladang, rumah dan
pakaian atau peralatan kebesaran adat
yang disebut dengan pusaka tinggi yang berfungsi sebagai milik
bersama (komunal) suku/kaum yang berlaku turun temurun dalam suku/kaum
tersebut dan dibagi menurut hukum syariat/islam.
Padang banamo panjaringan padang bernama penjaringan
Tampek bajalan rang batigo tempat berjalan orang bertiga
Mambao adaik jo pusako membawa adat dengan pusaka
Anak dipangku jo pancarian anak dipangku dengan pencaharian
Kamanakan dimbiang jo pusako kemenakan dibimbing dengan pusaka
Urang
kampung ditenggang jo bicaro orang
kampung ditenggang dengan bicara
Pusako adalah warisan nenek moyang untuk dipergunakan generasi yang ada
sekarang dan untuk diteruskan pada generasi-generasi anggota kaum yang akan
datang (Kebet, 2000:270), “aianyo buliah
diminum, buahnyo buliah dimakan, batangnyo tatap tingga” (airnya boleh
diminum, buahnya boleh dimakan, tetapi pohonnya tetap tinggal). Disamping itu
ada kategori yang namanya transaksi Pegang Gadai, melalui transaksi ini panggadai (penggadai) mengalihkan hak
guna atas tanah itu dengan tukaran sejumlah uang atau emas kepada pemegang
gadai (pemegang). Dalam adat yang klasik pegang gadai diperbolehkan hanya dalam
empat keadaan; a). Apabila membutuhkan uang untuk pesta perkawinan anggota
perempuan, b). Untuk pengukuhan gelar Penghulu, c). Untuk penguburan jika ada
yang meninggal, d). untuk memperbaiki Rumah Gadang. Transaksi–transaksi pagang
gadai idealnya harus didasarkan pada hubungan-hubungan social dan kekerabatan
matrilineal. Akan tetapi, tampaknya dalam praktek, alas an lain pun dapat
diterima.
Selain harta Pusako, properti yang bukan warisan melainkan diperoleh
atas usaha sendiri, misalnya melalui pembukaan tanah peranian, keuntungan
dagang, dan hasl dari kerja keras disebut harato
pencaharian (harta pencarian).kompleks properti yang dperoleh oleh pasangan
dalam perkawinan disebut harato surang (harta perorangan). Dalam sistem adat
pusako, garato pencaharian diangap sebagai pusako dalam tahapan kepompong.
Status adat dari objek-objek properti ini adalah sementara. Apabila individu
pemegang properti itu meninggal dunia, propeti itu diwarisi oleh para anggota
kaum-nya.
Dalam transaksi-transaksi tukar-menukar, orang minangkabau dapat bebas
mengalihkan harta pencariannya. Pengalihan dalam bentuk pemberian, dalam
prakteknya pemberian dari bapak untuk anaknya, yang menimbulkan ancaman
bekurangnya di kemudian hari harato pusako kaum si bapakitu, tunduk pada
pembatasan-pembatasan adata. Pemeberian seperti itu, biasanya dinamakan hibah,
dioerbolehkan dan sah hanyha apabila “setahu atau seizin ahli waris” dan
kerjasama dengan penghulu.
g. Dalam upaya pembinaan generasi muda dalam budaya orang
minangkabau biasanya mendidik mereka di Surau (mesjid, langgar). Surau pada masa
dahulu merupakan kelengkapan suku dan tempat berkumpulnya anak-anak muda serta
remaja dalam upaya menimba ilmu pengetahuan. Surau sekaligus juga digunakan
sebagai tempat tidur bersama, membahas berbagai ilmu, dan juga dimanfaatkan
sebagai tempat penyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapi oleh suku
melalui musyawarah bersama yang merupakan inti demokrasi kultural nagari.
h. Tradisi unik orang Minangkabau adalah “merantau”, yang dimaksud dengan
merantau dalam perspektif orang minangkabau adalah apabila seseorang pergi
keluar daerah budayanya dengan kemauan sendiri atau tidak dapat dipandang
sebagai perbuatan merantau, selanjutnya meratau mengandung makna bahwa orang
yang merantau tersebut bukan lagi berkomunkasi dan berintekrasi hanya dengan
kaum kerabatnya atau anggota kelompok etnisnya, melainkan juga dengan orang
yang latar belakang etnis dan kulturnya berbeda-beda. Dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau, merantau telah terlembaga secara sosial dan budaya (Naim, 1984:3).
Rantau
merupakan suatu petualangan pengalaman dan geografis. Orang nagari akif
mengunjungi rantau, secara sadar ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan
sanak saudara untuk mencoba merantau, mengadu peruntungan. Merantau memberikan
semacam saluran-saluran atas tekanan-tekanan yang mungkin dengan mudah meletup
dalam keluarga matrilineal sebagai inti masyarakat minangkabau. Rantau,
karenanya menyediakan semacam “katup pelepas” yang mampu melindungi
tekanan-tekanan sosial dan eksplosi. Dengan demikian, tenaga-tenaga atau
kekuatan yang menciptakan timbulnya ketegangan-ketegangan mungkin dapat
tersalur diluar. Lagi pula, ia dapat disalurkan secara positif dan
menguntungkan keluarga atau malah untuk keluarga secara keseluruhan.
Keluarga-keluarga yang memiliki sedikit sawah untuk membantu anggota
keluarganya, lebih suka berusaha mencari tambahannya dengan cara merantau.
(Graves, 2007:39)
Kesemuan karakteristik demokrasi yang khas bagi masyarakat Minangkabau
ini dibungkus dalam bentuk aturan-aturan yang melekat yakni adat. Masyarakat Minangkabau
adalah masyarakat yang menempatkan adat sebagai
bagian dalam mengontrol dan mengendalikan berbagai aktivitas kehidupan
masyarakatnya. Nilai penting adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau ini,
tidak hanya ditunjukkan secara simbolik melalui filosofinya Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah (ABS-SBK), tetapi dalam kehidupan sehari-hari jua ditunjukkan
dalam bentuk pepatah-petitih, mamangan adat, pantun dan kiasan adat. Pentingnya
adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau ini, membuat ia sering dijadikan
alat dalam melegitimasi dan menolak prilaku dan aktivitas tertentu. Artinya,
apapun aktivitas yang mereka lakukan serta apapun kegiatan luar yang disodorkan
kedalam kehidupan mereka, akan selalu dilegitimasi melalui adat yang mereka
miliki.
Adat bagi masyarakat Minangkabau adalah roh kehidupan itu sendiri,
sehingga berbagai upaya akan dilakukan masyarakatnya untuk tetap mempertahankan
keberadaan adat itu sendiri (Arifin, 2011:17). Persoalannya, sebagai masyarakat
yang dinamis, intervensi dan gempuran budaya tidaklah mungkin dihindari. Adanya
kesadaran seperti inilah, yang kemudian tertuang dalam pepatah adat orang
minangkabau, sakali aia gadang sakali
tapian berubah (ketika banjir dating, maka tepian mandi akan berpindah).
Pepatah adat ini bermakna bahwa perubahan dikiaskan dengan banjir tadi, bisa
terjadi kapan saja, dan ini akan membawa efek bergesernya nilai-nilai adat
tersebut yang dikiaskan dengan tepian. Pepatah ini juga dimaknai bahwa
perubahan (banjir) boleh saja terjadi, tetapi adat (tepian) tidak boleh hilang
dan hanya boleh bertransformasi.
Sebenarnya adat, bagi orang Minangkabau bukanlah sebuah aturan yang sifatnya
kaku dan statis, tetapi harus ditempakan sebagai sebuah aturan yang dinamis
tadi, dan memungkinkan untuk mengalami perubahan. Ini tertuang dalam
pengklasifikasian adat menurut orang Minangkabau sendiri, yang dibagi atas adat babuhua mati yaitu adat yang
cenderung dipertahankan dan tidak boleh diubah, serta adat babuhua sentak yaitu adat yang memungkinan untuk dimodifikasi
dan diperbaharui sesuai tuntutan perkembangan masyarakat itu sediri.
Memposisikan adat seperti itu,membuat masyarakat Minangkabau tetap mampu
mempertahankan adat itu sendiri ditengah derasnya arus perubahan dan intervensi
budaya luar yang masuk kedalam kehidupan masyarakatnya.
3.2.Nagari Basis
Representasi Nilai-Nilai Demokrasi Lokal Minangkabau
Nagari dinilai
sebagai basis demokrasi Minangkabau. Institusi ini dipercaya sudah ada sejak
lama, bahkan, jauh sebelumnya dikenal sistem kerajaan (Ronidin, 2006:77).
Nagari bersifat otonom, seperti tercermin dalam ungkapan adat salingka nagari (adat selingkar nagari). Selain memiliki
teritorial yang jelas, nagari juga mempunyai pemerintahan dan adat tersendiri
yang mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Itulah sebabnya mengapa
nagari-nagari di Minangkabau disebut ’republik-republik mini’ (Manan, 1995).
Nagari merupakan bentuk self governing community yang berbasis pada adat atau
semacam republik kecil tadi yang mempunyai kekuasaan dan otonomi penuh
(Summarty, 2007:22).
Nagari
menyerupai sebuah the local state,
tetepi ia mungkin tidak bisa dikatakan sebagai sebuah Negara modern dalam
pengeritian Max Weber sebagai lembaga yang mempunyai monopoli penggunaan
sarana-sarana kekerasan secara absah (Eko, 2005:21). Artinya nagari
bukanlah bentuk kecil Negara sebagai
organisasi kekuasaan yang tersusun
secara hirearkhis-sentralistik serta ditopang oleh birokrasi yang digunakan
penguasa untuk memerintah rakyatnya. Namun, nagari yang seperti ditegaskan oleh
Mestika Zed (1996), justru menyerupai “Negara-kota” (polis) pada zaman Yunani
Kuno, dimana setiap nagari bertindak seperti republik-republik kecil yang satu
sama lain tidak mempunyai ikatan structural dan terlepas dari kekuasaan federal
pusat. Nagari yang dipmpin secara kolektif oleh penghulu suku bersifat otonom
dan tidak tunduk pada raja di pagaruyung, melainkan berbasis mewakili kaum
(warga) dan keluarga dalam nagari itu sendiri.
Menurut
pemahaman sederhana dalam sistem republik kecil, unit-unit politik ada secara
terus menerus tanpa menghiraukan masuk dan keluarnya pemimpin-pemimpin
tertentu. Anggota-anggota unit politik tidak dilihat sebagai “saudara”, tetapi
sebagai warga. Kepemimpinan ditandai oleh adanya pejabat resmi, para spesialis,
dan dewan-dewan. Mereka dapat mendelegasikan aspek-aspek tertentu dari tanggung
jawab kepemimpinannya kepada asosiasi, atau komite, dan mereka biasanya
mempercayai bahwa dewan orang-orang merdeka, atau dewan suku dan dewan nagari
memiliki keuasaan tertinggi dalam memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan
kepentingan umum. Dalam sistem republik beberapa ketentuan diikuti, antara lain
pemilihan atau rotasi pemimpin-pemimpin, tugas-tugas pemimpin dengan jelas
ditentukan , pemimpin-pemimpin mempunyai kekuasaan tertinggi, jabatan merupakan
kepercayaan masyarakat dan pejabat adalah pelayan masyarakat.
Pada dasarnya,
nagari disusun berdasarkan prinsip-prinsip sistem kekerabatan matrilineal dan
teritorial. Sebagai unit pemerintahan terendah, nagari adalah lembaga yang
melaksanakan kekuasaan pemerintahan melalui Kerapatan Adat Nagari yang
berfungsi sebagai badan eksekutif, legislatif dan yudikatif merunut trias politica Montesque. Kerapatan Adat
Nagari (KAN) juga mewakili kepentingan nagari terhadap nagari-nagari lainnya
ataupun struktur kekuasaan lebih tinggi (Rafni dan Suryanef, 2005:353-354).
Pepatah adat
menyebutkan persyaratan sebuah nagari adalah ”babalai bamusajik, balabuah balanggang, batapian tampek mandi”.
Dengan demikian, suatu daerah dikatakan sebuah nagari jika daerah tersebut
telah memiliki balai adat tempat bermusyawarah, masjid tempat beribadah, jalan
untuk kepentingan penghubungan, gelanggang untuk berolahraga dan bermain, dan
tepian tempat mandi (AA. Navis, 1984:92).
Pada awalnya,
pembentukkan nagari melewati proses yang panjang, sepanjang sejarah kehidupan
masyarakat tinggal di nagari tersebut. Pembentukkan nagari selalu berkaitan
dengan proses persebaran penduduk, perpindahan, atau penggabungan kelompok
masyarakat. Ada empat proses terbentuknya nagari yaitu banjar, taratak, koto, dan baru menjadi nagari (Oki, 1978:4). Banjar atau disebut juga kabul merupakan tahap
awal dalam pembentukkan nagari. Masyarakat ini masih belum terlalu lama menetap
disatu tempat dan masih tinggal di bangunan panggung sedang bertiang empat (dangau). Penduduk yang tinggal di banjar hanya berasal dari satu suku
dengan mata pencaharian berburu dan berladang. Dari banjar selanjutnya berubah
menjadi Taratak, yang mempunyai arti
bercocok tanam, sedangkan kampung tempat para penduduknya tinggal disebut
dusun. Di dusun ini tinggal dua suku asal, dengan adanya dua suku asal yang
berbeda ini, terbuka kemungkinan diantara kemungkinan diantara mereka menikah dan
mengembangkan keturunan. Setelah masyarakat dusun ini semakin berkembang,
mereka akan turun ke kaki bukit dan bermukim disana. Kelompok ini cenderung
memilih bermukim di pinggiran sungai dan anak-anak sungai. Perkampungan ini
kemudian berkembang menjadi koto. Koto
terdiri dari tiga suku berbeda. Perkembangan peduduk tahap ketiga ini semakin
pesat sehingga mereka membutuhkan lahan yang leih luas. Biasanya mereka akan
mencari tempat-tempat yang lebih luas untuk perkampungan mereka. Sebagian besar
penduduknya sudah membangun rumah permanen. Perkembangan ini kemudian masuk
pada tahap terakhir yakni tahap menjadi nagari.
Dalam sistem
nagari, berlaku kepemimpinan tungku tigo
sejarang secara bersama-sama memimpin masyarakat. Penghulu memimpin dalam
sistem kemasyarakatan, ulama dalam bidang keagamaan dan kaum cerdik pandai
(intelektual) dalam kehidupan sosial ekonomi serta pendidikan, sesuai dengan
hakikat dari demokrasi yang tidak bertumpu pada satu orang kekuasaan atau
monopoli kekuasaan layaknya otoriter, di adat Minangkabau kepemimpinan kolektif
itu memang berasal dari rakyat yang dipilih dan diangkat oleh warga nagari,
tidak ada kepemimpinan berdasarkan garis keturunan (feodalisme) dan tidak
terpusat pada satu kekuasaaan layaknya otoriter.
Secara
sosiologis historis, Minangkabau memiliki akar budaya yang kuat dan kokoh dalam
proses meletakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang terintegrasi
dengan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat Minang itu sendiri. Masyarakat
Minangkabau terkenal sebagai masyarakat yang sejak dulunya sangat demokratis
dan egaliter sebagaimana tercermin dari perbedaan pandangan para leluhur orang
Minangkabau (Ronidin, 2006:103).
Musyawarah
mufakat sebagai landasan demokrasi lokal, orang Minangkabau cenderung
menganggap musyawarah sebagai demokrasi ’khas’ etnik Minangkabau.
Pemusyawaratan yang dilakukan oleh pemimpin tidak berdasar pada suara mayoritas
sehingga sistem voting tidak dikenal.
Musyawarah untuk mencapai mufakat didasari asas saiyo-sakato (seia-sekata) serta kesepakatan (konsensus). Hal itu
tercermin dalam pepatah ’bulek lah buliah
digolongkan, picak lah buliah dilayangkan’ (jika bulat sudah boleh
digolongkan dan kalau pipih sudah boleh dilayangkan). Artinya suatu kesepakatan
telah memperoleh persetujuan bersama dan dapat dilaksanakan. Untuk mencapai
kesepakatan, musyawarah harus berpegang teguh pada prinsip alur dan patut (asas
rasionalitas) yang disesuaikan dengan kondisi, situasi, waktu dan tempat.
Dengan kata lain, tidak berlaku segala zaman dan keadaan.
Perbedaan pendapat dalam musyarawah
di kenagarian tidak menjadi penghalang dalam mencapai mufakat, itu dapat
ditunjukkan dengan ungkapan basilang kayu
dalam tungku mako api ka iduik (bersilang kayu dalam tungku, api akan
hidup) artinya berbeda pendapat, kalau dikelola dengan baik maka dapat memicu kemajuan.
Namun demikian, solusi atas perbedaan pendapat sedapat mungkin dilakukan
melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti disebut dalam ungkapan bulek aia dek pambuluah bulek kato dek
mufakaik (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat). Musyawarah
mufakat ini jelas merupakan tradisi yang mengandung nilai-nilai demokrasi dan
telah berlangsung lama sejak dahulu.
Selain hal itu,
dalam musyawarah ini juga memberikan pelajaran kepada masyarakat untuk
menyampaikan aspirasinya. Dan bisa menerima perbedaan dalam setiap musyawarah,
ini bertujuan mencegah terjadinya pepatah adat yang mengatakan “rumah selesai, pahat berbunyi” yang
artinya setelah kata kesepakatan dibuat, namun dibelakang terdapat
ketidakpuasan yang berujung pada usaha penggagalan keputusan yang telah dibuat
bersama. Dengan demikian musyawarah harus mengakomodir semua kepentingan yang
ada, sehingga tidak ada lagi permasalahan dikemudian hari setelah keputusan
tersebut dibuat.
Oleh sebab itu,
dapat dikatakan karakteristik dari sistem otoritas tradisional minangkabau adalah
demokrasi. Setiap orang secara adat adalah sama suaranya, berdiri sama tinggi
dan duduk sama rendah. Semua masalah dirundingkan dalam permusyawaratan unit sosial
tadi. Putusan diambil sebagai hasil musyawarah, yang putusan tersebut dinamakan
dengan mufakat seperti dijelaskan diatas.
Watak demokratis adat Minangkabau
juga tercermin dari posisi perempuan dalam sistem kemasyarakatan. Perempuan
minangkabau di lambangkan dengan predikat ‘bundo
kanduang’ yang merupakan figur sentral dalam keseluruhan sistem keluarga.
Dalam arti fungsional, bundo kanduang
dipersonifikasikan oleh anggota keluarga, matang, dan memiliki kearifan (Naim,
2006:54). Dengan demikian, salah satu karakteristik demokrasi Minangkabau,
antara lain adanya penghargaan terhadap posisi perempuan sebagai bundo kanduang yang memiliki figur
sentral dalam sistem keluarga.
Kaum perempuan yang disebut bundo kanduaag
tadi, tidak hanya bergiat didalam kegiatan PKK dan karang taruna tetapi juga
terlibat dalam musyawarah BPN. Dalam pemilihan walinagari hak perempuan, juga
tak dibatasi. Meskipun calon yang muncul umunya laki-laki, calon perempuan bukannya
tidak dimungkinkan. Akhir-akhir ini beberapa nagari di Sumatera Barat telah ada
yang wali nagari-nya perempuan seperti nagari Gantuang Ciri di Kab. Solok dan pjs
wali nagari di nagari Tanjung Kab. Tanah
Datar juga perempuan. Secara umum boleh dikatakan bahwa perempuan telah
dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan publik di nagari. Dalam adat
Minangkabau posisi perempuan kuat karena dialah yang memiliki tanah. Kelompok
minoritas pun dilindungi, terutama pendatang. Para pendatang biasanya hidup
berbaur dengan masyrakat dalam bentuk perkawinan atau pekerjaan.
Sebenarnya perempuan
Minangkabau dinilai punya watak progresif. Alisyabana menggambarkan bahwa
perempuan minangkabau mempunyai kepercayaan atas dirinya sehingga mereka tidak
bergantung sepenuhnya pada suami yang dijemputnya. Dalam kehidupannaya perempuan
minangkabau bisa bekerja dan bertanggung jawab atas anak, rumah, dan tanah yang
ikut dimilikinya serta dikerjakan dan dinikmatinya. Kepada suami yang
dijemputnya, perempuan Minangkabau tidak merasa berhutang budi dan tidak
bergantung. Dalam perbuatannya., mereka bebas.
Kepercayaan diri
perempuan Minangkabau ditunjang oleh penguasaan mereka atas harta pusaka. Harta
pusaka di Minangkabau diturunkan melalui garis ibu (matrilineal). Itu berarti
bahwa yang berhak menerimanya adalah anggota keluarga perempuan. Anggota
keluarga laki-laki dari sebuah keluarga matrilineal tidak behak menerima harta
pusaka. Mereka hanya berkewajiban untuk menjaga harta pusaka itu agar tidak
hilang dan mengusahakannya bermanfaat bagi kaum kerabaytnya berdasarkan garis
keturunan ibu.
Dalam sistem
demokrasi sejumlah nilai budaya politik demokratis berkembang dengan
baik. Dinamika sosial ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat dalam
kehidupan politik dan pembangunan. Dalam sistem pemerintahan tradisional,
partisipasi masyarakat tidak hanya tetjadi dalam memilih pemimpin adat, tetapi
juga dalam membangun rumah gadang
(rumah kaum). Dalam hal itu, selain menyumbang material, masyarakat juga
bergotong royong menyumbangkan tenaganya. Suasana komunal masih sangat terasa
pada masyarakat Minangkabau.
3.3. Aktor-Aktor
Dalam
Pemerintahan Nagari
Sejak pemerintahan desa diganti dengan pemerintahan
nagari, maka dimulailah era baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Nagari disusun berdasarkan prinsip-prinsip sistem
kekerabatan matrilineal dan teritorial. Sebagai unit pemerintahan terendah,
nagari adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan melalui
Kerapatan Adat Nagari yang berfungsi sebagai badan eksekutif, legislatif dan
yudikatif merunut trias politica Montesque.
Kerapatan Adat Nagari (KAN) juga mewakili kepentingan nagari terhadap
nagari-nagari lainnya ataupun struktur kekuasaan lebih tinggi.
Bagan 2.
Struktur Kelembagaan Nagari di Sumatera Barat
a)
Pemerintahan
Nagari
Secara
kultural, nagari merupakan federasi genealogis yang dihuni beberapa suku,
sebagai kesatuan masyarakat yang terbentuk berdasarkan ikatan kekeluargaan
menurut pertalian keturunan yang ditarik dari garis ibu (matrilineal). Nagari mempunyai wilayah sendiri
dengan batas-batas alam yang jelas dan mempunyai pemerintah yang beribawa dan
ditaati penduduknya. Pemerintahan nagari dilakukan oleh Dewan Kerapatan Adat
yang anggota-anggotanya terdiri atas penghulu-penghulu andiko sebagai wakil
keluarga, kaum atau suku.
Pemerintahan
nagari dijalankan Wali
Nagari bersama dewan
harian nagari (DHN). Keanggotaan Dewan Nagari dipilih langsung oleh rakyat yang
mengurus masalah-masalah pemerintahan. Bila dimasa lalu pengambilan keputusan
dilakukan dengan musyawarah mufakat, sejak saat itu dilakukan didasarkan pada
suara terbanyak.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Wali Nagari dibantu
oleh beberapa orang Kepala Jorong, semacam ketua RT. Wali Nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk
nagari) secara demokratis. Biasanya yang dipilih menjadi wali nagari adalah
orang yang dianggap paling menguasai tentang semua aspek kehidupan dalam budaya
Minangkabau, sehingga wali nagari tersebut mampu menjawab semua persoalan yang
dihadapi anak nagari. Adapun fungsi dari Wali Nagari antara lain sebagai
berikut:
1) Melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan
urusan rumah tangga Nagarinya
2) Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam wilayah
Nagarinya
3) Melaksanakan kegiatan yang ditetapkan bersama Badan
Perwakilan Nagari
4) Melaksanakan koordinasi terhadap jalannya
pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakat di Nagari.
5) Melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan
ketentraman dan ketertiban masyarakat
6) Melaksanakan urusan pemerintahan lainnya.
Dalam
menjalankan pemerintahan nagari sehari-hari, seorang Wali Nagari dibantu oleh
Sekretaris Nagari. Sekretaris nagari berkedudukan sebagai unsur staf pembantu
Wali Nagari dan memimpin secretariat nagari. Sekretaris Nagari mempunyai tugas
melaksanakan administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di
nagari serta memberikan pelayanan administratif
kepada Wali Nagari. Adapun fungsi dari Sekretaris Nagari sebagai
berikut:
1) Melaksanakan
urusan surat menyurat, kearsipan dan laporan
2) Melaksanakan
urusan keuangan
3) Melaksanakan
administrasi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyaratan
4) Melaksanakan
tugas dan fungsi wali nagari apabila wali nagari berhalangan melaksanakan
tugasnya
Secara
kultural perubahan dari pemerintahan nagari ke pemerintahan desa di Sumatera
Barat menimbulkan beberapa implikasi. Diantaranya seperti kepemimpinan formal
terendah telah bergeser dari kepemimpinan kolektif tali tigo sapilin (tali tiga sepilin) dan tungku tigo sajarangan (tiga tungku sejarangan) kepada Wali Nagari. Masa jabatan
walinagari adalah 6 tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali untuk
satu kali periode berikutnya.
Istilah “tigo tungku sajarangan” sendiri muncul
setelah masuknya islam, yakni penghulu, ulma, cerdik pandai yang berlangsung di
nagari-nagari dan suku-suku (sejenis marga) di minangkabau (Zuhro 2009: 102).
Pada tingkat alam minangkabau (wilayah adat seluruh orang minang) eksistensi tigo
tungku sajarangan terlihat adari pembagian kewenangan antara raja alam di
pagaruyuang, raja ibadat di sumpur kudus, dan raja adat dib u. ini menunjukkan
bahwa kepemimpinan diminangkabau bersifat kolektif dan setara.
Hal senanda juga diungkapkan Nusyirwan Effendi (2004)
pada awalnya sebelum masuknya islam, tigo tungku sajarangan tidak dikenal
dinagari, yang ada adalah istilah limbago
(institusi) yang dikenal dengan sebutan limbago
niniak mamak yang mengatur kehidupan masyarakat nagari disegala bidang
seperti adat, ekonomi, sosialdan lain-lain. Istilah tali tigo sapilin baru dikenal setelah terjadi perubahan nagari
menjadi desa selama orde baru dengan acuan tali
tigo sapilin (adat, agama, dan hokum negara).
b)
Badan
Perwakilan Nagari (BPN)
Sebagai
level pemerintahan terendah dan memiliki otonomi sepertihalnya desa dijawa,
maka nagari juga memiliki sebuah badan legislatif yang bernama Badan .
Perwakilan Nagari (BPN). Kehadiran BPN diharapkan dapat membawa perbahan bagi
kehidupan perubahan bagi kehidupan sosial politik masyarakat nagari yang selama
ini bergerak selama ini bergerak secara sentralistis tanpa adanya mekanisme checks and balances serta adanya
pemandulan partisipasi masyarakat.
Keanggotaan
Badan Perwakilan (BPN) ini merupakan utusan unsur-unsur yang ada dalam
masyarakat nagari atau wakil dari penduduk nagari dengan mempertimbangkan
keterwakilan wilayah dan unsur-unsur masyarakat yang ditetapkan secara
musywarah mufakat. Keanggotaan BPN berdasarkan Peraturan Daerah (Perda)
Provinsi Sumatera Barat No 9 Tahun 2000 dan telah diperbaharui dengan Perda
Prov. Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.
Menurut peraturan tersebut keanggotaan BPN adalah berasal dari unsur ninik
mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang dan pemuda. Tiap unsur ini
memiliki basis pada tingkat jorong, sehingga pada pemilihan anggota BPN maka
masing-masing jorong mengutus masing-masing dua orang, kemudian utusan ini
bermusyawarah untuk menentukan siapa wakilnya dalam BPN.
c)
Kerapatan
Adat Nagari (KAN)
Kerapatan
Adat Nagari (KAN) merupakan lembaga yang telah ada sejak tumbuh dan
berkembangnya masyarakat minangkabau. Keberadaan KAN ini tidak bisa dipisahkan
dari ninik mamak karena seluruh penghulu/ninik mamak yang ada dalam sebuah nagari
akan tergabung dalam KAN. Setiap nagari melaksanakan kekuasaan yudikatif
melalui kerapatan adat, didalam kerapatan adat berkumpul para ninik mamak yang
mewakili kaumnya dan melakukan peradilan atas kaumnya.
Sebagai
konsekuensi dihapusnya nagari sebagai unit pemerintahan terendah pada masa orde
baru, maka KAN sebagai salah satu struktur dalam nagari pun dibekukan . akan
tetapi kerapatan nagari sesungguhnya masih ada untuk melindungi nagari sebagai
satu kesatuan hukum adat dikeluarkan sebuah peraturan daerah dengan No 13 pada
tahun 1983. Perda ini kembali mengukuhkan keberadaan KAN.
Perda
Provinsi Sumatera Barat No 9 tahun 2000 dan diperbaharui lagi dengan Perda No 2
tahun 2007 tentang ketentuan pohon pemerintahan nagari masing-masing kabupaten
menyikapinya dengan Perda Kabupaten. Pemerintahan nagari mau mendengarkan dan
memperhatikan pendapat dari KAN, Pemerintah nagari dharapkan mengakomodir
sumbang saran KAN, sehingga hubungan antara walinagari dan KAN berjalan
efektif.
Menurut Mochtar Naim (2004), bahwa dalam masyarakat
tradisional minangkabau, kepemimpinan para ninik mamak merupakan salah satu
unsur kepemimpinan “tungku tigo sajarangan”, yang terdiri dari para ninik
mamak, alim ulama, dan cerdik pandai. Peran ninik mamak berkaitan dengan adat
dan hubungan kedalam dan negosiasi keluar nagari. Sebelum masuknya islam niniak
mamak merupakan pemimpin resmi masyarakat minangkabau yang kuat dan berwibawa
terutama sekali dalam nagari. Saat sekarang ini niniak mamak sebagian besar
adalah pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam masyarakat minangkabau.Ketua
KAN biasanya dipegang oleh salah satu niniak mamak yang ada dinagari.
4.
Penutup
Demokrasi
sejak lama telah hidup dalam masyarakat Minangkabau yang sebagian besar mendiami
Provinsi Sumatera Barat. Minangkabau dikenal sebagai suku bangsa yang yang
memiliki khazanah budaya yang ekuivalen dengan nilai-nilai demokrasi. Demokrasi
lokal minangkabau merepresentasikan semua golongan yang ada dalam masyarakat
tersebut. Demokrasi lokal masyarakat minangkabau ini tercermin dalam kehidupan
sehari-hari mereka terutama dalam melakasanakan pemerintahan nagari. Nagari
sebagai penguat nilai-nilai demokrasi lokal dapat dilihat dari dimensi
penghargaan terhadap hak-hak individu seperti budaya tenggang rasa dengan sesama
sekalipun berbeda agama dan suku yang diungkapkan dalam pepatah’lamak dek awak katuju dek urang’ (enak
di kita, enak juga di orang lain) selain itu penghormatan pada (hak) sesama
sebagai bagian dari nilai ’demokrasi model minangkabau’ juga tercermin dalam
ungkapan nan ketek dilindungi, nan tuo
dihormati, nan smo gadang dipatenggangkan (yang kecil dilindungi, yang tua
dihormati, yang sama besar dihormati) dan diadopsinya nilai-nilai keislaman ke
dalam nilai-nilai keseminangan yakni ’adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah menjadi karakter budaya lokal
yang ekuivalen dengan budaya islam yang rasional, kosmopolit dan komunal.
Selain itu juga adanya dimensi partisipasi seperti adanya peran warga nagari
untuk mengekspresikan aspirasinya misalnya melalui musyawarah nagari. Dalam
dimensi transparansi dan akutanbilitas misalnya dalam proses penyusunan
anggaran di kenagarian, diselenggarakannya public
hearing dengan perwakilan masyarakat. Dimensi supremasi hukum, yang
mengedepankan hukum adat terhadap sanksi bagi warga dan pejabatnya yang
menyimpang dari norma berdasarkan ’adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah’. Nagari mencerminkan budaya
demokrasi ideal, seperti dalam proses politik dalam rapat adat, terlibat adanya
partisipasi dari seluruh elemen masyarakat nagari seperti penghulu, kapalo
mudo, wali nagari, bundo kanduang merupakan keterwakilan untuk berpartisipasi.
Dalam proses politik pada masyarakat adat inilah ditemukan demokrasi lokal
minangkabau berupa musyawarah mufakat yang diwakili oleh semua kalangan
masyarakat yang ada di sebuah nagari Minangkabau. Musyawarah mufakat
sebagai landasan demokrasi lokal, Musyawarah untuk mencapai mufakat didasari
asas saiyo-sakato (seia-sekata) serta
kesepakatan (konsensus). Hal itu tercermin dalam pepatah ’bulek lah buliah digolongkan, picak lah buliah dilayangkan’ (jika
bulat sudah boleh digolongkan dan kalau pipih sudah boleh dilayangkan). Artinya
suatu kesepakatan telah memperoleh persetujuan bersama dan dapat dilaksanakan.
Dengan
demikian, karakteristik demokrasi Minangkabau, antara lain, tercermin dalam
corak kepemimpinan tradisional, musyawarah mufakat sebagai metode penyelesaian
masalah dalam kehidupan, penghargaan terhadap hak asasi manusia, dan posisi
kaum perempuan. Semua itu tercermin dalam kearifan lokal tradisional, berupa
ungkapan dan pepatah Minangkabau yang menjadi basis nilai-nilai demokrasi lokal
dalam pemerintahan nagari. Basis ”demokrasi asli” itu ada di nagari, yang sejak
dulu merupakan kesatuan hukum masyarakat adat dan sejak masa kolonial juga
menjadi unit pemerintahan terendah. Nagari-nagari bukan hanya republik-republik
mini, berdaulat satu dengan lainnya, tetapi juga menjadi sistem pemerintahan
adat yang relatif demokratis, dalam arti mengayomi kepentingan orang banyak.
Metode musyawarah untuk mencapai mufakat (konsensus) dalam penyelesaian masalah
sosial, penghormatan terhadap HAM, peran kepemimpinan sosial, karakter terbuka
masyarakat nagari, serta penghargaan yang baik terhadap kaum perempuan (bundo kanduang) adalah khazanah kultur politik
masyarakat nagari yang mendukung dan ekuivalen dengan nilai-nilai demokrasi
modern yang kini dikembangkan dalam masyarakat politik negara kita.
Penulisan
paper ini semoga bermanfaat bagi semua khalayak yang membacanya, masih terdapat
kekurangan dalam penulisan ini dan dimungkinkan untuk dikritisi sehingga pada
akhirnya tulisan ini menjadi tulisan yang utuh. Tulisan ini semoga menambah
kajian-kajian mengenai demokrasi khususnya demokrasi khas lokal yang masih
sedikit disentuh oleh para peneliti kajian demokrasi, yang sebagian besar masih
berkutat dengan kajian demokrasi secara konteks global.
Daftar Pustaka
AA. Navis. 1984. Alam terkambang jadi guru: adat kebudayaan
minangkabau. Jakarta : Grafiti press.
Arifin, Zainal.
2011. Politisasi Mitos Asal Usul: Proses
Rekonstruksi Nagari Ba-Ampek Suku. Dalam Jurnal Analisa Politik Universitas
Andalas. Volume 11 No. 1 Tahun 2011.
Asnan, Gusti. 2007.
Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat
Tahun 1950-an. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Benda-Beckmann,
Kebeet. 2000. Goyahnya Tangga Menuju
Mufakat. Jakarta: Gresindo
Bengt
Säve – Söderbergh. 2000. Laporan
Penilaian Demokratisasi di
Indonesia. International IDEA.
Dahl, Robert. A. 1992.Demokrasi Ekonomi Sebuah Pengantar. Jakarta:Yayasan
Obor Indonesia.
Dahl, Robert. 2001. Perihal Demokrasi. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia.
Doel, J Van Den.1987. Demokrasi Dan teori Kemakmuran. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Eko, Sutoro. 2005. Menggantang Asap ? Kritik dan Refleksi Atas
Gerakan Kembali Ke Nagari. Yogyaarta: IRE
Fattah, Eep Syaifullah. 1999. Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Politik
Masa Depan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Graves, Elizabeth E. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern. Jakarta:Yayasan
Obor Indonesia.
Held, David. 1995. Demokrasi dan Tatanan Global (Democracy and The Global Order).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga.
Jakarta: PT Midas Surya Grafindo.
Isra,
Saldi. Amandemen Lembaga Legislatif dan
Eksekutif: Prospek dan Tantangan, Makalah tidak dipublikasikan
Kahin, Audry. 2005. Dari Pemberontakan Ke Integrasi: Sumatera Barat 1926-1998. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Manan,
Imran. 1995. Birokrasi modern dan
otoritas tradisional minangkabau. Padang : Yayasan pengkajian kebudayaan
minangkabau.
Mas’oed, Mochtar. 1994. Negara, Kapital, dan Demokrasi.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Naim, Mochtar. 1984.
Merantau Pola Migrasi Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
2006.
Tiga menguak Takdir: Perempuan
Minangkabau di Persimpangan Jalan. Jakarta : Hasanah.
Oki, Akira.
1978. Social Changes in The West Sumatran
Village: 1908-1945. Disertasi, Canberra Department of Pacific and Souhteast
Asian History. The Austalian National University (online). Diunduh 20 Juni
2012.
Rafni, Al dan Suryanef. 2005. Kembali ke nagari: kembali ke identitas dan
demokrasi lokal. Jakarta: LP3ES.
Rauf,
Maswadi, Perkembangan UU Politik Pasca
Amandemen UUD 1945, Makalah tidak dipublikasikan
Revitch, Diane dan Thernstrom,
Abigail. 2005. Demokrasi Klasik dan
Modern : Tulisan-tulisan tokoh-tokoh pemikir ulung.
Ronidin. 2006. Minangkabau
di mata anak muda. Padang : Andalas University Press.
Summarty,
Betty. 2007. Revitalisasi Peran Ninik
Mamak Dalam Pemerintahan Nagari. Yogyakarta: Polgov UGM
Tornquist,
Olle. 2009. Building Democracy on The
Sand. Jakarta: DEMOS
Zainuddin,
Musyair.2008. Implementasi pemerintahan
nagari berdasarkan hak asal usul adat minangkabau. Yogyakarta : Ombak.
Zed, Mustika. 1996.
”Nagari Minangkabau dan Pengaruh Sistem
Kolonial”. Jurnal Genta Budaya 3.
Zuhro, R. Siti dkk. 2009. Demokrasi lokal: nilai-nilai budaya politik
lokal. Yogyakarta : Ombak.
Jurnal Mandatory Edisi 3/
Tahun3/2006. Politik Kesejahteraan Di
Tanah Republik.
Jurnal UI, Volume 14
No.2 Desember 2010.“Peran Masyarakat Sipil
dalam Proses Demokratisasi”, diakses 15 Februari 2012.
[1] Memoir of the life and public service
of sir Thomas Stamnford Raffles, seperti yang dikutip Audry Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi : Sumatera
Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Saya berangkat dari kasus kecil ini,
seperti halnya apa yang diangkat oleh Clitford Geertz dalam melahirkan teori
politik aliran Santri, Priyayi, dan Abangan. Awalnya Geerzt Cuma melihat
disebuah daerah dipulau jawa, orang disebuah rumah menangis merauang-raung,
timbul suatu tanda tanya bagi Geertz apakah yang sebenranya terjadi, ternyata
ada orang meninggal dan mayatnya tidak boleh dikuburkan karena dia Komunis/PKI
sedangkan masyarakat di sana adalah kalangan NU. Dari hal sekecil itu dia
membuat sebuah konsep politik aliran tadi yang dia kisahkan dalam bukunya mengenai daerah
tersebut yang dia sebutkan dengan nama
Mojokuto.
*Mahasiswa Pascasarjana Politik dan Pemerintahan UGM
No comments:
Post a Comment