1. Pengantar
Pemilu 2009 telah menghasilkan pertarungan
beberapa partai besar dan kecil yang berkontestasi. Tulisan ingin mengungkap
tabir hasil perolehan pemilu 2009 yang berpengaruh besar terhadap kekuatan
parlemen yang memberi efek terhadap kabinet . Tulisan ini berangkat dari hasil
kajian Brian Blau mengenai the effective
number of parties at four scales yang mencoba menghitung jumlah partai
hasil pemilu dengan cara membandingkan pendekatan Giovani Sartori yang
difokuskan kepada kompetisi yang berkaitan dengan suara dan kursi, menggunakan
metode kualitatif. Selain itu blau mencoba membadingkan juga dengan pendekatan
Laksoo dan Taagepera dengan metode
kuantitatif. Brian Brau sendiri mencoba menawarkan formula untuk menghitung
jumlah kursi yang efektif. Dari empat indikator (suara, kursi, kekuatan
legislative, dan kekuatan Kabinet) yang ditawarkan Brian Blau, tulisan ini
berfokus pada kekuatan legislative dan kabinet dengan melihat hasil pemilu 2009
di Indonesia.
2. Kerangka Teori
Jumlah partai ' adalah konsep dasarnya
diperdebatkan. Kami tidak sepakat tentang bagaimana cara menghitung partai
sebagian karena kita tidak setuju tentang bagaimana partai berat ukuran yang
berbeda atau relevansi. Hal ini pada gilirannya sering mencerminkan perbedaan
pendapat tentang apa yang 'penting untuk pemahaman tentang dinamika penting
dari sistem kepartaian' (Webb, 2000: 4-5) - yang mungkin mencerminkan perbedaan
pendapat sendiri tentang apa dinamika penting dalam sistem kepartaian ini.
Singkatnya, pilihan partai dan menghitung
metode bukan hanya masalah teknis akan tetapi memiliki fondasi yang lebih dalam
mengenai hal tersebut. Karena berbagai jenis penelitian yang mungkin perlu
berbeda partai dan metode penghitungan, kita harus menghindari menyiratkan
bahwa ada satu jawaban.
Pada bagian ini, Blau membahas kekuatan dan
kelemahan dari dua pendekatan utama untuk menghitung partai, yang kadang-kadang
disebut pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif sederhana
menggunakan aturan penghitungan biner: partai dikatakan relevan atau tidak
relevan. Pendekatan paling terkenal kualitatif oleh Giovanni Sartori yang
memberikan reaksi terutama untuk Duverger (1964) tetapi tidak sistematis kepada
pihak menghitung, Sartori dalam menghitung jumlah partai relevan jika memiliki
potensi koalisi atau memiliki potensi intimidasi secara politik (blackmail). Potensi koalisi berarti
bahwa, dari waktu ke waktu yang mengatur partai atau dapat menentukan. Blackmail berarti partai yang potensial
mempengaruhi taktik partai dengan potensi koalisi.
Yang terpenting, Sartori tidak hanya menghitung
partai: ia berfokus pada sistem kepartaian pemerintah , pada interaksi partai
saat mereka bersaing untuk pemerintah (Sartori, 1976: 119-25, 186-92, 300-4,
1994: 33-40). Tapi pendekatannya memiliki masalah epistemologis dan konseptual.
Masalah epistemologis ini akan sulit
untuk mengetahui mana partai memiliki potensi mengintimidasi secara politik ( blackmail ) (misalnya Norris, 1997:
66-7). Salah satu solusinya adalah dengan mengabaikan potensi blackmail (Katz,
1997: 145). Masalah yang lebih serius adalah konseptual - pendekatan dikotomis
Sartori itu. Masing-masing pihak dinilai sebagai baik penting atau tidak
penting, tanpa status di antara, dan pesta dengan potensi blackmail dinilai
sebagai sama pentingnya ke partai di pemerintahan.
Sartori dengan benar menyatakan bahwa
pemerintahan setiap mengandung 'partai relevan yang membuat tidak ada
perbedaan'. Tapi dia menyimpulkan bahwa kita hanya harus menghitung
'pihak-pihak terkait, pihak yang menentukan sifat dari sistem partai (Sartori,
1994: 33, penekanan dihapus, 1976: 121-2). Kesimpulan ini tidak valid,
menyiratkan bahwa semua pihak yang terkait harus juga relevan. Namun, bahkan
pihak-pihak terkait mungkin berbeda dalam kepentingan mereka (Lijphart, 1999:
66; Siaroff, 2003: 268). Benar, persaingan pemerintah dipengaruhi oleh apakah
ada tiga, empat atau lima pihak terkait. Tetapi ukuran relatif dari pihak juga
penting, seperti di Jerman setelah pemilu 2005.
Entah bagaimana, kemudian kita harus menanggung beratnya
pihak-pihak terkait daripada memperlakukan mereka semua sama. Salah satu
jawabannya adalah untuk memasukkan 'partai setengah' (Blondel, 1968: 184-6,
Epstein, 1964: 49). Perbaikan yang paling
ketat dari ide Alan Siaroff (2003: 268-73). Meskipun Siaroff melakukan klasifikasi,
Namun, terkadang dia beralih ke pendekatan Sartori. Siaroff awalnya menyatakan
bahwa Inggris telah bergeser dari sistem dua partai ke sistem dua setengah
partai , tetapi kemudian menambahkan bahwa partai setengah (Demokrat Liberal
Party) telah hampir tidak terpengaruh pemerintah, sehingga Inggris 'terus
berfungsi secara efektif sebagai partai dua Sistem '(Siaroff, 2003: 272-3, 276,
286). Pendekatan Sartori secara jelas dikemukakan oleh Siaroff, namun masih keraguan
mengenai apakah ini akhirnya akan berfokus
pada kursi dan / atau pemerintah. Masalah kedua, pada kenyataannya: kita
memahami Inggris baik dengan menggambarkannya sebagai suatu sistem dua partai
dan dua setengah partai di kursi dan dua sistem partai di pemerintahan.
Blau sekarang beralih ke pendekatan kuantitatif.
Sedangkan pendekatan kualitatif jumlah pihak sebagai 0 atau 1 (atau setengah),
pendekatan kuantitatif menghitung masing-masing Partai pada skala kontinu
antara 0 dan 1. Indeks paling terkenal kuantitatif dikemukakan oleh Laakso dan Taagepera
(1979) mengenai ukuran jumlah efektif partai '(atau ENP). ENP indeks banyak digunakan saat ini: yang efektif
jumlah partai di : (NV) dan jumlah efektif partai di kursi parlemen (NS):
Oleh karena itu tulisan ini mencoba
menganalisa dan menghitung jumlah efektif partai di kursi parlemen di Negara
indonesia dengan melihat hasil pemilu 2009. Adapun rumus yang di tawarkan oleh
blau kami gunakan sebagai alat perhitungan .
Adapun catatan dan keterangan cara
menghitung Jumlah kursi di parlemen (NS). NS adalah jumlah kursi, untuk
mendapatkan kursi tahap pertama jumlah kursi partai dibagi jumlah kursi
keseluruhan dalam parlemen.
Sumber
: Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nasional.
Dari data tersebut diatas, kami mengambil
salah satu partai sebagai contoh penjelasan dari proses perhitungan perolehan
kursi (NS).
Partai Demokrat : untuk mendapatkan hasil persentase
kursi diperoleh dari jumlah kursi partai (150 kursi ) dibagi jumlah keseluruhan
kursi parlemen (560 kursi) dikali (100%) Maka hasilnya ialah 26,78571 % kursi.
Untuk mencari hasil jumlah kursi partai (Si) diperoleh dari hasil prosentase kursi dibagi
100 jadi menghasilkan 0,2678571 yang kemudian dikuadratkan sehingga hasilnya
menjadi 0,0717474.
Catatan. Perhitungan ini berlaku pada seluruh partai yang menduduki kursi di
parlemen.
Untuk memperoleh Jumlah kursi tulisan
mengacu para rumus matematik yang ditawarkan oleh Laakso dan Taagepera seperti di bawah ini
:
NS ( efektif jumlah kursi diparlemen)
Si2 ( hasil prosentase kursi partai)
3. Kekuatan legislative dan kekuatan cabinet
pasca pemilu 2009 di Indonesia
3.1 Kekuatan legislative Indonesia hasil pemilu
2009
Hasil
pemilu 2009 meloloskan Sembilan partai
politik yang ke parlemen , antara lain Partai democrat 20,85%, Partai Golka
14,45%, PDI Perjuangan 14,03%, PKS 7,88%, PAN 6,01%, PPP 5,32,%, PKB 4,94%, Gerindra 4,46%, dan Hanura 3,77%. [1]Tidak
adanya partai yang menjadi suara mayoritas di parleman pasca pemilu 2009,
mengharuskan partai-partai yang berada di DPR untuk membangun koalisi.
Tabel ENP 2009 Nasional Berbasis Kursi
No
|
Nama Partai
|
Jumlah kursi
|
% kursi
|
(Si)2
|
1.
|
Demokrat
|
150
|
26.78571
|
0.071747
|
2.
|
Golkar
|
107
|
19.10714
|
0.036508
|
3.
|
PDIP
|
95
|
16.96429
|
0.028779
|
4.
|
PKS
|
57
|
10.17857
|
0.01036
|
5.
|
PAN
|
43
|
7.678571
|
0.005896
|
6.
|
PPP
|
37
|
6.607143
|
0.004365
|
7.
|
PKB
|
27
|
4.821429
|
0.002325
|
8.
|
Gerindra
|
26
|
4.642857
|
0.002156
|
9.
|
Hanura
|
18
|
3.214286
|
0.001033
|
Sumber : data olahan
Terjadinya
koalisi ini adalah implikasi penerapan sistem multipartai, dimana tidak adanya
partai yang menang mutlak lebih dari setengah jumlah kursi di DPR. Hal ini
memungkinkan tingkat pelembagaan kepartaian rendah dan kekuatan politik
diparlemen cenderung terfragmentasi. Fragmentasi kekuatan politik sangat sulit
dihindari dalam sistem multipartai yang memiliki tingkat kemajemukan partai
cukup tinggi. Sebab, kekuatan politik di parlemen cenderung terdistribusi
secara merata. Sehingga akan sulit memperoleh kekuatan mayoritas dalam
parlemen. Konsekuensinya, partai harus melakukan koalisi di parlemen. Karena
tipologi partai Indonesia rata-rata memiliki ideologi yang lemah dan bersifat
pragmatis, pada akhirnya ikatan koalisi yang dibangun bersifat rapuh.[2]
Koalisi
parpol sulit dihindari dalam kondisi multipartai yang kekuatan politiknya
cenderung terfragmentasi. Kemunculan koalisi partai politik dalam kondisi
multipartai bukanlah sebuah penyimpangan sistem presidensial, tetapi justru
sebuah bentuk kompromi untuk stabilitas dan keseimbangan berjalannya sistem
politik. Bahkan, koalisi partai politik merupakan sebuah pilihan politik
rasional, meskipun pilihan ini melahirkan beberapa konsekuensi politik.
Ikatan
koalisi partai politik yang rapuh merupakan salah satu corak pelembagaan
multipartai di Indonesia. struktur multipartai ini merupakan struktur politik
dalam kajian ini. sistem presidensial sebagai struktur konstitusi negara yang
dipraktikan di atas fondasi struktur politik multipartai akan memengaruhi
kekuasaan presiden, baik secara institusi maupun personalitas presiden. Karena
itu, penerapan sistem presidensial harus berkompromi ketika diterapkan dalam
situasi multipartai yang pragmatis.[3]
Kemunculan
koalisi merupakan konsekuensi politik yang sulit untuk dihindari dalam sistem
multipartai Indonesia. koalisi merupakan karakteristik turunan dari fragmentasi
kekuatan politik di parlemen. Karakteristik kemunculan koalisi antarpartai
politik ini juga telah menjadi karakteristik pelembagaan sistem multipartai di
Indonesia. tetapi, koalisi yang terbentuk sangat kropos dan rapuh.
3.2
Kekuatan
kabinet di Indonesia
Kemunculan
koalisi diparlemen berimbas juga pada koalisi di Kabinet pemerintahan.
Setiap kebijakan strategis yang
dikeluarkan oleh pemerintah mengalami dilemma, kesulitan yang dihadapi oleh
pemerintah dalam sistem multipartai membuat pemerintah mutlak mengandalkan
koalisi untuk dapat meraih suara mayoritas untuk melancarkan kebijakan politik
yang dibuat presiden. Kekuatan mayoritas diparlemen dibutuhkan untuk menjamin
stabilitas pemerintahan presiden terpilih agar mendapatkan dukungan mayoritas
diparlemen.
Hadirnya
koalisi adalah konsekuensi yang sulit dihindari dalam sistem multi partai di
Indonesia. Koalisi yang ada merupakan karakteristik turunan dari fragmentasi
politik diparlemen dan selanjutnya karakteristik munculnya koalisi antar partai
politik menjadi karakteristik pelembagaan partai politik di Indonesia.
Idealnya,
untuk menjaga stabilitas pemerintahan dalam struktutr politik presidensial,
partai presiden haruslah partai mayoritas, yaitu partai yang didukung mayoritas
diparlemen. Kekuatan mayoritas ini diperlukan dalam parlemen, untuk menjamin
stabilitas pemerintahan presiden terpilih agar presiden mudah mendapatkan
dukungan secara politik dari parlamen guna melancarkan kebijakan politik yang
dibuat presiden. Namun, suara mayoritas ini sulit diperoleh oleh partai
presiden dalam situasi multipartai, kecuali mengandalkan koalisi partai politik
diparlemen dan kabinet agar dapat meraih suara mayoritas untuk menjamin
stabilitas pemerintahan. [4]
Dengan
berkaca pada hasil pemilu 2009, partai presiden (partai Demokrat) cuma
mendapatkan 20,85 % atau tidak lebih dari ¼ komposisi parlemen menyebabkan SBY
sebagai presiden hasil Pilpres 2009 kurang pede untuk menciptakan pemerintahan.
imbas dari ini menyebabkan SBY harus mengakomodir para pendukungnya seperti
koalisi di parlemen. SBY harus mengalokasikan kursi menterinya untuk beberapa
partai pendukungnya. Dengan cara seperti ini lah, pemerintahan SBY dapat
dipertahankan untuk menghadang laju oposisi yang dibangun oleh lawan-lawan
politiknya.
Dalam
pembentukan kabinet, koalisi menjadi kebutuhan tak terhindarkan.
Konsekuensinya, manajemen pemerintahan dan efekvitas kebijakan kerap kali akan
terhambat oleh kepentingan-kepentingan untuk memelihara koalisi. Padahal
tradisi dalam sistem presidensial, pengangkatan anggota kabinet merupakan hak
perogratif presiden sepenuhnya tanpa mepertimbangkan partai politik atau
kekuatan politik diluar presiden. Namun, konsekuensi dari multipartai
melahirkan cabinet koalisi menuntut presiden mengakomodir kepentingan partai
politik. Konsekuensinya, pengangkatan menteri lebih didasarkan atas latar
belakang basis partai politikya ketimbang kompetensi dan profesionalitas.[5]
Pada
akhirnya, koalisi yang dibangun menciptakan pemerintahan yang riuh.
Pemerintahan yang riuh disebabkan oleh rapuhnya koalisi. Terdapat beberapa
catatan atas proses terbentuknya koalisi partai penguasa. Koalisi dimulai
dengan diskusi untuk pembagian kursi menteri bagi para anggota koalisi.
Beberapa contoh yang membenarkan argumentasi ini adalah pada saat-saat
menjelang deklerasi SBY-Boediono. Pertama, Detik-detik akhir kepastian PKS
merapat ke SBY menjadi salah satu bukti fenomena ini.
Kedua,
kolisi dibangun diatas peluang elektabilitas. Amien Rais ketika mendorong PAN
berkoalisi dengan SBY salah satunya karena melihat peluang menang SBY tidak
terbendung. Diskusi tentang platform koalisi nihil. Terakhir, dalam proses
koalisi terdapat partai yang sekadar numpang menang. Golkar menjadi partai yang
tanpa bekerja tetapi dibayar mahal oleh koalisi. Meskipun tidak proporsional
dengan perolehan suaranya, Golkar mendapatkan 3 jabatan menteri. Jumlah yang
tidak sedikit untuk partai yang tidak mengeluarkan keringat setetespun bagi
terpilihnya pasangan SBY-Boediono. Mendapat jatahnya Partai Golkar menimbulkan
resistensi yang tinggi dalam koalisi. ini disebabkan oleh karena partai Golkar
adalah lawan koalisi SBY-Boediono dalam pemilihan presiden 2009. Reistensi ini
terlihat dari rencana mau keluarnya PKS dari koalisi ketika itu.
Dalam
kondisi-kondisi seperti ini, bangunan koalisi yang besar akan mengalami persoalan
serius dalam membangun solidaritas, ini disebabkan seringnya partai
anggota-anggota koalisi menendang (mengancam) dari dalam. Masing-masing partai
akan berfikir kepentingannya sendiri-sendiri. Konstestasi partai-intra koalisi
ini akan semakin jela erutama sekali ketika pemerintahan sudah berlangsung
setengah jalan. Pada saat itu pakta integritas, komitmen dan berbagai hal yang
dimaksud untuk mengikat solidaritas koalisi menjadi tidak berfungsi. Pemerintah
yang berkuasa yakni SBY harus ekstra bekerja keras meredam gejolak anggota
koalisi.
Dari
semua pemaparan diatas mengenai hasil pemilu 2009 yang berimbas kepada kekuatan
Kabinet, dapat ditarik kesimpulan yakni bahwasanya koalisi yang dibangun adalah
koalisi jangka pendek.
Daftar Pustaka
Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel: studi tentang sistem kepartaian di Indonesia
era reformasi, Jakarta : KPG (keputusan popular Gramedia):
Pamungkas, Sigit. 2010. Krisis
demokrasi electoral, Yogyakarta: institute for democracy and welfarism.
Pamungkas, Sigit. 2010. Pemilu
Perilaku Pemilih dan Kepartaian. Yogyakarta: institute for democracy and
welfarism.
Yuda, Hanta. 2010. Presidensialisme
Setengah Hati, Jakarta : PT Gramedia
Ramses, La Bakry (Ed). 2009. Politik dan Pemerintahan Indonesia.
Jakarta: MIPI
KPU.go.id
325980 abdullah achmad madani
326237 fahrezi
325994 aenal fuad adam
[1] Diolah dari KPU.go.id
[2] Sigit
Pamungkas, Krisis demokrasi electoral,
institute for democracy and welfarism, Yogyakarta, 2010, hlm 59.
[3] Kuskridho Ambardi, mengungkap politik kartel: studi tentang sistem kepartaian di Indonesia
era reformasi, KPG (keputusan popular Gramedia), Jakarta, 2009.
[4] Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati, PT Gramedia, Jakarta, 2010, hlm. 39
[5] Ibid, 53
No comments:
Post a Comment