Oleh: Fahrezi*
Dari semua persoalan agenda
dinamika perubahan perpolitikan Indonesia pasca jatuhnya Soeharto diatas.
Tulisan ini mengambil kasus yang dianalisis yakni mengenai partai politik setelah
jatuhnya orde baru. Partai politik merupakan salah satu institusi inti dari
pelaksanaan demokrasi modern. Dalam sistem demokrasi modern mengandaikan sebuah
sistem yang disebut keterwakilan (representasi),
baik keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti parlemen di indonesia
ini (DPR/DPRD), maupun dalam institusi kepartaian. Partai politik secara umum memiliki
fungsi yakni, sosialisasi politik, rekrutmen politik, fungsi artikulasi dan
fungsi agregasi politik.
Saya tidak akan membahas peta
ideologi partai politik seperti Herbeth Feith ketika melakukan kategorisasi
partai politik pada tahun 1995 adalah seperti nasionalisme radikal, tradisional
jawa, islam (tradisional dan modern), sosialisme demokrat dan komunisme. Saya
juga tidak membahas transformasi sistem partai di indonesia menurut Marcus
Mietzner dari sentrifugal ke arah sentripetal. Namun demikian, saya juga tidak
bisa terlepas begitu saja dari konsep yang digagas Feith dan Mietzner. Saya
melihat ada sesuatu yang menarik ketika melihat pertarungan partai politik
pasca jatuhnya Soeharto. Mengenai kekuasaan partai politik, terlebih dahulu kita
ketahui secara umum ada tiga jenis pengelolaan partai politik yakni sebagai
berikut:
1. Dominasi Partai Pemenang dengan adanya partai oposisi
2. Dominasi partai pemenang secara
mutlak
3. Koalisi antar partai.
Model dominasi kekuasaan oleh
partai pemenang dengan disertai oposisi adalah realitas kekuasaan politik yang
dijumpai ketika partai-partai yang kalah, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama dalam koalisi, mampu bersikap resisten dan kritis terhadap
dominasi kekuasaan politik yang dipegang oleh partai pemenang pemilihan umum.
Oposisi politik yang dilakukan oleh partai-partai kecil yang kalah pun seringkali
tidak seragam.
Model kedua dominasi mutlak atas
kekuasaan politik terjadi pada kondisi ketika satu partai politik memenangkan
pemilihan umum secara mutlak. Partai-partai lainnya, meskipun melakukan koalisi
antar partai tidak akan mampu menggoyahkan posisi dominan dari partai pemenang
tersebut. Situasi seperti ini bisa dijumpai pada rezi-rezim otoriter yang
kadangkala melakukan manipulasi atas pemilihan umum. Model ini bisa menjelaskan
Indonesia dimasa orde baru dimana Golkar sebagai yang direstui pemerintah
selalu meraup suara lebih dari 60 %.
Sedangkan model yang terakhir
adalah pengelolaan partai politik oleh partai-partai dengan cara koalisi
merupakan kolaborasi kepentingan antar partai ketika suara mayoritas dalam
legislatif tidak mampu dicapai oleh satu partai tertentu. Maka blok koalisi antar
partai pun mengayun kesana kemari seperti pendulum tergantung kepada
kepentingan politik yang hendak dinegosiasikan. Pendekatannya karena ada
kepentingan bersama, maka pemetaan koalisi antar politik tidak akan bisa
didekati dengan pemetaan ideologi masing-masing partai politik, tetapi harus
dianalisis berdasarkan kepentingan yang dimiliki setiap partai.
Berbicara kekuasaan partai
politik pasca jatuhnya Soeharto, model manakah yang layak untuk menjelaskannya?
Berkaca dengan kehidupan politik sekarang, karena tidak adanya suara mayoritas diparlemen
menyebabkan partai politik melakukan satu koalisi untuk membentuk suatu
kekuatan besar. Pada pemilu 1999 pun dapat kita lihat bagaimana suara PDI P dan
Golkar tidak berbeda jauh. Disamping itu, dapat kita saksikan kabinet pertama setelah
pemilu 1999, yang ketika itu sering disebut orang dengan kabinet pelangi karena
Gus Dur dan Megawati sesungguhnya merupakan proses akomodasi dan konsesional
politik terhadap partai-partai yang mempunyai jasa dalam naiknya Gus Dur dan
Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kita tentu mengetahui dengan
koalisi Poros Tengah yang dibangun Amien Rais ketika menaikkan Gus Dur dan
Poros Tengah juga yang berkoalisi dengan Golkar dan PDI P untuk menurunkan Gus
Dur dari tampuk kekuasaanya pada Sidang Istimewa MPR tahun 2001. Bagaimana
Partai Golkar, PDI P, PAN, PPP, PBB yang pada Sidang Umum MPR 1999 saling
ngotot untuk memenangkan tokoh-tokohnya ketika Sidang Istimewa MPR 2001
tersebut, mendongkel Gus Dur dari kursi kepresidenannya.
Pada Pemilihan Presiden pada
tahun 2004, drama partai politik dengan episode upaya koalisi untuk
persiapan pencalonan Presiden. Ada baiknya kita
telusuri perjalanan koalisi tersebut di dunia nyatanya, mulai dari putaran
pertama (Pilpres I), putaran kedua (Pilpres II) Selanjutnya dari hasil
peringkat suara terbanyak kesatu dan kedua, pada Pilpres I, keluar dua pasangan
capres/cawapres untuk maju pada Pilpres putaran kedua. Proses konsolidasi dalam
mendukung pasangan capres/cawapres SBY-JK melalui koalisi Partai Demokrat (PD),
Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia (PKPI) serta Partai Keadilan Sejahtera (PKS), memperlihatkan
penggabungan suara partai memberi pengaruh pada pilihan rakyat dalam Pilpres
II, sehingga bisa kita katakan bahwa konsolidasi tampak cukup berhasil dengan
format koalisi tersebut
Bergabungnya Partai Golkar di masa
Jusuf Kalla (Ketum Partai Golkar) makin memperkuat koalisi di parlemen untuk
mendukung kebijakan SBY-JK di eksekutif. Sehingga sangat jelas pelajaran dapat ditarik
oleh Partai Demokrat, bahwa koalisi parpol yang dibangunnya di tahun 2004
menjelang Pilpres telah memberikan sinergi sangat kuat bagi Partai Demokrat
hingga hasil yang dicapainya sekarang. Tidak hanya stabilitas
kepemimpinan nasional selama periode 2004-2009, tetapi juga secara kelembagaan Partai
Demokrat mengalami proses pelembagaan yang baik dan sangat berarti. Stabilitas ini tidak terlepas dari koalisi yang sesuai arti dan
prinsipnya merupakan penggabungan energi dalam dukungan atau dalam mengatasi
ancaman. Kalau prinsip atau sebabnya adalah untuk kepentingan konsolidasi politik,
maka ukuran-ukuran seperti parliamentary threshold (PT) akan menjadi sebuah indikator akibat dari proses
pengerucutan, akibat kesamaan-kesamaan platform partai politik sehingga
dapat mendorong terwujudnya multipartai sederhana.
Langkah ini berhasil membangun koalisi dengan dukungan
mayoritas absolut (sekitar 70 %) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden
Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat tidak
membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan
yang bersentuhan dengan kewenangan DPR.
Pada Pemilu 2009 Demokrat sebagai partai penguasa berhasil keluar sebagai
pemenang dengan memperoleh 20 % suara di parelemn. Koalisi jilid baru pun
dibangun lagi, Seketraiat Gabungan (Setgab) menjadi nama baru payung bagi para
partai koalisi SBY-Boediono
Selain adanya koalisi, wajah lain
partai politik indonesia juga mulai menyebut-nyebut Oposisi. Meskipun didalam
konstitusi negara kita tidak ada pernah disebut-sebut ada oposisi atau memberi
peluang kepada oposisi. Namun dapat dipahami oposisi bukanlah penantang,
oposisi bukan pula sekedar pihak yang menyatakan ketidaksetujuan, oposisi
buakan pula sebagai tukang teriak semata-mata, oposisi bukan juga kalangan yang
melawan secara membabi buta/frontal.
Berbicara oposisi, mengutip Eep
Saifulah Fatah dalam Membangun Oposisi:
Agenda-Agenda Perubahan politik Masa Depan (1999). Oposisi adalah setiap
ucapan atau perbuatan yang meluruskan kekeliriuan tetapi sambil menggarisbawahi
dan menyokong segala sesuatu yang sudah ada dijalan yang benar. Maka dalam
konteks ini, beroposisi politik berarti
melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa
juga benar. Ketika kekuasaan menjalani kekeliruan, oposisi berfungsi
mengabarkan kepada khalayak kekeliruan itu sambil membangun penentangan dan
perlawanan atasnya. Sebaliknya ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara
benar maka oposisi menggarisbawahinya sambil membangun kesadaran dan aksi
politik untuk meminta kelanjutan konsistensi dari praktik kebenaran itu. Dalam
politik kebenaran biasanya diukur dari proses dan produk. Pada tingkat proses,
kebenaran hanya diwujudkan keterlibatan sebanyak dan seluas mungkin perspektif dalam kebijakan. Pada tingkat
produk kebenaran bisa dilihat dari seberapa adil setiap rumusan dan
implementasi sebuah aturan atau kebijakan maka kebenaran dalam politik dapat
didefenisikan secara pragmatis sebagai kebijakan publik yang partisipatif dan
menghasilkan keadilan.
Di Indonesia Partai yang mencoba menjadi Oposisi dari pemerintah adalah PDI
Perjuangan, Partai Gerindra dan Parta Hanura. Ketiga partai ini mempertegas
posisinya sebagai oposisi dengan tidak masuk kabinet pemerintahan SBY-Boediono.
Meskipun suara koalisi oposisi perjuangan ini masih kalah jumlah dengan
koalisi-koalisi pemeintah berkuasa dibawah naungan Sekretariat Gabungan (setgab)
di parlemen. Akan tetapi oposisi yang digalang ketiga partai ini selalu setia
pada perjuangannya khususnya dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang
dirasakan merugikan masyarakat banyak khususnya masyrakat kecil.
* Mahasiswa S2 pascasarjana Politik dan Pemerintahan UGM
Daftar Pustaka
Aspinal, Edward. ..... Opposing Soeharto
Fatah, Eep Saifullah. 1999. Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Perubahan
Politik Masa Depan. Badung: PT Remaja Rosdakarya.
Hadiz, Vedi. R. 2004. Localising Power In Post-Authoritarian
Indonesia. California: Stanford University Press
Isra, Saldi. Simalakama
Koalisi Presidensial. (dimuat di
John Harriss, Dkk. 2004. Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru.
Jakarta: Demos
Koiruddin. 2004. Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Mietzner, Marcus. 2007.Party Financing in Post-Soeharto Indonesia:
Between State Subsidies and Political Corruptions. Jurnal Contemporory
Southeast Asia Vol. 29 No.2.
Mietzner, Marcus. 2008. Comparing Indonesia’s Party Systems of The
1950s and The Psot-Soeharto Era: From Centrifugal to Centripetal Inter-Party
Competition. Jurnal Contemporory Southeast Asia Vol. 39 No.3.
Robison, Richard, dan Hadiz, Vedi R.
2004. Reorganizing Power In Indonesia:
The Politics of Oligarchy In Age of Market. London: Routlodge Courzon.
Uhlin, Anders. .... Oposisi Berserak.
Urbaningrum, Anas. ... . Melamar
Demokrasi
No comments:
Post a Comment