A.
Latar
Belakang
Hampir
dua abad lalu, ketika pertama kali datang didaerah pedalaman Sumatera Barat
pada 1818, Sir Thomas Stamford Raffles pernah merasa frustasi terhadap sistem
pemerintahan Minangkabau yang bertumpu kepada Mufakat. Disana dia disambut oleh
sekelompok pemimpin setempat (penghulu). Raffles meminta merka segera
memutuskan berapa dia harus membayar agar diizinkan melewati wilayah mereka.[1]
Setelah
diberitahu keinginan Raffles untuk dapat segera melanjutkan perjalanan, dengan
tenang mereka mengatakan bahwa mereka telah mempertimbangkan keinginan itu,
telah memusyawarhkan sepanjang hari, dan akhirnya sampai kepada
kesepakatan bahwa mereka belum mencapai
keputusan apapun, sebab jumlah penghulu yang hadir hanya dua pertiga sedangkan
sepertiga lain tidak dapat hadir, dan mereka menawarkan tempat untuk Raffles
dan rombongannya untuk menginap selama tiga har sambil menunggu keputusan
akhir. Baru setelah sepertiga penghulu itu hadir dan mereka semua bermusyawarah
selama sekitarsatu atau dua jam, akhirnya dicapai keputusan tentang jumlah uang
yang harus dibayarrombongan Raffles agar dapat melanjutkan perjalanan.
Demokrasi
Lokal berbasis nagari tersebut tercabik-cabik pasca pemberontakan setengah hati
PRRI dengan Pusatnya Sumatera Barat. Kekecewaan daerah terhadap pusat mulai
dari jatuh bangunnya kabinet dan terpuruknya ekonomi serta tidak meratanya
pembangunan antara pusat dan daerah. Pasca pemeberontakan tersebut menurut
Audrey Kahin (2005:356), setelah perang yang meluluhlantakan banyak mahasiswa
kembali kekampus, tetapi pemberontak dari dataran tinggi Sumatera Barat, di
mana orang-orang Komunis sangat kuat, takut untuk kembali kekampung mereka, dan
banyak yang meninggalkan daerahnya, pergi Jakarta, Malaysia, atau ke tempat
lain dimana mereka tidak dikenal.
Pada
umumnya, tentara mendapat perlakuan yang lebih baik dari sipil. Bekas
pemberontak merasa bahwa pada tahun-tahun sebelumnya pendukung mereka yang
tetap tinggal di kota menderita bahkan lebih berat dari teman mereka dihutan.
Di Padang, pasukan pemerintah dan pendukung lokalnya, terutama dari OPR
(tentara yang berhaluan komunis), menempatkan orang dipenjara, menampar muka
mereka. Tahun-tahun sesudah penyerahan banyak pemberontak yang kebali dari
hutan mendapat penghinaan yang sama dengan simpatisan mereka di kota pada
tahun-tahun sebelumnya.
Tahun-tahun
sesudah pemberontakan merupakan titik nadir untuk Sumatera Barat. Banyak orang
mengikuti pemberontakan meninggalkan daerah dan dimana mereka mendapatkan
tempat berteduh seringkali merasa malu bahkan untuk mengakui identitas Minang
mereka. Sumatera Barat sendiri seperti daerah taklukkan, diperintah dinegeri
sendiri, sebagaimana dilaporkan oleh Kedutaan Amerika,[2] oleh
kerumunanan pejaba dan tentara Jawa yang tumpah kesana selama dan sesudah
pemberontakkan. Orang Sumatera Barat melihat diri mereka sebagai warganegara
kelas dua.
Hal
senanda juga diungkapkan oleh Sofyan Asnawi (1991), selama revolusi orang
memimpikan bahwa dalam Indonesia yang merdeka sebagai hasil perjuangan,
cita-cita mereka untuk otonomi dan kesamaan akan terpenuhi, dan Sumatera Barat
beserta daerah lain akan bergabung menjadi keseluruhan yang kompleks dimana
tidak ada unsurnya yang kehilangan keprbadiannya. Harapan ini telah tenggelam sesudah
penyerahan kekuasaan, dan tahun-tahunke kecewaan berikutnya telah menyebabkan rakyat
didaerah ini berusaha mencapai tujuannya dengan cara yang lebih radikal,
memproklamirkan dewan banteng sebagai cara memaksa pembagian kekuasaan yang
lebih besar diantara pusat dan daerah. Tetapi mereka menikmatinya hanya dalam
waktu yang singkat ditahun 1957, ketika mereka mencapai otonomi daerah
sementara pada waktu yang sama berilusi bahwa tindakan mereka sesungguhnya
mempengaruhi langkah dan karakter dari Republik. Waktu yang pendek ini telah
diikuti oleh perang, kekalahan dan hinaan.
Pada
pertengahan tahun 1980 dimasa Orde Baru, Sumatera Barat telah diintegrasikan ke
dalam indonesia sedemikian rupa. Pusat pada umunya menentukan bentuk integrasi
dengan menekankan politik lokal Sumatera Barat, yang sejalan dengan tindakan
jakarta dalam negara secara keseluruhan. Tindakan yang sangat menentukan
melawan struktur asli dari kontrol sosial di Sumatera Barat adalah reorganisasi
pemerintahan yang terjadi pada tingkat paling bawah dari pemerintahan. Ini
mencakup penggantian nagari menjadi satuan administrasi yang lebih kecil yang
serupa dengan desa dijawa.
Nagari
telah berabad-abad menjadi pusat kehidupan dipedesaan Minangkabau, namun sejak
pertengahan abad ke-19 ia telah mengalami sederetan perubahan sebagai hasil
campur tangan, mulanya kekuasaan kolonial, dan kemudian dari pemerintah pusat
republik. Jadi pada tahun-tahun pertama Orde Baru, nagari tlah diakui memiliki
potensi yang besar untuk pembangunan. Pemimpin setempat mendiskusikan bagaimana
lembaganya dapat diorganisasikan untuk melaksanakan rencana pemerintah pusat.
Namun, segala usaha ini menjadi sia-sia ketika jakarta mengeluarkan UU No. 5
Tahun 1979, yang dimaksudkan untuk menyeragamkan struktur administrasi pemerintahan
desa diseluruh indonesia. Undang-undang itu membuat fungsi dan nama (desa) yang
seragam untuk satuan yang paling bawah dari pemerintahan, dan mengatur organisasi
internalnya, fungsinya dan hak prerogratifnya dengan pola struktur
keseluruhannya berdsarkan model desa di jawa.[3]
Pemecahan
nagari menhancurkan institusi lokal tradisional yang sudah ada beratus tahun,
lembaga yang mengatur tidak hanya tingkah laku sosial dan kultural dari rakyat
pedalaman, tetapi juga basis ekonomi masyarakat dalam hal tanah, warisan, dan
pengolahan sawah. Karena seperti yang penulis utarakan sebelumnya, nagari tidak
hanya unit teritorial yang sederhana tetapi sesuatu yang didasarkan kepada
kelompok garis turunan dan fungsi-fungsi yang luas. Secara hukum, dan sesuai
dengan adat yang sudah lama ada, dapat disebut nagari kalau sudah mempunyai
persyaratan tertentu, termasuk mesjid, balai, jalan, dan tempat mandi umum.
Perubahan
ini menyebabkan disorientasi dalam kehidupan rakyat dipedesaan ketika bentuk
kekuasaan simbolis tradisional mereka dan segala isinya dirampas. Dengan memandang
pemerintah desa yang baru sebagai ciptaan pemerintah pusat, banyak yang
kehilangan keinginan atau kemampuan untuk ambil bagian dalam pembangunan. Makin
lama mereka menganggap bahwa pemerintahan Jakarta adalah kekuasaan yang
bertanggungjawab untuk membangun daerah dan menyerahkannya ke pusat untuk
mengerjakannya. Selain itu pengukuhan desa oleh pemerintah pusat diartikan oleh
rakyat Sumatera Barat sebagai penghapusan sisa otonomi lokal dan memaksakan dominasi jawa.[4]
Jatuhnya
rezim orde baru pad tahun 1998, di Sumatera Barat dan diseluruh Indonesia
memulai babak baru demokrasi lokalnya setelah dikukung sentralisasi oleh pusat.
Merespon hal tersebut,Sumatera Barat menggagas kembali kenagari. Kembali ke
nagari berarti sebagai bentuk desentralisasi dan reorganisasi nagari dari local state government (ketika menjadi desa
dimasa orde baru), menuju penemuan kembali self-governing
community dan pembentukan local self
govenment baru. Nagari lama merupakan bentuk self governing community yang berbasis pada adat atau semacam
republik kecil yang mempunyai kekuasaan dan otonomi penuh. Pada masa orde baru,
pembentukan the local state goverment, sekaligus pemisahan antara desa dan
negara dengan adat.[5]
Sekarang
ini pasca orde baru, nagari dikembalikan lagi, desa dihilangkan. Tetapi nagari
baru tidak menyerupai “republik kecil” dan sedikit berbeda dengan the local state government versi desa.
Pembentukan kembali (recreating)
nagari sekarang sama dengan pembentukan the local state yang formatnya menyatukan
antara desa negara dengan desa adat, menyerupai the local self government. Nagari tidak sepenuhnya diatur oleh adat
dan agama yang tercermin dalam pepatah adat bersandi syara’-syara’ bersendi
kitabullah, tetapi juga diatur oleh hukum negara yang secara struktural berada
dalam kendali kabupaten.
Sebagian ahli berpendapat bahwa kembali bernagari
merupakan kembalinya orang minangkabau kejati dirinya. Pilihan untuk menghidupkan
kembali pemerintahan nagari didorong oleh UU No 22 Tahun 1999. Semangat yang
terkandung dalam UU No 22 Tahun 1999 menjadikan desa atau nagari sebagai self
governing comunnunity yang bersifat otonom atau mandiri. Namun demikian
terlepas dari itu penelitian Franz dan Keebet Von Benda-Beckmann dalam
Identitas-Identitas Ambivalen : Desentralisasi dan Komunitas-Komunitas Politik
Minangkabau.[6]
Terjadi kontestasi antara penyelenggaran pemerintahan negara dengan otoritas
adat LKAAM mengenai pemerintahan nagari di Sumatera Barat. Mereka berangkat
dari desentralisasi yang telah menggugah proses untuk dirundingkan kembali
batas-batas sosial dan politis di Sumatera Barat diberbagai arena yang saling
terkait, masing-masing dengan fokus dan kepentingan-kepentingannya sendiri.
Otonomi yang memberikan kabupaten-kabupaten kebebasan untuk merancang kembali
hubungan pemerintah dengan nagari-nagari yang sempat menjadi polemik dengan
pemerintah (negara), seperti sebuah pertarungan antara otoritas dalam bentuk
adat dengan negara.Kembali ke nagari dikarenakan pemerintahan desa bukan budaya
minangkabau, pemerintahan yang dipaksakan kepada mereka. Perdebatan-perdebatan
kembali kenagari begitu digencarkan ketika kran desentralisasi dibuka kembali. Perdebatan-perdebatan
ini terjadi dipusat-pusat perkotaan dan daerah-daerah di Sumatera Barat,
sementara para perantau minangkabau juga mengambil peran aktif.
Penghubung-penghubung penting ini dibentuk oleh elit-elit perkotaan yang telah
secara aktif terlibat dalam politik nagari sebagai pejabat adat atau kapasitas
lain. Bagi beberapa hal, ini memungkinkan kepulangan pada nilai-nilai mereka
sendiri yang dulu ditindas oleh rezim jakarta yang otokratis. Desentralisasi
dan kembali ke negari lebih dari rekonfigurasi geografis dan administraif bagi
masyarakat minangkabau/ Sumatera Barat.
Terlepas
dari semua itu bagaimanakah konsep revitalisasi kebudayaan demokrasi lokal
minangkabau, ibarat membangkitkan sebuah mayat yang telah lama mati dan ini
sesuai dengan pepatah orang minangkabau ketika kembali ke nagari, ibarat
mambangkik batang tarandam (ibarat membangkitkan batang yang terendam). Penulisan
ini ingin melihat konsep-konsep apa sajakah yang bisa menghidupkan kembali
suasana asli demokrasi lokal minangkabau dimasa saat sekarang ini.
[1] Memoir of the life and public
service of sir Thomas Stamnford Raffles, seperti yang dikutip Audry Kahin dalam
Dari Pemberontakan ke Integrasi :
Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Saya berangkat dari kasus kecil
ini, seperti halnya apa yang diangkat oleh Clitford Geertz dalam melahirkan
teori politik aliran Santri, Priyayi, dan Abangan. Awalnya Geerzt Cuma melihat
disebuah daerah dipulau jawa, orang disebuah rumah menangis merauang-raung,
timbul suatu tanda tanya bagi Geertz apakah yang sebenranya terjadi, ternyata
ada orang meninggal dan mayatnya tidak boleh dikuburkan karena dia Komunis/PKI
sedangkan masyarakat di sana adalah kalangan NU. Dari hal sekecil itu dia
membuat sebuah konsep politik aliran tadi yang diakisahkan dalam bukunya
mengenai daerah tersebut yang dia sebutkan dengan nama tersendiri yakni Mojokuto.
[2] “The West Sumatran Political
Scene. Airgram kepada Department of State dari Floyd L. Whittington, Counselor
of Embassy for Political Affair. 19 Juli 1963. Seperti di Kutip Audrey Kahin.
[3] Lihat Tsuyoshi Kato dalam Diffent
Field Similar Locusts: Adat Communities and the Village Law of 1979 in
Indonesia. 1989, hlm. 89-114
[4] Lihat Hasan Basri Durin, Catatan Seorang Pamong (jakarta: Obor), hlm. 101-104
[5] Betty Sumarty. Revitalisasi
Peran Niniak Mamak dalam Pemerintahan Nagari, hlm. 22
[6] Franz dan Keebet Von
Benda-Beckmann dalam Identitas-Identitas Ambivalen : Desentralisasi dan
Komunitas-Komunitas Politik Minangkabau. Dalam Politik Lokal Di Indonesia,
Editor: Nordholt.
apaaaaa gggeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee???????????
ReplyDelete