Oleh: Fahrezi, S.IP*
1. Pengantar
Pasca
jatuhnya rezim Orde Baru, Euphoria melanda segenap negeri untuk menata kembali
sistem kenegaraan. Tidak terkecuali dengan menata sistem pemerintahan daerah
yang selama orde baru menggunakan corak yang sentralistis serta menghegemoni
dan mengintervensi daerah. Undang-Undang pemerintahan daerah pertama yang dibentuk
pasca Orde Baru adalah UU No. 22 Tahun 1999 dengan memberikan otonomi yang
seluas-luasnya kepada daerah. Ternyata otonomi seperti mati muda karena UU No.
22 Tahun 1999 harus digantikan oleh UU No. 32 tahun 2004. Sehingga
Undang-Undang tersebut hanya mampu bertahan sekitar lima tahun.
Namun
dalam perjalanan UU No. 32 Tahun 2004 ternyata juga sama dengan Undang-undang
sebelumnya. Sepertinya kedua undang-undang pemerintahan daerah ini mengelami
banyak kedala dalam pelaksanaan implementasi. Kebijakan yang seharusnya dapat
mensejahterakan rakyat, akan tetapi terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan dalam kurun masa 14 tahun pasca orde baru ini.
Tulisan
ini ingin melihat perjalanan pemerintahan daerah 14 tahun pasca orde baru. Saya
akan memaparkan kendala-kendala atau hambatan-hamabatan yang terjadi selama
pelaksanaan pemerintahan daerah khususnya pasca Orde Baru. Awal-awal saya akan
memetakan faktor-faktor yang menjadi hambatan selama pelaksanaan UU No. 22
tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Selanjutnya akan dilanjutkan dengan
hambatan-hambatan dalam pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004. Pada bagian akhir
saya akan memaparkan tentang harapan masa depan politik desentralisasi dan
Pemerintahan Daerah di Indonesi. Pertanyaan yang ingin dijawab tulisan ini
adalah:
v Bagaimana
hambatan yang terjadi selama pelaksanaan pemerintahan daerah Pasca Orde Baru?
v Bagaimana
masa depan politik desentralisasi dan pemerintahan daerah di Indonesia?
2. Konsep Teoritis
Otonomi
daerah (Desentralisasi) bisa diartikan dalam berbagai cara bergantung pada
kepentingan-kepentingan dan perspektif masing-masing pengamat (Conyer 1984:
187). Beberapa mendefinisikan otonomi daerah dari perspektif ekonomis,
sementara yang lain menginterpretasikan otonomi daerah dari sebuah perspektif
politik (Cohen dan Peterson 1999:
20-23).
Rondinelli
dan Chema (1983) mendefenisikan otonomi daerah sebagai berikut: otonomi daerah
adalah proses pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan atau
pemerintahan dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi kepada
unit-unit pelaksana daerah, kepada organisasi semi otonom dan parastatal
ataupun kepada pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah).
Sedangkan
menurut Mas’ud Said otonomi daerah dipahami sebagai sebuah proses devolusi
dalam sektor publik dimana terjadi pengalihan wewenang dari pemerintah pusat
kepada pemerintah Provinsi dan
kabupaten/kota (2005: 6). Gustav dan Stewart (1994) mengidentifikasi tiga makna
berbeda dari “otonomi daerah yang dapat digunakan untuk menganalisis kasus
politik desentralisasi dan pemerintahan daerah di Indonesai. Ketiga makna
tersebut ialah: Dekonsentrasi (deconcentration) dimana pemerintah pusat
menempatkan para pegawainya dilevel pemerintah daerah. Kedua, pendelegasian (delegation) dimana pemerintah pusat
secara bersyarat medelegasikan kekuasaannya kepada pemerintah daerah namun
dengan tetap memiliki kesanggupan untuk mengambil kekuasaan itu kembali dan
secara keseluruhan tetap memiliki dominasi kekuasaan atas pemerintah daerah.
Dan yang ketiga ialah devolusi (devolution) dimana pemerintah pusat secara
aktual menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah.
Menurut
Hulme dan Turner (1997), desentralisasi tidak mengharuskan semua kekuasaan
pusat didelegasikan ke daerah, khususnya untuk kewenangan-kewenangan yang
bersifat strategis. Disamping itu pemerintah pusat juga memiliki kewenangan
untuk melakukan tindakan tegas terhadap unit-unit pemerintahan loka yang tidak
menunjukkan kinerja yang baik.
Banyak pendapat
para ahli tentang perlunya desentralisasi. Salah satunya apa yang dikemukakan
oleh The Liang Gie (1968), menurutnya desentralisasi sangat diperlukan karena
alasan-alasan berikut ini:
a.
Dilihat dari sudut pandang politik
sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah
penumpukkan kekuasaan pada satu pihak saja yang akhirnya dapat menimbulkan
tirani.
b.
Dalam bidang politik, penyelenggaraan
desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat
ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak
demokrasi.
c.
Dari sudut pandang teknis-organisatoris
pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah
semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap
lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan
kepada daerah. Hal-hal yang tepat ditangan pusat tetap diurus oleh pemerintah
pusat.
d.
Dari sudut pandang kultural,
desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhna ditumpahkan
kepada kekhususan suatu dareah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan
ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
e.
Dari sudut pandang kepentingan
pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah dapat lebih
banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.
Sedangkan Larry Diamond
(2003) menyebutkan ada lima cara bagaimana desentralisasi bekerja; pertama, desentralisasi membantu
mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan demokrasi
dikalanganwarga. Kedua,
desentralisasi meningkatkan akuntabilitas dan responsifitas terhadap berbagai
kepentingan dan urusan lokal. Ketiga,
desentralisasi memberikan semacam saluran akses tambahan pada kekuasaan bagi
kelompok-kelompok secara historis terpinggirkan sehingga akan meningkatkan
keterwakilan demokrasi. Keempat,
desentralisasi meningkatkan check and balances terhadap kekuasaan di pusat. Kelima, desentralisasi memberi peluang
bagi partai-partai dan faksi-faksi oposisi dipusat untuk mendpatkan sejumlah
kekuasaan poltik.
Indonesia sudah
beberapa kali menerapkan Undang-undang tentang pemerintahan daerah. Pasang
surut desentralisasi di Indonesia sudah silih berganti. Pasca jatuhnya orde
baru yang sentralistis muncul lah konsep baru untuk menata kemabali
pemerintahan daerah di Indonesia. Tujuan otonomi daerah baru di Indonesia pasca
Orde Baru menurut M. Ryass Rasyid (2002) setidaknya ada lima dasar alasan
sebagai berikut:
a.
Adanya persepsi bahwa otonomi daerah
memberdayakan pemerintahan daerah dan masyarakat daerah. Landasan bagi
penerapan otonomi daerah ialah bahwa UUD 1945 menegaskan kebutuhan untuk
mewujudkan pengelolaan pemerintahan yang mandiri dan otonom.
b.
Adanya keyakinan bahwa otonomi daerah akan membantu menciptakan
tercapainya prinsip pemerintahan yang demokratis dengan menjamin partisipasi
kesetaraan dan keadilan yang lebih besar.
c.
Otonomi daerah akan bisa meningkatkan
peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga legislatif dalam
pemerintahan daerah dan memberdayakan mereka sebagai lembaga pengawas demi
terciptanya pengelolaan pemerintah daerah yang lebih demokratis.
d.
Otonomi daerah diterapkan untuk
mengantisipasi meningkatnya tantangan dan tututan baik dari dalam negeri maupun
di luar negeri.
e.
Otonomi daerah diterapkan sebagai sebuah
upaya untuk melestarikan bentuk pemerintahan daerah yang bersifat tradisional,
termasuk pemerintahan ditingkat desa.
3. Hambatan Dalam Pelaksanaan UU No 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Pasca jatuhnya orde
baru, pemerintah harus menata kembali hubungan pusat-daerah yang selama ini
terkesan sentralistik. Gagasan itu dituangkan dalam sebuah undang-undang untuk
memberikan otonomi yang seluas-luasnya dengan tujuan merspon tuntutan-tuntutan
daerah yang ketika pasca jatuhnya Soeharto begitu menguat. Undang-undang
tentang pemerintahan daerah pertama yang lahir adalah UU No. 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah. Namun dalam pelaksanaan undang-undang tersebut
juga terjadi hambatan-hambatan dalam menciptakan pemerintahan daerah yang baik
bagi masyarakat. Berikut ini akan saya paparkan beberapa hambatan-hambatan yang
terjadi dalam kurun waktu 1999-2004 dengan melihat beberapa
indikator-indikator.
3.1. Pemilihan Kepala Daerah
Merujuk kepada UU No.
22 tahun 1999 khususnya pasal 34, pasal 35, pasal 36, pasal 37, pasal 38, pasal
39, dan pasal 40 yang berisikan tahapan dan proses pemilihan kepala daerah,
telah memperlihatkan begitu besar dan leluasanya peranan DPRD. Proses demokrasi
yang hanya sebatas dalam DPRD untuk pemilihan Kepala Daerah ini yang dalam
prakteknya banyak menimbulkan masalah, antara lain berlangsungnya praktek money politics yang melibatkan para
calon dengan anggota DPRD. Selain itu, paraktek demokrasi yang terbatas
tersebut dirasakan tidak memadai lagi, karean memarginalkan partisipasi rakyat
secara langsung. Dalam kenyataan, mekanisme pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD
tidak banyak menghasilkan atau memunculkan kepala daerah yang berkualitas dan
memiliki kapabilitas memadai.
Kekuasaan yang
berlebihan terhadap DPRD, membuat DPRD bisa memberhentikan kepala daerah. Pada
pasal 39 UU No. 22 Tahun 1999 diuraikan tentang alasan-alasan pemberhentian
kepala daerah. Pasal pemberhentian karena alasan ”mengalami krisis kepercayaan
publik yang luas...” telah menimbulkan beberapa persoalan krusial yang berujung
kepada pemberhentian kepala daerah oleh DPRD secara sepihak. Oleh dikarenakan
tidak adanya pengertian dan kriteria yang jelas dari istilah tersebut, maka
menghasilkan interpretasi-interpretasi subyektif DPRD. Kepala daerah kerap kali
merasa dirugikan akibat persoalan ini.
Selain itu, tidak
bolehnya kepala daerah dicalonkan kembali untuk masa jabatan berikutnya apabila
pertanggungjawabannya ditolak oleh DPRD. Pasal ini dalam dimensi pelaksanaanya
menimbulkan problema-problema, yang utama adalah tidak adanya batasan.,
kriteria, dan standar yang jelas tentang bagaimana dan seperti apa laporan
pertanggungjawaban kepala daerah yang harus ditolak. Akibat tidak adanya
perincian akan hal itu momentum laporan pertanggungjawaban menjadi semacam
sandera bagi kepala daerah. Dan paling sering ujung-ujungnya adalah menggunakan money politic.
3.2. Penataan Kelembagaan Daerah
Persoalan yang terkait
dengan masalah atau urusan kelembagaan daerah menjadi persoalan dalam penerapan
UU No. 22 tahun 1999. Setidaknya terdapat beberapa point permasalahan
kelembagaan yang mengemuka yang terkait dengan ketentuan-ketentuan dan
aktualisasinya dilapangan. Pertama, sebagai implikasi dari digabungkannya
Kantor Wilayah (Kanwil) dan Dinas Propinsi, serta Kantor Departemen (Kandep) ke
dalam Dinas Daerah maka kemudian di daerah-daerah muncul kecenderungan kuat
terjadinya pemekaran struktur organisasi Pemerintah Daerah. Ini disebabkan juga
ekses penggabungan yang menyebabkan peningkatan jumlah pegawai daerah, sehingga
kemudian jalan yang mudah tempuh adalah dengan melakukan pemekaran atau
pengembangan struktur organisasi pemerintah daerah dan pembuatan struktur yang
gemuk.
Kedua, hubungan
kelembagaan antara eksekutif dan legislatif yang harusnya bersifat kemitraan
sejajr, ternyata dalam prakteknya seperti sulit untuk dicapai. Pada era
sebelumnya yakni UU No. 5 Tahun 1974 dimana eksekutif memiliki kekuasaan yang powerfull, ternyata tidak menciptakan
keseimbangan atau kesejajaran kemitraan antara legislatif dan eksekutif,
sebaliknya pendulum kekuasaan di daerah yang powerfull beralih secara total kepihak legislatif dan menjadikan
eksekutif sangat lemah.
Ketiga, masalah dalam
UU No 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa sebagai daerah otonom antara propinsi
dengan kabupaten/kota yang sekarang sifatnya non hirearkis, telah menyebabkan
lahirnya berbagai macam problematika dalam kaitan hubungan antara propinsi
dengan kabupaten/kota. Ini disebabkan implikasi dari ketentuan tersebut, yang
menyebabkan menyusutnya secara signifikan pengaruh propinsi terhadap
kabupaten/kota. Propinsi yang dulunya memiliki kewenangan dalam pengawasan dan
pengendalian yang sangat luas teradap daerah, dengan ketentuan baru ini hanya
dipandang sebelah mata oleh kabupaten/kota. Selain itu, tiadanya aturan yang
jelas yang memuat tentang hubungan antara kecamatan dan desa, sehingga
menciptakan berbagai problem dan kesulitan pada dimensi apa serta bagaimana
bentuk peranan, fungsi , dan pola hubungan antara kecamatan dengan desa.
3.3. Menguatnya Eksklusivisme Daerah
Diveristas horizontal
pada akhirnya akan menguatkan ekslusvisme daerah dalam bentuk mobilisasi etnis
dan budaya. Dimensi kultural dan primordial akan sangat mengedepankan pada
daerah-daerah dengan tingkat SDA yang tinggi. Tingginya suhu primordialisme,
yaitu arogansi sifat kedaerahan dan kesukuan dalam menyikapi UU No. 22 Tahun
1999. Pergeseran kekuasaan di daerah tidak lagi didasari leh keahlian,
profesionalisme dan aliansi politik formal, tetapi berpijak kepada berakar pada
semangat kesukuan dan kedaerahan. Tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa
menguatnya simbol-simbol kedaerahan. Tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa
menguatnya simbol-simbl kedaerahan dan kesukuan ini bukan tidak bermasalah,
karena pada fase berikutnya akan menciptakan disintegrasi bangsa.
Menurut Eko Prasojo
(2003), bahwa menguatnya eksklusifisme daerah juga sangat dipengaruhi oleh
dihapuskannya hirearki antara pemerintah Propinsi dan pemerintah
kabupaten/kota. Untuk hal ini, beberapa alasan yang dapat dikemukakannya
adalah: pertama, struktur politik
regional dan lokal selama masa Soeharto telah menyebabkan absensi total otonomi
politik dan partisipasi di daerah. Reformasi, dalam hal ini pemberian
desentralisasi politik kepada daerah kabupaten dan kota, menjadi faktor
pembentuk kesatuan monolitas masyarakat lokal yang berdasarkan kesukuan dan
kedaerahan. Hal ini diperkuat dengan hilangnya struktur hirearkis Propinsi dan
kabupaten/kota, sehingga batas-batas administratif kabupaten/kota dapat dikatakan
bersilang tindih dengan batas-batas kultural dan etnis. Kedua, mobilisasi etnis dan kultur di daerah disebabkan oleh
peletakan fokus dan lokus otonomi daerah pada kabupaten dan kota. Di daerah
kabupaten dan kota yang kaya dan maju, mobilisasi etnis dan budaya berkaitan
secara langsung dengan pemanfaatan kepentingan elite politik di daerah untuk
mendapatkan privilage yang lebih
baik.
3.4. Pemekaran Daerah
UU No. 22 Tahun 1999
telah menghadirkan paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indoneseia. Dengan basis otonomi luas, bulat dan utuh penyelenggaraan
pemerintahan daerah menjadi lebih berarti, karena terdapatnya keleluasaan
(diskresi) bagi daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai
kondisi dan potensi daerah tersebut. Restrukturisasi pemerintahan daerah yang
memberikan keleluasaan yang besar kepada pemerintah daerah dalam menjalankan berbagai
kewenangan sesuai dengan kebutuhan masyarkat daerah, telah menimbulkan banyak
implikasi. Salah satunya implikasi yang berlangsung selama diterapkannya
undang-undang ini, adalah munculnya keinginan dari berbagai daerah baik di
tingkat propinsi, maupun kabupaten dan kota untuk memekarkan daerahnya. Selama
diterapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tercatat telah lahir 7 Propinsi, dan 136
kabupaten/kota baru.
Menurut Djohermansyah
Djohan (2003: 118), hadirnya daerah-daerah Otonom baru dan mengalirnya berbagai
rancangan pemekaran daerah otonom lainny, disuatu sisi tentu merupakan
perkembangan yang menggembirakan, karena memperlihatkan munculnya kesadaran
masyarakat khususnya elit tentang arti penting kehadiran pemerintahan daerah
otonom untuk menata dan mendorng perkembangan kehidupan masyarakat. Tetapi,
disisi lain, munculnya euphoria pemekaran ini cukup mengkhawatirkan, karena
banyak usulan pemekaran daerah yang sebetulnya hanya dilandaskan pada
persoalan-persoalan yang kurang substansial. Bahkan, banyak pemekaran, jika
diamati dengan cermat, terwujud hanya dengan kepentingan politik segelintir
orang, sehingga seringkali setelah pemekaran dibanyak daerah baru itu justru
timbul persoalan seperti tidak tersedianya infrastruktur, pembiayaan dan
personel, serta ketergantungan kepada daerah induk dan pemerintah pusat. Bahkan
disebagian daerah timbul konflik horizontal antar masyarakat daerah dan konflik
vertikal antar daerah pemekaran dengan daerah induk, baik karena kelemahan
prosedur dan buruknya mutu UU pembentukan daerah otonom.
Selain itu masalah lain
secara finansial, sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia mengahdapi
permasalahan serius yang beragam dalam pemekaran ini. yakni, ketergantungan
dana dari pemerintah pusat. Konflik yang terjadi antara pemerintah pusat dan
daerah dalam kasus pemekaran wilayah lebih banyak dilatarbelakangi oleh masalah
kecukupan dana. Konflik yang sering muncul adalah dalam kaitannya dengan pengelolaan
kawasan-kawasan yang dinilai strategis.
4. Hambatan Dalam Pelaksanaan UU No.
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Otonomi terkesan mati
muda ketika UU No. 22 Tahun 1999 diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004.
Undang-undang sebelumnya yang cuma berumur 5 tahun menandakan masih banyak
pekerjaan yang harus diselesaikan leh pemerintah dalam menata pemerintahan
daerah di Indonesia. UU No 32 tahun 2004 hadir dalam rangka memperbaiki
kelemahan yang ada pada Undang-undang sebelumnya. Namun demikian, ternyata
dalam pelaksanaan undang-undang ini juga tidak luput dari berbagai terpaan
masalah yang menghinggapi pemerintahan daerah di indonesia dalam kurun waktu
2004 s/d sekarang. Berikut akan saya paparkan berbagai permasalahan yang
terjadi berdasarkan beberapa indikator-indikator.
4.1.Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung
Dalam pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004, untuk konteks Pilkada dihadang oleh serangkaian
masalah yang akan menghambat tercapainya tujuan demokrasi lokal. Pertama, persoalan partisipasi. Partisipasi dalam pilkada akan
mendorong peningkatan kualitas demokrasi lokal apabila ada kesadaran kritis
dari masyarakat untuk menggunakan hak-haknya. Persoalan yang mendesak dari segi
partisipasi adalah tingkat kepercayaan masyarakat untuk menggunakan hak-haknya.
Persoalan yang mendesak dari masyarakat untuk menggunakan hak-haknya. Persoalan
yang mendesak dari segi partisipasi ini adalah tingkat kepercayaan masyarakat yang
rendah pada partai politik dan otonomi daerah. Kondisi ini cenderung mendorong
perilaku golput sebagai bentuk protes terhadap sistem politik. Persoalan lain
yang juga perlu mendapat perhatian adalah munculnya pola-pola partisipasi semu
sebagai hasil mobilisasi dan pembelian suara. Peluang ini sangat dimungkinkan
oleh kelemahan sistem administrasi kependudukan, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rawan di sogok.
Kedua, persoalan kompetisi.
Meskipun persoalan-persoalan kompetisi yang timpang dalam UU No. 32/2004.
Persoalan bisa muncul dari kredibilitas dan kemampuan KPUD dan panitia
pengawas. Dalam aturan yang disesuaikan KPUD memiliki posisi yang sangat besar
dalam pilkada, sementara pertanggungjawaban KPUD kepada publik tidak diatur
secara jelas kecuali KPUD hanya akan mempertanggungjawaban anggaran kepada
DPRD.
Pada posisi
pengawasan, anggota Panwas diangkat dan bertanggung jawab kepada DPRD, sehingga
mengurangi independesi. Terlebih lagi UU tidak banyak mengatur limitasi
pengkajian laporan dan level pengadilan nama yang berwenang mengadili
perkara-perkara yang timbul dalam pilkada. Persoalan lain menyangkut posisi
netral birokrasi Pemda. Ada indikasi yang kuat bahwa dalam birokrasi
dimanfaatkan terkait dengan upaya politik dari kepala daerah yang akan berakhir
masa jabatannya untuk mendukung salah satu kandidat.
Ketiga, persoalan kebebasan
sipil. Persoalan yang mengemuka dari kebebasan sipil ini adalah pengguna
instrumen-instrumen kekerasan untuk memaksa pemilih melalui intimidasi, teror
dan premanisme. Kalau ini terjadi, pilkada justru menjadi penghambat kebebasan
sipil. Persoalan kebebasan juga trerkait dengan miskinnya informasi pemilih
terhadap proses pejaringan kandidat, maupun pendanaan pemilihan. Ada sebuah
prediksi kuat bahwa Pilkada cenderung dimenangkan oleh pejabat lama (incumbent),
karena relatif memiliki publisitas dan dikenal masyarakat. Untuk melengkapi
proses pemilihan, penyelenggaraan pilkada langsung juga harus dibarengi dengan
perbaikan-perbaikan dalam sisi partisipasi, kompetisi dan kebebasan sipil. Dari
segi partisipasi harus mulai dipikirkan secara serius format pendidikan politik
agar masyarakat bisa menggunakan hak-haknya secara berkualitas. Penggunaan hak
itu harus didahului penanaman kesadaran kritis agar masyarakat bisa menentukan
pilihannya secara mandiri. Selain itu, Pemda juga harus mulai menata
adminsitrasi kependudukan, sehingga kecenderungan mobilisasi pemilih,
kecurangan daftar pemilih dan diskriminasi pemilih bisa dihindari.
Selain
itu, Kekerasan politik
terus berlangsung tanpa henti dalam Pilkada. Secara teoritik, Perang Kota Kecil karya Gerry Van Klinken (2007) menjelaskan bahwa
kekerasana politik merupakan bagian integral dari perjalanan pilkada itu
sendiri. Bahkan beberapa laporan mengatakan bahwa Pilkada mengarah pada
kekerasan politik.
Ketidakberdayaan
negara dalam mencegah kekerasan politik dalam pilkada mengisyarakatkan
menipisnya otoritas negara sebagai pemangku sah pangguna kekerasan. Dari sisi
aktor yang terlibat menggunakan kekerasan politik dalam pilkada bisa di pilah
menjadi tiga, yakni; Pertama elit
partai politik yang tidak menerima kekalahan sering kali menyulut terjadinya
konflik dan perpecahan dalam masyrakat. kedua,
masyrakat pada tataran akar rumput terjadi ledakan dalam bentuk huru hara, kekerasan
politik, amuk massa, di hampir semua penyelenggaraan pilkada, ketiga, aparatur negara (birokrasi,
tentara, pejabat politik yakni DPRD) sering kali melakukan mobilisasi proses
pelaksanaan pilkada yang berujung pada kekerasan politik. Keterlibatan tiga
aktor tersebut dalam kekerasan politik mempunyai daya rusak yang tinggi. Daya
rusak yang di timbulkan lewat kekerasan politik bisa berbentuk fisik maupun non
fisik.
Hasil riset TIM
Politik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD) Universitas Gajah Mada mengakui hal ini
dalam laporannya menyebutkan bahwa “persoalan politik uang merupakan persoalan
akut yang masih mewarnai tahapan
kampanye serta proses pilkada. Politik uang dalam ini merupakan cara ilegal
dalam mempengaruhi prilaku pemilih sehingga bersedia memberikan dukungan
terhadapa calon tertentu. Dalam masa kampanye pilkada, praktek politik uang ini
muncul dalam berbagai bentuk, seperti pembagian sembako-pemberian uang
transport kehadiran dan seterusnya
4.2.
Penataan Kelembagaan Daerah
Salah satu hal yang
perlu dikritisi dari pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 yang banyak kalangan
dinilai bernuansa resentralisasi adalah apa yang disebut dengan urusan, bukan kewenangan. Urusan daerah yang tercantum dalam undang-undang
tersebut meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan
pemerintah yang terkait dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar,
kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar.
Sedangkan urusan pemerintah yang bersifat pilihan, terkait erat dengan potensi
unggulan dan kekhasan daerah.
Model pembagian
kewenangan menurut UU No. 32 Tahun 2004, menempatkan kabupaten/kota dan
propinsi hanya sebagai unit-unit pelayanan publik. Selain itu Undang-undang ini
juga masih mempergunakan pola-pola lama dengan pendekatan sektoral dan
administratif. Sehingga devolusi kekuasaan dari pusat ke daerah dalam UU No 32
Tahun 2004 tersebut sangat lemah. Ini merupakan sebuah kemunduran dalam
perjalanan menuju pembentukan sebuah local
autonomy and local community autonomy yang demokratis, mandiri dan
sejahtera dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, dalam
pelaksanaan sehari-hari, sistem, prosedur, kebiasaan yang sekian lama tertanam
dan tebentuk dalam birokrasi tidak serta merta dapat diubah. Daya resistensi
yang begitu tinggi, terutama dari elit-elit birokrasi yang telah menikmati
keuntungan-keuntungan dari sistem yang telah ada, menjadikannya ingin tetap
memprtahankan kekuasaan tersentralisasi ditangan pemimpin tertinggi organisasi.
Ini disebabkan karena birokrasi ditempatkan sebgai organisasi yang tertutup dan
elitis sehingga tidak semua orang bisa mengaksesnya. Kalaupun mencoba
memasukinya, akan dihadang oleh serangkaian prosedur yang mengada-ada.
4.3.Munculnya Orang-Orang Kuat Daerah
Dalam era ini juga muncul Local
Strongman yang dipopulerkan oleh
Joe. Migdal, menurut
Migdal adanya local strongmen di dunia ketiga adalah refleksi
kekuatan masyarakatnya yang plural dan kelemahan negara
(2001: 85). Setiap kelompok
dalam masyarakat memiliki pemimpinnya sendiri dan pemimpin ini relatif otonom
terhadap negara. Karena keotonomiannya maka keberlangsungan local strongmen
tergantung pada “social capacity” negara. Yang dimaksud Migdal tentang
konsep “social capacity” adalah kemampuan negara untuk membuat warganya
mematuhi “aturan permainan” dalam masyarakat. Termasuk pula kemampuan untuk
menyediakan sumber daya untuk mencapai tujuan pokoknya serta mengatur perilaku
masyarakat sehari-hari. Di negara dunia ketiga, kemampuan tersebut lemah dan
inilah yang menyebabkan menjamurnya local strongman.
Migdal
menyatakan, local strongmen dapat bertahan asalkan ia berkolaborasi
dengan negara dan partai politik pemerintah, berdasar hal tersebut maka
terbentuklah “triangle of accomodation”. Ironisnya triangle ini
mengijinkan sumber daya negara untuk memperkuat local strongmen dan
organisasinya yang mengatur the game
conflict. Lebih lanjut Migdal mengemukakan bahwa keberlangsungan local
strongmen juga tergantung pada kekuatan negara untuk mengatur kontrol
mereka; mereka belajar mengakomodasi pemimpin yang populis untuk ‘menangkap’
organisasi negara pada level yang lebih rendah (1988:256). Sidel menyatakan,
penggunaan coercive violence merupakan strategi yang digunakan para bos
di Philipina untuk bertahan.
Mancur
Olson dalam bukunya Power and
Prosperity: Outgrowing Communist and Capitalist Dictatorship
menyatakan stationary bandit dan roving bandit sebagai strategi
bertahan local strongmen. Istilah tersebut merupakan metafor tindakan
kriminalias yang ia gunakan untuk menganalisa logika kekuasaan dan relasinya
dengan kesejahteraan (2000: 6-10).
Sedangkan menurut Vedi R.Hadiz,
pelaksanaan desentralisasi pasca Soeharto adalah masalah kekuasaan yang
ditandai oleh kecenderungan proses-proses dan institusi desentralisasi
“ditangkap” oleh kekuatan-kekuatan dan kepentingan-kepentingan besar predatori
lama (Orde Baru), baik ditingkat lokal maupun nasional, yang dibungkus dalam
format yang desentralistik dan demokratis (2003: 8).
Salah satu munculnya beberapa orang
kuat, seperti Jawara di Banten. Asal
usul jawara sebenarnya adalah kelompok santri yang digembleng dan dibekali
berbagai ilmu kanuragan, kesaktian oleh ulama untuk melawan penjajah. Terdapat
2 macam jawara yaitu jawara ulama, seorang jawara yang mendalami agama
dan ulama jawara, seorang ulama merangkap jawara. Jawara identik dengan
pendekar, karena mengalami pergeseran sosiologis maka pemaknaan jawara menjadi
negatif. Jawara sering diartikan jalma wani rampog (orang yang berani
merampok) atau jalma wani rahul (orang yang berani menipu). Pandangan
negatif ini timbul karena keeksklusifannya, identik dengan tindak kekerasan
serta oportunis.
Dikatakan oleh
salah seorang tokoh masyarakat Cilegon, keberadaan jawara dinilai cukup efektif
menjaga stabilitas keamanan, tidak satupun gejala huru-hara yang berpotensi
menyebabkan hancurnya aset publik dan swasta di Kabupaten Cilegon. Kondisi
tersebut memicu pertumbuhan ekonomi daerah sehingga banyak komponen masyarakat
yang menggunakan keberadaan jawara, seperti para pengusaha dan partai politik.
Banyak kelompok jawara yang terikat kontrak dengan partai politik karena jawara
mampu memobilisasi massa yang solid.
Selain itu dalam masa pelaksanaan UU No.
32 Tahun 2004 ini, munculnya bupati-bupati dan walikota yang menjadi orang kuat
diranah lokal. Mereka seperti membangun sebuah dinasti politik. Kompetisi
politik hanya dikuasai oleh klan-klan tertentu yang menjadi penguasa daerah.
Sedangkan diranah birokratis dikuasai oleh orang-orang terdekat dari seseorang
yang sedang berkuasa.
4.4. Pemekaran Daerah
Kelemahan pemekaran daerah dimasa ini
menurut Tri Ratnawati (2006), pemerintah pusat berusaha menghindari titik berat
otonomi di Propinsi, karena khawatir dapat mendorong pemisahan diri
Propinsi-propinsi, terutama yang kaya sumber daya alam seperti salah satunya
Papua dari NKRI. Sedangkan menurut Fitriani, Hofman dan Kaiser (2005), minimal
ada empat faktor pendorong atau penyebab tingginya semangat (nafsu) elit-elit
daerah untuk melakukan pemekaran wilayah yaitu: 1). Dalam rangka efektifitas
dan efisiensi administratif mengingat wilayah yang begitu luas, penduduk yang
menyebar dan ketertinggalan pembangunan, 2). Kecenderungan untuk homogenitas
(etnis, bahasa, dan agama), 3). Adanya kemanjaan fiskal yang dijamin oleh
Undang-undang bagi daerah-daerah pemekaran seperti adanya DAU, bagi hasil dari
SDA, PAD, dan sebagainya yang sengaja dicari-cari oleh daerah calon pemekaran,
4). Political Rent-Seeking.
Selain itu, ada kecenderungan yang sangat
jelas dalam pembentukan daerah-daerah otonom baru dimasa ini yakni menuju
homogenisasi suku atau agama. Perkembangan semacam ini sangat memperhatikan
apabila dihubungka dengan suatu ideal pembentukan daerah otonom masa depan
sebagai political communities yang inklusif dan demokratis yang mencakup
beragam masyarakat dengan berbagai latar belakang agama dan sosial budaya.
Warna keindonesiaan yang modern menjadi terabaikan karena lebih menonjolnya
semangat kesukuan atau keagamaan. Sehingga negara terancam oleh
tradisionalisme-primordialisme yang disebabkan oleh kebijakan pemekaran yang
kurang tepat.
Dominannya pemekaran wilayah, juga
didorong oleh derasnya tekanan politik dan perolehan kekuasaan. Tekanan kuat
dari daerah itu direspon secara positif oleh pemerintah pusat, padahal proses
pemekaran tersebut banyak memberikan beban terhadap pemerintah pusat, terutama
berimplikasi pada biaya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Disetujuinya
pemekaran wilayah dapat dimaknai bahwa adanya keharusan pemerintah pusat
mengalirkan dana ke daerah. Tersedianya jaminan politik bahwa pemerintah pusat akan mencukupi
kebutuhan minimal pemerintah daerah yang baru dibentuk.
Hal ini terlihat dari pembentukan
pemerintah daerah baru dengan segala infrastrukturnya yang tentu saja
membutuhkan biaya. Ini berarti overhead
cost, operational cost, dan cost yang lain dalam penyelenggaraan pemerintah juga akan meningkat. Beban terhadap
belanja operasional akan meningkat dan konsekuensinya alokasi belanja untuk
pembangunan akan mengalami penurunan karena anggaran sudah banyak tersedot
untuk belanja pegawai.
Selain itu, daerah induk akan kehilangan
beberapa sumber keuangan yang pada pasca pemekaran beralih ke daerah hasil
pemekaran. Sebagai daerah otonom baru, daerah hasil pemekaran seringkali harus
dibebani dengan pengembangan infrastruktur dasar pemerintahan seperti gedung
dan fasilitas dasar lainnya, yang kesemuannya perlu diadakan secara serentak
dalam waktu yang bersamaan. Kebijakan pemekaran ini sering mengakbitkan
kabupaten induk tidak bisa lagi mencukupi kebutuhan kabupatennya, karena dibuat
miskin oleh pemekaran.
5. Masa Depan Politik Lokal dan
Pemerintahan Daerah Di Indonesia: Sebuah Harapan
5.1.
Masihkah Memperdebatkan Negara Kesatuan
Atau Federal
Bentuk pemerintahan
yang berlaku, disadari atau tidak, merupakan salah satu faktor yang memainkan
peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dinamika hubungan
pusat dan daerah sangat bergantung pada tipe pemerintahannya karena
keseimbangan kekuasaan yang melekat dalam pemerintahan acapkali mempunyai makna
penting dengan filosfi atau bentuk negara tersebut.
Penyelenggaraan
pemerintahan daerah disuatu negara sangat bergantung pada bentuk negara yang
bersangkutan. Karena itu, bentuk negara menggambarkan pembagian kekuasaan, baik
secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah baik itu dikesatuan ataupun negara federal.
Dalam teori
pemerintahan, secara garis besar dikenal adanya dua model dalam formasi negara,
yaitu model negara federal dan model negara keasatuan. Model negara federal
berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atau
wilayah yang independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam
kedaulatan pada dirinya masing-masing. Negara-negara atau wilayah-wilayah itu
kemudian bersepakat membentuk sebuah federal. Negara atau wilayah pendiri
federasi itu kemudian berganti status menjadi negara bagian atau wilayah
administrasi dengan nama tertentu dalam lingkungan federal.
Sedangkan model negara
kesatuan, menurut Andi Mallarengeng dan Ryaas Rasyid, asumsi dasarnya berbeda
dari negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan
oleh para pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian
dari satu negera. Tidak ada kesepakatan para penguasa daerah, apalagi
negara-negara, karena diasumsikan semua wilayah yang termasuk didalamnya
bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka
negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi
kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai
kepentingan masyarakatnya. Disini diasumsikann bahwa negaralah sumber
kekuasaan. Kekuasaan daerah pada dasarnya adalah kekuasaan pusat yang
didesentralisasikan, dan selanjutnya terbentuklah daerah-daerah otonom. (1999:
18).
Dengan melihat kedua
defenisi tersebut, untuk konteks Indonesia, pada umumnya penolakan terhadap
federalisme disebabkan oleh dua faktor: pertama, federalisme bertentangan dengan
UUD 1945 dan semangat para pendiri bangsa hingga mengingkari jiwa proklamasi. Kedua,
ketidaktahuan atau paling tidak kerancuan atas konsep federalisme.
Selain itu sejauh mana bangsa
indonesia untuk bersepakat menerima tuntutan negara federasi, yang hampir pasti
akan membuat jurang antara daerah yang kaya dengan daerah yang miskin. Daerah
yang kaya akan sangat berpeluang memperoleh manfaat dari federalisme, sementara
yang miskin akan menderita karena kewenangan pusat untuk mengembangkan kebijakan
ekonomi dan keuangan yang bersifat subsidi silang akan menjadi lebih terbatas.
Menurut Harun Alrasyid,
Kesatuan dan Federalisme itu, bukanlah sebuah tujuan dari negara, melainkan
alat atau cara menuju tujuan negara untuk mensejahterakan rakyatnya (1999).
Jadi permasalahan apakah kesatuan atau federalisme di Indonesia seharusnya
tidak lagi menjadi permasalahan karena keduanya merupakan alat untuk menuju
kesejahteraan. Lalu, seperti apakah jalan keluar bagi kesejahteraan indonesia
khususnya dalam konteks hubungan pusat-daerah?. Mungkin jalan keluar yang
moderat untuk mengatasi ketidakpuasan daerah selama ini adalah dengan kebijakan
desentralisasi yang lebih besar kepada daerah-daerah. Desentralisasi yang
seluas-luasnya menurut penggagas otonomi daerah pasca orde baru Ryaas
Rasyid, dengan tujuan untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat di daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
5.2.
Kebijakan Pemilu Kada Masa Depan:
Gubernur Dipilih DPRD, Bupati dan Walikota Dipilih Langsung
Melihat fenomena
sekarang ini, dimana biaya pilkada yang begitu besar dan juga berbagai kendala
lainnya, sudah saatnya kita menata ulang kembali pelaksanaan Pilkada di
indonesia. Biaya yang dikeluarkan untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
begitu besar sedangkan kewenangan yang diberikan kepada Gubernur saat ini
sangat terbatas. Tugas Gubernur adalah saat ini kebayakan tugas dekonsentrasi
sehingga Gubernur tidak sepenuhnya menjalankan tugas otonom. Jika terjadi politik uang,
besaran uang yang dikeluarkan tidak sebesar pilkada langsung. Untuk pembiayaan
pemilihan juga bisa ditekan daripada pemilihan langsung. Bayangkan saja tahun
ini dalam rencana Pemilihan Gubernur Jawa Timur diperkirakan akan memakan biaya
900 miliar rupiah. Uang yang sebenarnya diperuntukkan kepada pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat hanya habis dalam pemilihan kepala daerah (khusus
Gubernur/Wakil Gubernur) yang
diselenggarakan beberapa hari. Selain dengan biaya yang besar, ini bisa
menyebabkan APBD daerah-daerah yang miskin bisa defisit, malahan mungkin bisa
menjadi hutang untuk melaksanakan sebuah Pilkada langsung.
Sedangkan untuk
pemilihan Bupati/ Wakil Bupati dan Walikota/ Wakil Walikota tetap dalam bentuk
pelaksanaanya secara langsung. Ini disebabkan Bupati dan Walikota tugasnya
begitu besar dalam otonomi daerah saat sekarang ini. Tugas utama mereka adalah
melayani masyarakat. Dengan asumsi demikian kami bermaksud memberikan tawaran
ini karena tugasnya melayani, maka orang yang melayani (bupati/walikota)
tersebut adalah orang pilihan masyarakat. Konsep untuk menekan biaya langsung
dalam pemilihan Bupati/Walikota secara langsung ini adalah dengan melaksanakan
pemilihan kepala daerah serentak.
Alasan diselenggarakannya pemilu kada
serentak adalah untuk mengefisiensikan anggaran pemerintah. Selain itu
keserentakan pemilu kada diperlukan agar pembangunan dapat dilaksanakan secara
terfokus, sehingga masyarakat tidak disibukkan dengan pelaksanaan Pilkada yang
terus berlangsung, meskipun untuk daerah yang berbeda-beda.
Selain itu dalam menciptkan Pilkada yang
damai dan demokratis bisa diciptakan melalui: pertama, kerjasama antar pihak
yang berkepentingan termasuk akademisi, pers, dan NGO. Kedua, perlunya
kesepakatan atau konsesus lokal seperti kode etik pemilu dan kampanye, misalnya
semboyan “Pemilu Badunsanak” (pemilu
bersaudara) di Propinsi Sumatera Barat. Ketiga, pemerintah daerah membatasi
diri sebagai fasilitator. Keempat, semua proses transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
5.3.
Kebijakan Penataan Kelembagaan Daerah
Perangkat daerah adalah
organisasi atau lembaga di pemerintah daerah yang bertanggungjawab kepada
kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah. Perangkat ini terdiri
dari sekretariat daerah, dinas daerah dan lembaga teknis daerah, kecamatan,
sesuai dengan kebutuhan daerah. Kebijakan dalam penataan kelembagaan
pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah lebih diarahkan pada upaya
penyederhanaan birokrasi pemerintah untuk menyempurnakan dan mengembangkan
organisasi dengan lebih proporsional, datar, transparan dan hirearki yang
pendek, serta terdesentralisasi kewenangannya. Karena itu, organisasi perangkat
daerah disusun berdasarkan visi dan misi yang jelas, sedangkan untuk pola
struktur organisasi disusun berdasarkan kebutuhan nyata dan mengikuti strategi
dalam pencapaian visi dan misi organisasi.
Dengan upaya tersebut,
organisasi perangkat daerah diharapkan tidak akan terlalu besar dan
pembidangannya tidak terlalu melebar sebagaimana yang terjadi selama ini.
dengan semangat pembaharuan fungsi-fungsi pemerintah dalam rangka mendukung
terwujudnya tata pemerintahan daerah yang baik, pemerintah daerah dalam rangka mendukung
terwujudnya tata pemerintahan daerah yang baik, pemerintah daerah diharapkan
dapat menciptakan organisasi perangkat daerah yang lebih efisien dengan memberi
ruang partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam penyelenggaraan pembangunan
di daerah. Jadi langkah-langkah penataan perangkat daerah untuk mewujudkan
organisasi pernagkat daerah yang proprsional, efisien, dan efektif dengan
didukung oleh sumberdaya aparatur yang berkualitas serta diterapkannya
manajemen yang baik dapat diwujudkan dalam menalankan kegiatannya.
Pemerintah harus
mengkaji kembali kewenangan yang telah diberikan terhadap daerah. Saat sekarang
ini daerah dikasih begitu besar kewenangan tanpa melihat kemampuan daerah itu
sendiri. Kewenangan yang diberikan kepada daerah pada saat ini berjumlah 26
urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Seharusnya dimasa depan, kewenangan yang
diberikan pemerintah pusat terhadap daerah harus bertahap, tergantung dengan
kemampuan daerah. Seandainya sebuah daerah hanya mampu menjalankan 10 urusan,
seharusnya pemerintah pusat cukup memberikan 10 urusan saja. Begitu juga
sebaliknya jika pemerintah daerah itu mampu menjalankan urusan pemerintahan
yang lebih, seandainya awalnya 10 urusan tetapi dengan kemampuan yang
dimilikinya maka urusannya akan ditambahkan lagi menjadi 15 urusan, dan begitu
seterusnya
5.4.
Kebijakan Pemekaran Daerah di Masa Depan:
Pembentukan, Penghapusan Serta Penggabungan Daerah
Secara normatif
kebijakan pemekaran daerah harus diletakkan dalam kerangka reformasi
pemerintahan. Dalam konteks pembangunan politik kebijakan pemekaran harus
sejalan dengan upaya untuk mempercepat konsolidasi politik menuju demokrasi
substansial bukan prosedural. Kebijakan pembentukan, penghapusan dan
penggabungan harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masayarakat,
melalui: 1). Peningkatan pelayanan kepada masyarakat, 2). Percepatan
pertumbuhan kehidupan demokrasi, 3).
Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, 4). Percepatan
pengelolaan potensi daerah.
Sementara itu, syarat
teknis yang menjadi dasar pembentukan daerah mencakup faktor kemampuan ekonomi,
potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah dan
faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Sedangkan syarat
fisik meliputi paling sedikit 5 kabupaten/kota untuk Propinsi dan paling
sedikit 5 kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 kecamatan untuk
pembentukan kota.
Selain itu, Pembentukan
daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang
bersandingan/pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Pemekaran
dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih dapat dilakukan setelah mencapai
batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Batas minimal usia
penyelenggaraan menurut Undang-undang terakhir pemerintahan daerah yakni UU No.
32 Tahun 2004 menyatakan untuk Propinsi 10 tahun, untuk kabupaten/kota 7 tahun,
dan untuk kecamatan 5 tahun.
Sedangkan untuk
penghapusan dan penggabungan daerah otonom dapat dilakukan jika pemerintah
daerah tidak mampu menyelenggarakan pemerintahan daerah. Evaluasi dapat
dilakukan berdasarkan penilaian dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja
serta indikator yang meliputi input, proses, dan output termasuk dampaknya.
Pengukuran ini digunakan untuk membandingkan antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Aspek lain yang perlu dievaluasi adalah keberhasilan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan.
Jika daerah hasil
pemekaran tidak bisa membawa keberhasilan sebaiknya daerah tersebut dihapuskan
atau dikembalikan ke kabupaten induk (penggabungan). Kriteria yang dapat
dijadikan ukuran adalah masa waktu yang ditetapkan untuk mengevaluasi daerah
hasil pemekaran. Seandainya 5 tahun dan paling lambat 10 tahun pasca pemekaran,
jika daerah itu tidak mampu menjalankan fungsi dan tujuannya sebaiknya daerah
tersebut dihapuskan sebagai daerah
otonom atau dikembalikan lagi ke propinsi atau kabupaten/kota asal dari daerah
tersebut.
5.5.Kebijakan Masa Depan Pengelolaan
Otonomi Asli atau Desa
Dalam UUD 1945 Pasal 18
beserta penjelasannya mengakui adanya otonomi-otonomi asli yang ada di daerah
jauh sebelum Republik Indonesia ada. Bunyi pasal 18 UUD 1945 itu adalah:
“pembagian daerah indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingat
dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Sedangkan penjelasan dari Pasal 18 UUD
1945 antara lain menyatakan:
“...Dalam
teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbestuurende
Landschappen” dan “Volksgemeenschappen...Daerah-daerah itu mempunyai susunan
asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang istimewa. Negara
Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah tersebut dan segala
peraturan negara yang mengenai darah itu akan mengingat hak-hak asal-usul
daerah tersebut”
|
Dengan berdasarkan hal
tersebut, sangat nyatalah kiranya negara ini mengakui adanya otonomi asli.
Otonomi asli itu seperti halnya Nagari di Sumatera Barat, Marga di Sumatera
Selatan, Gampong di Aceh, Desa-Desa di Jawa, Desa Adat di Bali dan lain
sebagainya. Lalu, bagaimanakah kita menata otonomi asli atau desa ini dimasa
depan?. Cara yang ditempuh untuk mencapai kemandirian otonomi asli yang sesuai
dengan prinsip desentralisasi dapat dilakukan beberapa tahap pengembangan jika
kita meminjam konsep “state building” karya Francis Fukuyama (2004); 1). Adanya
kekuatan yang kokoh atau the strength of
governance system, dan 2). Spektrum dari fungsi yang dijalankan oleh
pemerintahan atau the scope of function.
Sedangkan menurut AAGN.
Ari Dwipayana ada beberapa langkah untuk memperbaharui pemerintahan terendah di
Indonesia ini: 1). Perlu diperkuat upaya untuk merumuskan dan melanjutkan
pembaharuan kerangka kebijakan (policy reform) untuk memperkuat democatic decentralization. 2).
Kebijakan tentang desa atau istilah lain perlu memperjelas apa yang dimaksud
dengan kewenangan berdasarkan hak asal-usul, kewenangan yang didelegasikan,
kewenangan yang beradasarkan tugas pembantuan dan kewenangan lain yang diserahkan
kepada desa. sehingga semakin jelas batas-batas kewenangan dan kekuasaan antar
daerah otonom. 3). Reformasi kebijakan seharusnya menyentuh dan menyelesaikan
secara tuntas soal ambiguitas dalam pengaturan tentang desa seperti kedudukan
desa, relasi desa kabupaten dan sebagainya. 4). Pembaharuan desa tidak bisa dilakukan
hanya dengan sebuah agenda yang bersifat parsial yang mewakili kepentingan
sepihak kepala Desa dan pernagkat desa, atau kepentingan-kepantingan kelompok
dalam masyarakat, melainkan harus dilakukan melalui perumusan yang disebut
kepentingan bersama desa secara menyeluruh (2006: 11-13).
5.6. Desentralisasi Asimetris: Sebuah
Kajian Dalam Memandang Keanekaragaman Indonesia
Desentraliasasi
Asimetris adalah desentraliasasi luas namun tidak harus seragam untuk wilayah
negara, mempertimbangkan kekhususan,
kebutuhan, dan keunikan masing-masing daerah. konsep tersebut sudah
diterapkan untuk beberapa daerah di Indonesia yang mempunyai otonomi khusus
seperti Papua, NAD, DIY, dan DKI). Dengan melihat realita indonesia yang plural
dengan potensi dan permasalahannya, maka pemerintah pusat perlu mengembangkan
konsep otonomi daerah berbasis kewilayahan.
Pendekatan
kewilayahan/regional akan mempermudah pembagian wewenang dan tugas antara
pemerintah pusat dengan propinsi beserta kabupaten/kota. Kewenangan menangani
daerah perbatasan yang selama ini misalnya seriingkali diklaim sebagai domain
kekuasaan pemerintah pusat, maka dengan pendekatan kewilayahan ini wewenang
pusat akan bisa dibagi dengan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota sehingga
lebih efisien dan efektif.
Sedangkan menurut Riset
PLOD UGM (2010: 21) desain desentralisasi asimetris yang dipraktikan di
Indonesia dapat dipetakan kedalam lima model yang menjadi basis asimetrisme
yaitu: pertama, model asimetrisme
yang didasarkan pada kekhasan daerah karena faktor politik, khususnya terkait
sejarah konflik yang panjang. Daerah yang merepresentasikan model ini adalah
Aceh dan Papua. Kedua, model
asimetrisme yang didasarkan pada kekhasan daerah berbasis sosio-kultural.
Daerah yang merepresentasikan ini adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketiga, model asimetrisme yang didasarkan
kekhasan daerah berbasis geografis-strategis, yakni khususnya terkait daerah
tersebut sebagai daerah perbatasan. Daerah yang merepresentasikan ini adalah
Kalimantan Barat, Papua dan Kepulauan Riau. Keempat,
model asimetrisme yang didasarkan pada kekhasan daerah berbasis potensi dan
pertumbuhan ekonomi. Daerah yang merepresentasikan ini adalah Papua, Aceh,
Kalimantan Barat, Batam, dan Jakarta. Kelima,
kekhasan daerah berbasis tingkat akselerasi pembangunan dan kapasitas
governability. Daerah yang merepresentasikan model ini adalah Papua.
6. Penutup
selama kurun waktu 14 tahun perjalanan
otonomi daerah pasca jatuhnya rezim Orde Baru di Indoensia, masih menyimpan
banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Permasalahan tersebut mulai dari
pelaksanaan Pilkada, Maraknya Pemekaran di beberapa daerah yang mengakibatkan
anggaran belanja pegawai negara meningkat, masalah hubungan pusat-daerah yang
terus menjadi perbincangan, mana yang seharusnya menjadi kewenangan pusat dan
mana saja yang harus diberikan kepada daerah.
Pelaksanaan pemerintahan daerah juga telah
menciptakan dinasti-dinasti, memunculkan raja-raja kecil sebagai penguasa di
daerah. Permasalahan semakin pelik ketika juga bermunculannya predatory state di daerah, dimana mereka
berkalaborasi dengan relasi bisnis dan kekuasaan. Selain itu pemerintah pusat
hanya memandang daerah dari perspektif kacamata jakarta dalam melihat daerah,
hal ini menimbulkan sentimenisme daerah, mulai terjadinya pengkotak-kotakkan
etnisisme, rasa primordial yang semakin kental, sehingga rasa integrasi bangsa
pun dipertanyakan.
Dari sekian banyak permasalahan yang
terjadi dalam pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004, kita
harus memikir ulang kembali pemerintahan daerah di Indonesia. Ada bebrapa
catatan yang harus diperbaiki. Mulai dari meninggalkan perdebatan apakah bentuk
negara kesatuan atau federal. Perdebatan ini tidak perlu lagi diperpenjang
karena satu-satunya jalan adalah dengan memeberikan otonomi yang seluas-luasnya
kepada daerah. Kita juga karus menata kembali pelaksanaan sistem pemilihan
kepala daerah. Menata kembali mana kewenagan pusat dan mana kewenangan yang
harus diberikan ke daerah, dikarenakan begitu besarnya kewenangan dan urusan
yang diberikan kepada daerah sehingga daerah tidak mampu menjalankannya.
Selain itu kita juga harus mengkaji
pelaksanaan pemekaran wilayah yang marak terjadi pasca orde baru. Harus ada
kriteria tertentu yang bisa memperkuat penataan pemekaran, penghapusan dan
penggabungan daerah di Indonesia. Selain itu kita juga harus tetap
memperhatikan otonomi asli yang menjadi ciri kebhinekaan Indoensia. Solusi yang
ditawarkan untuk melihat keanekaragaman Indonesia adalah memberlakukan
Desentarlisasi Asimetrisme, dimana melihat dan menetapkan sebuah otonomi kepada
daerah itu berdasarkan keanekaragam, kebutuhan dan keunikan dari sebuah
daerah.
* Mahasiswa Pascasarjan Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM Yogyakarta
* Mahasiswa Pascasarjan Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM Yogyakarta
Daftar
Pustaka
Conyer, D. 1984. Decentralisation and Development: a
Review of Literature. Public
Administration and Development. Vol. 4.
Diamond, Larry. 2003. Developing Democracy Toward Consolidation.
Yogyakarta: IRE Press.
Djohan, Djohermansyah. 2006. Mengkaji Kembali Konsep Pemekaran Daerah
Otonom. Blue Print Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta: YHB
Center.
Djojosoekarto, Agung
Dkk (ed.) . 2004. Pemilihan langsung
kepala daerah: transformasi menuju demokrasi lokal Jakarta: Adeksi.
Dwiatmoko, Arif. 2005.
Pemilihan Kepala Daerah Dalam Sistem
Pemerintahan Demokrasi (Telaah Terhadap UU No 32/2004 Tentang Pemerintahan
Daerah). Jurnal
Dwipayana. Ari. 2006. Desa, Desentralisasi, dan Demokrasi: Upaya Mendorong Pembaharuan Desa.
Blue
Print Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta: YHB Center.
Eko, Sutoro. 2003. Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya
Rezim Orde Baru. Yogyakarta: APMD Press.
Hadiz, V. R. 2003. Decentralisation and Democracy In Indonesia: A Critique of
Neo-Institutionalist Perspectives. Southeast Asia Research Centre working
Paper Series No. 47
Hulme, Turner dan Turner, Mark. 1997. Governance, Administration, and Development.
London: McMillan Press.
Klinken, Gerry Van.
2007. Perang Kota Kecil, Jakarta :
YOI dan KITLV-Jakarta.
Laporan Riset PLOD, ”Rapid Assesment on Pilkada 2005”, PLOD
2005
Liang,
Gie. 1968. Sejarah Pertumbuhan Pemerintahan daerah di Indonesia. Jilid 1.
Jakarta: Gunung Agung.
Linz, Juan. J. 2001. “Democracy, Multinationalism,
and Federalism” dalam William Liddle (ed). Crafting
Indonesian Democracy. Bandung: Mizan.
Marijan, Kacung. 2006.
Demokratisasi Di Daerah: Pelajaran dari
pilkada secara langsung. Surabaya: PusDeHAM
Migdal, Joel, 2001.
State in Society: Studying How States and Societies Transform and
Constitute One Another, Cambridge University Press.
Naskah Diseminasi. 2010. Model Implementasi
Desentralisasi Asimetris Yang Mnesejhaterakan. JPP UGM dan TIFA.
Prasojo, Eko. 2006. Otonomi Daerah, Pilkada
Langusng, dan Democratic Decentralisation. Blue Print Otonomi Daerah Indonesia.
Jakarta: YHB Center.
Rasyid, M. R. 2000. Principles of Regional Autonmy Policy Toward a Democraic and Prosperous
Indonesia. Jakarta: MIPI
Rasyid, Ryaas,
Gaffar, Affan, Syaukani, 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan PUSKAP.
Retnaningsih, Ning. 2008. Dkk. (ed.) Penataan Daerah
(Territorial Reform) dan Dinamikanya. Salatiga: Percik
Riwu Kaho, Josef. 1988. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta:
Rajawali Press.
Rondinelli, D.A, and Cheema, G.S (ed.) 1983. Decentralization and Development: Policy
Implementation in Developing Cuntries. Baverly-Hills: Sage Publication.
Robinson, R, dan
Hadiz, V.R. 2004. Reorganising Power in
Indonesia: The politics of Oligarchy in an Age of Market. London:
Routledge.
Sahdan, Haboddin, Dkk
(Ed.). 2008. Negara Dalam Pilkada.
Yogyakarta: IPD Press
Said, M. Mas’ud. 2005. Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang.
Subandi, Baban. Dkk (ed.) 2006. Desentralisasi dan
Tuntutan Penataan Kelembagaab Daerah. Bandung: HUMANIORA
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang No 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Modul Perkuliahan Politik Desentralisasi
dan Otonomi Daerah. PLOD UGM
No comments:
Post a Comment