Ditulis Oleh : Fahrezi*
1.
Analisis Trend Kajian Politik Indonesia
yang dilakukan oleh Para Ilmuwan Politik Indonesia? apa saja yang tetap dan apa
sajaa yang bergeser, dari fokus maupun lokus kajian?
Trend
politik indonesia yang pertama dilihat
dalam tulisan ini adalah trend politik aliran yang tidak bisa dipisahkan begitu
saja dari khazanah kajian politik indonesia. Pencetusnya adalah Clifford Geertz
yang pertama kali memperkenalkan istilah politik
aliran, ketika mengamati perpolitikan di indonesia pada masa pasca kemerdekaan. Geertz sebenarnya
membandingkan dengan apa yang diamaatinya dinegeri Belanda. Aliran merupakan sebuah metafora dari
kenyataan kehidupan sosial-politik di Indonesia, dimana partai politik pada
masa pasca kemerdekaan melakukan mobilisasi massa dengan membentuk sejumlah auxiliary organizations dalam rangka
memenangkan pemilihan umum 1955. Partai politik seperti sebuah sungai besar,
dimana air mengalir dari sejumlah anak sungai, baik yang besar maupun yang
kecil, seperti aliran kanal-kanal yang akan mengalir ke sungai besar. Dalam kehidupankepartaian,
aliran merupakan perwujudan dari pembentukkan dukungan mobilisasi massa. Proses
mobilisasi massa seperti itu merupakan
hal yang wajar, karena demokrasi politik pada saat itu yang memungkinkannya.
Basis
pembentukkan organisasi sosial dan politik pada masa pasca-kemerdekaan adalah
orientasi dari perilaku keagamaan. Hal ini digambarkan oleh Gerrtz dari hasil
penelitiannya di mojokuto. Pada walanya Geertz melihat di sebuah desa, ada
orang meninggal, yang punya rumah menangis meraung-raung, lalu timbul
pertanyaan oleh Geertz, apa yang menyebabkannya meangis. Ternyata tidak boleh
dikuburkan oleh masyarakat disitu yang merupakan basis massa NU sedangkan yang
meninggal ini adalah PKI. Dari sebuah penelitian di Mojokuto Jawa Timur inilah
kemudian lahir teori yang paling fenomenal dalam kajian politik keindonesia.
Model tersebut disebut dengan model santri,
priyayi dan abangan. Peta masyarakat
yang digambarkan oleh Geertz sebenarnya, memperlihatkan pemilahan sosial yang
bersifat cummulative dan consolidated,
karena telah terjadi proses penguatan dalam hal pengelompokkan sosial, terutama
di jawa yang menjadi pusat politik indonesia ketika itu. Orang-orangan abangan memiliki
orientasi politik dan ekonomi yang berbeda dengan orang-orang santri.
Orang-orang abangan cenderung memilih untuk berpihak kepada partai politik yang
tradisional, sekuler, dan nasionalistik. Sementara, orang-orang santri
cenderung memilih untuk berpihak pada partai-partai islam.
Partai-partai
politik ketika itu dengan jelas melihat dan memobilisasi aliran-aliran ini
lewat pembentukan organisisasi pendukung yang meliputi semua sektor umur,
profesi, atau lapangan pekerjaan. Partai Komunis Indonesia (PKI), misalnya,
memiliki sejumlah organisasi seperti: Pemuda Rakyat, Gerwani, CGMI, IPPI,
Sobsi, BTI, Lekra, PGRI Non-Vaksentral, dan lain-lain. Demikian juga dengan
Partai Nasional Indonesia (PNI), dengan organisasi pendukung seperti Pemuda
Marhaen, Wanita Marhean, GMNI, GSNI, Petani, dan Leknas. Partai Nahdatul Ulama
(NU) memiliki organisasi seperti pemuda Anshor, Muslimat NU, Fathayat, PMII,
IPPNU, Pertanu, Lesbumi dan lain-lain. Dan partai Masyumi dengan organisasi
pendukungnya seperti, GPII, HMI, PII, Gasbiindo, dan lain-lain.
Pada
saat sekarang teori ini masih berlaku dalam perpolitikan indonesia.
Partai-partai masih mempergunakan organisasi sayap untuk mendukung dan
mendongkrak popularitas partai. Aliran-aliran ini masih relevan dengan kajian
kekinian, orang-orang abangan masih memilih partai-partai yang berhaluan
nasionalis dan orang-orang agamais memilih partai yang sehaluan dengan
kepercayaannya. Perbedaan yang mencolok adalah, partai-partai di tahun 1955
tidak ada satu pun yang tinggal, meskipun mereka bertranformasi dalam bentuk
partai yang baru, misalnya massa PNI dulu saat ini relatif mendukung PDI
Perjuangan, PNI Marhaenisme, PNBK, atau misalnya beberapa massa Masyumi relatif
memilih Partai Bulan Bintang, partai yang didirikan Yusril Ihza Mahendra yang
merupakan anak didik tokoh Masyumi seperti Natsir, Syafrudin Prawiranegara, dan
Burhanuddin Harahap, juga ada partai yang bernama Maysumi Baru tetapi tidak
begitu signifikan dalam meraih suara pada pemilu 1999. Sedangakan massa nahhdlyin masih memilih Partai berhaluan
NU seperti PKB yang didirikan mantan Ketua PBNU Abdurahman Wahid meski juga ada
PNU.
Politik
aliran yang berkontestasi pada awal kemerdekaan sampai dengan Demokrasi
Parlementer berpengaruh terhadap kelangsungan institusi kenegaraan. Harbert
Feith dan seorang sejarawan sosial dan politik Harry J. Benda terjadi
perdebatan yang alot diantara kedua ilmuwan ini. Mengapa demokrasi Parlementer
di Indonesia sampai gagal? Herbert Feith didalam karyanya yang sangat
monumental dalam khazanah ilmuwan perpolitikan indonesia, karya Feith yang
berjudul The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia, Feith mengajukan tesis bahwa kegagalan demokrasi
parlementer di Indonesia adalah karena adanya dua gaya kepemimpinan yang sangat
berbeda diantara kalangan elit indonesia pada masa pasca-kemerdekaan, yaitu
disatu pihak apa yang disebut Feith
dengan solidarity makers, dan
di lain pihak apa yang dimaksudkan ke dalam kategori administrator atau problem
solver (pemecah masalah). Mereka mempunyai visi, gaya, kecakapan dan basis
kepemimpinan yang berbeda didalam mencoba membawa indoneisa merdeka sebagai
sebuah negara yang modern. Sehingga kemudian terjadi konflik yang
berkepanjangan diantara kedua jenis ini, yang pada akhirnya menggagalkan proses
demokrasi itu sendiri. Kenyataan yang dapat kita lihat adalah jatuh bangunnya
kabinet dimasa parlementer ini. Umur kabinet hanya berusia tiga sampai delapan
bulan saja, ini mengakibatkan pemerintahan tidak stabil.
Namun
demikian tesis yang diajukan oleh Harbert Feith dipertanyakan oleh Harry J.
Benda, dia melihat pertanyaan yang diajukan oleh Herbeth Feith adalah pertanyaan
yang aneh. Kita seharusnya bukan
menanyakan mengapa demokrasi di indonesia gagal, akan tetapi menurut Benda yang
paling penting adalah mengapa ada demokrasi di Indonesia?. Menurut Benda, Feith
tidak memperhatikan hal yang menyangkut konsep legitimasi kekuasaan sehingga
apa yang disebut dengan problem solvers
yang dominan dalam proses politik yang berjalan. Menurut benda, mereka tidak
lain daripada sekelompok orang yang asing ditanahnya sendiri, yang tidak
memiliki basis legitimasi kekuasaan, yang tentu saja ditentang oleh kalangan solidarity makers.
Dari
hasil riset pada demokrasi parlementer ini, Feith dan Castles telah menambah
bumbu-bumbu tentang konsep dominannya politik aliran dimasa demokrasi
parlementer yang juga menyebabkan demokrasi ini gagal. Konsep ideologi yang
tertanam didalam masyarakat telah menyebabkan pergulatan ideologi yang sangat
hebat ketika itu. Feith dan Castles ini membagi kelompok-kelompok tadi menjadi
lima aliran besar yaitu, Islam, Jawa
Tradisional, Sosialis Demokrat, Nasionalis Radikal, dan Komunist. Islam merupakan suatu kekuatan politik
sendiri, yang ditopang oleh sejumlah organisasi massa. Demikian juga dengan
nasionalis, dan kelompok aliran yang lainnya. Berikut ini akan disajikan gambar
bagaimana pemilahan kelompok-kelompok dan Partai politik yang
memakainya/memaknainya.
Gambar
1.
Partai
Politik dan Kelompok Alirannya
Kuatnya
pertarungan ideologi-ideologi ini seperti disinggung diatas telah menyebabkan
ketidkstabilan politik. Bagaiamana dengan waktu sekarang ini? Pada saat
sekarang ini idologi ini sduah mengarah ketengah yang menyebabkan satu sama
lain mulai berkompromi dan terbuka dengan partai yang bukan satu ideologi
dengan mereka. pada kenyataannya, sebenarnya disaat sekarang konsep aliran
besar ini tinggal empat aliran saja dikarenakan minus aliran dari komunis.
Komunis, marxime dan leninisme dinyatakan sebagai aliran yang terlarang di
Indonesia. Studi yang jelas sekali melihat transformasi ideologi politik, yang
dulu sentrifugal tetapi pasca reformasi terjadi pergeseran-pergeseran menjadi
kearah yang sentripetal adalah Marcus Mietzner dalam Comparing Indonesi’s Party
System Of The 1950 and The Post-Soeharto Era: From Centrifugal To Centripetal
Inter Party Competition (2008). Ada pergeseran-pergesaran idiologi partai, mietzner membagi kedalam lima cluster yakni;
communism/socialism, populism/authoritarianism, the centre : existing
democratic party, Islamic society, dan Islamic state/syariah. Pada tahun 1955
partai yang ideologi communism/socialism diwakili oleh PKI dengan 18 % suara
diparlemen dan partai Murba < 1 %. Populism/authoritarianism diwakili oleh
PNI dengan 25 %, selain itu ada IPKI (relatif statis) dan Partai Katolik yang
condong ke tengah (the centre : existing democratic policy). Untuk the
centre:existing democratic policy) sendiri praktis cuma diwakili oleh PSI.di
posisi Islamic society diwakili oleh NU 20 % dan yang terakhir ideologinegara islam/syariah diwakili oleh Masyumi 22 %, PSII
dan Perti. Mietzner mengelompokkan ini kepada sistem partai yang sentrifugal.
Pemilu pertama setelah jatuhnya Soeharto yakni pemilu
1999, semua
partai bermunculan seperti pada tahun 1955 tapi membawa corak baru. PDI P keluar sebagai pemenang Pemilu
1999 dengan meraup 33 % suara di parlemen, pada pemilu 2004, pola sistem partai di Indonesia sudah semakin jelas, yakni
bertransformasi kearah sentripetal. Ideologi-ideologi partai sudah mengarah
ketengah, mulai meninggalkan kiri dan kanan khususnya radikal kiri dan radikal
kanan, semuanya mulai terpusat pada existing democratic party seperti; Golkar,
PKB, PD, PAN, PDS, PBR. Pada posisi populis diwakili oleh PDI P dan PKPI,
sedangkan Islamic society diwakili oleh PPP, PBB, PKS.Dengan sistem ini, relatif karakter sistem politik partai lebih stabil daripada tahun 1950
yang sentrifugal.
Dimasa
demokrasi terpimpin fokus kajian politik Indonesia sudah berubah dari yang
tadinya mengenai behavioral partai politik yang mengandalkan ideologi politiknya
yang berasal dari aliran-aliran yang ada dimasyarakat sekarang berubah menjadi
figur Soekarno dan kekuatan baru bernama Militer. Masuknya militer dalam ranah
politik indonesia menjadi sebuah warna baru dalam politik indonesia ketika itu.
Soekarno menempatkan dirinya sebagai kekuatan sentral, nampaknya Soekarno
menhayati betul konsep kekuasaan dalam perspketif orang jawa, seperti apa yang
dikemukakan oleh Bennedict Anderson. Politik pada massa terpimpin merupakan upaya
untuk menemukan keseimbangan antara ketiga kekuatan politik, yaitu Presiden
Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Angkatan Darat. Ketiga kekuatan
ini dapat kita gambarakan sebagai berikut, dimana Soekarno merupakan kekuata
utama, PKI dan Angkatan Darat sebagai kekuatan penopang.
Gambar. 2
Kekuatan Demokrasi terpimpin
Presiden Soekarno
PKI Angkatan
Darat
Soekarno
membutuhkan dukungan PKI karena merasa terancam akan kemungkinan
pengambilaalihan kekuasaan oleh angkatan darat. Ini dikarenakan Soekarno tidak
dapat hanya mengandalkan PNI yang lebih membutuhkan Soekarno. Harbert Feith
menyatakan Soekarno tidak meempunyai partai politik sendiri yang dapat
diandalkan, makanya Soekarno butu PKI. Lalu bagaimana dengan Angkatan Darat?,
Seokarno juga harus berbagi kekuasaan dengan Angkatan Darat, karena dalam
kenyataan Angkatan Darat mempunyai kekuasaan riel, terutama di daerah-daerah.
Masuknya Angkatan Darat kedalam kancah politik Indonesia adalah ketika Soekarno
mengeluarkan SOB, yang menyatakan negara dalam keadaan darurat perang ketika
terjadi pemberontakan didaerah-daerah. praktis setelah itu Angkatan darat
memainkan peranan yang sangat menentukan karena Angkatan Darat merupakan
pelaksana penguasa perang daerah (Paperda). Namun akhirnya kekuatan-kekuatan
ini memakan korban juga, pasca G 30 S/ PKI, kekuatan Soekarno digembosi
sehingga menglengserkannya dari tampuk kepresidenan, sedangkan salah satu
penopangnya PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia,
penopangnya yang lain yakni Angkatan Darat menuju kemenangannya, praktis 32
Tahun mereka berkuasa setelah kejadian ini.
Pada
saat sekarang kekuatan militer sudah mulai dikurangi dalam kancah perpolitikan
indonesia. Salah satu agenda reformasi adalah menghapuskan Dwi Fungsi ABRI,
sejak tahun 2004 militer tidak lagi mempunyai wakil di legislatif. Militer saat
sekarang ini lebih difungsikan sebagai alat negara bukan sebagai alat politik.
Militer lebih difungsikan sebagai penjaga keamanan pertahanan negara dari
gangguan dan ancaman negara lain.
Kajian-kajian
mengenai orde baru banyak dikupas oleh Edward Aspinal dalam Opposing Soeharto: Compromise, Resistence, and Regime Change In
Indonesia dan Anderh Uhlin dalam Oposisi Berserak yang hasil dari
penelitian keduanya hampir sama. Kejatuan Soeharto tidak muncul dengan seketika
saja, melainkan ada riak-riak yang telah mengikutinya.Pada tahun 1997 krisis
moneter menjadi pelatuk untuk riak-riak ini menjadi gelombang besar untuk
menumbangkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya selama 32 tahun. Pemikiran-pemikiran konseptual yang mencoba
menerangkan jatuhnya Soeharto dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi
dari tahu 1970-an sampai dengan 1998. Aspinal
dan Uhlin sama-sama melihat adanya fenomena-fenomena yang mencoba memaksa
Soeharto untuk turun dari kekuasaannya.Secara garis besar dapat ditarik empat
inti utama dalam pemikiran Edward Aspinal dan Andres Uhlin yakni;
1).Pembangkangan elit yang terbagi kedalam kelompok-kelompok seperti Petisi 50,
YKPK, dan Forum Demokrasi, 2).Timbulnya proto-proto oposisi seperti Lembaga
Swadaya Masyarakat. 3). Student
activism yang dikelompokkan kedalam liberal populis, popular political, dan Islamic, 4). Yang terakhir
mulai adanya semi opposision yang dimainkan oleh PDI dibawah Megawati.
Banyaknya
aktor elit yang kecewa memilih untuk bungkam, tetapi sebagian dari mereka
membentuk sejenis oposisi. Kelompok yang dipandang sebagai pembangkangan elit
paling efektif adalah kelompok Petisi 50 yang beranggotakan orang-orang yang
membesarkan negara ini. Generasi LSM senior seperti Adnan Buyung Nasution mendirikan
sebuah LSM yang mempunyai profil politik tinggi yang bernama Lembaga Bantuan
Hukum (LBH). LBH tidak hanya semata-mata dimaksudkan menjadi organisasi yang
menyediakan advokasi hukum. Akan tetapi bantuaan Hukum yang dimaknai oleh LBH
sebagai bantuan hukum secara struktural. Ini berarti bahwa bantuan hukum harus
bertujuan mengubah basis ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik. tidak
ketinggalan juga aktivis Mahasiswa yang
ambil bagian dalam menggerogori penguasa. Aktivisme mahasiswa telah diarahkan untuk
menentang rezim orde baru, protes-protes mahsasiswa pada 1974 dan 1978 adalah
kasus yang paling signifikan dimasa awal Orde Baru, pada akhirnya kekuatan yang
digalang mahasiswa pada 1998 telah berhasil menjatuhkan rezim Soeharto.
Kekuatan terakhir yang dilihat oleh Aspinal dan Uhlin adalah munculnya semi
oposision yang digalang oleh Megawati. Sebagai putri pertama dari Soekarno,
Megawati telah menikmati banyak dukungan massa. Tekanan terhadap Megawati
adalah ketika dia berhasil menjadi ketua umum PDI, pemerintah melihat ini
sebagai ancamanan. Pemerintah memobilisasi orang-orang PDI yang loyal dengan
pemerintah dibantu dengan tentara pada 27 juli 1996 menyerang kantor DPP PDI.
Pada
saat sekarang ini pergeseran yang terjadi adalah pergerakkan dari LSM tidak
seperti dulu, LSM sekarang banyak dimasuki kepentingan-kepentingan, sehingga
ada istilah LSM bayaran. Pergerakan mahasiswa juga demikian. Tidak adanya common enemy seperti dimasa orde baru,
dengan adanya Soeharto sebagai musuh bersama telah menyolidkan mahasiswa.
Pergeseran ini ditambah perparah oleh banyaknya mantan aktivis 1998 yang
tersangkut dengan dugaan kasus korupsi, sebut saja Rama Pratama dari PKS mantan
ketua Senat UI, selain itu ada Anas Urabningrum mantan ketua umum PB HMI yang
sekarang menjadi ketua Partai Demokrat. Sedangkan PDI yang sekarang
bertransformasi menjadi PDI perjuangan setelah tidak lagi berkuasa kembali
kepada seperti dizaman orde baru, berada diluar penguasa menjadi oposisi.
Pasca
orde baru, terjadi pergeseran-pergeseran dalam kajian-kajian perpolitikan
indonesia lebih difokuskan dalam tingkat lokal. Ini bisa dilihat dari
studi-studi yang dilakukan oleh Vedi R. Hadiz, Richard Robinson, John Sidel,
Syarif Hidayat, yang semuanya lebih melihat dalam konteks lokal indonesia
kekinian dan juga membandingkan dengan masa lampau. Corak kajian yang dilihat
dari aras lokal ini telah membawa perubahan baru dalam studi-studi perpolitikan
indonesia. beberapa studi-studi tersebut seperti berikut ini.
Pertama,
agenda perubahan pasca jatuhnya soeharto adalah
mengubah sentralisasi menjadi desentralisasi. Ada pengalihan wewenang kepada
daerah-daerah untuk mengurus otonominya sendiri. Vedi R. Hadiz didalam Localising PowerIn Post-Authoritarian
Indonesian (2004) UU No 22 tahun 1999 menandai otonomi yng seluas-luasnya kepada daerah.
Selama orde baru daerah dikuras sumber daya alam yang menjadi kekayaannya tanpa
ada pembangunan tidak merata di daerah-daerah yang potensial sumber daya
alamnya ini.Semua diatur secara besar oleh pemerintah pusat (sentralisasi),
oleh karena itu pasca jatuhnya soeharto pemerataan pembangunan di daerah-daerah
khususnya luar jawa menjadi prioritas agenda reformasi.
Desentralisasi
sesungguhnya merupakan upaya untuk memastikan bahwa kedua sisi dari konsep
kewarganegaraan tersebut dapat dipenuhi secara lebih baik. Dalam konteks ini
mempertanyakan persoalan governance,
khususnya di daerah menjadi penting. Dari hal ini terlihat jelas bahwa konsep governance secara fundamental
mempermasalahkan hubungan antara negara (state)
dengan masyarakat (society). Secara
lebih konkrit, arena negara dalam ini direpresentasikan oleh political office dan birokrasi,
sedangkan arena masyarakat secara lebih rinci dapat dipilah kedalam masyarakat
sipil dan masyarakat ekonomi. Dengan demikian pengertian governancelebih khusus lagi, berkaitan dengan bagaimana arena political office (jabatan-jabatan
politik), birokrasi, masyarakat sipil, dan masyarakat ekonomi berhubungan satu
dengan yang lain untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi, guna mencapai
tujuan-tujuan bernegara.
Namun
demikian kecenderungan agenda-agenda perubahan ini telah melahirkan dampak yang
diluar pengertian desentralisasi. Di daerah-daerah mulai tumbuh orang kuat
lokal baru.local strongman menurut
Migdal dan local bossism menurut John Sidel. Para orang kuat lokal tersebut
menambahkan kekuatannya pasca orde baru. Sidel melihat transisi pemilihan yang
teratur di Indonesia dimulai paa tahun 1999, kondisi kurang lebih sama dengan
yang ditemukan di Filipina dan Thailand, juga berlaku di Indonesia menurut
Sidel. Hal ini desebabkan kemungkinan akumulasi kekuasaan oleh mafia, jaringan
dan marga di lokalitas seluruh Indonesia. Pemilihan umum 1999 menghasilkan
penyerahan kekuasaan negarakepada mereka yang sanggup menggalang dan merebut
suara pemilih dan terpilih menduduki posisi tertentu. Kekuasaan orang kuat
lokal ini bertahan sampai saat ini.
Oligarki
keluarga tumbuh di daerah-daerah, akses kebijakan dikuasai oleh orang kuat ini.
Walaupun good governance menjadi
sebuah resep diberikan oleh IMF dan World Bank dalam pelaksanaan otonomi
didaerah. Akan tetapi Good Governanceini
harus berhadapan dengan yang namanya Shadow
State. Seperti yang dikatakan Reno seperti yang dikutip oleh Syarif Hidayat
dan Abdul Malik dalam Good Governance vs
Shadow StateDalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, bahwa praktik shadow stateakan hadir, tumbuh dan
berkembang tatkala terjadi pelapukan fungsi pada institusi pemerintah formal.
Penyebab utama dari terjadinya pelapukan fungsi tersebut, antara lain, karena
para elite penyelenggara pemerintah formal mengalami ketidakberdayaan dalam
berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan politik dominan yang
berada di luar struktur pemerintah. Selain itu manipulasi kebijakan publik
untuk kepentingan pengusaha berupa transaksi bawah tangan anatara penguasa dan
pengusaha dalam tender proyek-proyek pemerintah, dan pemaksaan swastanisasi
aset-aset negara.
Selain itu hal yang menarik untuk dicermati pasca Orde Baru, ekonomi Indonesia masih tidak berubah.Kapitalisme
semu masih saja menggerogoti bangsa ini. Vedi R. Hadiz seorang pengkritik Neo
Institusionalism bersama dengan Robison dalam studi mereka yang berjudul Reorganizing Power: Post Soeharto in Indonesia: Politics
of Oligarchy In Age of Market (2004). Robison dan Hadiz melihat oligarki yang berjaya dimasa
Soeharto, puncaknya paa tahun 1980-anternyata masih tumbuh subur di Indonesia.
Pasca krisis moneter 1997 terjadi reorganizing oligarki.Robison dan Hadiz dalam studi tersebut memaknai oligarki sebagai
sistem pemerintahan
dengan semua kekuasaan politik berada ditangan sekelompok kecil orang-orang
kaya yang membuat kebijakan publik lebih untuk keuntungan finansial mereka sendiri.Melalui kebijakan
subsidi langsung terhadap perusahaan-perusahaan milik mereka.
Oleh karena itu Robison dan hadiz menyatakan rezim oligarki
soeharto menciptakan predatory-state
(Negara predator) yang artinya kebijakan-kebijakan dan barang publik dinikmati
dan diperjualbelikan oleh para pejabat dan politisi untuk mendapatkan dukungan
publik.
Robison dan hadiz menganalisis
tumbuhnya kelas kapitalis yang berkuasa yang berintegrasi dengan pasar
global.Jatuhnya rezim oligarkis soeharto tidak serta merta merubah oligarkisme
melainkan membuatnya bermetamorfosa menjadi model oligarkis yang
baru.Metamorfosa yang terjadi adalah munculnya kekuatan oligarkis sejenis
ditingkat provinsi maupun kabupaten.Sehingga dengan analisis Robison dan Hadiz
ini kita bisa melihat politik lokal di Indonesia. Kasus korupsi yang menjerat
para pejabat daerah, baik eksekutif maupun legislatife, menunjukkan bagaimana
penyalahgunaan wewenang untuk
kepentingan pribadi dan jaringan oligarkinya bekerja nyata ditingkat lokal.
Kekuasaan ditingkat lokal dibagi-bagi ditangan para pengusaha kaya, para birokrat
kaya hasil bisnis kapitalisme semu, maupun jaringan keluarga telah terjadi di
berbagai daerah di Indonesia.
2. Apa kritik saudara atas fokus dan lokus kajian
dalam kajian politik indonesia?
Kritik
yang ingin saya sampaikan akan dijabarkan dalam beberapa hal. Pertama, para ilmuwan dalam melihat orde
lama tidak melihat dalam konteks perspektif orang daerah. Kita semua tahu
bahwasanya berbicara politik indonesia pasti tidak lepas dari konsep politik
tradisonal jawa, dan ketika itu juga pusat pergerakkan indonesia berada dijawa.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu, kita masih memaknai politik
indonesia dalam konteks jawa, ini yang tidak dilihat oleh ilmuwan ketika itu,
dimana mulai munculnya saparatisme di daerah-daerah seperti DI TII Kahar
Muzakar di sulawesi, Daud Baerueh di
aceh dan yang paling besar pemberontakan setengah hati PRRI/Permesta di Sumatera
dan Sulawesi. Penghilatan dari kacamata jawasentris ini telah mengaburkan mata
para peneliti ketika itu, ternyata masih ada perspektif yang belum dijamah
yakni seperti tadi dari perspektif kacamata daerah diluar jawa.
Kritikan
Kedua, dalam konteks demokrasi terpimpin,
kritik yang paling tajam saya adalah ilmuwan tidak melihat angkatan lain diluar
Angkatan Darat, ini terlihat dari terlibatnya Angkatan Udara dalam konflik
berdarah G 30 S/PKI. Dipergunakannya lapangan Halim Perdanakusuma dan akan
diserang oleh Angakatan Darat. Oumar Dhani sebagai KASAU adalah salah satu
figur sentral dalam kontestasi elit militer ketika itu. Oumar Dhani adalah
Komando Mandala Siaga Ganyang Malaysia, Soeharto hanya menjadi wakilnya ketika
tahun 1963 itu . Keikutsertaan atau keterlibatana oknum-oknum Angkatan Udara memperlihatkan
ketika itu siapa mendahului siapa.
Kritikan
Ketiga, dalam konteks Orde Baru.
Kajian-kajian yang dilakukan lebih kepada melihat negara sentris. Semua ilmuan
melihat dari perspektif negara, dan mengatakan bahwasanya negara itu sangat
kuat. Jarang sekali kita menemukan buku-buku kajian semasa Orde Baru yang melihat
negara dari perspektif society. Kajian Orde baru lebih kepada figur sentral
Soeharto, sebagai bukti banyak buku-buku ketika itu yang melihat bagaimana
pribadi soeharto, bagaimana konsep pembangunan yang dimaknai oleh Soeharto.
Salah satu buku yang fenomenal adalah The
Smiling Genereal karya O.G Roeder.
Kritikan
keempat, Negara orde baru yang
dimaknai sebagai negara kuat tadi juga mendapatkan kritik setelah bebrapa tahun
rezim orde baru jatuh. Pada tahun 2010 keluar buku dari bapak Cornelys Lay yang
berjudul Melawan Negara. Dalam
bukunya tersebut jelas konsep negara kuat yang selama ini dialamatkan kepada
orde baru ternyata bisa dibantahkan. Menurut Cornely lay negara itu jauh dari
kata kuat, negara jauh dari otonom dan
mudah dimasuki oleh kekuatan politik diluar dirinya. Sesungguhnya di dalam
dirinya yang sensitive, Negara itu cenderung berwatak reaktif dan mudah
terfragmentasi.
kritikkan
kelima, adalah kajian politik lokal
di indonesia memang telah membawa warna baru di indonesia. akan tetapi, konsep-konsep
yang tertanam dari Good Governance dan Reiventing Governance yang dimaknai oleh
pemerintah indonesia adalah cangkokan dan pesanan dari IMF dan lembaga donor
lainnya, sehingga sulitnya untuk mengembangkan konsep ekonomi kerakyatan yang
diamanatkan oleh konstitusi.
Kritikan
terakhir atau yang keenam adalah,
kita selalu disuguhi dengan hasil-hasil studi dan buku dari persepektif
ilumawan asing yang masih banyak dan bertambah banyak dalam menggali khazanah
kajian perpolitikan di indonesia, sedangkan para peneliti kita yang dari
indonesia masih sedikit dibandingkan dengan jumlah peneliti asing tersebut yang
telah memberikan karya-karya monumentalnya terhadap indonesia. semoga
dikemudian hari ilmuwan indonesia bertambah banyak untuk meneliti kajian
perpolitikan indonesia.Orde Lama, Orde Baru, dan Reformsi.
* Mahasiswa Pacasarjana UGM
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
ReplyDeleteTshirt Dakwah Quote
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Punya Pasangan Sempurna Nggak Indah Kelihatannya