1. Pengantar
Pasca jatuhnya Soeharto pada 21
Mei 1998, gegap gempita mewarnai euforia kebebasan dan rasa keadilan. Indonesia
memasuki babak baru demokrasi, sangat banyak yang harus dibenahi dalam masa
transisi. Tarik ulur kepentingan pun mewarnai transisi demokrasi indonesia.
Demokrasi merupakan sebuah harapan yang didamba-dambakan rakyat banyak yang
dipercaya bisa mensejahterakannya. Seiring perjalanan transisi ternyata
agenda-agenda perbuhan reformasi dihadapkan kepada sebuah problematika, sebuah
harapan yang menggebu-gebu diawal reformasi mulai tenggelam dengan hadirnya sesuatu
yang menggerogotinya. Di tengah polemik tersebut, ditingkat nasional muncul
kekuatan-kekuatan koalisi yang mencoba mempertahankan penguasa yang memerintah
dengan membentuk blockade kuat di eksekutif dan legislatif. Ketika rakyat
kesusaha mencoba menyampaikan suaranya untuk menembus blockade tersebut muncul
aktor-aktor baru yang menerobos blockade penguasa. Aktor baru itu bernama
oposisi yang seblumnya belum pernah ada dan tidak ada dalam konstitusi negara
indonesia.
Sebenarnya pada saat soeharto jatuh pada 1998, partai-partai bermunculan
menyambut euforia demokrasi baru indonesia yang lebih beradab. Marcus Mietzner
banyak membuat kajian tentang partai politik di indonesia. Sistem kepartaian
indonesia pasca jatuhnya soeharto telah bertransformasi dari sistem yang
sentrifugal menjadi sistem yangg sentripetal. Hal yang menarik dari kekuasaaan
kepartaian pasca jatuhnya soharto adalah perbedaan suara partai yang dimasa
orde baru ada satu partai mutlak yang menguasai parlemen sehingga memunculkan
koalisi dan oposisi yang disebutkan pada paragraf diatas. Suara-suara partai
tidak ada yang mayoritas menyebabkan partai-partai harus berkoalisi untuk
menggalang suatu kekuatan yang besar. Mulai dari masa kepresidenan Abdurahman
Wahid, Megawati, dan SBY, koalisi merupakan hal yang harus dilakukan. Namun
demikian, selain koalisi ada oposisi yang digalang oleh beberapa partai seperti
PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan Partai Hanura, meskipun di dalam konstitusi
kita tidak pernah disebutkan adanya oposisi. Oposisi perjuangan ini mengkritisi
pemerintah yang didukung oleh koalisi yang bernama sekretariat gabungan
(setgab).
2.
Konsep Teoritis
Sistem kepartaian pada umumnya
diklasifikasikan berdasarkan jumlah partai yang ada pada suatu negara yakni;
satu partai, dua partai, dan multi partai. Kesemuannya berdasarkan atas
karakter partai-partainya yakni kompetitif, agregatif, ideologis, pluralistis,
dan monopolistis. Tentang hubungan antara system kepartaian dengan pemerintahan,
beberapa ilmuwan berpendapat bahwa system Dua-Partai cenderung menciptakan
stabilitas pemerintahan karena hanya salah satu partai yang memenangkan suara
mayoritas dalam pemilihan. Sistem Multipartai diangap kurang mendukung
stabilitas pemerintaa karena pemerintahan hasul pemilian terantung kepada
koalisi antar partai yang seringkali distribusi perolehan kursinya yang memperoleh
kemenang mayoritas tidak dapat dicampuri oleh partai yang kalah karena partai
yang disebut belakangan ini segara berposisi sebagai oposisi. Sementara itu,
distribusi kekuatan yang hamper seimbang antara partai-partai dengan sistem
multipartai mengakibatkan pemerintah bergantung pada koalisi antar partai.
Dengan demikian, substansi stabilitas pemerintahan dalam system ini bertumpu
pada kompromi antar partai-partai yang berkoalisi, kecuali bila ada ada salah
satu partai yang mampu memenangkan mayoritas usar mutlak (diatas 50 persen).
Pada umumnya negara yang menganut sIstem
banyak partai (multipartai) adalah Negara yang masyarakatnya bersifat majemuk,
salah satunya Indonesia. Kemajemukan masyarakat dapat ditunjukkan dengan terdapatnya bermacam-macam
perbedaan social, seperti ras, suku, agama atau status, dengan adanya
kemajemukan masyarakat seperti itu makan golongan-golongan dalam masyarakat seperti
itu maka golongan-golongan dalam masyarakat akan lebih cenderung untuk menyalurkan
loyalitas mereka ke organisasi yang sesuai dengan ikatan primordialnya daripada
bergabung dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda orientasinya. Dengan adanya
kemajemukkan masyarakat seperti yang ditunjukan dengan adanya bermacam-macam
perbedaan social sebagaimana yang disinggung di atas, paling tidak akan membawa
Negara yang bersangkutan untuk cenderung menganut system banak partai.
Namun
demikian, untuk Indonesia yang memakai sistem pemerintahan presidensil malah
menerapkan system kepartaian yang multipartai. fenomena yang menarik pasca
jatuhnya Orde Baru muncul istilah-istilah baru dalam konteks kekuasaan kepartaian,
munculnya mereka-mereka yang bernama koalisi dikubu pemerintah, dan munculnya
mereka-mereka yang mencoba melawan pemerintah atas nama kubu oposisi. Berikut
ini akan dipaprkan beberapa konsep teoritis untuk membedah fenomena ini.
2.1.
Hukum Besi Oligarki Partai Robert Michels
Dalam kehidupan kepartaian
modern, aristokrasi menampilkan dirinya dalam selubung demokrasi, sementara
substansi demokrasi disusupi elemen-elemen aristokratis, dipihak lain ada
dengan kandungan aristokrasi. Penampilan demokratis ini bisa mengelabui para mata
pengamat yang tidak hati-hati dari adanya kecenderungan keraha oligarki yang
sudah inheren dalam seluruh organisasi partai.
Partai yang dipandang sebagai suatu
entitas dan mekanisme, tidak selalu dapat diindentifikasikan dengan totalitas anggotanya, apalagi dengan
kelas yang memilki partai itu. Partai dibentuk sebagai alat mencapai suatu
tujuan. Karena telah menjadi tujuan itu sendiri, dengan target dan
kepentingannya sendiri, maka dari sudut pandang teleologis partai terpisah dari
kelas yang diwakilinya. Dalam suatu partai, tidaklah jelas apakah kepentingan
massa yang bergabung membentuk partai itu akan selaras denagn
kepentingan-kepentingan birokrasi yang menjadi personifikasi partai tersebut.
Kepentingan-kepentingan suatu badan pekerja selalu konservatif, dan dalam
situasi tertentu kepentingan ini dapat menuntut kebijakan yang defensif dan
bahkan reaksioner apabila kelas pekerja menuntut kebijakan yang tegas dan
agresif. Dalam kasus lain, sekalipun sangat jarang, proses ini bisa saja
terbalik. Menurut hukum sosial yang dapat diterapkan secara universal, setiap
organ kolektif yang dibentuk karena kebutuhan terhadap pembagian kerja sudah
pasti akan menciptakan kepentingan-kepentingannya sendiri begitu organ tersebut
mengalami konsolidasi. Eksistensi kepentingan-kepentingan yang khusus itu
menimbulkan konflik dengan kepentingan-kepentingan kolektif. Dalam jangka
panjang mereka cenderung mengalami transformasi menjadi kelas-kelas terpisah.
Pada tahap selanjutnya mendatangkan mereka cenderung berubah menjadi
kelas-kelas yang berbeda-beda.
Dalam
konteks ini oligarki terletak pada gabungan koalisi partai-partai politik
penguasa atau yang sedang memerintah. Gabungan koalisi tersebut dinamakan
dengan Sekretariat Gabungan (Setgab). Keputusan politik kadang-kadang tidak
lagi keputusan dari representasi yang mewakili mereka yakni rakyat, melainkan
keputusan sekretariat gabunga, yang nantinya diformulasikan menjadi
kebijakn-kebijakan pemerintah/penguasa. Sehingga muncul hipotesis awal
penulisan ini apakah koalisi telah mengkhianati para pemilih atau rakyat
mereka. Ini disebabkan kebijakan yang diputuskan adalah produk politik
partai-partai penguasa.
2.2. Penyebab Koalisi dan Oposisi
Koalisi politik pasca pemilu
merupakan satu keniscayaan yang harus terjadi di dalam politik Indonesia saat
sekarang ini. Keperluan untuk berkoalisi tidak saja dilandaskan kepada fakta
politik yang oleh kalayak sama-sama diketahui, yakni tidak adanya partai
mayoritas yang tidak ada satupun partai politik yang mampu memperoleh suara
mutlak diparlemen semenjak runtuhnya Orde Baru sehingga memunculkan cara untuk
berkoalisi untuk menyeimbangkan pola politik mereka.
Setidaknya menurut Anas Urbaningrum
dalam Melamar Demokrasi “Dinamika Politik
Indonesia” ada dua alasan yang menyebabkan partai-partai cenderung
berkoalisi. Pertama, factor ideologi.
Tidak dapat dipungkiri faktor ideologi alias aliran-aliran politik merupakan
factor yang signifikan bagi terjadinya koalisi politik. Ideology, dalam konteks
bisa diartikan sebagai warna politik yang bias dicermati gerak-geriknya lewat
tradisi-tradisi politik yang dikembangkan, sehingga membentuk aliran politik.
Pernyataan ini didikung dengan penelitian dari Marcus Mietzner dalam Comparing
Indonesi’s Party System Of The 1950 and The Post-Soeharto Era: From Centrifugal
To Centripetal Inter Party Competition (2008).
Ada pergeseran-pergesaran idiologi partai, mietzner
membagi kedalam lima cluster yakni; communism/socialism,
populism/authoritarianism, the centre : existing democratic party, Islamic
society, dan Islamic state/syariah. Pada tahun 1955 partai yang ideologi
communism/socialism diwakili oleh PKI dengan 18 % suara diparlemen dan partai
Murba < 1 %. Populism/authoritarianism diwakili oleh PNI dengan 25 %, selain
itu ada IPKI (relatif statis) dan Partai Katolik yang condong ke tengah (the
centre : existing democratic policy). Untuk the centre:existing democratic
policy) sendiri praktis cuma diwakili oleh PSI.di posisi Islamic society
diwakili oleh NU 20 % dan yang terakhir ideologinegara
islam/syariah diwakili oleh Masyumi 22 %, PSII dan Perti. Mietzner mengelompokkan ini kepada sistem partai yang sentrifugal.
Pemilu pertama setelah jatuhnya
Soeharto yakni pemilu 1999, semua partai bermunculan seperti
pada tahun 1955 tapi membawa corak baru. PDI P keluar
sebagai pemenang Pemilu 1999 dengan meraup 33 % suara di parlemen, pada pemilu
2004, pola sistem partai di Indonesia sudah
semakin jelas, yakni bertransformasi kearah sentripetal. Ideologi-ideologi
partai sudah mengarah ketengah, mulai meninggalkan kiri dan kanan khususnya
radikal kiri dan radikal kanan, semuanya mulai terpusat pada existing
democratic party seperti; Golkar, PKB, PD, PAN, PDS, PBR. Pada posisi populis
diwakili oleh PDI P dan PKPI, sedangkan Islamic society diwakili oleh PPP, PBB,
PKS.Dengan sistem ini, relatif karakter sistem politik partai lebih stabil daripada tahun 1950 yang sentrifugal.
Pergesaran ini memungkinkan terjadinya koalisi dikarenakan sudah ada idiologi yang
dipahami bersama oleh beberapa partai politik.
Alasan kedua adalah faktor kepentingan politik. Dalam politik ada pepatah
yakni tidak ada kawan dan tidak ada lawan yang abadi di dalamnya, kecuali
persamaan kepentingan politik. Biasanya, partai-partai politik yang berkoalisi
atas dasar persamaan kepentingan politik, praktis akan saling menopang satu
sama lain untuk menggulirkan maksud-maksud politik mereka. Tidak jarang, selain
hendak menggulirkan maksud-maksud politik mereka dan bahkan koalisi patai
politik ini dimaksudkan untuk menjegal lawan yang kebetulan telah menjadi common enemy, kali ini mereka yang
berada dikubu oposisi pemerintah.
Sedangkan demokrasi tanpa oposisi menurut Muhammad Ali
Andrias adalah 'demokrasi kuburan', yang sunyi senyap tanpa kritik dan tanpa
program alternatif. Padahal, demokrasi modern membutuhkan checks and balances dan kontrol yang bersifat politik dari DPR.
Ketika seluruh partai berkoalisi, DPR hanya akan menjadi tukang ketuk palu (rubber stampt) dan mau menuruti kehendak
pemerintah. Sementara kepentingan publik ketika ditekan oleh negara dengan
segala kebijakannya diabaikan oleh elit-elit politik yang dipilih secara
langsung oleh rakyat. Maka vox populi vox
dei (suara rakyat sebagai suara Tuhan) telah berubah menjadi vox elite vox dei (suara elit sebagai
suara Tuhan) Hal ini tentu saja pemerintahan ini hanya mengulangi era
pemerintahan Soeharto dengan format yang berbeda. Ini terjadi karena persepsi
dari politisi bahwa terlibat dalam cabang kekuasaan lebih memberikan berkah
dalam bentuk akses terhadap sumber daya ketimbang menjadi oposisi. Oposisi
sering dikonotasikan dengan tersumbatnya akses partai pada sumber daya ekonomi,
baik yang ada di sektor swasta maupun melalui penguasaan pada jabatan-jabatan
publik.
Oposisi mempunyai pola-pola tersendiri, seandainya
kita merenungkan, ternyata perbedaan-perbedaan pola oposisi disebabkan adanya
kesadaran baru bahwa dinegara-negara yang mempunyai sistem dmokratis terdapat
beranekaragam pola oposisi yang berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh
enam hal penting menurut Robert Dahl sebagai berikut:
1. Kepaduan
(cohesion) atau konsentrasi orang-orang
yang beroposisi dipandang dari segi organisasinya.
2. Daya saing
oposisi
3. Lokasi atau lingkungan
pertarungan (encounter) antara kalangan oposisi dan orang-orang yang mengendalikan
pemerintah.
4. Ciri khas oposisi
5. Tujuan-tujuan
oposisi
6. Strategi-strategi
oposisi
Lanjut Dahl, dalam melihat
perbedaan-perbedaan tersebut ada delapan hal ukuran yang kelihatannya mempunyai
relevansi langsung dalam menilai berbagai pola oposisi yang berbeda-beda. Dalam
memperbandingkan dengan berbagai kemungkinan pengaturan yang lain sehinggga
sejauh manakah suatu pola tertentu dapat membesar:
1. Kebebasan
berpikir dan menyatakan pendapat termasuk kesempatan bagi golongan minoritas
yang berbeda pendapat untuk memperdengarkan pandangan-pandangan mereka, baik
kepada warga Negara yang lain maupun kepada pembuat kebijakan.
2. Kesempatan
bagi warga Negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
3. Kalau
terjadi konflik politik, pengawasan kelompok-kelompok mayoritas (bukan kelompok
minoritas) yang terdiri dari para warga negara, para pemilih dan para pejabat
yang dpilih, atas dasar keptusan-keputusan yang dibuat pemerintah.
4. Sikap
rasional dalam perbicangan dan pembuatan keputusan politik, dalam arti
mempertebal pengertian piha warga Negara dan pemimpin mengenai tujuan-tujuan
yang akan dicapai dan sarana terbaik untuk mencapainya.
5. Konsesus
dalam perbincangan dan pembuatan keputusan politik, dalam arti bahwa dicari
berbagai cara pemecahan yang akan mengurangi besarnya kaum minoritas yang
dikalahkan. Mengurangi dendam mereka dan mengurangi paksaan terhadap mereka,
dan memperbesar jumlah warga Negara yang berkesimpulan bahwa tujuan mereka
telah cukup terpenuhi dengan cara pemecahan yang telah diambil.
6. Penanganan
konflik secara damai dan meperkeciltimbulnya kekerasan politik.
7. Penyelseaian
masalah kebijakan public yang mendesak dalam arti bahwa pemerintah menagrahkan
perhatiannya kepada setiap masalah yang dianggap mendesak dan penting oleh
sejumlah besar warga Negara atau pemimpin dan menagmbil berbagai cara pemecahan
yang memuaskan bagi jumlah warga Negara yang sebesar mungkin.
8. Kepercayaan
dan loyalitas yang meluas kepada masyarakat politik ang konstitusional dan
demokrasi.
3. Partai
Politik: Antara Koalisi Dan Oposisi
3.1.
Koalisi Partai Politik di Indonesia Pasca Orde baru
Dari semua persoalan agenda
dinamika perubahan perpolitikan Indonesia pasca jatuhnya Soeharto diatas.
Tulisan ini mengambil kasus yang dianalisis yakni mengenai partai politik
setelah jatuhnya orde baru. Partai politik merupakan salah satu institusiinti
dari pelaksanaan demokrasi modern. Dalam sistem demokrasi modern mengandaikan
sebuah sistem yang disebut keterwakilan (representasi),
baik keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti parlemen di indonesia
ini (DPR/DPRD), maupun dalam institusi kepartaian. Partaipolitik secara umum
memiliki fungsi yakni, sosialisasi politik, rekrutmen politik, fungsi
artikulasi dan fungsi agregasi politik.
Saya tidak akan membahas peta
ideologi partai politik seperti Herbeth Feith ketika melakukan kategorisasi
partai politik pada tahun 1995 adalah seperti nasionalisme radikal, tradisional
jawa, islam (tradisional dan modern), sosialisme demokrat dan komunisme. Saya
juga tidak membahas transformasi sistem partai di indonesia menurut Marcus
Mietzner dari sentrifugal ke arah sentripetal. Namun demikian, saya juga tidak
bisa terlepas begitu saja dari konsep yang digagas Feith dan Mietzner. Saya
melihat ada sesuatu yang menarik ketika melihat pertarungan partai politik
pasca jatuhnya Soeharto. Mengenai kekuasaan partai politik, terlebih dahulu
kita ketahui secara umum ada tiga jenis pengelolaan partai politik yakni
sebagai berikut:
1. Dominasi Partai Pemenang dengan adanya partai oposisi
2. Dominasi partai pemenang secara
mutlak
3. Koalisi antar partai.
Model dominasi kekuasaan oleh
partai pemenang dengan disertai oposisi adalah realitas kekuasaan politik yang
dijumpai ketika partai-partai yang kalah, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama dalam koalisi, mampu bersikap resisten dan kritis terhadap
dominasi kekuasaan politik yang dipegang oleh partai pemenang pemilihan umum.
Oposisi politik yang dilakukan oleh partai-partai kecil yang kalah pun
seringkali tidak seragam.
Model kedua dominasi mutlak atas
kekuasaan politik terjadi pada kondisi ketika satu partai politik memenangkan
pemilihan umum secara mutlak. Partai-partai lainnya, meskipun melakukan koalisi
antar partai tidak akan mampu menggoyahkan posisi dominan dari partai pemenang
tersebut. Situasi seperti ini bisa dijumpai pada rezi-rezim otoriter yang
kadangkala melakukan manipulasi atas pemilihan umum. Model ini bisa menjelaskanIndonesia
dimasa orde baru dimana Golkar sebagai yang direstui pemerintah selalu meraup
suara lebih dari 60 persen.
Sedangkan model yang terakhir
adalah pengelolaan partai politik oleh partai-partai dengan cara koalisi
merupakan kolaborasi kepentingan antar partai ketika suara mayoritas dalam
legislatif tidak mampu dicapai oleh satu partai tertentu. Maka blok koalisi
antar partai pun mengayun kesana kemari seperti pendulum tergantung kepada
kepentingan politik yang hendak dinegosiasikan. Pendekatannya karena ada
kepentingan bersama, maka pemetaan koalisi antar politik tidak akan bisa
didekati dengan pemetaan ideologi masing-masing partai politik, tetapi harus
dianalisis berdasarkan kepentingan yang dimiliki setiap partai.
Berbicara kekuasaan partai politik
pasca jatuhnya Soeharto, model manakah yang layak untuk menjelaskannya? Berkaca
dengan kehidupan politik sekarang, karena tidak adanya suara mayoritas
diparlemen menyebabkan partai politik melakukan satu koalisi untuk membentuk
suatu kekuatan besar. Pada pemilu 1999 pun dapat kita lihat bagaimana suara PDI
P dan Golkar tidak berbeda jauh. Disamping itu, dapat kita saksikan kabinet
pertama setelah pemilu 1999, yang ketika itu sering disebut orang dengan
kabinet pelangi karena Gus Dur dan Megawati sesungguhnya merupakan proses
akomodasi dan konsesional politik terhadap partai-partai yang mempunyai jasa
dalam naiknya Gus Dur dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kita
tentu mengetahui dengan koalisi Poros Tengah yang dibangun Amien Rais ketika menaikkan
Gus Dur dan Poros Tengah juga yang berkoalisi dengan Golkar dan PDI P untuk
menurunkan Gus Dur dari tampuk kekuasaanya pada Sidang Istimewa MPR tahun 2001.
Bagaimana Partai Golkar, PDI P, PAN, PPP, PBB yang pada Sidang Umum MPR 1999
saling ngotot untuk memenangkan tokoh-tokohnya ketika Sidang Istimewa MPR 2001
tersebut, mendongkel Gus Dur dari kursi kepresidenannya.
Pada Pemilihan Presiden pada
tahun 2004, drama partaipolitik dengan episode upaya koalisi untuk
persiapan pencalonan Presiden.Ada baiknya kita telusuri
perjalanan koalisi tersebut di dunia nyatanya, mulai dari putaran pertama
(Pilpres I), putaran kedua (Pilpres II) Selanjutnya dari hasil peringkat suara
terbanyak kesatu dan kedua, pada Pilpres I, keluar dua pasangan capres/cawapres
untuk maju pada Pilpres putaran kedua. Proses konsolidasi dalam mendukung
pasangan capres/cawapres SBY-JK melalui koalisiPartai Demokrat (PD), Partai
Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilandan Persatuan Indonesia (PKPI) serta Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), memperlihatkan penggabungan suara partai memberi
pengaruh pada pilihan rakyat dalam Pilpres II, sehingga bisa kita katakan bahwa
konsolidasi tampak cukup berhasil dengan format koalisi tersebut
Bergabungnya Partai Golkar di masa Jusuf Kalla( Ketum Partai
Golkar) makin memperkuat koalisi di parlemen untuk mendukung kebijakan SBY-JK
di eksekutif.Sehingga sangat jelas pelajaran dapat ditarik oleh Partai Demokrat,
bahwa koalisi parpol yang dibangunnya di tahun 2004 menjelang Pilpres telah
memberikan sinergi sangat kuat bagi Partai Demokrat hingga hasil yang
dicapainya sekarang. Tidak hanya stabilitas kepemimpinan nasional selama
periode 2004-2009, tetapi juga secara kelembagaan Partai Demokrat mengalami
proses pelembagaan yang baik dan sangat berarti.Stabilitas
ini tidak terlepas dari koalisi yang sesuai arti dan prinsipnya
merupakan penggabungan energi dalam dukungan atau dalam mengatasi ancaman.
Kalau prinsip atau sebabnya adalah untuk kepentingan konsolidasi politik, maka
ukuran-ukuran seperti parliamentary threshold (PT)akan menjadi sebuah indikator akibat dari proses
pengerucutan, akibat kesamaan-kesamaan platformpartaipolitik sehingga
dapat mendorong terwujudnya multipartai sederhana.
Langkah ini berhasil membangun koalisi dengan dukungan mayoritas absolut
(sekitar 70 %) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Yudhoyono
merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat tidak membuat
pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang
bersentuhan dengan kewenangan DPR.
Pada Pemilu 2009 Demokrat sebagai
partai penguasa berhasil keluar sebagai pemenang dengan memperoleh 20 % suara
di parelemn. Koalisi jilid baru pun dibangun lagi, Seketraiat Gabungan (Setgab)
menjadi nama baru payung bagi para partai koalisi SBY-Boediono. Tujuan dibentuknya
sekretariat gabungan (setgab) ini untuk menstabilkan pemerintahan dari
goncanga-goncangan partai-partai di parlemen, selain untuk menyolidkan. Intinya
sekretariat gabungan (setgab) koalisi merupakan forum atau fasilitass untuk
koordinasi dan konsultasi diantara sesama partai koalisi baik itu di kalangan
eksekutif maupun legislatife, sehingga pada akhirnya pihak koalisi menghormati
pihak-pihak yang menjadi penyeimbang agar demokrasi tetap tegak di Indonesia.
Namun demikian, pengadaan Setgab ini menurut penulis membungkan pengkritisan
terhadap pemerintah terutama bagi partai-partai yang tergabung dalam setgab
ini. Setiap anggota legislatife hanya menyuarakan pendapatnya sesuai dengan
pendapat partainya. Sedangkan pendapat partai tersebut terlebih dahulu mengakomodasi
kepentingan sekretariat gabungan (setgab).
Namun demikian didalam tubuh
koalisi yang dibangun akan terjadi beberapa kendala yang akan terjadi. Kendala
ini telah tampak pada koalisi SBY-JK atau yang penulis istilahkan dengan
koalisi jilid satu kabinet Indonesia bersatu, selain Partai Demokrat,
partai-patai penguasa akan bediri diatas dua pijakan, saat tertentu mereka akan
menunjukkan dirinya sebagai bagian dari
patai penguasa, saat yang lain mereka menjadi bagian dari kekuatan penentang pemerintah.
Ibarat sebuah permainan sepakbola, oleh karena bola itu yang bundar akan
terjadi sesuatu diluar analisi pengamat sebelumnya.
Dalam periode sebelumnya ini
dipraktekkan dengan sangat baik oleh Golkar, PKS, dan PAN. dalam situasi
tertentu mereka menjaga kohesivitas koalisi, pada kesempatan yang lain merecoki
koalisi. Golkar sangat bermanuver ketika presiden membentuk UKP3R (Unit Kerja
Presiden Pengelolan Program dan Reformasi). Sementara itu PAN dan PKS
bermanuver apik dalam hak interpelasi kasus Iran dan impor beras Bulog. Hal
serupa juga terjadi di koalisi jilid dua, ketika sdiang paripurna DPR mengenai
kenaikan harga BBM, PKS meloncat pagar dari barisan koalisi dalam voting
kenaikan harga BBM tersebut. Dengan melihat fenomena tersebut jelas sekali
koalis yang dilakukan adalah yang penulis sebut dengan “koalisi yang kerepos”.
Dalam
konteks koalisi yang sekarang, kekeroposan koalisi terutama disebabkan oleh dua
hal. Pertama, digerakkan oleh motif elektoral. Motif ini muncul dengan adanya
struktur kesempatan dipenghujung lima tahun kedepan. Kekuasaan partai pada
tahun 2014 akan menjadi hal yang layak untuk direncanakan. Alasan kedua adalah,
kesempatan pencitraan bagi tokoh-tokoh partai koalisi yang akan maju menuju
istana pada 2014. Ketentuan konstitusi yang membatasi jabatan presiden hanya
sampai dua periode menyebabkan SBY tidak akan bisa lagi untuk maju dalam
pemilihan presiden berikutnya. Inilah yang menjadi tujuan beberapa icon partai
untuk melirik kuris RI 1 dan RI 2 pada tahun 2014.
3.2. Oposisi
Partai Politik di Indonesia Pasca Orde baru.
Selain adanya koalisi, wajah lain
partai politik indonesia juga mulai menyebut-nyebut Oposisi. Meskipun didalam
konstitusi negara kita tidak ada pernah disebut-sebut ada oposisi atau memberi
peluang kepada oposisi. Namun dapat dipahamioposisi bukanlah penantang, oposisi
bukan pula sekedar pihak yang menyatakan ketidaksetujuan, oposisi buakan pula
sebagai tukang teriak semata-mata, oposisi bukan juga kalangan yang melawan
secara membabi buta/frontal.
Berbicara oposisi, mengutip Eep
Saifulah Fatah dalam Membangun Oposisi:
Agenda-Agenda Perubahan politik Masa Depan (1999). Oposisi adalah setiap
ucapan atau perbuatan yang meluruskan kekeliriuan tetapi sambil menggarisbawahi
dan menyokong segala sesuatu yang sudah ada dijalan yang benar. Maka dalam
konteks ini, beroposisi politik berarti melakukan kegiatan pengawasan atas
kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa juga benar. Ketika kekuasaan
menjalani kekeliruan, oposisi berfungsi mengabarkan kepada khalayak kekeliruan
itu sambil membangun penentangan dan perlawanan atasnya. Sebaliknya ketika
kekuasaan menjalankan fungsinya secara benar maka oposisi menggarisbawahinya
sambil membangun kesadaran dan aksi politik untuk meminta kelanjutan
konsistensi dari praktik kebenaran itu. Dalam politik kebenaran biasanya diukur
dari proses dan produk. Pada tingkat proses, kebenaran hanya diwujudkan
keterlibatan sebanyak dan seluas mungkin perspektif dalam kebijakan. Pada
tingkat produk kebenaran bisa dilihat dari seberapa adil setiap rumusan dan
implementasi sebuah aturan atau kebijakan maka kebenaran dalam politik dapat
didefenisikan secara pragmatis sebagai kebijakan publik yang partisipatif dan
menghasilkan keadilan.
Oposisi adalah setiap ucapan
atau perbuatan yang meluruskan kekeliruan tetapi sambil menggaris bawahi dan
menyokong segala sesuatu yang sudah ada di jalan yang benar. Maka dalam konteks
ini. Beroposisi politik berarti melalukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan
politik yang bisa keliru dan bisa benar. Ketika kekuasaan menjalani kesalahan
atau kekeliruan dalam melakukan kebijakannya. Oposisi berfungsi mengabarkan
kepada khalayak (publik) kekeliruan itu sambil membangun penentangan dan
perlawanan atasnya. Sebaiknya, ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara
benar, maka oposisi “menggarisbawahinya” sambil membangun kesadaran dan aksi
publik untuk meminta kelanjutan dan konsistensi dari praktik kebenarannya itu.
Partai politik yang
menjalankan oposisi menurut Haryanto dalam Partai
Politik Suatu Tinjauan Umum, akan selalu berusaha mempergunakan setiap
kesempatan yang ada untuk mengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
ditetapkan dan dijalankan oleh partai penguasa (dalam hal ini Setgab). Pada
umumnya kesempatan yang begitu kecil tetap akan dipergunakan oleh partai
oposisi untuk melancarkan kritik-kritiknya, dan kritik-kritik yang
dilontarknnya itu diusahakan setajam mungkin. Tidak ketinggalan dalam rangka
menjalankan oposisi, partai politik ini juga berusaha menarik simpati dan
dukungan warga negara sebanyak mungkin untuk berpihak kepadanya dan ikut
mengkritik rezim yang sedang berkuasa.
Lanjutnya, partai politik
yang menjalankan oposisi pada umunya mengemukakan kekurangan-kekurangan atau
keburukan-keburukan program yang dijalankan oleh partai yang sedang berkuasa.
Tidak ketinggalan partai oposisi ini juga menawarkan program-program tandingan
untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan atau keburukan-keburukan yang melekat
pada program-program partai yang sedang berkuasa.
Di Indonesia Partai yang mencoba
menjadi Oposisi dari pemerintah adalah PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan
Parta Hanura. Ketiga partai ini mempertegas posisinya sebagai oposisi dengan
tidak masuk kabinet pemerintahan SBY-Boediono. Meskipun suara koalisi oposisi
perjuangan ini masih kalah jumlah dengan koalisi-koalisi pemeintah berkuasa
dibawah naungan Sekretariat Gabungan (setgab) di parlemen. Akan tetapi oposisi
yang digalang ketiga partai ini selalu setia pada perjuangannya khususnya dalam
mengkritisi kebijakan pemerintah yang dirasakan merugikan masyarakat banyak
khususnya masyrakat kecil. Sebagai konsekuensi mereka siap menerima resiko apapun
dari pemerintah, oposisi yang dilakukan adalah salah satu bentuk
pengawasan/kontrol terhadap pemerintah (check
and balances).
Motor utama dari oposisi ini
adalah PDI Perjuangan. Sebelum PDI P
menasbihkan dirinya menjadi oposisi pada pasca pemilu dan Pilpres 2009 ini,
terjadi upaya alot yang dilakukan
oleh kubu SBY-Boediono yang berusaha menarik PDI P secara halus kedalam kabinet
mereka. Akan tetapi Megwati sebagai komando utama partai berlogo banteng ini
mengabaikan sama sekali kalkulasi
pragmatis ini dan memilih jalan yang tidak popular yakni oposisi. Akan
tetapi pilihannya ini adalah sebuah pilihan yang tidak menggadaikan idealisme
partainya akan tetapi akan meningkatkan kepercayaan publik kepadanya ketika
koalisi dipemerintahan yang berkuasa, berkhianat kepada amanah rakyat.
Dengan pengalamannya yang lama
diluar pemerintahan, PDI Perjuangan sudah biasa dalam tekanan dari penguasa.
Kita pasti ingat dengan terpilihnya megawati pada tahun 1993 meskipun
pemerintah melakukan intervensi untuk menghalang-halangi pemilihan terhadap
dirinya, Megawati dipilh sebagai pimpinan dengan dukungan masyarakat bawah di
dalam tubuh PDI. Sebagai putri Soekarno, presiden pertama Indonesia yang
karismatis, Megawati menikmati banyak dukungan massa. Pemilihannya sebagai ketua
PDI ketika itu bermakna penguatan nasionalisme lama dan Sukarnoisme dalam
politik Indonesia. Kekerasan lain yang
dialami seperti penyerangan kantor DPP PDI oleh sekelompok orang yang dibantu
oleh tentara Orde Baru telah memakan banyak korban. Cornelis Lay dalam bukunya Melawan Negara sangat jelas
menggambarkan bagaimana PDI begitu apik dalam posisinya diluar pemerintahan.
Cornelis melihat, sebenarnya Negara itu tidak begitu kuat dalam masa Orde baru
(berbeda dengan pandangan sebagian besar peneliti lain), Negara jauh dari
otonom dan mudah dimasuki oleh kekuatan politik diluar dirinya. Sesungguhnya di
dalam dirinya yang sensitive, Negara itu cenderung berwatak reaktif dan mudah
terfragmentasi. Dengan melihat pengelaman PDI yang kemudian bertransformasi
menjadi PDI Perjuangan sudah terbiasa dalam tekanan penguasa, sehingga
keputusannya berada pada oposisi sudah hal yang lumrah.
Menurut Sigit Pamungkas dalam Krisis Demokrasi Elektoral, hal yang
subtansial dari pilihan PDI Perjuangan ini adalah menempatkannya sebagai partai
penyeimbang, menjadikannya harapan demokrasi agar tetap bersemi. Salah satu hukum
besi politik adalah kekuasaan itu cenderung menyimpang, kekuasaan absolute
cenderung absolute menyimpang. Berangkat dari hokum besi itu, pilihan sebagai partai
penyeimbang menghindarkan kekuasaan dapat diminimalisasi.
Namun demikian, berbeda dengan
PDI Perjuangan, dua partai lainnya; Partai Gerindra dan Partai Hanura belum
sekalipun punya pengalaman berada diluar pemerintah selain mereka memang baru
pertama ikut pemilu pada tahun 2009 sangat menarik menyimak kedua partai ini
berada dikubu posisi pemerintah. Partai Gerindra dalam Platform hampir sama
dengan PDI Perjuangan dikarenakan Gerindra mengklaim massanya adalah
kelompok-kelompok kelas akar rumput, para petani dan buruh. Partai ini saat ini
mulai solid dengan semakin menguatnya elektabilitas partai Gerindra, terutama
sekali sang tokoh dan icon partai Prabowo Subianto. Bahkan dalam polling dari
Sugeng Sarjadi Syndicate (SSS), Prabowo Subianto menempati posisi teratas dari
tokoh-tokoh yang disukai public untuk 2014 mendatang, sedangkan untuk lebaga
survey yang lain Prabowo selalu diposisi dua dibawah pamor Megawati.
Salah satu partai yang mungkin
agak berbeda adalah Partai Hanura, munculnya Majelis Penyelamat Partai Hanura
(MPPH) secara tidak langsung mempengaruhi konsilidasi internal Partai Hati
Nurani Rakyat Ini. Kader-kader Partai
Hanura yang loncat pagar ke Partai Lain seperti salah satu deklarator partai
Letjen (purn) Suaidi Marasabessy pindah ke Partai Demokrat juga berpengaruh
terhadap kekuatan Resources partai. Akan tetapi, jika Partai Hanura tetap
konsisten diluar pemerintahan dan diwaktu yang sama pemerintahan yang berkuasa
tidak menjalankan amanah kosntituennya dengan benar, popularitas partai ini
akan semakin meningkat dimata simpatisannya. Tidak menutup kemungkinan para
pemilih yang sering disebut pemilih indekost bisa memilih Hanura dalam pemilhan
berikutnya.
Kesimpulan
terakhir mengenai oposisi ini, penulis melihat barisan oposisi ini memainkan
peranan pengkontrol terhadap kecenderungan menyimpang dari partai-partai yang
berkuasa. Sehingga oposisi yang dibangun memperlihatkan ada
saluran untuk menyuarakan aspirasi rakyat ketika corong pendapat mulai disumbat
dengan koalisi di parlemen yang mendukung pemerintah. Ini sebuah era baru bagi
perpolitikan indonesia untuk bisa menerima oposisi dalam sebuah negara yang menganut
sistem multipartai.
4.
Penutup
Pasca jatuhnya soeharto pada
tahun 1998, hal yang menarik untuk dicermati adlh bermunculanya partai-partai
baru menyambut euforia reformasi. Demokrasi yang lebih beradab telah memastikan
kebebasan setiap orang untuk mendapatkan keadilan. Tujuan-tujuan bersama akan
lebih mudah diperjuangkan melalui partai politik. Namun demikian berbeda dengan
tahun 1955 yang telah memunculkan banyak partai, pada saat sekarang ini sistem
kepartaian indonesia telah bertransformasi dari sentrifugal menjadi sistem
kepartaian yang sentripetal. Sistem ini telah menyebabkan lebih stabilnya
kepartaian di indonesia dari pertarungan ideologi. Akan tetapi muncul sesuatu
yang baru, dimana dengan sistem multipartai dan tidak adanya partai yang mendominasi
atau mayoritas diparleman telah memunculkan susuatu yang dinmakan koalisi untuk
menggalang suatu kekuatan yang lebih besar. Mulai dari masa kepresidenan
Abdurahman Wahid, Megawati, dan SBY, koalisi merupakn hal yang harus dilakukan.
Ketika waktu pemerintahan SBY
jilid I dan II jelas sekali bagaimana koalisi partai-partai dibawah penguasa
bermain. Untuk mengkonsolidasikan koalisi ini dibuatlah suatu organisasi atau
lembaga yang dinamakan Sekretariat Gabungan (Setgab). Keputusan koalisi
biasanya banyak bermunculan dari Setgab. Koalisi yang dibangun juga bermunculan
riak-riak penghancur, tidak akurnya partai-partai didalam koalisi salah satu
sebabnya. Akan tetapi gertakan dari penguasa Setgab juga telah menyebabkan
masalah baru selain riak-riak tersebut. Hal ini berdampak kepada ujung-ujungnya
mulai munculnya benih-benih oligarki kepartaian dalam satu gabungan yang
bernama setgab. Sehingga penulis berkesimpulan koalisi ini sebagai koalisi yang
kropos.
Munculnya koalisi juga memunculkan
gabungan partai Oposisi. Partai-partai yang berada diluar penguasa ini antara
lain PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan Partai Hanura. Yang menarik adalah
partai oposisi tidak ada dan tidak dibenarkan dalam kosntitusi kita. PDI
Perjuangan sudah terbiasa diluar pemerintahan, ini terbukti ketika masa Orde
Baru dimana PDI perjuangan di intervensi dan dimarginalkan oleh penguasa, namun
berbeda dengan PDI Perjuangan, dua partai gabungan oposisi yang lain yakni,
Partai Gerindra dan Partai Hanura belum sekalipun pernah mempunyai pengalaman
diluar penguasa. Hal ini mengakibatkan Partai Gerindra dan Partai Hanura
menjadi partai Oposisi ditahun pertama keikutsertaan mereka dalam pemeilihan
umum. Oposisi Perjuangan bertujuan ini untuk mengkritisi pemerintah yang
didukung oleh koalisi yang bernama sekretariat gabungan (Setgab). Ketika amanah
rakyat mulai dikhianti oleh penguasa maka oposisi adalah salah satu pengkontrol
kebijakan pemerintah (penguasa). Mekanisme pengawasan langsung ini akan membawa
demokrasi di indonesia ke arah yang lebih baik. Sehingga penulis berkesimpulan,
oposisi sudah selayaknya diterima dalam kehidupan politik indonesia, sebagai
warna baru dalam kekuasaan kepartaian di negeri ini.
Daftar Pustaka
Adriana Elisabet Sukamto, Dkk (Ed.). 1991. PDI dan
Prospek Pembangunan Politik. Jakarta: Grasindo.
Andi Setiono, Dkk. (Ed.). 2000. Tragedi Megawati:
Revisi Politik Massa di Indonesia. Yogyakarta: Terawang Press.
Aspinal, Edward. 2005. Opposing Soeharto: Compromise, Resistence,
and Regime Change In Indonesia. Stanford: Stanford University Press.
Budiardjo, Miriam. 1981. Partisipasi dan Partai
Politik. Jakarta: PT Gramedia.
Fatah, Eep Saifullah. 1999. Membangun Oposisi:
Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hadiz, Vedi. R. 2004. Localising Power In
Post-Authoritarian Idonesa. California: Stanford University Press.
Haryanto. 1984. Partai Politik: Suatu Tinjauan
Umum. Yogyakarta: Liberty.
Isra, Saldi. Simalakama Koalisi Presidensial.
Kompas 27 November 2008.
Koiruddin. 2004. Partai Politik dan Agenda
Transisi Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lay, Cornelis. 2010. Melawan Negara:
PDI-1973-1986. Yogyakarta: PolGov.
Mietzner, Marcus. 2007. Party Financing In Post-Soeharto Indonesia: Between State Subsidies
anda Political Corruptions. Jurnal Contemporory Southeast Asia Vol. 29 No.
2
.2008.
Comparing Indonesia’s Party Systems of The 1950s and The Post-Soeharto Era:
From Centrifugal to Centripetal Inter-Party Competition. Jurnal Contemporory
Southeast Asia Vol. 39 No 3.
Poerwantara, A.P. 1994. Partai Politik Di
Indonesia. Jakarta. PT Rineka Cipta.
Putra, Fadillah. 2003. Partai Politik dan
Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Uhlin, Anders. 1998. Oposisi Berserak: Arus Gelombang
Demokratisasi Ketiga di Indonesia. Bandung: Mizan Pustaka.
Urbaningrum, Anas. 2004. Melamar Demokrasi: Dinamika
Politik Indonesia. Jakarta: Republika.
.
No comments:
Post a Comment