-SEORANG DIPLOMAT SEJATI
Sutan Syahrir adalah tokoh utama dalam perundingan-perundingan RI dan Belanda dalam rangka menentukan siapa yang berdaulat atas Indonesia. Pada tanggal 14 November 1945 ia dijadikan Perdana Menteri (PM) oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang sejak itu menjalankan fungsinya sebagai DPR. Kedudukan PM yang menyalahi UUD 1945 itu sengaja diciptakan untuk memungkinkan RI mengadakan perundingan dengan Belanda yang secara tegas menolak Presiden Soekarno sebagai mitra perundingan.
Jabatan PM dijabat oleh Syahrir selama dua tahun (November 1945-Juni 1947). Dengan dukungan penuh dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta, Syahrir melaksanakan perundinan dengan Belanda untuk mencapai kedaulatan Indonesia. Lawan-lawan politik utama dari Syahrir adalah partai-partai yang bergabung dalam “Persatuan Perjuangan” dari Tan Malaka yang menolak perundingan dan menginginkan perang.
Mitra perundingan Sutan Syahrir adalah Dr. H.J. van Mook yang menjabat sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda sejak Oktober 1945-November 1948. Dalam perundingan-perundingan itu, terutama yang dilaksanakan secara rahasia pada bulan Maret 1946, kedua tokoh itu menelorkan prinsip-prinsip dasar untuk penyelesaian konflik Indonesia-Belanda. Inilah yang kemudian dikenal sebagai “Konsep Batavia”. Isinya yang utama antara lain adalah perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia dari negara kolonial Hindia Belanda menjadi Negara serikat (federal). “Konsep Batavia” itu ternyata bertahan sekalipun Syahrir dan kemudian van Mook harus melepaskan jabatan mereka. Konsep itu direalisasikan pada akhir 1949 melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).
Apa yang menyebabkan Sutan Syahrir memilih diplomasi dan menolak perang sebagai cara untuk menyelesaikan konflik? Pemikiran politik Syahrir terutama bias kit abaca dalam tulisannya yang berjudul Perjuangan Kita yang diterbitkan pada November 1945. Pertama-tama ideologi sosial-demokrat, yang dianutnya sejak ia belajar di negeri Belanda, yang secara prinsipil menolak perang. Sebab itu selama pendudukan Jepang, Syahrir menolak bekerjasama dengan tentara Jepang dan melancarkan “gerakan bawah tanah”.
Dalam situasi itu ia sudah pasti pernah mendengar mengenai “Atlantic Charter” yang dikeluarkan oleh para pemimpin Sekutu bulan Agustus 1941. Kesepakatan itu antara lain menetapkan bahwa dalam masa pasca Perang Dunia tatanan dunia akan diubah total. Pertama-tama penjajahan tidak mendapat tempat lagi (kolonialisme harus dihapus). Penegakan HAM serta perdamaian dunia akan diusahakan melalui suatu organisasi internasional.
Pemikiran Sekutu yang dikembangkan terus selama masa perang itu bisa diketahui oleh Syahrir melalui cara mendengarkan siaran-siaran radio secara rahasia. Sebab itu sudah sejak awal ia telah yakin bahwa cepat atau lambat Belanda akan meninggalkan Indonesia, dengan demikian cara diplomasi atau “cara damai untuk mencapai perdamaian” diyakininya sebagai cara yang akan lebih berhasil ketimbang perang.
Gagasan mencapai kedaulatan secara damai adalah suatu sikap moral yang sangat terpuji. Ini diwujudkannya sendiri dalam bentuk Persetujuan Linggajati pada bulan November 1946, yang merupakan hasil perundingannya dengan delegasi pemerintah Belanda yang dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Schermerhorn.
Linggajati juga merupakan pancaran sikap tegas Sutan Syahrir dalam membela kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Dalam rancangan persetujuan itu yang disodorkan oleh Belanda pada pasal 2 tercantum bahwa “Negara Indonesia Serikat adalah negara yang merdeka”. Syahrir dengan sangat tegas menolak kalimat itu dan menuntut agar diganti dengan kalimat “Negara Indonesia Serikat adalah negara yang berdaulat”. Ketika delegasi Belanda berhadapan dengan Soekarno-Hatta di Kuningan pada tanggal 13 November, mereka terpaksa menerima tuntutan Syahrir itu, sehingga serta-merta Presiden Soekarno menyatakan menerima sepenuhnya persetujuan itu.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa pemikiran Sutan Syahrir yang masih relevan hingga kini adalah penyelesaian konflik dengan cara damai. Bahwa ia menyetujui federalisme kemungkinan besar hanyalah suatu strategi, mengingat dukungan pada diplomasi Syahrir. Tetapi apakah Syahrir menganggap federalisme sebagai taktik perjuangan atau akhir perjuangan masih perlu diteliti lebih lanjut
Pemikiran Politik Sutan Sjahrir
Berangkat dari gagasan itu, Sutan Sjahrir sangat menitikberatkan pada upaya-upaya melakukan pendidikan untuk rakyat. Kolonialisme bisa bertahan lama di bumi pertiwi, karena kemiskinan dan kebodohan membuatnya semakin terperdaya. Sepulangnya dari studi di Belanda tahun 1931, Sutan Sjahrir langsung bergulat dengan dunia pergerakan, dan bersama Bung Hatta mendirikan PNI Baru (Pendidikan Nasional Indonesia).
Sutan Sjahrir memimpin PNI Baru organisasi yang menghimpun kaum pergerakan nasional. PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusioner kemerdekaan nasional. Ketakutan akan potensi revolusioner PNI Baru, medio Februari 1934 pemerintah kolonial Belanda menangkap dan memenjarakan Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul Papua selama setahun. Mereka lalu dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.
Pandangan Politik
Sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari suasana pasca Perang Dunia (PD) II. Perang dingin antara blok timur yang dimotori Uni Sovyet-Rusia dan blok barat Amerika Serikat dengan sekutunya telah mempengaruhi dinamika politik nasional. Sutan Sjahrir dan para pemuda yang tergabung dalam kelompok Parapatan 10, sejak semula melakukan gerakan bawah tanah non-kooperatif terhadap Jepang yang saat itu menduduki wilayah Hindia Belanda. Sementara jalan yang ditempuh Soekarno-Hatta bekerjasama dengan Jepang dalam meraih kemerdekaan nasional.
Pada titik ini, timbul perbedaan pandangan mensikapi momentum proklamasi kemerdekaan. Pandangan kelompok Sjahrir, kekalahan Jepang kubu fasis oleh sekutu berdampak bahwa kemerdekaan hasil pemberian Jepang akan dianggap pemerintahan Indonesia sebagai kolaborator fasisme Jepang. Dan, sangat memalukan jika Soekarno-Hatta sebagai pemimpin pemerintahan yang baru merdeka kemudian diadili oleh Mahkamah Internasional sesuai keputusan konfrensi Postdam. Oleh karenanya, muncul gerakan kaum muda mendesak proklamasi untuk menunjukan kemerdekaan nasional bukan janji yang diberikan Jepang, tetapi hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia.
Pada fase selanjutnya, dengan kekuatan diplomasi Sutan Sjahrir membawa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sutan Sjahrir menyadari sebuah negara baru merdeka, dan berada ditengah arus dua kutub politik yang sedang bersaing. Hanya kecerdasan dan kecerdikan membaca situasi politik, membuat posisi Indonesia tidak mudah terperangkap dalam pusaran konflik perang dingin, dan ancaman kembalinya kolonialisme Belanda.
Didepan sidang Dewan Kemanan PBB tanggal 14 Agustus 1947 Sutan Sjahrir menyampaikan pandangan politik. Ia mengupas Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki budaya dan peradaban lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, pada forum itu secara cerdas Bung Sjahrir juga mematahkan argumen-argumen yang disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Melalui jalan politik diplomasi ini, akhirnya Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah negara berdaulat dan bermartabat di pentas internasional.
Pikiran Sjahrir
Jalan Politik yang diambil Sutan Sjahrir, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh jiwa patriotik dan pemikirannya yang menjunjung tinggi persamaan derajat setiap manusia. Sutan Sjahrir dengan tegas menolak segala bentuk totalitarianisme. Baik totalitarianisme kanan dalam bentuk fasisme, maupun komunisme sebagai wujud totalitarianisme kiri. Keduanya mengekang kebebasan perorangan yang membuat manusia tidak lebih dari budak kekuasaan semata.
Menurut Sutan Sjahrir nasionalime harus berpijak pada demokrasi, karena nasionalisme bisa tergelincir pada fasisme jika bersekutu dengan feodalisme lokal. Nasionalisme juga bisa menjadi chauvinistik dalam hubungan internasional, jika tidak dilandasi pemikiran humanistik (kemanusiaan). Hal ini yang dialami oleh Hitller dan Musolini yang kemudian menimbulkan Perang Dunia kedua.
Penegasan Sutan Sjahrir akan jalan demokrasi dan penentangan terhadap segala bentuk totalitarianisme, ia mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sosialisme yang dimaksudnya adalah sosialisme berdasarkan kerakyatan yang mengakui kemerdekaan setiap orang untuk berpikir dan bertindak sesuai keyakinannya. Sutan Sjahrir menekankan secara jelas tujuan dan strategi kaum sosialis berbeda dengan kaum komunis. Diktator Proletar sebagai sebuah tahapan revolusi bagi kaum komunis, buat kaum sosialis merupakan bentuk kediktatoran yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
PSI lahir pada 12 Februari 1948 diYogyakarta, setelah perbedaan ideologi dan politik dalam partai sosialis (PS) pecah dan tidak bisa ditautkan lagi. Sikap resmi PSI menekankan bahwa sejak Maret 1947 di dalam Dewan Partai PS muncul perbedaan faham yang prinsipil tentang sikap pendirian, pandangan (visi) serta corak dan cara melanjutkan perjuangan untuk menyelamatkan dan menyelesaikan revolusi nasional.Perbedaan faham tersebut menyangkut: (a) Pembubaran Kabinet Syahrir dan kelanjutan sikap partai. (b) Sikap dan cara pimpinan partai diwaktu perang, bahkan pimpinan organisatoris yang tegas sama sekali tidak ada.(c) Tentang siaran penjelasan keadaan politik dari sayap kiri tanggal 22 januari 1948, yang ditanda tangani juga oleh anggota dewan partai dan berakibat memecah persatuan dan kekuatan nasional. (d) Tentang sikap pendirian terhadap presidentiil terhadap kabinet Hatta.Syahrir dan pengikutnya menganggap sikap oposisi terhadap kabinet Hatta dalam situasi politik RI yang sulit lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya, justru karena Hatta adalah eksponen yang berpengaruh di Sumatera sangat diperlukan pada saat itu.
Perbedaan prinsipil tersebut, menurut Soe Hok Gie membuat golongan komunis dalam sayap kiri tersebut mulai memaki-maki Syahrir dan mengorbankannya untuk kepentingan ‘wajah’ revolusioner kaum kiri umumnya dan kaum komunis khususnya.PS sendiri merupakan partai hasil fusi antara Partai Rakyat Sosialis (Paras) pimpinan Sutan Syahrir dengan partai Sosialis Indonesia (Parsi) pimpinan Amir Syarifudin, pada 20 November 1945. Atas dukungan inilah Sutan Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri RI dari 15 November 1945 – 3 Juli 1947. Diantara keduanya waktu itu tidak ada perbedaan yang prinsipil, karena memiliki kesamaan rencana untuk menyusun barisan politik dalam mencapai cita-cita ideologis mereka. Namun Soe Hok Gie mencatat bahwa persatuan diantara kedua tokoh ini lebih didasarkan oleh sikap anti fasis dan kepentingan bersama untuk menghadapi Tan Malaka dengan persatuan perjuangan10 sehingga, setelah bahaya itu hilang persatuan yang ada juga akan meretak, tulis Soe Hok Gie.Ikatan yang lebih bersifat taktis ini akhirnya memang tidak bertahan lama, praktis hanya berlangsung dari 20 November 1945 – 12 Februari 1948.
Sutan Sjahrir yang menjadi ketua PS (Amir Syarifudin menjadi wakil ketua PS) beserta Johan Syahrusah, Wijono, Soemartojo, Soebadio, Sitorus, Soepeno, Tedjasukmana, Tobing, Soejono, Murad, Wangsawijada, Itji, Soehadi, Nurullah, Rochan, Kusnaeni, Kartamuhari, Soegondo, Soenarno, Sukanda. Rusni dan Sastra keluar dari PS dan mendirikan PSI, menolak komunisme, PKI, Uni Soviet dan mendukung kabinet Hatta.Sedangkan Amir Syarifudin dan pengikutnya seperti Setiadjit, Tan Ling Djie, Abdul Majid bergabung dengan PKI dan membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang menerapkan kebijakan kelas dalam bentuk class warfare, wujudnya revolusi menentang Republik Indonesia, dikenal sebagai pemberontakan madiun 1948, dipimpin Musso11.Sebelum pemberontakan terjadi, pada 29 Agustus 1948, Amir Syarifudin mengumumkan bahwa ia sebenarnya seorang komunis12. Amir Syarifudin dan Musso menjemput ajalnya akibat pemberontakan ini.
Sutan Sjahrir secara tidak langsung mengungkapkan perpecahan tersebut dalam tulisannya tentang Masa Depan Sosialisme Kerakjatan. Sutan Sjahrir mengatakan, “Mengapa tidak diadakan satu partai sosialis saja di negeri kita ini, yang menyebarkan cita-cita dan pengertian sosialis diantara rakyat dan bangsa kita. Persoalannya tidak semudah dan segampang itu. Cita-cita dan pengertian yang kita, dari pihak partai sosialis Indonesia, ajarkan dan sebarkan ternyata berlainan dengan apa yang disebarkan oleh golongan lain yang menamakan dirinya sosialis. Hal ini terutama berlaku untuk golongan yang tergabung dalam partai komunis Indonesia. Sosialisme yang tiap hari mereka nyatakan adalah lain dari apa yang kita kehendaki dan perjuangkan. Misalnya, bagi mereka penindasan terhadap pemberontakan dan perjuangan kemerdekaan bangsa Hongaria yang dilakukan kaum yang berkuasa di Uni Soviet, adalah Sosialisme sedangkan bagi kita hal itu adalah perbuatan kaum imperialis dan merupakan penindasan kemerdekaan dan adalah perbuatan dan semangat yang tidak diharapkan oleh sosialisme seperti yang kita anut, pemerintahan di negeri (Uni Soviet) yang disebutkan oleh kaum PKI sebagai kaum yang menuju kepada Sosialisme, sebenarnya adalah pemerintahan yang menindas kehidupan rakyat banyak, tani dan buruh malahan kerap kali lebih daripada kaum kapitalis dijaman sekarang. Mereka yang berkuasa dinegara yang dipuja sebagai contoh kaum PKI. Tidak mengindahkan martabat kemanusiaan bahkan tiap hari menginjak-injaknya dengan cara yang kejam dan keji, kita dari Partai Sosialis Indonesia menegaskan bahwa apa yang dinamakan Stalinisme itu bukanlah sosialisme, kita sebagai kaum sosialis yang menghendaki kemerdekaan manusia dari segala macam penindasan dan penghisapan serta bertugas pula menentang dan melawan ajaran palsu yang menamakan dirinya ajaran sosialis”.
Melawan ajaran dan pengaruh komunisme di dalam negeri yang bekiblat kepada negara Uni Soviet nampaknya merupakan penjelasan yang lebih prinsipil, selain penjelasan resmi PSI. Dari perpecahan ditubuh PS, yang memungkinkan PSI berdiri sendiri. Pecahnya fusi partai Sutan Sjahrir dan Amir Syarifudin ini menurut Robert J. Myers sebagaimana dijelaskan secara panjang lebar oleh Sutan Sjahrir karena, the increased communist-orientation of the socialist party, which let to a growing emphasis on class warfare and alignment with the Soviet Union.Program Nasional PSI dan Politik Negara Kesejahteraan.
Partai Sosialis Indonesia, akhirnya bersama Partai Masyumi dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno dengan alasan yang tidak cukup jelas. Partai berbasis kader ini, walaupun dalam Pemilu 1955 mengalami kekalahan, tetapi berhasil mencetak kader-kader tangguh. Sutan Sjahrir berhasil membuka jalan demokrasi, dan memberi pelajaran etika berpolitik yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia.
Andai saja Sutan Sjahrir seorang yang haus kekuasaan, maka dengan segala potensi ia bisa meraih dan mempertahankannya. Namun, Bung Sjahrir meyakini politik tidak semata diartikan tindakan merebut dan mempertahankan kekuasaan an-sich. Politik bukan machtsvorming dan machtsaanwending, tapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya, karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai. Jadi, politik harus dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji dengan kriteria moral.
Sutan Sjahrir-pun seorang anak bangsa yang telah memberi arti banyak bagi tegaknya republik, diakhir hayatnya lebih memilih jalan sunyi. Mohamad Hatta pernah berkata, Ia (Sjahrir) berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan untuk Indonesia merdeka, ikut membina Indonesia merdeka, tapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka, ia lebih banyak menderita di dalam Republik Indonesia yang ia cintai, daripada di dalam Hindia Belanda kolonial yang ditentangnya.
No comments:
Post a Comment