1.
Pengantar
Rezim
soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun akhirnya tumbang juga. Hari itu kamis, 21 Mei 1998 gegap
gempita menyambut pengunduran diri Presiden Soeharto. Mundurnya Soeharto dari
kursi Presiden secara konstitusional akan digantikan oleh Wakil Presiden B.J.
Habibie. Akan tetapi dalam melanjutkan pemerintahan ditangan Habibie selama
masa transisi ternyata tersendat-sendat oleh goncangan politik lawan-lawannya.
Kaum reformis menganggap Habibie adalah status
quo yang merepresentasikan rezim Orde baru. Habibie sepertinya tidak
memiliki kemewahan politik seperti yang diperoleh Soeharto. Kekuasaanya sangat
rapuh, dan tidak jarang didalam menjalankan kekuasaannya ia seperti
memperlihatkan gejala ketakutan kaerna siapa saja tampaknya diberi konsesi.
Lawan-lawannya
memberikan tekanan yang tekanan kepada Habibie agar pemilihan Umum dipercepat.
Habibie mempercepat pelaksanaan pemilu, ini menandakan dia sudah sangat rapuh
dalam menghadapi hadangan kelompok reformis. Derajad legitimasi kekuasaan Habibie
pun banyak dipertanyakan. Kalangan sejak semula tidak menerima Habibie
sedangkan kalangan yang memperjuangkan reformasi malah diposisi berbeda. Mereka
yang sejak semula menolak Habibie menyatakan bahwa pemerintahan Habibie tidak
sah karena proses transisi dari Soeharto ke Habibie tidak konstitusional.
Kelompok ini menyatakan perlu memperjuangkan reformasi total.
Perseteruan
Habibie ini akan penulis sampaikan dalam beberapa hal yang menyebabkan
pemerintahannya begitu rapuh. Habibie seperti berdiri dalam kesendirian,
meskipun dia berhasil pada akhirnya mengkonsolidasikan ABRI. Akan tetapi, dalam
ABRI sendiri dia sudah semakin memperuncing permasalah faksionisme ABRI,
barisan Sakit hati dibawah Prabowo dan kawan-kawan secara tidak langsung juga berpengaruh
terhadap diriya. ABRI yang terkonsilidasipun terjadi kompromi semu dengan
Habibie.
Perseteruan
yang namapak jelas adalah konflik Habibie dengan kelompok perjuangan reformasi.
Goncangan-goncangan ini membuat Habibie makin kelimbungan menghadapinya. Dalam
mengahdapi para lawan-lawannya ini Habibie pun terkena batu sandungan,
ucapannya yang ceplas-ceplos dan tanpa terkendali malah semakin membuat dirinya
blunder. Kesalahannya ini dimanfaatkan oleh gerakan perlawanan terhadapnya.
Sidang Umumu MPR 1999 menjadi saksi bagaimana akhir perseteruan Habibie
ditengah kepungan politik terhadapnya. Laporan pertanggung jawabannya ditolak
oleh Sidang Umum MPR 1999. Habibie pun tidak dibolehkan untuk mencalonkan diri
menjadi calon presiden. Akhir yang tragis bagi ahli teknologi ini, karier
politiknya dipemerintahan pun terhenti.
2.
Konsep
Teoritis
masalah
contentious politics tentunya tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebut sebagai gerakan sosial, secara
definitif gerakan sosial berarti
sekelompok orang yang melakukan perlawanan terhadap apa yang kelompok
tersebut anggap sebagai
common enemy (musuh bersama) yang selanjutnya hal itu dikembangkan sebagai
basis identitas kelompok dengan tujuan bersama.
Dalam
menjalankan aksinya kelompok mengembangkan apa yang disebut sebagai repertoire,
istilah ini bukan merujuk pada istilah musik dalam paduan suara tetapi merujuk
pada sebuah metode aksi gerakan yang dilaksanankan berulang-ulang, terencana dan
terstruktur, atau biasa disebut sebagai tak-tik dalam tahapan gerakan. (Hanspieter Kriesi, 2007).
Bentuk repertoir sendiri beragam bentuknya antara lain dapat dilakukan dengan :
petisi, festival, demonstrasi, konfrontasi, pertemuan, kekrasan ringan, sampai
kekerasan berat.
Contetentious
sendiri mengfokuskan kajiannya pada gerakan sosial yang bersifat konfliktual,
sehingga dalam hal ini identifikasi relasi sebagai kawan atau lawan
menjadi penting. Tulisan ini berujtuan menggambarkan kepada pembaca bagaimana
contentious bekerja dalam suatu fenomena kasus, yakni perseteruan politik
dimasa transisi yang berujung pada penolakan pertanggungjawaban Presiden
Habibie di MPR. Penolakan Laporan pertanggungjawaban tersebut berimbas kepada
tidak dibolehkannya Habibie untuk mencalonkan diri menjadi Presiden lagi.
Dalam
Contentious politik terdapat protagonist, adalah kelompok yang memperjuangkan
sesuatu untuk perubahan (pembuatan kebijakan, otoritas publik, partai politik
dan kelompok kepentingan). Selain protagonist juga ada antagonist yakni
kelompok yang anti terhadap perubahan (otoritas publik, agen pemerintah yang
represif, gerakan anti terhadap perubahan. Selain kedua itu juga terdapat satu
kelompok lagi yang bernama bystanders, yaitu kelompok atau individu yang
terlibat langsung tapi ikut memperhatikan jalannya pertentangan (attentive
public).
Bagan 1.
Komponen Perseteruan Politik
3.
Perseteruan
Habibie dan Militer
3.1.
ABRI,
Habibie, dan Islam Pasca-Soeharto
Bulan-bulan
setelah kejatuhan Soeharto ditandai dengan adanya disorientsi kolektif. Setelah
32 tahun diawasi dengan ketat, makadari itu prose politik dapat diduga bahwa
para aktor politik berjuang untuk arti kekuasaan yang dianugrahkan pada posisi
sebagai presiden. Dia menggunakan kekuasaan ini dengan baik untuk membatasi
ambisi wiranto dan memperkokoh posisinya sendiri. Sebagai akibat dari Juli 1998
dan seterusnya pengaruh ABRI terhadap politik cenderung menurun. Alasan
terjadinya hal ini akan diuraikan sebagai berikut.
Habibie
sendiri mempunyai awal yang sulit. Ia tidak disenangi ABRI, ditolak oleh
sebgaian besar organisasi sosial politik, dan dikelilingi oleh komunitas
investor yang skeptis, dia mempunyai tugas mencarikan jalan keluar bagi
kehancuran ekonomi dan politik yang diwarisi Soeharto. Tetapi keyakinan Habibie
membuahkan hasil keadaan yang lebih baik dibulan juli, ketika dia menemukan
hak-hak institusionalnya sebagai
panglima tertinggi dan mampu mencapai saling pengertian dengan para pemimpin
ABRI. Sementara itu perkembangan politik
islam menjadi faktor yang penting dalam hubungan antara Habibie dan ABRI. ABRI
merasa tidak senang dengan keterbatasan pembentukan Partai-Partai Islam dan
berkesimpulan bahwa Golkarnya Habibie akan merupakan Patner ABRI yang dapat
dipercaya daripada salah satu partai besar islam, serta di sisi lain kelompok
partai sekuler reformis menuntut penghapusan Dwifungsi ABRI. Dari pandangan
Habibie sendiri, pembentukan lebih dari selusin partai islam telah mengikis
basis kekuatannya, sementra ia telah merencanakan untuk merekrut anggota
parlemen golongan islam untuk melegitimasi jabatan kepresidenannya. Karena hal
ini tampaknya merupakan upaya yang tidak membawa hasil, dia akhirnya berpaling
kepada kekuasaan institusionalnya untuk memperkuat kedudukannya.[1]
Di
minggu-minggu jabatan kepresidenan Habibie, semuanya tampak seolah-olah menentangnya.
Konsolidasi internal ABRI, keputusan kontroversial Habibie untuk meliberalisasi
sistem politik, respon yang kurang memadai dari masyarakat sipil, penolakan
secara terbuka dari lawan politiknya NU, Muhammadiyah dan PDI, serta
kegagalannya mengendalikan ekonomi, semuanya ini tampak seolah-olah melemahkan
Habibie. Dengan adanya fragmentasi
masyarakat sipil secara keseluruhan, memberikan kesempatan kepada ABRI untuk
mengambil alih pimpinan dan mencampakkan Habibie sesegera mungkin.
3.2.
Perseteruan
Habibie dan Militer (ABRI): Pencopotan Prabowo sebagai Pangkostrad
Sudah
banyak buku yang menulis tentang konflik segitiga Habibie, Wiranto dan Prabowo.
Menurut Pambudi (2002), Prabowo subianto adalah sosok yang paling menarik
perhatian dalam sejarah TNI pada dekade 1990-an. Meraih tiga bintang pada usia
46 tahun, ia memcahkan rekor jenderal termuda dalam TNI modern. Kariernya
sangat berkilau, nama prabowo mulai diperhitungkan sejak menjabat Komandan
Jenderal Kopassus (1996-1998) dan mempelopori pemekaran satuan baret merah ini.
Bulan januari 1998 dia dilantik menjadi panglima Kostrad (jabatan prestisius
dalam struktur militer).[2]
Namun
bulan Mei 1998, petaka menimpa diri sang Rising
Star. Tanggal 22 Mei 1998, sehari setelah Presiden Soeharto mengundurkan
diri, Letjen Prabowo Subianto dicopot dari jabatannya. Kemudian ia dimutasi
jadi Komandan Sekolah Staf Komando ABRI,
sebelum akhirnya pensiun dini dengan pangkat Letjen.[3]
Kejadian
ini merupakan awal dari tantangan presiden (Habibie) bagaimana menangani
maslaah Prabowo yang susah payah berupaya mempertahankan pengaruhnya. Prabowo
ditinggalkan oleh banyak teman militernya setelah kejatuhan kekuasaan Soeharto.
Probowo mulai memperkuat hubungannya dengan organisasi-organisasi Muslim. Tidak
lama sebelum pengunduran diri Soeharto, ia menemui wakil-wakil dari kelompok
Islam yang kurang begitu penting. Basis kekuatan Prabowo dari kalangan modernis
radikal kanan mulai berdisintegrasi.
Menyadari
akan keadaan bahwa kelompok muslim yang tersisa hanya akan mendukungnya jika ia
mempunyai peranan penting dilingkungan ABRI, prabowo mulai berjuang untuk
mengorganisir transisi pribadi yang lancar diera setelah kejatuhan soeharto.
Prabowo mencium gelegat bahwa Wiranto telah mempersiapkan pemecatannya
dibelakang layar, Prabowo muncul pada Rabu malam, 20 Mei, dirumah Sobagyo HS,
ditemani sekutu loyalnya, Mayjen Muchdi PR. Ia kembali tanpa hasil. Hari
berikutnya, Prabowo mencoba mendatangi Habibie, yang baru saja dikukuhkan
sebagai presdien menggantikan Soeharto. Sesampainya dirumah Habibie, Prabowo
segera menyampaikan sebuah daftar lengkap usulan reshuffle, dengan
mempromosikan dirinya sebagaiu KASAD dan Soebagyo sebagai PANGAB. Sedangkan
wiranto dibiarkan untuk jabatan –jabatan seremonial yaitu Menteri Pertahanan
dan keamanan. Pengawal Habibie menelepon Wiranto, yang segara datang kerumah
Habibie. Mendengar kedatangan atasannya, Prabowo meninggalkan rumah melalui
pintu belakang.[4]
Pada
jum’at pagi, 22 Mei, sebelum pengumuman anggota Kabinet, Wiranto membahas kejadian
pada hari sebelumnya dengan Habibie. Walaupun Wiranto jelas telah mendapatkan persetujuan
dari Soeharto untuk memberhentikannya, bahkan sebelum pengambilan sumpah
presiden. Habibie mengtakan kepada wiranto bahwa Pangkostrad harus diganti
sebelum matahari terbenam. Sekarang Habibie telah menyiapkan jalan untuk
menenggelamkan Prabowo, ia jatuh menjadi korban dari kecenderungan buruknya
sendiri. Dalam masalah pilihan pengganti Prabowo, pilihan Wiranto untuk
pengganti posisi Pangkostrad Mayor Jenderal Jhony Lumintang diganti dalam waktu 18 jam kemudian oleh
pilihan Habibie yakni Mayor Jenderal Djamari Chaniago. Tetapi insiden itu telah
meningkatkan ketegangan antara Habibie dan Wiranto yang mendominasi
kepemimpinan ABRI.[5]
Dalam
memoarnya yang paling fenomenal Detik-Detik
Yang Menentukan, Habibie memaparkan perseteruannya dengan Prabowo. Ketika
itu setelah makan siang, Presiden Habibie menemui Pangkostrad Letjen Prabowo
yang memasuki ruangan tanpa membawa senjata apapun, Habibie pun merasa puas.
Terjadi dialog antara Habibie dan Parbowo dalam bahas inggris.[6]
Pada
saat itu prabowo mengatakan kepada Habibie atas pencopotannya sebagai
pangkostrad adalah sebuah penghinaan bagi keluarganya sendiri amupun penghinaan
terhadap keluarga mertuanya yakni Presiden Soeharto. Terjadi dialog panjang
mengapa dia harus dipecat dari jabatan pangkostrad. Habibie mengatakan bahwa
parabowo bukan dipecat tetapi diganti dan dipindah tugaskan, karena Habibie
menganggap Prabowo telah menggerakakna pasukan liar Kostrad menuju Jakarta.
Prabowo membantah dnegan mengatakan dia bertujuan untuk mengamankan Presiden
dan keluarganya.[7]
Pencopotan
Prabowo makin meperuncing faksionisme dalam tubuh militer. Semakin jelas mana
ABRI merah dan mana ABRI hijau. Habibie dihadapkan kepada dua masalah baru.
Disatu sisi pencopotan prabowo dan rekan-rekannya telah menciptakan barisan
Sakit hati kepada Habibie. Disisi lain ABRI dibawah Wiranto sudah
terkonsolidasi. Menurut Marcus Mirtzner (2002), kekompakkan intern ABRI berubah
menjadi masalah utama bagi Habibie. Ketidaksenangan terhadap Habibie di
kalangan ABRI sudah diketahui dan mempunyai sebab-sebab. Kepemimpinannya di
ICMI dan intervensinya dalam masalah militer yang berkaitan dengan masalah
pembelian senjata selama masa pemerintahan Soeharto belum dapat diterima dengan
baik oleh kebanyakan perwira ABRI.
3.3. Kompromi Semu
antara Habibie dan ABRI
Walaupun
ada perasaan tidak senang dikalangan struktur internal ABRI tentang cara
Habibie dan jaringan perwira-perwira eksetrnalnya telah mempengaruhi proses
pengambilan keputusan Angkatan Bersenjata, tetapi persepsi untuk mempertahankan
kepentingan ABRI lebih diutamakan yang akan lebih mudah jika kepemimpinan ABRI
mendukung Habibie dan Golkar. Ada dua pertimbangan penting ketika itu dari
pimpinan-pimpinan ABRI. Pertama,
Habibie sebagai Panglima tertinggi dan berada dalam posisi yang mempengaruhi
kebijakan-kebijakan ABRI adalah lebih baik mendukung presiden dan kebebasan
intern yang lebih luas daripada mengambil resiko mengorbankan jabatan Panglima
Angkatan Bersenjata. Analisis kedua, dengan adanya kebebasan membentuk partai-partai
politik, maka telah bermunculan berbagai partai yang menuntut ditinggalkannya
Dwifungsi ABRI, para pemimpin ABRI mulai menyadari bahwa militer akan jauh
lebih baik mendukung Golkar, sebagai satu-satunya partai yang menyatkan
komitmennya terhadap peran sosial politik ABRI. Dalam hubungan ini, para
pimpinan ABRI mengetahui bahwa sebagian besar dari partai-partai Islam menolak
Habibie. Terlepas dari pemilih-pemilih islam yang semula direncanakan untuk
memobilisasinya, nampaknya sekarang Habibie harus bersekutu dengan ABRi
daripada tahun-tahun sebelumnya.
Pemecatan
Prabowo dari Angkatan Darat dengan hak pensiun penuh dipandang masyarakat
sebagai upaya setengah hati ABRI melihat masa lalunya. Walaupun para pembantu
wiranto yakin bahwa akan banyak lagi permasalahan yang akan datang, kesan yang
melekat pada ABRI sangat melemahkan yaitu tidak mampu membuat garis pemisah
yang jelas dengan sejarahnya dibawah pemerintahan rezim Soeharto. Menghadapi
tuntutan untuk penghapusan Dwifungsi Angkatan Darat dan penyelidikan
keterlibatan lembaga itu dengan Soeharto, Habibie, dan Golkar sepertinya akan
merupakan Patner yang dapat dipercaya dan sama-sama mempunyai kepentingan
dengan ABRI atau paling tidak mempertahankan sebagian dari keberhasilan politik
yang pernah dicapai selama Orde Baru.
4.
Perseteruan
Habibie Dengan Reformis
4.1.
Kaum
Reformis Menentang Habibie
Con
Husein Pontoh dalam Partai Politik dan Konsolidasi demokrasi ”pengalam Tiga
Pemerintahan Pasca reformasi. Dalam skenario dimasa Habibie, skenario politik
pun digelar seperti jurus-jurus politik dagang sapi. Munculnya kekuatan baru
untuk membendung laju gerakan Megawati dan Habibie. Gagasan Amien Rais[8] memelopori
pembentukan Poros tengah yang merupakan persekutuan dari beberapa partai dengan
latar belakang islam. Pembentukan Poros tengah ini, seperti dikemukan oleh
Amien Rais adalah untuk mengantisipasi bentrokan diantra pendukung Habibie dan
dan Megawati. Berikut akan saya paparkan tabel kekuatan koalisi dimasa transisi
presiden habibie ini, yakni sebagai berikut.
Tabel 1.
Kekuatan Koalisi Habibie, Gus Dur, dan
Megawati
Habibie
|
Gus
Dur
|
Megawati
|
|||
Golkar
|
120
|
PPP
|
59
|
PDI-P
|
154
|
TNI
|
38
|
PKB
|
51
|
PKB
|
6
|
PDI
|
2
|
PAN
|
35
|
PBTI
|
3
|
IPKI
|
1
|
PBB
|
3
|
PDKB
|
3
|
PDR
|
1
|
PK
|
6
|
PNI-M
|
1
|
PP
|
1
|
PKU
|
1
|
PNI F-M
|
1
|
|
|
PSII
|
1
|
|
|
|
|
PNU
|
1
|
|
|
Jumlah
|
163
|
|
169
|
|
168
|
Sumber:
Diolah dari Suharsono. Hlm. 92
Berikut
pernyataan tokoh Reformasi Amien Rais mengenai kekuatan baru untuk membendung
habibie yang dipandang oleh kaum reformis adalah bagian dari status quo (masih bagian Orde Baru):[9]
“saya
termasuk orang yang sepenuhnya mendukung gagasan kreatif ini demi menyelamatkan
masa depan kita semua. Oleh karena itu, hanya dengan poros tengah yang berjiwa
reformasi betul-betul mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa, maka
pertandingan antara kubu Megawati dan Habibie dapat dinetralisir...
Namun
demikian jangan dilupakan bahwa ‘poros tengah’ ini harus melakukan pendekatan
dengan pimpinan TNI agar terjadi mutual
understanding (saling pemahaman) yang betul-betul jujur dan terbuka. Oleh
karena pada instansi terakhir, apabila kita menganalisa perpolitikan bangsa
indoensia, maka faktor TNI jelas merupakan sebuah faktor yang tidak mungkin
dapat diabaikan...”
Amien
Rais harus bekerja mati-matian untuk membentuk dan mengukuhkan aliansi itu. Ada
tiga masalah krusial yang harus ditanganinya. Pertama, banyaka politisi dalam
PPP dan PBB secara cukup terbuka telah mendukung Habibie sebagai presiden dalam
satu masa jabatan lagi. Kedua, Gus Dur terlanjur menggerakkan PKB memasuki kubu
Megawati untuk mengantisipasi suatu aliansi PKB-PDI-P dibawah patronase Gus
Dur. Ketika Gus Dur lalu akan merubah
strategi itu, partai tersebut akan sulit diajak mengikuti pergeseran kebijakan ini.
Ketiga, kalau kedua masalah itu berhasil diatasi, aliansi itu masih jauh dari
kemungkinan mayoritas mutlak dalam Sidang Umum. Tanpa dukungan cukup besar dari
Golkar, tidak mungkin Poros Tengah menang.[10] Perlawanan
kelompok reformis ini nampak jelas terhadap Habibie, dimana Amien Rais dengan
berterus terang akan mendukung Abdurrahman Wahid. Sikap Amien Rais yang
merepresentasikan kaum refomis ini dengan gamblang menentang pencalonan Habibie
untuk menjadi presiden.
“saya
mendukung Gus Dur menjadi Presiden, karena saya kaget saat tokoh-tokoh Aceh
mengatakan jika Megawati jadi Presiden, semangat Aceh untuk merdeka seperti
dipercepat. Ditempat lain, bila Habibie jadi presiden akan terjadi pertumphan
darah. Artinya, Habibie maupun Megawati sebuah masalah. Gus Dur bisa
ditonjolkan sebagai tokoh alternatif. Selama ini, Gus Dur dikenal sebagai guru
bangsa, wali pembaharu, dan kalangan LSM pun bagus. Gus Dur tak negatif, reaksi
pasar internasional pun tentu netral, tak akan negatif.”[11]
Posisi Habibie dalam keadaan semakin genting. Meskipun
demikian, beberapa dari kelompok pro reformasi tadi dengan orang-orang seperti Amien
Rais, Abdurahman Wahid, dan Emil Salim dalam tanda kutip tetap menerima Habibie
sebagai pemimpin transisional sampai presiden dan wakil presiden baru dapat
dipilih setelah pemilihan umum dilaksanakan. Sedangkan kelompok reformis
bawahannya tetap menginginkan Habibie segera lengser.[12] Ketika
menjelang Sidang Umum MPR 1999 semua kelompok ini bersatu.
Disamping
tekanan kaum reformis tersebut, Habibie juga terpeleset oleh kata-katanya
sendiri. Habibie adalah tokoh yang kadang-kadang kontroversial, terlalu polos,
ceplas-ceplos, bahkan berujung dengan blunder seperti pembentukan ICMI yang
memcah konsentrasi bersama kaum intelektual. Kini habibie terpelset oleh idiom
yang disebutnya dengan “KOMAS”. Apa arti komas tersebut? Istilah ini merupakan
singkatan dari Komunisme, Marhaenisme, dan Sosialisme. Istilah tersebut keluar
dari benak Habibie, tatkala menerima Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah ketika
itu. Komas Menurut Habibie kala itu merupakan gerakan yang menghalalkan segala
cara untuk memcah belah bangsa. Hal tersebut Habibie kaitkan dengan kerusahan
yang terjadi di Indonesia pada saat itu.
Kali
ini yang kebakaran jenggot bukan kelompok Prabowo, melainkan kelompok-kelompok
politik yang berideologi Marhaenis dan Sosialis yang dibuatnya meradang.
Bagaimana tidak bila tiba-tiba mereka dicap secra politik setara dengan komunis?
Tidak hanya terbatas dalam kelompok itu, kalangan “islam tradisional” semacam
Gus Dur, juga ikut memberi reaksi keras. Belakangan pada waktu itu kelompok Gus
Dur amat akrab dengan kelompok nasionalis yang notabene dekat dengan ideologi Marhaenisme
yang tempo dulu diajarkan Bung Karno.[13]
Kontan
saja, sinyalemen Habibie soal KOMAS menimbulkan kegelisahan politik. Spekulasi
politik yang berkembang pun bermacam-macam. Spontanitas Habibie tersebut
bagaimanapun merupakan sasaran empuk bagi lawan politiknya untuk mengatakan
bahawa Habibie mengutuik seorang tokoh nasionalis tua (bodoh, picik, dan
dungu).[14]
Ini lah salah satu resiko dari Habibie untuk menghadapi Sidang Umum MPR 1999.
Habibie
dikenal sebagai sosok yang unik secara politik. Bukan karena ada sesuatu yang
aneh tetapi memang gaya politik Habibie menampilkan antitesis dari pendahulunya
presiden Soeharto yang tenang dan tanpa ekspresi. Kelincahan gaya Habibie
inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa sponitas amat mewarnai kenyataan
pernyataanya. Apalagi publik indonesia ketika itu sudah mengenal bahwa Habibie
adalah orang yang agak boros bicara dan agak kesulitan untuk mendengar.
Spontanitas
dan kepolosan Habibie, secara politik bisa dibaca sebagai sebuah kelemahan.
Terpelesetnya Habibie lewat ungkapannya yang spontan dan polos itu. Memang bisa
menjadi bumerang bagi citra dirinya sebagai seorang presiden yang membawahi
masyarakat yang plural dan untuk saaat ini peka politik. Meskipun dimasa
transisi posisi Habibie adalah orang nomor satu di Indonesia, namun belumlah
membuat posisinya aman. Banyak celah yang mampu menhantarkan Habibie dihantam
oleh lawan-lawannya satu persatu untuk melihat kelemahan Habibie. Spontanitas
Habibie acap kali justru menyediakan ruang tembak bagi para penentangnya dan
sekaligus telah mempersiapkan amunisi bagi lawan politiknya menuju Sidang Umum
MPR 1999.
Disamping
itu beban tanggung jawab Habibie untuk mengentaskan persoalan yang mendesak
dimasa transisi juga menjadi sasaran tembak lawan-lawannya. Habibie terkesan
banyak memberikan janji-janji politik. Dalam kasus aceh dijanjikannya kepada
masyarakat Aceh untuk segera mendapati penyelesasian secara terbuka, jujur dan
adil terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM semasa DOM. Ketidak jelasan yang sama
terjadi pada kasus Tri Sakti sampai kasus-kasus SARA yang terjadi pada waktu
itu. Persoalan ini makin menyudutkan Habibie dan memperkuat kekuatan
lawan-lawannya.
Selain
itu ada bebrapa hal menuurut Affan Gaffar (1999) mengapa Kepresidenan Habibie
sangat lemah. Pertama, legitimasi kekuasaanya
dipertanyaka oleh banyak orang. Sejak semula panggung politik nasional terutama
ketika Habibie membentuk Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Habibie
selalu mengundang kontroversi. Banyak orang yang senang terhadap terbentuknya
ICMI, akan tetapi banyak pula yang tidak senang dan tidak jarang
ketidaksenangan tersebut berhubungan erat dengan posisi dan personality Habibie
sebagai seorang yang dianggap dekat dengan Soeharto. Kelompok yang tidak senang
ini kalangan YKPK yang dipimpin Bambang Triantoro dan Matori Abdul Jalil dengan
sangat terbuka menolak kehadiran Habibie sebagai Wakil Presiden.[15]
Alasan
kedua adalah, munculnya persepsi yang
sangat kuat dikalangan masyarakat bahwa Habibie merupakan warisan Soeharto yang
perilaku dan kebijaksanaannya akan sama persis dengan Soeharto. Sentimen anti
Soeharto kenyataannya juga merambat kepada siapa saja yang secara langsung
mempunyai hubungan dengannya, dan Habibie termasuk didalamnya. Habibie
diberikan kepercayaan sepenuhnya untuk menjalankan program teknologi Soeharto
termasuk mengembangkan pesawat modern.[16]
Persoalan
ketiga adalah, Habibie tidak memiliki basis massa yang kuat untuk membangun
kekuasaanya. Habibie bukanlah politisi dalam arti sebenarnya. Dia adalah
seorang yang muncul dari atas dan dibesarkan oleh Soeharto lewat kepercayaan
untuk memegang jabatan menteri dan sejumlah posisi lainnya. Jadi, berbeda
sekali dengan politisi lain pada saat itu yang membangun basis politik dari
bawah.[17]
Alasan
terakhir sumber masalah dalam kepresidenan Habibie adalah timnya yang dianggap
tidak kuat dan sebagian besar masih merupakan warisan Soeharto. Ketika Presiden
Habibie membentuk kabinet yang disebutnya Kabinet Reformasi banyak sekali reaksi
negatif yang muncul, seperti banyak kalangan masyarakat yang menyayangkan bahwa
sejumlah menteri peninggalan Soeharto masih dipakai dan memegang peranan kuat
dalam kabinet Habibie.[18]
4.2.
Puncak
Perseteruan pada Sidang Umum MPR 1999: Pertanggungjawaban Habibie Ditolak
Ketegangan
menyelimuti ratusan orang yang berada di Gedung MPR dan jutaan orakyat
indonesia yang ketika itu menonton
televisi di seluruh penjuru tanah air, sejak awal perhitungan suara. Sebab
suara yang diumumkan saling susul-menyusul antara yang menolak dan yang
menerima. Bahkan beberapa kali suara yang menerima pidato pertanggungjawaban
sempat mengungguli jauh dari suara yang menolak.
Menurut informasi
beberapa sumber pada tahun 1999 setelah penutupan sidang paripuran itu,
ditolaknya pidato pertanggungjawaban presiden Habibie tersebut membuat Partai
Golkar tambah berantakan. Semua anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) diminta
langsung masuk ke ruang fraksi untuk mengadakan rapat evaluasi guna menentukan
terus atau ditariknya pencalonannya Habibie sebagai presiden. Dari sejumlah informasi,
kubu Habibie yang dimotori Marwah Daud Ibrahim tetap ngotot untuk tetap
mencalonkan Habibie. Namun kubu Marzuki menolaknya dengan alasan etis dan
moral. "Karena pertanggungjawabannya ditolak, secara etis dan moral,
Habibie tak layak jadi calon presiden mendatang," kata salah seorang
fungsionaris FPG. Sebelum Rapat FPG dimulai, Ketua
Umum Golkar Akbar Tanjung mengatakan bahwa rapat FPG itu untuk membahas soal
capres Golkar. Ia mengatakan Ada dua hal yang akan dibahas yaitu tetap terus
mencapresankan Habibie dan kemungkinan penyerahan penuh kepada setiap anggota
MPR dari FPG untuk memilih presiden. Menurut Akbar tanjung artinya setiap
anggota memilih sesuai dengan hati nuraninya sendiri-sendiri.
Sementara itu,
presiden Habibie konon dini hari itu juga akan memberikan keterangan pers
mengenai pengunduran dirinya sebagai calon presiden. Namun hingga berita ini
diturunkan belum bisa dikonfirmasi kebenarannya. Sejumlah pengamat menuturkan,
kuatnya suara menerima pidato pertanggungjawaban presiden Habibie tersebut
merupakan konfigurasi sebenarnya yang bisa menggambarkan kondisi MPR saat ini.
"Itu bisa dibaca, pertama kekuatan pro status quo masih kuat. Kedua, suara
Golkar masih utuh dan ketiga kekuatan uang sangat berperan," kata sumber
SiaR. Sumber ini juga menyebutkan, bahwa jika Habibe tetap saja maju ke pencalonan,
maka nasib Megawati dan Gus Dur akan terancam. Karena suara 355 yang menolak
itu adalah inti dari dukungan terhadap Mega dan Gus Dur. Sedangkan dukungan ke
Habibie masih dari Golkar dan partai poros tengah dengan jumlah sekitar 322
suara tersebut.
Dengan hasil akhir penghitungan suara voting tanggapan anggota MPR RI terhadap Pidato Pertanggungjawaban Presiden Habibie memupus harapannya untuk maju menjadi presiden lagi. Dari jumlah 690 orang anggota MPR yang hadir, 355 suara menyatakan menolak, 322 suara menyatakan menerima, 9 suara abstain dan 4 suara dinyatakan tidak sah.[19]
Selesainya penghitungan suara dengan kemenangan kubu penolak pertanggungjawaban tersebut disambut pekik histeris sejumlah anggota MPR terutama dari PDI Perjuangan, wartawan dan masyarakat yang hadir di balkon. Mereka memekikkan Allahu Akbar beberapa kali. Bahkan beberapa pimpinan PDIP terlihat menangis terharu. Kemenangan penolakan pidato Habibie ini juga disambut dengan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh anggota MPR maupun hadirin yang hadir di dalam ruangan Nusantara itu. Berakhir sudah perjuangan Habibie atas kepungan lawan-lawan politiknya.
[1] Marcus Mietzner. “Dari Soeharto Ke Habibie: ABRI dan Kekuatan Politik
Islam Pada Masa Transisi”, dalam Geoff Forrester (ed.). “Indonesia Pasca Soeharto”, Tajidu Press, Yogyakarta, 2002, hlm 124
[2] Pambudi, “Kontroversi ‘Kudeta’
Prabowo”, Meddia Pressindo, Tangerang, 2002, hlm. 53
[3] Ibid.
[4] Geoof Forrester. “catatan Harian Jakarta, Mei 1998”, dalam Geoff
Forrester dan R.J. May (ed.). “Jatuhnya
Soeharto”, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jakarta, 1999, hlm. 48
[5] Mietzner, Op.Cit.
[6] Lihat B.J. Habibie, “Detik-Detik
Yang Menentukan: Jalan Panjang Indoensia Menuju Demokrasi, THC Mandiri,
Jakarta, 2006, hlm. 102
[7] Habibibie, Ibid, hlm. 95
[8] Amien Rais, “Posros Tengah :
Fraksi Reformasi”, hlm. 186
[9] Ibid , hlm. 146
[10] Lihat Marcus Mietzner, Sidang
Umum MPR 1999: Wahid , Megawati dan pergulatan perebutan Kursi Presiden”. Dalam
Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed.). “Indonesia
Ditengah Transisi Aspek-Aspek Sosial
Reformasi Dan Krisis”. LKIS, Yogyakarta, 2000, hlm. 49.
[11] Lihat Amien Rais” Gus Dur
Presiden, Saya Tak Jadi Oposisi,” dalam Gouzali Saydam. “Dari Balik Suara Ke Masa Depan Indonesia Potret Konflik Politik Pasca
Pemilu dan Nasib Reformasi”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.204.
[12] Lihat Dewi Fortuna Anwar, “Jabatan Presiden
Habibie”, dalam Geoff Forrester (ed.),”Indonesia Pasca Soeharto”, Tajidu Press, Jakarta, 2002, hlm. 47.
[13] Anas Urbaningrum. “Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia”,
Republika, Jakarta, 2004, hlm 94.
[14] Ibid.
[15] Afan Gaffar. “Politik Indonesia: Transisi Menuju
Demokrasi”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 309
[16] Afan Gaffar, Ibid, hlm 310.
[17] Afan Gaffar, Ibid, hlm 313.
[18] Afan Gaffar, Ibid, hlm. 314.
[19] Situs Sekretariat Negara.,
diakses 24 Mei 2012