Kerawanan
pangan saat ini benar-benar merupakan ancaman
nyata dan bersifat laten. Beberapa hasil pengamatan beserta gambaran kondisi
pangan dunia saat ini benar-benar mengindikasikan adanya gejala nyata kerawanan
dan krisis pangan itu. Program pangan sedunia (world food program) berdasar
pengamatan yang sistematis telah mengantisipasi akan terjadinya kerawanan
pangan akut pada tahun 2020. Sedangkan untuk penduduk dunia yang makanan
pokoknya beras, organisasi pangan dan pertanian PBB (FAO-UNO) telah membuat
perhitungan bahwa pada tahun 2025 nanti kebutuhan beras secara global akan
mencapai 800 juta ton, padahal saat ini kemampuan produksi beras dunia kurang
dari 600 juta. Kekuarangan lebih dari 200 juta ton jelas mengindikasikan adanya
kerawanan pangan apabila tidak ada tindakan yang sepadan untuk mengatasinya. Kenyataan
itu sekaligus juga menunjukka adanya jurang yang cukup lebar antara kemampuan
produksi dan konsumsi pangan dunia. FAO juga memperkirakan bahwa sedikitnya ada
37 negara, termasuk Indonesia yang kerawanan pangan. Disejumlah negara seperti
Haiti, Filipina, Mesir, dan Juga Indonesia telah terjadi kenaikan harga pangan
hingga 50-100 %.[1]
Situasi
dunia tidak jauh beda dengan apa yang dialami di Indonesia, sebagai ilustrasi,
pada tahun 2002 terdata adanya 21,7% penduduk rawan pangan. Daerah rawan pangan
juga meningkat dari 40 % pada tahun 2001 menjadi 48 % dari kabupaten/kota di
Indonesia pada tahun 2002. Kerawanan itu juga ditunjukkan dengan ketergantungan
impor pangan luar negeri. Departemen Perindustrian dan Perdagangan mencatat
adanya impor beras hingga mencapai 1,5 juta ton. Jumlah ini jauh melebihi impor
tahun-tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, pada tahun 1997 misalnya, impor beras
hanya sebanyak 349.000 ton. Pembangunan nasional yang bias industri mengabaikan
pengembangan potensi pangan lokal dan pemenuhan kebutuhan warga, yang
menyebabkan indonesia terjebak dalam arus impor beras, yang menghabiskan lebih
dari 50 triliun rupiah (setara dengan 5% APBN) untuk impor pangan. Kebutuhan
akan impor beras ini memang tidak terelakkan bila kebutuhan beras nasional
didasarkan atas konsumsi per kapita per tahun diperhitungkan sebanyak 133 Kg.
Dengan jumlah penduduknya sebanyak 235 juta jiwa maka kebutuhan beras adalah
29,6 ton. Sedangkan produksi beras gabah kering panen adalah 50,46 juta ton
(setara dengan 28,26 juta ton beras). Dengan demikian masih terdapat kekurangn
sekitar satu juta ton. Terdapat sinyalemen lainnya lagi yang memantapkan
pendapat tentang ketergantugan impor beras dari luar. [2]
Ekonom
Inggris, Thomas Robert Malthus yang terkenal dengan rumusan deret ukur untuk
pertumbuhan penduduk dan deret hitung untuk pertumbuhan sumber nafkah, dalam
bukunya An Essay on the Principle of
Population pada tahun 1978, telah mencermati bagaimana variabel
kependudukan memiliki dampak terhadap kerawanan pangan. Oleh karena itu,
Malthus mengajukan pendekatan untuk mentaisipasi gejala rawan pangan yaitu
melalui intervensi terhadap pertambahan penduduk.
Langkah
tersebut tidak cukup, persoalan pangan menjadi kian rumit tatkala mencermati
apa yang dikemukajan oleh antropolog berkebangsaan Amerika yang banyak menulis
tentang Indonesia, Cliffort Geertz, lewat bukunya Involusi Pertanian. Jika
gagasan Geertz dikonfrontasikan dengan data-data terbaru seperti yang
dikemukakan oleh Bustanul Arifin, bahwa laju konversi lahan pertanian Indonesia
sebesar 100.000 hektar pertahun. Artinya fakta-fakta mengenai importasi dan
konversi lahan pertanian semakin menegaskan kebenaran teori geertz mengenai
involusi pertanian. Bahkan pada tingkat tertentu, kondisi ini kalau tidak
diantisipasi dalam jangka panjang, bukan hanya involusi tetapi juga
kebangkrutan pertanian (food
vulnerability).
Keinginan
pemerintah untuk mengimpor beras satu juta
ton pada tahun 2012 ini menandakan efek dari globalisasi yang melanda, khususnya
pangan global. Berkaca dari itu, secara tidak langsung kita mulai tidak
berdaulat dalam ketahan pangan kita khususnya bahan pokok bangsa indonesia
yakni beras. Yang dimaksud dengan kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa
dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk
menetapkan sistem pertanian.[3] Sedangkan
menurut Masyhuri Ketahanan pangan didefinisikan sebagai suatu situasi dimana
semua rumah tangga mempunyai akses baik secara ekonomi maupun secara fisik
untuk mencukupi pangan buat semua warganya, dan rumah tangga tidak dalam posisi
beresiko kehilangan akses. Karena itu ada tiga hal penting yang terkait dengan
ketahanan nasional, yaitu ketersediaan (availability), stabilitas
penawaran (stability) dan keterjangkauaan (accessibility).
Ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dengan ketahanan nasional yang terkait
dengan kepentingan internasional.[4]
Konsep
Swasembada yang selalu dicanangkan pemerintah tidak pernah mencapai kenyataan.
Bangsa yang pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pernah membawa indonesia
sebagai negara yang Swasembada beras kini hanya tinggal cerita masa lalu saja. Setiap
tahunnya indonesia tidak mampu untuk menutupi kekurangan beras dalam negeri
sehingga alternatif satu-satunya untuk menutupi stok beras dalam negeri itu di
datangkan dari luar negeri, yang menyebabkan bangsa ini selalu terkukung oleh
mafia perdagangan impor beras.
Langkah-langkah
pemerintah yang perlu dipertimbangkan untuk memperkuat ketahanan pangan
khsusnya beras; pertama, berbagai lingkungan yang perlu dipertimbangkan dalam
mengembangkan kebijakkan pangan adalah globalisasi ekonomi terutama adanya
liberalisasi perdagangan dunia, struktur perdagangan pangan internasional,
otonomi daerah dan keadaan yang sedang kita hadapi yaitu reformasi dan krisis
multidimensial. Liberalisasi perdagangan ditandai dengan diberlakukannya
kesepakatan AFTA (Asean Free Trade Area),
APEC (Asia Pacific Economic Cooporation),
dan GATT (General Agreetment on Tariff
and Trade).
Kedua,
Pemerintah tidak perlu memaksakan swasembada beras tetapi berusaha untuk
mencapai tingkat produksi beras dalam negeri yang aman. Berapa tingkat produksi
yang aman tersebut mungkin masih memerlukan pembahasan tersendiri, misalnya
target impor (impor rata-rata) sebesar 10% dari volume perdagangan dunia atau
target produksi dalam negeri mencapai minimal 90 % dari kebutuhan konsumsi .
Ini berarti kebijakan harga, diversifikasi makanan dan kebijakan pangan lain
diarahkan kepada minimum target tersebut. Sebagai alternatif kebijakan, pemerintah
dapat menyiapkan lahan yang secara potensial dapat memproduksi pangan cukup,
sehingga pada keadaan darurat dapat digunakan untuk memproduksi pangan, dalam
keadaan normal bebas digunakan untuk usaha lain yang tidak mengganggu konversi
ke lahan produksi pangan sewaktu-waktu.
Ketiga,
kalau masih menginginkan harga yang stabil harus memadukan berbagai instrumen
kebijakan harga yang ada secara dinamis, yaitu dengan menyesuaikan besarnya
tarif, stabilisasi nilai tukar mata uang asing, pembelian beras di lokasi
tertentu, dll. Karena kebijakan harga ini akan berdampak meningkatkan harga
beras, yang tentunya akan memberatkan konsumen, maka konsumen tertentu seperti
konsumen berpendapatan rendah (miskin) masih perlu dilakukan OPK (Operasi pasar
khusus) maupun bantuan emergensi yang dananya bisa diambilkan dari dana
budgeter.
Nampaknya
dengan perkembangan ini Bulog masih diperlukan untuk berfungsi sebagaai stok
penyangga, distribusi beras dalam rangka OPK, bantuan emergensi dan keperluan
strategis, penghubung antar kabupaten dalam melaksanakan kebijakan ketahanan
pangan dalam era otonomi daerah dan sebagai cadangan lainnya. Namun
masing-masing Dolog perlu diberi otonomi yang lebih besar untuk dapat sebagai
alat pemerintah daerah dan penghubung pemerintah pusat. Disamping itu Bulog
dituntut mempunyai akuntabilitas yang tinggi, transparansi, konsistensi dan
komitmen yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya.
Semoga dikemudian hari kita bisa tidak lagi
mengimpor beras dari luar negeri. Akan tetapi sebaliknya, kita bisa mencapai
Swasembada beras yang selalu kita cita-citakan serta mampu mengekspor beras
keluar negeri.
Fahrezi (Mahasiswa S2 Politik dan Pemerintahan UGM Yogyakarta)
[1]
Rahardjo, “Ketahanan Pangan Yang Berkedaulatan”. Jurnal Kebijakan
Publik, hal 34. Edisi IV/November/2011
[2]
Lihat Sunyoto Usman (Ed),, “Politik Pangan”. CIRED. Yogyakarta, 2004.
[3] Habib Chirzin, Makalah “Jihad Kedaulatan Pangan Berbasis Hak, Gerakkan
Pemberdayaan Masyarakat”. Diskusi Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Yogyakarta, 18 Juli 2012.
[4] Masyhuri, Makalah Revitalisasi Kebijakan Pangan Nasional Dalam Era Globalisasi dan
Otonomi Daerah.
No comments:
Post a Comment