Oleh : Fahrezi, S.IP*
Pemilihan
kepala daerah adalah sarana untuk mendapatkan pemimpin yang demokratis. Dengan
adanya pilkada memungkinkan terjadinya partisipasi masyarakat. Munculnya partisipasi
merupakan salah satu pilar dalam berdemokrasi. Pasca jatuhnya Orde Baru,
direpon oleh para reformis untuk segera membenahi sistem pemerintahan di
Indonesia, termasuk menegnai pemerintahan daerah. UU No 22 tahun 1999 merupakan
produk awal untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, meskipun pemilihan
kepala daerah masih dilakukan oleh DPRD. Paling tidak konsep ini sudah
menciptakan keseimbangan antara eksekutif dan legislatif di daerah. Selama Orde
Baru peran DPRD daerah selalu di depolitisasi oleh pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Namun demikian, pemilihan di DPRD masih meninggalkan celah-celah
kesenjangan dalam pemilihan kepala daerah. Ketika UU No 32 Tahun 2004
menggantikan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya, mulai lah kita untuk
menata pemilihan langsung kepala daerah. Memindahkan sistem yang sebelumnya
cuma diwakilkan kepada legislatif yang merupakan representasi dari rakyat kepada
pemilihan langsung oleh rakyat untuk memilih pemimpin yang mereka kehendaki.
Dalam pelaksanaan pemilihan langsung di Indonesia tersebutlah yang akan dibahas
secara mendeteil dalam tulisan ini. Mulai dari akar kesejarahan mengapa kita
pemilihan beralih dari DPRD ke pemilihan langsung. Selanjutnya adanya peluang
untuk melakukan pemilihan langsung dalam otonomi daerah yang dilakukan di
Indonesia. Bagian selanjutnya mencoba membandingkan rangkaian pelaksanaan
dimasa UU No 22 tahun 1999 dengan UU No 32 tahun 2004. Serta bagian akhir
mengenai prospek ke depan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia.
1. Akar Kesejarahan Pilkada Dalam
Dinamika Politik Lokal
Pemilihan
langsung kepala pemerintahan derah kabupaten/kota merupakan sebuah kebutuhan
untuk mengoreksi terjadinya penyimpangan penerapan otonomi daerah yang
ditunjukkan para elite ditingkat lokal. Asumsi bahwa otinomi daerah akan lebih
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kalangan
pemerintah dan DPRD mempertontonkan semangat mengeruk keuntungan pribadi dengan
mengabaikan pandangan dan kritikan masyarakat luas. Hal ini disebabkan oleh sistem
pemilihan kepala pemerintahan daerah kabupaten/kota yang dilakukan oleh anggota
parlemen. Alih-alih melayani kepentingan masyarakat, para kepala daerah lebih
banyak memfokuskan perhatian kepada kepentingan-kepentingan DPRD.
Pembicaraan
mengenai pemilihan langsung kepala daerah kabupaten/kota haruslah dimasukkan
dalam kerangka besar untuk mendorong terwujudnya pemerintahan lokal yang
demokratis. Tanpa itu, pemilihan langsung kepala deerah kabupaten/kota hanya
menjadi aktivitas ritual tanpa mengandung roh secara esensial memberikan
pengaruh bagi kehidupan dempkrasi di Indonesia.
Pemerintahan
lokal yang demokratis mengangandung pengertian sebuah tata pemerintahan di
tingkat lokal yang tidak hanya melibatkan perangkat birokrasi tetapi juga
masyarakat secara luas melalui interaksi yangberlangsung secara demokratis.
Pemerintahan lokal yang demokratis dapat meningkatkan kinerja sistem demokrasi
pada tingkat lokal, karena masayrakat dapat berpartisipasi secara maksimal
dalam penyusunan kebijakan di daerah bersangkutan, termasuk dalam mendorong
prioritas-prioritas yang dibutuhkan. Pada sisi lain, aparat pemerintah memiliki
kesempatan untuk bisa berperan lebih efektif dan peka terhadap kebutuhan
masyarakat sehingga dapat mendorong akuntabilitas mereka. Gagasan pemerintahan
lokal yang demokratis berupaya mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan
pemerintahan yang sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Pemilihan
langsung dalam bingkai pemerintahan lokal yang demokratis, akan memberikan
beberapa urgensi , antara lain: pertama,
pemilihan secara langsung diperlukan untuk memutus mata rantai oligarkhi partai
di DPRD. Kepentingan partai-partai dan bahkan kepentingan segelintir elite
partai acapkali dimanipulasi sebagai kepentingan kolektif masyarakat. Dengan
demikian pemilihan secara langsung bagi kepala daerah diperlukan untuk memutus
mata rantai politisasi dan atas aspirasi publik yang cenderung dilakukan
partai-partai dan politisi partai jika kepala daerah dipilih oleh elite politik
DPRD saja.
Kedua,
pemilihan secara langsung bagi kepala daerah diperlukan untuk meningkatkan
kualitas akuntabilitas para elite politik lokal, termasuk kepala-kepala daerah.
Mekanisme pemilihan kepala daerah yang berlaku dewasa ini cenderung menciptakan
ketergantungan berlebihan kepala-kepala daerah terhadap DPRD. Akbiatnya,
kepala-kepala daerah lebih bertanggung jawab kepada DPRD ketimbang kepada
masyarakat. Dampak lebih jauh dari kecenderungan ini adalah munculnya fenomena
kolisi dan politik uang (money politik)
antara para calon dan anggota DPRD di balik proses pemilihan kepala-kepala
daerah. Fenomena yang sama bisa dilihat dalam pemberian laporan
pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD yang tak jarang dijadikan semacam
proyek yang relatif “basah” oleh anggota Dewan.
Ketiga,
pemilihan langsung kepala daerah diperlukan untuk menciptakan stabilitas
politik dan pemerintahan ditingkat lokal. Pemberhentian atau pencopotan kepala
daerah ditengah masa jabatannya yang acapkali berdampak pada munculnya gejolak
politik lokal, dapat dihindari. Melalui pemilihan secara langsung atas
kepala-kepala daerah diharapkan bahwa gubernur, bupati, dan walikota yang
terpilih dapat menunaikan masa jabatannya secara penuh selama lima tahun.
Keempat,
pemilihan langsung kepala daerah akan memperkuat dan meningkatkan kualitas
seleksi kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya
pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah atau daerah. Kecenderungan
yang tidak sehat selama ini adalah bahwa para elite politik nasional hanya
berasal dari dan “beredar” di jakarta saja. Hampir tidak ada peluang bagi elite
politik lokal untuk mengembangkan kariernya menjadi elite nasional, sehingga
seolah-olah kita tidak mempunyai banyak pilihan ketika memutuskan siapa yang
pantas menjadi elite nasional. Padahal salah satu tujuan otonomi daerah menurut
Smith dalam Decentralization: the
teritorian dimension of the state adalah dalam rangka rangka pelatihan
kepemimpinan nasional.
Kelima,
pemilihan secara langsung jelas lebih meningkatkan kualitas keterwakilan
(representative) karena masyarakat dapat menentukan siapa yang akan menjadi
pemimpinnya di tingkat lokal.
Dari
pamaparan tersebut, dapat kita tarik benang merah mengenai keuntungannya, jika
kita melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung, bukan lagi dipilih
DPRD.
·
Rakyat bisa memilih pemimpinya sesuai
dengan hati nuraninya, sekaligus memberikan legitimasi yang besar bagi kepala
daerah yang terpilih.
·
Menghindari peluang distorsi oleh
anggota DPRD untuk mempraktekkan politik uang.
·
Terbuka peluang munculnya calon-calon
kepala daerah dari individu-individu yang memiliki integritas dan kapabilitas
dalam memperhatikan kepentingan rakyat, bukan berdasarkan kepentingan partai
tertentu, karena dengan sendirinya rakyat hanya akan memilih calon kepala
daerah yang memiliki track-record yang baik dalam memperjuangkan kepentingan
mereka.
·
Mendorong calon kepala daerah mendekati
rakyat agar bisa terpilih dengan demikian, tidak ada lagi orang yang tidak
dikenal rakyat di suatu daerah tiba-tiba menjadi kepala daerah tersebut.
·
Mendorong terjadinya peningkatan akuntabilitas
pertanggungjawaban kepala daerah kepada rakyat.
2. Otonomi daerah dan Kecenderungan
Kearah Demokrasi Langsung (Direct Democracy)
Ada
trend yang menarik bila melihat sistem demokrasi yang tengah berkembang di
beberapa negara yang tengah mengalami proses tarnsisi demokrasi layaknya
indonesia. Kebanyakan negara itu tidak
percaya lagi pada “representative
democracy” karena justru membuat dan memperkuat sistem kekuasaan yang
otoriter. Semula democracy representative di adopsi sebagai ciri dari sebuah
negara modern. Pada tahapan ini sebagian kekuasaan diserahkan kepada kelompok
tertentu atau politisi yang membuat putusan untuk dan atas nama kepentingan
masyarakat.
Dalam
konteks pemilihan langsung sebenarnya eksistensi otonomi daerah mengandung
makna strategis untuk setidaknya tiga kepentingan yang saling terkait. Pertama, perluasan arena demokrasi.
Asumsi ini didasarakan pada harapan-harapan bahwa proses-proses pengambilan
kebijakan termasuk didalamnya pilkada, haruslah mempraktikkan konsep demokrasi
seperti yang sudah dijelaskan. Apalagi semakin rendah level otonomi, semakin efektif
pula pengejawantahan konsep dan nilai demokrasi. Hak-hak individu warga negara
(citizen) dalam konteks ini benar-benar realisir.
Kedua,
mengefektifkan pelayanan masyarakat. Ketika segala kebijakan diambil pada
tingkat lokal (daerah otonom), dimana dengan sendirinya memotong rantai
birokrasi yang menjadi penghambat utama dalam pengelolaan pemerintahan yang
sentralistik, maka kebutuhan aspirasi dan kepentingan masyarakat pun bisa
dijawab oleh pemerintahan lokal.
Ketiga,
mempertahankan eksistensi keindonesian berdasarkan kepuasan masyarakat lokal.
Ketika kekuasaan dan kewenangan dilimpahkan ke daerah, ketika nilai-nilai
demokrasi substansial diwujudkan dalam pengelolaan daerah otonom, dan ketika
pelayanan masyarakat lokal dilakukan secara prima, maka pada saat itu
masyarakat daerah akan terpuaskan. Mereka akan beranggapan bahwa dengan otoda
masyarakat daerah akan menemukan sendiri hakekat kemanusiaanya.
3. Demokrasi dan Pilkada secara
Langsung
Demokrasi
bukanlah konsep yang statis, tetapi secara histori berevolusi. Secara
etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani “Demos” dan “kratos” yang
berarti pemerintahan oleh rakyat. Tetapi, dikalangan ilmuwan politik, tidak
terdapat konsensus tentang makna demokrasi itu. Sebagaimana diakui oleh Arend
Lijphart dan Robert Dahl mengenai delapan kriteria mengenai demokrasi
memperoleh dukungan yang cukup luas dan sering menjadi rujukan para ilmuwan
ketika berbicara mengenai demokrasi. Kedelapan kriteria yang dikemukakan oleh
Dahl adalah; 1). Adanya hak untuk memilih, 2). Hak untuk dipilih, 3). Hak para
pemimpin politik untuk bersaing memperebutkan dukunngan dan suara, 4). Adanya
pemilu yang bebas dan fair, 5). Kebebasan berorganisasi, 6). Kebebasan
berekspresi, 7). Terdapatnya sumber-sumber informasi alternatif, dan 8). Adanya
institusi-institusi pembuatan kebijakna-kebijakan publik yang bergantung pada
suara dan ekspresi-ekspresi pilihan lainnya. Dalam kerangka yang lebih empiris
lagi, delapan kriteria itu dikerucutkan ke dalam dua dimensi teoritis demokratisasi,
yaitu dimensi kompetisi dan dimensi inklusivititas.
Berangkat
dari dua dimensi demokrasi Dah itu, Renake Doorenspleet mengatakan bahwa suatu
rezim dikatakan demokratis manakala memenuhi dua kriteria: 1). Adanya institusi
dan prosedur yang memungkinkan warga negara mengekspresikan pilihan-pilihannya
secara efektif mengenai kebijakan-kebijakan alternatif ditingkat nasional, dan
adanya mekanisme kompetisi yang terlembagakan di dalam memperebutkan dan
mempertahankan kekuasaan, dan 2). Adanya inklusivitas yang cukup atau hak
berpartisipasi di dalam menseleksi para pemimpin atau kebijakan-kebijakan di
tingkat nasional.
Gagasan
yang muncul dari “deliberative democracy”
pada dasarnya dimaksudkan untuk membawa demokrasi dari sekedar mencakup ranah
prosedural ke ranah yang lebih subtansial. Gagasan demokrasi model demikian bermula
dari kritik terhadap model demokrasi prosedural bahwa demokrasi itu bukan sekedar
angka. Misalnya saja, berapa orang memilih atau setuju dengan
kebijakan-kebijakan tertentu, sehingga keluarlah siapa yang menjadi pemenang di
dalam sebuah kompetisi, atau kebijakan-kebijakan tertentu. Demokrasi, di dalam
pandangan para penggagas “deliberaive
democracy “ harus berangkat dari kerangka keterbukaan, adanya pemahaman
yang lebih serius mengenai isu-isu yang hendak diperbincangkan, menyadari
adanya beragam kepentingan, serta partisipatif di ranah-ranah publik. Dengan
kata lain, di dalam “deliberative
democracy”, deliberasi publik itu dilakukan secara bebas dan warga negara
dipandang secara sama, dan hal ini
merupakan unsur terpenting di dalam menilai legitimate tidaknya
keputusan-keputusan politik. Dalam situasi seperti ini, demokrasi membutuhkan
adanya instrumen yang memungkinkan terjangkaunya ranah-ranah publik itu.
Secara
ideal, gagasan di dalam teori “deliberative
democarcy” berangkat dari tiga tantangan di dalam proses demokrasi. Pertama
adalah apa yang disebut “the inclusive
constrain”. Didalam hal ini semua pihak harus dipandnag sama untuk ikut
memilih mengenai bagaimana memecahkan masalah-masalah bersama, meskipun pilihan
yang dihasilkan tidak harus didukung oleh suara bulat (a unanimous vote). Kedua adalah the judgment constraint. Sebelum diadakan
pemungutan suara, semua anggota yang terlibat di dalam proses itu diasumsikan
memiliki perhatian bersama mengenai masalah-maslah yang akan dipecahkan.
Ketiga, adanya “the dialogical constraint, yaitu bahwa semua pihak harus
terlibat di dalam dialog yang terbuka, tanpa adanya paksaan, antara yang satu
dengan yang lain, apakah hal itu dilakukan dalam konteks forum yang
tersentralisasi maupun yang terdesentralisasi. Tantangan seperti ini relatif mudah
terpecahkan ketika masyarakatnya sudah memiliki informasi yang cukup (well-informed). Tetapi, manakala
masyarakatnya terfragmentasi secara sosio-kultural, termasuk adanya kesenjangan
didalam kepemilikan inforemasi (pendidikan), tantangan seperti itu tidak mudah
dipecahkan.
Pelaksanaan
sistem demokrasi dalam suatu pemerintahan bisa dilihat dari dua perspektif;
perspektif minimalis-prosedural, dan perspektif maksimalis-substantif. Perspektif
minimalis prosedural memandang demokrasi sebagai sebuah prosedur penentuan
pemimpin politik. Sedangkan perspektif maksimalis-substantivis memandang
demokrasi sebagai sarana untuk mewujudkan kehendak rakyat, sebagai sarana untuk
meraih kebijakan umum. Dari kaca mata terakhir ini demokrasi membutuhkan
substansi kultur dan jiwa agar demokrasi terus lestari.
Kedua
perspektif sama pentingnya karena kualitas kehidupan yang diharapkan muncul
dari demokrasi tidak akan pernah hadir kalau tidak melalui prosedur yang
demokratik. Sementara itu terlalu menitikberatkan pada prosedur akan mengeser
demokrasi menjadi arena dan institusi politik formal semata.
Prinsip
terpenting dari prinsip demokrasi prosedural adalah pendapat Joseph Schumpeter
dalam bukunya capitalism, socialism, and democracy (1950). Menurut schumpeter
demokrasi itu pada dasarnay bersifat elitis, karena apa yang dikatakan sebagai
kehendak rakyat (common will) adlah
konsep yang itopis. Secara empirik, apa yang dikatakan sebagai kehendak rakyat
dalah hasil dari proses politik. Demokrasi harus diarahkan pada pemberian akses
yang besar kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses politik tersebut.
Pengertian
demokrasi kemudian direduksi sebagai suatu prosedur atau metode politik untuk menentukan
pemimpin. Menurut Schumpeter, demokrasi adalah
pengatturan kelembagaan untuk mencapai keputusan politik didalam mana
individu-individu melalui perjuangan untuk memperebutkan suara rakyat pemilih,
memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan.
Pelaksanaan
demokrasi itu sendiri bisa dinilai dari tiga indikator utama yaitu, pertisipasi, kompetisi, dan
kebebasan sipil. Ketiga hal pokok ini kemudian dilembagakan dalam pemiliu.
Melalui pemilu yang menjamin tiga elemen
pokok tadi, pejabat-pejabat politik di eksekutif dan legislatif yang akan
membuat dan menjalankan kebijakan degan memperhatikan aspirasi dan kepentingan
publik.
Secara
normatif Pilkada Langsung mempunyai peranan yang besar dalam upaya untuk
mendorong pendalaman demokrasi di tingkat lokal. Secara prosedur sistem pemilihan langsung
lebih menjamin keterlibatan masyarakat, ketimbang sistem perwakilan yang didominasi
DPRD yang mengandalkan formalisme semata dan rawan terhadap bentuk-bentuk
penyelewengan. Peranan itu antara lain: pertama, Pilkada Langsung akan membuka
ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam proses demokrasi dan
menentukan kepemimpinan politik ditingkat lokal. Kedua, pilkada langsung
mmungkinkan munculnya kandidat-kandidat yang lebih beragam dalam suatu
kompetisi yang lebih terbuka. Dibandingkan dengan sistem perwakilan, pilkad
langsung mereduksi praktik-praktik yang tidak fair seperti politik dagang sapi
dna politik uang. Ketiga, warga negara memiliki posisi yang setara dlam
mengaktualisasikan hak-hak politiknya tanpa harus mengidnuk pada
kepentingan-kepentingan elit politik. Keempat, Pilkad langsung memungkinkan
munculnya pemimpin yang aspiratif, handal dan memilki basis legitimasi dalam
masyarakat. Harapan ini membuka prospek bagi peningkatan kualitas dan
tanggungjawab pemerintah daerah terhadap masyarakat. Kelima, dengan basis
legitimasi yang kuat melalui pilkda, kepala daerah sama-sama mengklaim mandat
dari masyarakat sehingga muncul perimbangan kekuatan. Perimbangan kekuatan ini
sangat krusial bagi munculnya mekanisme check and balances, sebagai pengganti
mekanisme kompromi yang kolutif.
Faktor
utama yang menentukan keberhasilan untuk mendapatkan manfaat dari Pilkada
langsung adalah menghindari pilkada langsung adalah menghindari perangkap
demokrasi prosedural. Hal ini karena pertama, penekanan pada proses pemilihan
mengangagap bahwa demokrasi telah selesai setelah bupati, walikota, dan
gubernur terpilih. Seharusnya proses ini hanya menjadi entry point bagi keterlibatan yang lebih mendalam pada proses
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan. Kedua, terlalu menekankan pada proses
pemilihan juga menyebabkan faktor-faktor diluar dimensi pemilihan dan partai
politik, seperti budaya politik masyarakat terabaikan. Padahal budaya politik
masyrakat ini menyangkut orientasi /cara pandang, sikap masyarakat terhadap
sistem politik mereka . perangkap demokrasi formal juga mendorong pengabaian
variable lokal ini kebali akan membuka peluang bagi superioritas
nasional/pusat. Jika ingin berhasil baik, otonomi daerah dibarengi dengan
otonomi masyrakatyang dilambari dengan basis kultural lokal.
4. Rangkaian Pelaksanaan Pilkada
4.1.
Pemilihan
Kepala Daerah Melalui DPRD
Dalam
UU No 22/1999, pemilihan kepala daerah masih dilakukan oleh DPRD Provinsi, DPRD
kab/kota. Harus diakui, bahwa UU No 22/1999 telah memberi penguatan kepada DPRD
untuk menjalankan fungsi-fungsi normatifnya. Salah satu fungsi normatif yang dibebankan
kepada DPRD adalah memilih Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan
Walikota/ Wakil Walikota. Adanya fungsi ini sekaligus menunjukkan bahwa
kedudukan DPRD lebih tinggi dari kedudukan Kepala Daerah, apalagi dengan adanya
mekanisme pertanggung jawaban kepala daerah kepada DPRD, dimana dalam tataran
normatif memungkinan DPRD untuk menolak pertanggungjawaban Kepala Daerah.
Dari
segi mekanisme pemilihan kepala daerahm kedudukan DPRD ibarat penentu
segala-galanya, sebab hasil akhir dari proses pencalonan, penilaian, dan pemilihan
bakal calon (balon) hingga menjadi calon, dan seterusnya hingga ditetapkan
menjadi kepala daerah, sepenuhnya berada pada DPRD. Berikut ini kami akan
paparkan dalam sebuah bagan mengenai alur pemilihan kepala daerah oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPRD) provinsi, Kabupaten dan kotamadya.
Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah
Oleh DPRD
Rapat Paripurna DPRD :
Pasangan calon yang meraih
suara terbanyak dalam pemilihan di DPRD, ditetapkan sebagai kepala daerah
dengan keputusan DPRD
|
Rapat Paripurna DPRD :
Panitia pemilihan
melaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakilnya
|
Penilaian oleh pemipin DPRD
dan Ketua-Ketua Fraksi, selanjutnya penetapan pasangan Calon Kepala Daerah
dengan Keputusan Pimpinan DPRD (pasal 37 ayat 4 dan pasal 38 ayat 2)
|
Rapat Paripurna DPRD :
Mengukuhkan dan menetapkan
pasangan calon Kepala Daerah dan Wakilnya yang di ajukan oleh fraksi-fraksi
|
Fraksi-fraksi menetapkan,
kemudian mengajukan calon Kepala Daerah dan Wakilya di sertai penjelasan
dalam Rapat Paripurna DPRD (Pasal 36 ayat 2 dan Pasal 37 ayat 1)
|
Setelah melalui proses
penjaringan setiap fraksi menyaring bakal calon (balon) menjadi calon
kepala Daerah dan Wkil Kepala Daerah (Pasal 36 ayat 1)
|
Panitia Pemilihan :
Memriksa dan meneliti berkas
identitas bakal calon Kepala Daerah dan Wkilnya (pasal 35)
|
Rapat Paripurna DPRD :
Panitia pemilihan
melaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakilnya
|
4.2.
Pemilihan
Kepala Daerah secara langsung
Sedangkan
dalam UU No 32/2004, yang saat ini dipakai di Indonesi alur pemilihan kepala daerah adalah sebagai
berikut. Calon pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah
pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik
atau gabungan partai politik (pasal 59 UU No. 32 tahun 2004).
Partai politik atau gabungan partai politik dapat
mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan
sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari
akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang
bersangkutan.
Selain
dari partai, juga dimungkinkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
berasal dari jalur Independen. Ketentuan pengajuan calon independen ini
berdasarkan jumlah penduduk yang mendukung pencalonan calon. Syarat dukungan pasangan independen
untuk tingkat Gubernur:
Ø Untuk provinsi berpenduduk 2 juta
jiwa harus didukung minimal 6,5% populasi
Ø Untuk provinsi berpenduduk 2-6 juta
jiwa harus didukung minimal 5% populasi
Ø Untuk provinsi berpenduduk 6-12 juta
jiwa harus didukung minimal 4% populasi
Ø Untuk provinsi berpenduduk 12
juta jiwa harus didukung minimal 3% populasi
Syarat dukungan pasangan independen
untuk tingkat Kabupaten/Kota:
Ø Untuk kab/kota berpenduduk
atau sama dengan 250 ribu jiwa harus didukung minimal 6,5% populasi
Ø Untuk kab/kota berpenduduk 250-500
ribu jiwa harus didukung minimal 5% populasi
Ø Untuk kab/kota berpenduduk 500-1
juta ribu jiwa harus didukung minimal 4% populasi
Ø Untuk kab/kota berpenduduk 1 juta
jiwa harus didukung minimal 3% populasi.
Pada saat mendaftarkan pasangan calon partai politik atau
gabungan partai politik wajib menyerahkan:
a. Surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai
politik yang bergabung.
b. Kesepakatan tertulis antarpartai politik yang bergabung
untuk mencalonkan pasangan calon.
c. Surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas
pasangan yang dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau
para pimpinan partai politik yang bergabung.
d. Surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan.
e. Surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai
pasangan calon.
f. Surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari
jabatan apabila terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
g. Surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri
bagi calon yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
h. Surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya sebagai
pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi
wilayah kerjanya.
i.
Surat
pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD dan DPRD yang mencalonkan diri
sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
j.
Kelengkapan
persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
k. Naskah visi, misi, dan program dari pasangan calon secara
tertulis.
l.
Kelengkapan
persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
m. Naskah visi, misi, dan program dari pasangan calon secara
tertulis.
n. Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan pasangan
calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh partai politik atau gabungan
partai politik lain.
o. Masa pendaftaran pasangan calon paling lama 7 (tujuh)
hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon.
Tahapan berikutnya KPUD melakukan penelitian terhadap
pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik.
Bilamana menurut KPUD pasangan calon tidak memenuhi semua persyaratan yang
ditentukan sebagaimana diatur pada pasal 59 UU No. 32 tahun 2004; KPUD
menetapkan pasangan calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan pasangan
calon (Pasal 61 UU No. 32 Tahun 2004). Partai politik atau gabungan partai politik dilarang
menarik calonnya dan/atau pasangan calon dan pasangan calon atau salah seorang
dari pasangan calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan
sebagai pasangan calon oleh KPUD.
Tahapan berikutnya dari pelaksanaan pemilihan kepala
daerah adalah pasangan calon kepala daerah yang diusulkan dalam Pilkada
memasuki masa kampanye.
Dalam hal salah 1(satu) calon atau pasangan calon
berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara
sehingga jumlah pasangan calon kurang dari 2 (dua) pasangan, tahapan
pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ditunda paling
lambat 30 (tiga puluh) hari dan partai politik atau gabungan partai politik
yang pasangan calonnya berhalangan tetap mengusulkan pasangan calon pengganti
paling lambat 3 (tiga) hari sejak pasangan calon berhalangan tetap dan KPUD
melakukan penelitian persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon
pengganti paling lambat 4 (empat) hari sejak pasangan calon pengganti
didaftarkan.
Setelah masa kampanye berakhir, maka pelaksanaan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan melalui masa
persiapan dan tahap pelaksanaan. Masa persiapan adalah meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. Pemberitahuan DPRD kepada daerah mengenai berakhirnya
masa jabatan.
b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa
jabatan kepala daerah.
c. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata
cara, dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
d. Pembentukan Panitia Pengawas Kecamatan (PKK), Panitia
Pemungutan Suara (PPS), dan Kepala Panitia Pemungutan Suara (KPPS).
e. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.
Demikian diatur dalam pasal 65 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004. Tahapan
pelaksanaan Pilkada berdasar Pasal 65 ayat (3) UU ini meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. Penetapan daftar pemilih.
b. Pendaftaran dan
penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah.
c. Kampanye.
d. Pemungutan suara.
e. Penghitungan suara.
f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala
daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan.
Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah, KPUD
mempunyai tugas dan berwenang sebagai berikut (Pasal 66 ayat (1)):
a. Merencanakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah.
b. Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
c. Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan
semua tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
d. Menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye,
serta pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
e. Meneliti persyaratan partai politik dan gabungan partai
politik yang mengusulkan calon.
f. Meneliti persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang diusulkan.
g. Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi
persyaratan.
h. Menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye.
i.
Mengumumkan
laporan sumbangan dana kampanye.
j.
Menetapkan
hasil rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah.
k. Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pilkada.
l.
Melaksanakan
tugas dan wewenang lain yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan.
m. Menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana
kampanye dan mengumumkan hasil audit.
Berdasarkan ayat (3) pasal 66 DPRD dalam penyelenggaraan
Pilkada bertugas dan berwenang:
a. Memberitahukan kepada kepala daerah mengenai akan
berakhirnya masa jabatan.
b. Mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang berakhir masa jabatannya dan mengusulkan kepala daerah dan wakil
kepala daerah terpiliah.
c. Melakukan pengawasan pada semua tahapan pelaksanaan
pemilihan.
d. Membentuk panitia pengawas.
e. Meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD.
f. Menyelenggarakan rapat paripurna untuk menyelenggarakan
penyampaian visi, misi, dan program dari pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah.
Panitia pengawas yang dibentuk oleh DPRD mempunyai tugas
dan wewenang menurut Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang ini adalah sebagai
berikut:
a. Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pilkada.
b. Menerima laporan adanya pelanggaran pendaftaran peraturan
perundang-undangan dalam Pilkada.
c. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan
Pilkada.
d. Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat
diselesaikan, kepada institusi yang berwenang.
e. Mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan
pada semua tingkatan.
Sebelum memasuki tahapan pemungutan suara, pasangan calon
kepala daerah/wakil kepala daerah menyelenggarakan kampanye. Berdasar pasal 75
Undang-Undang ini masa kampanye adalah 14 (empat belas) hari dan berakhirnya 3
(tiga) hari sebelum hari pemungutan suara.
Penetapan kampanye dan tim kampanye dibentuk oleh
pasangan calon bersama-sama partai
politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon tim
kampanye menurut Undang-Undang ini didaftarkan ke KPUD bersamaan dengan
pendaftaran pasangan calon. Penanggungjawab kampanye adalah pasangan calon,
yang pelaksanaannya dipertanggungjawabkan oleh tim kampanye.
Mengenai jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh KPUD
dengan memperhatikan usul dari pasangan calon (Pasal 75 ayat 9 UU No. 32 tahun
2004). Pelaksanaan kampanye dapat dilaksanakan melalui:
a. Pertemuan terbatas.
b. Tatap muka dan
dialog.
c. Penyebaran melalui media cetak dan media elektronik.
d. Penyiaran melalui radio dan/atau televisi.
e. Penyebaran bahan kampanye kepada umum.
f. Pemasangan alat peraga ditempat umum.
g. Rapat umum.
h. Debat publik/debat terbuka antar calon, dan/atau
i.
Kegiatan
lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Demikian diatur dalam Pasal 76 ayat (1) Undang–Undang
ini. Dalam penyampaian materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan,
tertib, dan bersifat edukatif. Berdasar pasal 78 UU ini dalam kampanye dilarang
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mempersoalkan Dasar Negara Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
b. Menghina seorang, agama, suku, ras, golongan calon kepala
daerah/wakil kepala daerah dan/atau partai politik.
c. Menghasut atau mengadu domba partai politik,
perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
d. Menggunakan kekerasan, ancaman kekuasaan dan atau
menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat
dan/atau partai politik.
e. Mengganggu keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum.
f. Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan
untuk mengambil alih kekuasaan dari
pemerintah yang sah.
g. Merusak dan atau menghilangkan alat peraga kampanye
pasangan calon lain.
h. Menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan
pemerintah daerah.
i.
Menggunakan
tempat ibadah dan tempat pendidikan.
j.
Melakukan
pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan atau dengan
kendaraan di jalan raya.
Dalam pelaksanaan kampanye pasangan calon dilarang,
menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari (Pasal 85
UU No. 32 tahun 2004):
a. Negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya
masyarakat asing, dan warga negara asing.
b. Penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas
identitasnya.
c. Pemerintah, BUMN, dan BUMD.
Pasangan calon yang
melanggar ketentuan sebagaimana tersebut di atas dikenai sanksi
pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPUD. Setelah pelaksanaan kampanye
Pilkada selesai dilaksanakan, pelaksanaan pemungutan suara siap dilaksanakan.
Penentuan waktu dimulai dan berakhirnya pemungutan suara ditetapkan oleh KPUD
(Pasal 92 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004).
Dalam hal pelaksanaan pemungutan suara, suara yang
dianggap sah untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah apabila
sesuai dengan yang ditetapkan dalam Pasal 95 Undang-Undang ini. Setelah
pelaksanaan pemungutan suara Pilkada selesai dilaksanakan dimulai penghitungan
suara di tempat pemungutan suara oleh KPPS.
Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
memperoleh suara lebih dari 50% jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan
calon terpilih (Pasal 107 ayat 1). Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 107
ayat 1 tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah yang memperoleh suara
lebih dari 25% dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya
terbesar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersebut terdapat lebih dari satu
pasangan calon yang memperoleh suaranya sama, penentuan calon terpilih
dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas (pasal 107 ayat 3
UU No. 52 tahun 2004).
Dalam hal tidak
terpenuhi atau tidak ada yang mencapai 25% dari jumlah suara yang sah,
dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan
pemenang kedua. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua dinyatakan sebagai pasangan calon
terpilih.
Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih
pengesahan dan pengangkatannya dilakukan oleh presiden selambat-lambatnya dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari (Pasal 109 ayat 1). Sedang pengangkatan pasangan
calon bupati dan wakil bupati atau walikota terpilih dilakukan oleh Menteri
Dalam Negeri atas nama Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari (pasal 109 ayat 2).
Berdasar
pasal 109 ayat (3) Undang-Undang ini pasangan calon gubernur dan wakil gubernur
terpilih diusulkan oleh DPRD Provinsi, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga)
hari kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara
penetapan pasangan calon terpilih dari KPU, Provinsi untuk mendapatkan
pengesahan pengangkatan. Untuk calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan
wakil walikota terpilih, diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya
dalam waktu 3 (tiga) hari kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur
berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU
Kabupaten/Kota untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.
4.3.
Sebuah
kasus dari Jogja!
Dalam
Pilkada Kota Yogyakarta tahun 2011, tiga pasang calon wali kota dan wakil wali
kota bertarung. Ketiga pasangan ini memperebutkan sebanyak 322.840 suara.
Pasangan nomor urut 1 adalah kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Zuhrif Hudaya
bersama wakilnya, Aulia Reza Bastian. Bakal calon wali kota yang telah
ditinggal Gerindra ini diusung PKS, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Kasih
Demokrasi Indonesia, Partai Karya Peduli Bangsa, dan Partai Republikan
Nusantara.
Pasangan
nomor urut 2 adalah putra mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien
Rais, Hanafi Rais dan Tri Harjun Ismaji,mantan Sekretaris Daerah Provinsi DIY.
Hanafi dan Tri Harjun diusung empat partai besar dan sembilan partai yang
tergabung dalam Koalisi Mataram. Keempat partai pengusung Hanafi-Tri Harjun
adalah Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional,
dan Partai Gerakan Indonesia Raya.
Adapun
sembilan partai yang tergabung dalam Koalisi Mataram adalah Partai Bulan
Bintang, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Sejahtera, Partai Demokrasi
Kebangsaan, Partai Pekerja dan Pengusaha Indonesia, Partai Peduli Rakyat
Nasional, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Demokrasi Pembaruan,
dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama. Pasangan nomor urut 3 adalah, Wakil Wali
Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, yang berpasangan dengan Imam Priyono. Pasangan
ini didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar.
Pemilihan
Langsung Walikota Yogyakarta ini dimenangkan
oleh pasangan nomor urut 3, Haryadi Suyuti dan Imam Priyono. Hasil rekapitulasi
perolehan suara secara keseluruhan, suara sah sebanyak 200.726, sedangkan suara
tidak sah 8.017 suara. Pasangan nomor urut 1, Zuhri Hudaya-Aulia Reza Bastian
memperoleh 19.557 suara atau 9,7 persen. Pasangan nomor 2, Hanafi Rais-Tri
Harjun Ismaji memperoleh 84.122 suara atau 41,9 persen. Pasangan nomor 3,
Haryadi Suyuti-Imam Priyono memperoleh 97.074 suara atau 48,3 persen.
5. Problematika Pilkada
Keberhasilan
pilkada bisa dilihat dari sejauhmana proses Pilkada secara kualitatif mendorong
demokratisasi di tingkat lokal. Pada tataran prosedur, Pilkada dihadang oleh
serangkaian masalah yang tidak kurang akan menghambat tercapainya tujuan
demokrasi lokal. Pertama, persoalan partisipasi. Partisipasi dalam pilkada akan
mendorong peningkatan kualitas demokrasi lokal apabila ada kesadaran kritis
dari masyarakat untuk menggunakan hak-haknya. Persoalan yang mendesak dari segi
partisipasi adalah tingkat kepercayaan masyarakat untuk menggunakan hak-haknya.
Persoalan yang mendesak dari masyarakat untuk menggunakan hak-haknya. Persoalan
yang mendesak dari segi partisipasi ini adalah tingkat kepercayaan masayrakat
yang rendah pada partai politik dan otonomi daerah. Kondisi ini cenderung
mendorong perilaku golput sebagai bentuk protes terhadap sistem politik.
Persoalan lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah munculnya pola-pola
partisipasi semu sebagai hasil mobilisasi dan pembelian suara. Peluang ini
sangat dimungkinkan oleh kelemahan sistem administrasi kependudukan, dan kondisi sosial ekonomi masyrakat yang
rawan dosogok.
Kedua,
persoalan kompetisi. Meskipun persoalan-persoalan kompetisi yang timpang dalam
UU No. 32/2004. Persoalan bisa muncul dari kredibilitas dan kemampuan KPUD dan
panitia pengawas. Dalam aturan yang disesuaikan KPUD memiliki posisi yang
sangat besar dalam pilkada, sementara pertanggungjawaban KPUD kepada publik
tidak diatur secara jelas kecuali KPUD hanya akan mempertanggungjawaban
anggaran kepada DPRD.
Pada
posisi pengawasan, anggota Panwas diangkat dan bertanggung jawab kepada DPRD,
sehingga mengurangi independesi. Terlebih lagi UU tidak banyak mengatur
limitasi pengkajian laporan dan level pengadilan nama yang berwenang mengadili
perkara-perkara yang timbul dalam pilkada. Persoalan lain menyangkut posisi
netral birokrasi Pemda. Ada indikasi yang kuat bahwa dalam birokrasi
dimanfaatkan terkait dengan upaya politik dari kepala daerah yang akan berakhir
masa jabatannya untuk mendukung salah satu kandidat.
Ketiga,
persoalan kebebasan sipil. Persoalan yang mengemuka dari kebebasan sipil ini
adalah pengguna instrumen-instrumen kekerasan untuk memaksa pemilih melalui
intimidasi, teror dan premanisme. Kalau ini terjadi, pilkada justru menjadi
penghambat kebebasan sipil. Persoalan kebebasan juga trerkait dengan miskinnya
informasi pemilih terhadap proses pejaringan kandidat, maupun pendanaan
pemilihan. Ada sebuah prediksi kuat bahwa Pilkada cenderung dimenangkan oleh
pejabat lama (incumbent), karena relatif memiliki publisitas dan dikenal masyarakat.
Untuk melengkapi proses pemilihan, penyelenggaraan pilkada langsung juga harus
dibarengi dengan perbaikan-perbaikan dalam sisi partisipasi, kompetisi dan
kebebasan sipil. Dari segi partisipasi harus mulai dipikirkan secara serius
format pendidikan politik agar masyarakat bisa menggunakan hak-haknya secara
berkualitas. Penggunaan hak itu harus didahului penanaman kesadaran kritis agar
masyarakat bisa menentukan pilihannya secara mandiri. Selain itu, Pemda juga
harus mulai menata adminsitrasi kependudukan, sehingga kecenderungan mobilisasi
pemilih, kecurangan daftar pemilih dan diskriminasi pemilih bisa dihindari.
Dari
segi kompetisi, batas-batas legitimasi politis yang dimiliki oleh kepala daerah
dan legitimasi profesional yang dimiliki oleh birokrasi harus ditegaskan.
Penegasan ini akan mendukung netralitas birokrasi. Terlebih lagi penegasan itu
akan memantapkan birokrat sebagai alat pemerintah daerah untuk
mengimplementasikan kebijakan, bukan alat dari kepala daerah.
Dari
segi kebebasan politik, perbaikan harus dilakukan dengan menggiatkan wacana
pluralisme dalam masyarakat. Wacana-wacana pendatang pribumi dan perbedaan
primordialime lainnya akan berakibat kontraproduktif terhadap proses pemilihan
kepala daerah yang demokratis.
5.1.
Kekerasan
politik
Kekerasan
politik terus berlangsung tanpa henti secara teoritikk termasuk salah satu ciri
failed satae, Perang Kota Kecil karya Gerry Van Klinken menjelaskan bahwa
kekerasana politik merupakan bagian integral dari perjalanan pilkada itu
sendiri. Bahkan beberapa laporan mengatakan bahwa PILKADA mengarah pada
kekerasan politik.
Ketidak
berdayaan negara dalam mnecegah kekerasan politik dalam pilkada
mengisyarakatkan menipisnya otoritas negara sebagai pemangku sah pangguna
kekerasan. Dari sisi aktor yang terlibat menggunakan kekerasan politik dalam
pilkada bisa di pilah menjadi tiga, yakni
Pertama
elit partai politik yang tidak menerima kekkalahan sering kali menyulut
terjadinya konflik dan perpecahan dalam masyrakat, kedua, masyrakat pada
tataran akar rumput terjadi ledakan dalam bentuk huru hara, kekerasan politik,
, amuk massa, di hampir semua penyelenggaraan pilkada, ketiga aparatur negara
(birokrasi, tentara, pejabat politik yakni DPRD) sering kali melakukan
mobilisasi proses pelakanaan pilkada yang berujung pada kekerasan politik.
Keterlibatan
tiga aktor tersebut dalam kekerasan politik mempunyai daya rusak yang tinggi.
Daya rusak yang di timbulkan lewat kekerasan politik bisa berbentuk fisik
maupun non fisik.
5.2.
Hukum
yang labil
Banyaknya
kasus pelanggaran hukum terjadi akibat dari lemahnya penegakan hukum yang
dilakukan oleh aparatur negara (pengadilan, jaksa, polisi) sudah berlangsung
lama. Kasus seperti penggelembungan suara, mencuri start dalam kampanye,
pemukulan hingga penggunaan politik uang.
Hukum
yang tidak di tegakkan akan mudah membuat situasi pemerintahan mengalami dis
order. Dan ketidakteraturan itu, bisa berdampak pada huru-hara-kekerasan
politik-pemaksaan kehendak. Dalam konteks pilkada, pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kpud
terjadi dibanyak daerah pemilihan kepala daerah. misalnya massa yang tidak mau
menerima calonnya yang tidak lolos verifikasi. Hal ini terjadi di daerah
sukoharjo, surabaya dan halmahera.
Politik
uang dalam pilkada sudah menjadi tren baru dalam perebutan kekuasaan, baik di
tingkat nasional maupun tinggkat daerah. dan hampir peristiwa politik tidak
pernah lepas dari mekanisme penggunaan politik uang. Karena itu, tidaklah
mengherankan apabila di katakan bahwa hampir semua pilkada yang dilaksanakan
tidak pernah sepi dari persoalan politik uang. Bahkan ada pengamat yang
mensinyalir bahwa aroma politik uang dalam pilkada begitu kental warnanya.
Hasil
jajak pendapat Kompas juga menyebutkan bahwa 73,3% calon kepala daerah tidak
pernah lepas dari politik uang. Mulyana W Kusuma menambahkan praktik
penyelenggaraan pilkada telah menghabiskan biaya amat tinggi baik biaya resmi
negara maupun biaya amat tinggi. Baik biaya resmi negara maupun biaya politik
yang dikeluarkan bakal calon maupun calon pasangan resmi.
Hasil
riset TIM Politik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD) Universitas Gajah Mada
mengakui hal ini dalam laporannya menyebutkan bahwa “persoalan politik uang
merupakan persoalan akut yang masih mewarnai
tahapan kampanye serta proses pilkada. Politik uang dalam ini merupakan
cara ilegal dalam mempengaruhi prilaku pemilih sehingga bersedia memberikan
dukungan terhadapa calon tertentu. Dalam masa kampanye pilkada, praktek politik
uang ini muncul dalam berbagai bentuk, seperti pembagian sembako-pemberian uang
kehadiran-pemberian uang transport dan seterusnya”
Politik
uang sudah menjadi bagian integral dari penyelenggaran pilkada. Dahsyatnya
pengaruh uang dalam pilkada terekam begitu indah dalam ingatan kolektif
masyarakatpada kali ini, politik uang mengikuti pemilih dan penggiat partai
politik. Di beberapa daerah partai politik tidak sungkan-sungkan memasang tarif
khusus jika ada kandidat yang membutuhkan tumpangan. Tentu saja gejala politik
seperti ini berbeda pada masa orde baru, dimana politik uang hanya mengikuti para
anggota DPRD yang jumlahnya sangat terbatas di parlemen.
Sangat
masuk akan bila dikatakan bahwa politik uang dalam pilkada sudah terlembaga
begitu sempurna. Politik uang memiliki akar sejarah yang panjang dalam pilihan
pemimpin di tinggkat lokal. Patut dicatat bahwa tradisi politi, baik secara
etis-politik maupun hukum tidak bisa dibenarkan. Bahkan secara konstitusi,
politik uang tidak mendapat ruang .
Secara
umum, politik uang dalam pilkada mengingkari tiga hal yang paling esential.
Mengutip pendapat Georgoris Sahdan yakni pertama, vote buying mengikari cita-cita etis masyrakat, untuk membentuk,
mengembangkan dan mengelola pemerintahan yang demikratis. Tantanan pemerintahan
yang demokratis, akuntabel dan berkeadilan hanya bisa berdiri diatas sendi-sendi
kandidat yang baik, kebebasan rakyat untuk menentukan pilihan dan kejujuran
dalam berkompetisi.
Kedua,
vote buying dapat mendistorsi
kualitas calon kepala daerah. kandidat kesejahteraan masyarakat yang terpuruk
yang mempunyai uang yang banyak dengan sumber yang tidak jelas dapat mengelabui
konstituen. Dengan kondisi kesadaran politik masyarakat yang masih lemah, uang
dapat di terima sebagai tawaran kegembiraan, apalagi jika didukung dengan
kemiskinan yang akut. Kondisi busung lapar di beberapa daerah merupakan lahan
subur bagi penggunaan politik uang dalam
pilkada.
Ketiga,
aktor-aktor yang bermain di dalam pilkada secra etis dipandang sebagai orang-orang yang memiliki
niat, cita-cita dan tujuan yang mulai. Dengan menggunakan uang, aktor-aktor ini
melukai nat baiknya sendiri. Menjadi kepala daerah bagi mereka sebagai “alat
prosduksi capital” yang bisa menghasilkan uang sebanyak-banyknya. Dengan
begitu, tujuan utnuk menjadi kepala
daerah bukan untuk menjamin pertembuhan demokrasi, ekonomi, kesejahteraan dan
keadilan bagi masyarakat, tetapi unutk mengakumulasi kekayaan.
6. Prospek Pemilihan Kepala Daerah di
Indonesia
6.1.
Pilkada
dan prospek akuntabilitas Pemerintah Daerah
Proses
demokrasi ditingakat lokal tidak hanya berhenti sampai dengan terpilihnya
kepala daerah dan wakil kepala daerah (segi prosedur). Dari segi substansi
Pilkada Langsung merupakan instrumen untuk mendapatkan kepemimpinan politi yang
lebih akuntabel dan responsif, mendekatkan pemerintah ddaerah dengan warga,
yang akan mendorong peningkatan pelayanan dan kesejahteraan bagi kepemimpinan
politik yang muncul hanya representasi kepentingan segolongan elite yang
berkuasa. Ajuntabilitas ini akan menjadi ukuran keberhasilan
substantif-kualitatif dari demokrasi lokal, sekaligus menjadi pencapaian
penting bagi perkembangan kultur/jiwa demokrasi di tingkat lokal.
Akuntabilitas
sering didefinisikan secara luas. Manin, Przeworski dan Stokes menyatakan:
sebuah pemerintahan dikatakan sebagai akuntabel apabila warga negara bisa
membedakan pemerintahan yang representatif dan tidak representatif, dan warga
negara bisa memberikan sanksi dan mempertahankan mereka-mereka yang mempunyai
kinerja baik dan membuang yang bekinerja buruk. Suatu mekanisme akuntabilitas
adalah sebuah peta dari hasil tindakan pejabat publik dan sanksi yang diberikan
oleh warga negara.
Pada
tataran yang sama, Starling (1998) menyatakan bahwa akuntabilitas adalah
kesedian untuk menjawab pertanyaan publik. Artinya suatu organisasi harus bisa
menjawab pertanyaan-pertanyaan dari luar dirinya, dan ketika ada kesalahan maka
seseorang harus bertanggung jawab. Benang merah dari dua pendapat tersebut
adalah bahwa yang akuntabilitas adalah ukuran yang menunjuk apakah aktivitas
birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai
dengan norma dan nilai yang dianut masyarakat dan apakah pelayanan publik
tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat dengan demikian akuntabilitas
terkait dengan falsafah bahwa lembaga-lembaga pemerintah bertugas melayani
rakyat dan bertanggungjawab kepada rakyat.
Pilkada
merupakan akses bagi terbentuknya kepemimpinan daerah yang akuntabel. Kekuatan
Pilkada terletak pada pembentukan dan implikasi legitimasi yang dihasilkannya.
Kepala daerah membutuhkan legitimasi yang terpisah dari DPRD sehingga harus
dipilih oleh rakyat. Mekanisme pemilihan ini secara teoritik akan lebih
mendekatkan kepala daerah dengan masyarakat, perhatian yang lebih besar
terhadap kepentingan masyarakat dan terutama tanggungjawab kepala darah kepada
rakyat. Melalui pemilihan terpisah, kepala daerah memiliki kekuatan yang
berimbang dengan DPRD sehingga mekanisme check
and balance akan berjalan lebih baik. kepala daerah dituntut untuk
menghasilkan kinerja yang optimal dalam melayani, melindungi dan membangun
kesejahteraan masyarakat. Kalau kinerja itu tidak muncul, logika pemilihan akan
menggusur kepala daerah dari jabatannya.
Perubahan
menuju akuntabilitas pemerintah daerah hanya bisa dilakukan melalui sinergi
yang dibangun oleh kelompok-kelompok yang bergerak di wilayah sipil dan
mereka-mereka yang bergerak di politik. Sinergi itu akan muncul dalam kualitas
penyelenggaraan pemerintahan seperti prinsip kontrol dan pengawasan, prinsip
transparansi anggaran, akomodasi kepentingan masyarakat dalam formulasi
kebijakan daerah, peningkatan pelayanan publik dan peningkatan kapasitas
pemerintah dalam menangani permasalahan-permasalahan daerah.
6.2.
Gubernur
dipilih DPRD, Bupati / Walikota dipilih langsung (Sebuah Tawaran)
Melihat
fenomena sekarang ini, dimana biaya pilkada yang begitu besar dan juga berbagai
kendala lainnya, sudah saatnya kita menata ulang kembali pelaksanaan Pilkada di
indonesia. Biaya yang dikeluarkan untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
begitu besar sedangkan kewenangan yang diberikan kepada Gubernur saat ini sangat
terbatas. Tugas Gubernur adalah saat ini kebayakan tugas dekonsentrasi sehingga
Gubernur tidak sepenuhnya menjalankan tugas otonom. Jika terjadi politik uang,
besaran uang yang dikeluarkan tidak sebesar pilkada langsung. Untuk pembiayaan
pemilihan juga bisa ditekan daipada pemilihan langsung. Bayangkan saja tahun
ini dalam rencana Pemilihan Gubernur Jawa Timur diperkirakan akan memakan biaya
900 miliar rupiah. Uang yang sebenarnya diperuntukkan kepada pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat hanya habis dalam pemilihan kepala daerah (khusus
Gubernur/Wakil Gubernur) yang
diselenggarakan beberapa hari. Selain dengan biaya yang besar, ini bisa
menyebabkan APBD daerah-daerah yang miskin bisa defisit, malahan mungkin bisa
menjadi hutang untuk melaksanakan sebuah Pilkada langsung.
Sedangkan
untuk pemilihan Bupati/ Wakil Bupati dan Walikota/ Wakil Walikota tetap dalam bentuk
pelaksanaanya secara langsung. Ini disebabkan Bupati dan Walikota tugas nya
begitu besar dalam otonomi daerah saat sekrang ini. Tugas utama mereka adalah
melayani masyrakat. Dengan asumsi demikian kami bermaksud memberikan tawaran
ini karena tugasnya melayani, maka orang yang melayani (bupati/walikota)
tersebut adalah orang pilihan masyarakat. Konsep untuk menekan biaya langsung
dalam pemilihan Bupati/Walikota secara langsung ini adalah dengan melaksanakan
pemilihan kepala daerah serentak.
Daftar Pustaka
Afifi,
Subhan. Dkk. (Ed.). 2005. Pilkada
Langsung dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Yogyakarta: UPN Press.
Dahl. A, Robert. 2001. Perihal Demokrasi. Jakarta: IKAPI
Djojosoekarto,
Agung Dkk (ed.) . 2004. Pemilihan
langsung kepala daerah: transformasi menuju demokrasi lokal Jakarta:
Adeksi.
Dwiatmoko,
Arif. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Dalam
Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah Terhadap UU No 32/2004 Tentang
Pemerintahan Daerah). Jurnal
Eko,
Sutoro. 2003. Transisi Demokrasi
Indonesia: Runtuhnya Rezim Orde Baru. Yogyakarta: APMD Press.
Huntington, Samuel P.
1983. Tertib Politik. Jakarta: CV
Rajawali.
Klinken, Gerry Van.
2007. Perang Kota Kecil, Jakarta :
YOI dan KITLV-Jakarta.
Laporan Riset PLOD, ”Rapid Assesment
on Pilkada 2005”, PLOD 2005
Lasleet, Peter (Ed.).
2003. Debating Deliberative Democracy.
Melbourne: Blackwell Publishing.
Marijan,
Kacung. 2006. Demokratisasi Di Daerah:
Pelajaran dari pilkada secara langsung. Surabaya: PusDeHAM.
Pamungkas, Sigit. 2009.
Perihal Pemilu. Yogyakarta: Polgov
Robinson,
R, dan Hadiz, V.R. 2004. Reorganising
Power in Indonesia: The politics of Oligarchy in an Age of Market. London:
Routledge.
Sahdan, Haboddin, Dkk
(Ed.). 2008. Negara Dalam Pilkada.
Yogyakarta: IPD Press.
Syafruddin, ”Demokrasi di Bantul: Studi Tentang Pilkada
di Bantul”. Thesis S2 PLOD, Tidak dipublikasikan.
Undang-Undang No 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
No comments:
Post a Comment