ringkasan buku Negara Teater, Clifford Geertz.
Buku ini mengkaji kehidupan Negara di Bali
sebelum masa pendudukan kolonial pada tahun 1906. Secara mendetail Geertz
menjelaskan dan menganalisa mengenai organisasi sosial di Bali melalui
kemampuan analitiknya dalam interpretasi atas mite, upacara, ritual dan simbol
yang dipergunakan oleh Negara. Negara, pada abad 19 sebagaimana dibuktikan oleh
Geertz, secara meyakinkan menolak berbagai teori politik maupun pendekatan khas
Barat mengenai kehidupan politik. Negara secara (nagara, nagari, negeri)
berarti ‘kota’, dan juga dapat diartikan sebagai ‘istana’, ‘ibu kota’,
‘negara’, ‘wilayah kekuasaan’, dan ‘kota’. Dalam pengertian klasik, negara
merujuk pada peradaban klasik dunia tradisional, yang meskipun dikatakan klasik
namun menunjuk pada dunia budaya tinggi dan wewenang politik yang berkembang
pesat di wilayah tersebut. Lawan dari negara adalah desa, keduanya berasal dari
bahasa sanskrit, yang berarti ‘daerah pedalaman’, atau ‘daerah’, ‘mukim’,
‘tempat’, ’daerah momongan’, dan ‘daerah yang diperintah’.
Berbeda dengan pemahaman ‘modern’ yang kita anut
mengenai negara dengan seperangkat sistem politik yang melekat didalamnya,
negara dalam konteks Bali adalah ‘theatre state’ atau negara teater. Negara
teater diperintah bukan melalui kekuatan maupun paksaan, namun melalui ritual
dan simbol-simbol. Negara di Bali tidak lah berbentuk tirani, penaklukan, atau
sistem administrasi yang baku, namun lebih pada pertunjukan teatrikal. Dalam
pandangan Geertz, berbagai upacara yang dilaksanakan bukan bertujuan untuk
melayani kekuasaan, namun kekuasaan lah yang melayani upacara.
Sebagaimana tergambarkan dalam Perang Puputan
yang terjadi tahun 1908 yang dilakukan oleh Raja Klungkung dan seluruh
pengikutnya, secara jelas menggambarkan bagaimana upacara dilaksanakan bahkan
sebelum keruntuhan kerajaan tersebut. Dalam hal ini, Bali menjadi suatu wilayah
yang unik, sebab negara teater di Bali adalah satu bentuk negara yang
memusatkan seluruh perhatiannya untuk melayani kepentingan upacara, yang pada
gilirannya memberikan suatu ‘pesona sihir’ tersendiri bagi setiap orang yang
melihat upacara-upacara ini.
Bali adalah negara teater yang didalamnya para
raja dan pangeran adalah impresario, para pendeta sebagai sutradara, para
petani sebagai aktor pendukung, penata panggung, dan penonton. Semua hal ini
bergerak menuju satu pusaran utama: upacara. Sebab upacara adalah napas dari
laju dan gerak negara, maka setiap kehidupan negara selalu bertujuan untuk
melayani kepentingan upacara. Seremonialisme menjadi suatu kebutuhan khusus
dari negara, yang alih-alih menggerakkan upacara untuk menopang negara, namun
negara justru menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk menopang
upacara.
Negara teater mengambil pijakan dasar dari
peristiwa penaklukan Majapahit atas Bali. Bali pada masa kegelapan adalah Bali
yang dipenuhi makhluk-makhluk liar tak beradab, dan penaklukan Majapahit
menjadi titik awal kebangkitan sejarah Bali. Penaklukan itu memutus barbarisme
kebinatangan dan membawa Bali ke arah renaisans yang penuh keagungan estetik
maupun kemewahan upacara. Negara teater secara umum dijelaskan melalui suatu
pola status menurun, yang pada gilirannya menciptakan sebuah akrobat tumpukan
piramida kerajaan dengan berbagai tingkat otonomi dan kekuasaan efektif. Tentu
saja yang paling tinggi adalah Klungkung yang dianggap keturunan langsung dari
Samprangan dan Gelgel, yang garis nasabnya menyambung ke Majapahit. Di bawahnya
adalah para bendoro, yang ditopang oleh para bendoro yang yang lebih rendah,
dan begitu seterusnya.
Negara teater secara langsung menjurkirbalikkan
apa yang dijelaskan dalam teori politik modern. Kekuasaan publik dibuka
sepenuhnya, bahkan diwujudkan sepenuhnya dalam berbagai upacara-upacara, di
mana dimensi simbolik memainkan peran yang signifikan ketimbang dimensi politik
itu sendiri. Dimensi-dimensi simbolik muncul dalam banyak hal, mulai dari pola
kekuasaan yang menurun, hak prerogratif yang disebar, kendali atas pengairan
yang diritualkan, kremasi, hingga pada berbagai upacara yang secara penuh mendapat
dukungan dari negara. Satu hal penting yang harus dicatat, bahwa pelaksanaan
berbagai upacara yang dilaksanakan oleh negara pada dasarnya mengejar satu hal:
status yang terwujud dalam kemegahan upacara. Status dalam hal ini adalah jarak
antara seseorang dengan kedewataan, sebagaimana tergambar melalui pola status
menurun.
Raja, dalam pandangan Geertz, adalah aktor
politik yang mendasarkan kekuasaan yang dia miliki melalui serangkaian upacara
dan pertunjukan teatrikal. Kultus atas dirinya lah yang menaikkannya menjadi
raja, karena melalui drama dan teater lah gambaran kedewataan atas raja
tersebut dimunculkan. Lebih jauh, aksi teatrikal barangkali tidak lah membawa
manfaat yang maksimal manakala Raja tersebut tidak mampu mengambil loyalitas
politis dari orang-orang di bawahnya. Upacara-upacara yang dilaksanakan oleh
Raja dengan mengerahkan setiap kemampuan yang dimilikinya boleh jadi merupakan
satu mekanisme utama untuk menyerap loyalitas dari para bendoro di bawahnya.
Apa yang digambarkan oleh Geertz mengenai negara
teater, dengan berbagai intrik, aliansi, pembunuhan, saling tukar-menukar
perempuan, rayuan, bahkan upacara itu sendiri adalah suatu gambaran mengenai
kehidupan di Bali, dan agaknya masih sangat terasa dalam konteks dunia modern.
Saya setuju sepenuhnya dengan Geertz, bahwa aksi teatrikal itu bukan lah ilusi
atau dusta, bukan pula sulap atau khayalan, mereka itu nyata sedemikian adanya.
Dalam buku ini Geertz membangun kerangka studi
sejarah sosial yang ekologis, etnografis, sosiologis dari bentuk perdaban asli
Indonesia. Buku tersebut ditulis oleh Geertz dengan menggunakan pendekatan
strukturis. Penggunaan model pendekatan strkturis nampak dalam buku ini dapat
dilihat dalam hal-hal berikut :
Ontology realisme yang menyatakan bahwa
masyarakat terbentuk dalam sebuah struktur yang longgar (lostly integrated).
Dalam struktur yang longgar akan menunjukkan bahwa perubahan terjadi bukan
disebabkan oleh struktur luar, akan tetapi disebabkan oleh struktur dari dalam
yaitu tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau
kolektifitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, intreraksi
berdasarkan pemikiran tertentu. Struktur yang longgar nampak sekali pada
struktur masyarakat Bali baik individu maupun kelompok yang masing-masing melakukan
peran dan tindakan kongkret. Peran dan tindakan ini akan nampak terutama pada
upcara-upacara keagamaan, yang masing-masing memerankan fungsinya. Seperti
bagaimana peran rakyat, para bangsawan, pendeta dan raja. Dari
tindakan-tindakan dan peran-peran tersebut maka akan terlihatlah apa arti dari
negara teater, sebagai sebuah pertunjukkan.
Geertz dengan pendekatan yang hermenuetik
berhasil menemukan struktur sosial pada masyarakat Bali. Struktur sosial ini
bersifat “emergence” akan nampak manakala dilakukan upacara ritual
keagamaan. Pada upacara kegamaan inilah peran-peran, aturan-aturan, pola
interaksi dan pemikiran mentalitie dapat ditemukan. Dengan pendeketan
hermenuetik yang simbolik Geertz dapat menemukan pemahaman arti sebuah upacara
keagamaan seperti yang ia contohkan dalam upacara ngaben. Dalam
pemikiran akal yang sehat, pembakaran mayat adalah suatu tindakan yang tidak
beradab. Akan tetapi, dengan memahami unsur mentalitie yang ada pada
masyarakat Bali, makna upacara ngaben ini dapat dipahami secara
simbolik.
Mentalitie dalam pengertian pendekatan
strukturis adalah bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri dan dunia
mereka dan bagaimana mereka mengekspresikan diri sendiri melalui agama,
ritus-ritus, busana, musik dan sebagainya. Upacara keagamaan merupakan bentuk
dari upacara negara. Upacara negara bukanlah suatu kultus negara. Upacara itu
merupakan suatu argumen, yang dinyatakan berulang-ulang kali dalam kosakata
ritual yang terus menerus, bahwa status duniawi memiliki dasar kosmik, bahwa hierarki
adalah asas yang mengatur semesta alam, dan bahwa pengaturan-pengaturan
kehidupan manusia hanyalah tiruan-tiruan yang mendekati lebih atau kurang dekat
kepada aturan-aturan kehidupan dewata.
Contoh yang lain adalah bagaimana cara memahami
seorang janda raja yang ditinggal mati oleh suaminya. Pada saat upacara ngaben
janda tersebut harus ikut membakar diri ketika suaminya dibakar. Pada saat
menjelang meloncat ke bakaran api, janda tersebut tidak sedikitpun menunjukkan
muka kesedihan, dia begitu riangnya bahkan dia merias diri. Tindakan janda
tersebut secara akal sehat dapat dikatakan pula suatu tindakan biadab. Akan
tetapi dengan memahami “mentalitie” masyarakat Bali, tindakan janda
tersebut merupakan suatu tindakan yang luhur. Dia menunjukkan kesetiaan yang
tinggi pada suami. Melompat pada api, menunjukkan dia akan menuju alam surga
yang penuh dengan kedamaian. Sehingga roman muka yang ditampilkan adalah
keceriaan. “Causal mechanism” dapat ditemukan dengan ditemukannya
struktur sosial.
Dalam “causal mechanism” akan
mempertanyakan mengapa orang Bali melakukan upacara keagamaan seperti upacara
ngaben tersebut. Maka jawabannya dapat ditemukan dengan mengetahui unsur “mentalitie”nya.
Unsur “agency” dalam karya Geertz dapat ditemukan yaitu pada peran
rakyat, pendeta, bangsawan, dan raja. Raja dalam sebuah upacara keagamaan
berperan sebagai sutradara dan sekaligus juga pemainnya. Begitu juga rakyat dan
kelompok sosial lainnya menjadi pemain dalam pertunjukkan upacara keagamaan.
Peran dan tindakan yang dimainkan oleh masing-masing, menunjukkan adanya
kekuatan dari masing-masing untuk mengubah struktur.
Dalam memahami realitas sosial Geertz menggunakan
pendekatan hermeneutik yang simbolik. Dalam hal ini Geertz memahami bahasa.
Sebagaimana telah dikemukakan, dalam pandangan Geertz bahasa melambangkan
struktur sosial. Ritus-ritus keagamaan mengandung ungkapan bahasa. Upacara
kegamaan merupakan simbol terbentuknya apa yang dinamakan negara. Dalam upacara
unsur-unsur simbolik banyak diungkap oleh Clifford Geertz. Sebagai contoh dalam
upacara ngaben, seperti. bentuk-bentuk peti mati yang digunakan
memiliki simbol strata sosial,. Pendeta dibakar dalam peti mati kerbau, bendoro
tinggi dalam singa bersayap, bendoro rendah dalam kijang, rakyat jelata dalam
binatang mitologis berkepala gajah berbuntut ikan.
Menurut Greetz Negara Bali adalah suatu
representasi dari bagaimana realitas itu ditata; sebuah sosok yang sangat besar
tempat di mana benda-benda seperti keris, bangunan-bangunan (seperti istana),
praktik-praktik seperti kremasi, gagasan-gagasan (seperti dalem), dan perbuatan
(seperti bunuh diri dinastik), mendapatkan kekuatan seperti yang mereka miliki
itu.
Akhirnya bisa kita pahami, bahwa negara di Bali
bukanlah suatu tirani, bukan pula suatu birokrasi hidrolik, dan bahkan bukan
pula suatu pemerintahan. Melainkan sebuah pertunjukkan (teater) yang
diorganisir. Suatu negara teater yang dipakai untuk mendaramatisir
obsesi-obsesi kelas yang berkuasa atas budaya Bali: ketimpangan sosial, dan
kebanggaan status. Dan negara teater ini paling jelas tergambar dalam diri
citra induk dari kehidupan politis, yaitu dalam diri raja.
Dari buku Negara Teater kita tahu bahwa di Bali
upacara adalah bagian hidup masyarakat yang sudah ada secara turun-temurun dan
terutama dipelihara oleh penguasa sebagai alat peraga untuk “menampakkan diri”.
Makin hebat upacara yang diselenggarakan, pada zaman kerajaan-kerajaan abad
ke-19 itu, kian memberi kesan bahwa penguasanya besar wibawanya. Cara
“menampakkan diri” si penguasa dengan menggunakan berbagai upacara tersebut,
sampai kini masih bisa ditemukan di mana pun. (Sri Fitri Ana, Antropologi,
Universitas Indonesia
No comments:
Post a Comment