Oleh : Fahrezi, S.IP*
Mengenal
Nagari
Perubahan itu tidak untuk
dilawan akan tetapi untuk dijalankan. Siapa yang melawan perubahan, maka ia
akan mati ditelan perubahan itu sendiri. Masuknya globalisasi di dalam
kehidupan kita saat sekarang ini bukan dianggap sebagai ancaman melainkan
sebagai sebuah tantangan untuk kemajuan. Tulisan saya berikut ini akan
memaparkan kearifan lokal yang ada di Sumatera Barat untuk dapat mengadopsi
globalisasi tanpa menghilangkan jati diri orang minangkabau sendiri. Sistem
yang memfilter (menyaring) globalisasi
ini disebut sebagai Nagari. Lembaga pemerintahan asli orang Minangkabau sejak
dulu kala.
Nagari pada awalnya dinilai
sebagai basis demokrasi di Minangkabau. Institusi ini dipercaya sudah ada sejak
lama, bahkan, jauh sebelumnya dikenal sistem kerajaan (Ronidin, 2006:77).
Nagari bersifat otonom, seperti tercermin dalam ungkapan adat salingka nagari (adat selingkar nagari). Selain memiliki
teritorial yang jelas, nagari juga mempunyai pemerintahan dan adat tersendiri
yang mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Itulah sebabnya mengapa
nagari-nagari di Minangkabau disebut ’republik-republik mini’ (Manan, 1995).
Nagari merupakan bentuk self governing community yang berbasis pada adat atau
semacam republik kecil tadi yang mempunyai kekuasaan dan otonomi penuh
(Summarty, 2007:22).
Nagari menyerupai sebuah the local state, tetepi ia mungkin tidak bisa dikatakan sebagai
sebuah Negara modern dalam pengeritian Max Weber sebagai lembaga yang mempunyai
monopoli penggunaan sarana-sarana kekerasan secara absah (Eko, 2005:21).
Artinya nagari bukanlah bentuk kecil
Negara sebagai organisasi kekuasaan yang
tersusun secara hirearkhis-sentralistik serta ditopang oleh birokrasi
yang digunakan penguasa untuk memerintah rakyatnya. Namun, nagari yang seperti
ditegaskan oleh Mestika Zed (1996), justru menyerupai “Negara-kota” (polis)
pada zaman Yunani Kuno, dimana setiap nagari bertindak seperti
republik-republik kecil yang satu sama lain tidak mempunyai ikatan structural
dan terlepas dari kekuasaan federal pusat. Nagari yang dipmpin secara kolektif
oleh penghulu suku bersifat otonom dan tidak tunduk pada raja di pagaruyung, melainkan
berbasis mewakili kaum (warga) dan keluarga dalam nagari itu sendiri.
Menurut pemahaman sederhana dalam sistem republik
kecil, unit-unit politik ada secara terus menerus tanpa menghiraukan masuk dan
keluarnya pemimpin-pemimpin tertentu. Anggota-anggota unit politik tidak
dilihat sebagai “saudara”, tetapi sebagai warga. Kepemimpinan ditandai oleh
adanya pejabat resmi, para spesialis, dan dewan-dewan. Mereka dapat
mendelegasikan aspek-aspek tertentu dari tanggung jawab kepemimpinannya kepada
asosiasi, atau komite, dan mereka biasanya mempercayai bahwa dewan orang-orang
merdeka, atau dewan suku dan dewan nagari memiliki keuasaan tertinggi dalam
memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan umum. Dalam sistem
republik beberapa ketentuan diikuti, antara lain pemilihan atau rotasi
pemimpin-pemimpin, tugas-tugas pemimpin dengan jelas ditentukan ,
pemimpin-pemimpin mempunyai kekuasaan tertinggi, jabatan merupakan kepercayaan
masyarakat dan pejabat adalah pelayan masyarakat.
Pada dasarnya, nagari disusun
berdasarkan prinsip-prinsip sistem kekerabatan matrilineal dan teritorial.
Sebagai unit pemerintahan terendah, nagari adalah lembaga yang melaksanakan
kekuasaan pemerintahan melalui Kerapatan Adat Nagari yang berfungsi sebagai
badan eksekutif, legislatif dan yudikatif merunut trias politica Montesque. Kerapatan Adat Nagari (KAN) juga mewakili
kepentingan nagari terhadap nagari-nagari lainnya ataupun struktur kekuasaan
lebih tinggi (Rafni dan Suryanef, 2005:353-354).
Pepatah adat menyebutkan
persyaratan sebuah nagari adalah ”babalai
bamusajik, balabuah balanggang, batapian tampek mandi”. Dengan demikian,
suatu daerah dikatakan sebuah nagari jika daerah tersebut telah memiliki balai
adat tempat bermusyawarah, masjid tempat beribadah, jalan untuk kepentingan
penghubungan, gelanggang untuk berolahraga dan bermain, dan tepian tempat mandi
(AA. Navis, 1984:92).
Pada awalnya, pembentukkan
nagari melewati proses yang panjang, sepanjang sejarah kehidupan masyarakat
tinggal di nagari tersebut. Pembentukkan nagari selalu berkaitan dengan proses
persebaran penduduk, perpindahan, atau penggabungan kelompok masyarakat. Ada
empat proses terbentuknya nagari yaitu banjar,
taratak, koto, dan baru menjadi nagari
(Oki, 1978:4). Banjar atau disebut juga kabul merupakan tahap awal dalam
pembentukkan nagari. Masyarakat ini masih belum terlalu lama menetap disatu
tempat dan masih tinggal di bangunan panggung sedang bertiang empat (dangau). Penduduk yang tinggal di banjar hanya berasal dari satu suku
dengan mata pencaharian berburu dan berladang. Dari banjar selanjutnya berubah
menjadi Taratak, yang mempunyai arti
bercocok tanam, sedangkan kampung tempat para penduduknya tinggal disebut
dusun. Di dusun ini tinggal dua suku asal, dengan adanya dua suku asal yang
berbeda ini, terbuka kemungkinan diantara kemungkinan diantara mereka menikah
dan mengembangkan keturunan. Setelah masyarakat dusun ini semakin berkembang,
mereka akan turun ke kaki bukit dan bermukim disana. Kelompok ini cenderung
memilih bermukim di pinggiran sungai dan anak-anak sungai. Perkampungan ini
kemudian berkembang menjadi koto.
Koto terdiri dari tiga suku berbeda. Perkembangan peduduk tahap ketiga ini
semakin pesat sehingga mereka membutuhkan lahan yang leih luas. Biasanya mereka
akan mencari tempat-tempat yang lebih luas untuk perkampungan mereka. Sebagian
besar penduduknya sudah membangun rumah permanen. Perkembangan ini kemudian
masuk pada tahap terakhir yakni tahap menjadi nagari.
Dalam sistem nagari, berlaku
kepemimpinan tungku tigo sejarang
secara bersama-sama memimpin masyarakat. Penghulu memimpin dalam sistem
kemasyarakatan, ulama dalam bidang keagamaan dan kaum cerdik pandai
(intelektual) dalam kehidupan sosial ekonomi serta pendidikan, sesuai dengan
hakikat dari demokrasi yang tidak bertumpu pada satu orang kekuasaan atau
monopoli kekuasaan layaknya otoriter, di adat Minangkabau kepemimpinan kolektif
itu memang berasal dari rakyat yang dipilih dan diangkat oleh warga nagari,
tidak ada kepemimpinan berdasarkan garis keturunan (feodalisme) dan tidak terpusat
pada satu kekuasaaan layaknya otoriter.
Secara sosiologis historis,
Minangkabau memiliki akar budaya yang kuat dan kokoh dalam proses meletakkan
dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang terintegrasi dengan berbagai aspek
kehidupan dalam masyarakat Minang itu sendiri. Masyarakat Minangkabau terkenal
sebagai masyarakat yang sejak dulunya sangat demokratis dan egaliter
sebagaimana tercermin dari perbedaan pandangan para leluhur orang Minangkabau
(Ronidin, 2006:103).
Musyawarah mufakat sebagai
landasan demokrasi lokal, orang Minangkabau cenderung menganggap musyawarah
sebagai demokrasi ’khas’ etnik Minangkabau. Pemusyawaratan yang dilakukan oleh
pemimpin tidak berdasar pada suara mayoritas sehingga sistem voting tidak dikenal. Musyawarah untuk
mencapai mufakat didasari asas saiyo-sakato
(seia-sekata) serta kesepakatan (konsensus). Hal itu tercermin dalam pepatah ’bulek lah buliah digolongkan, picak lah
buliah dilayangkan’ (jika bulat sudah boleh digolongkan dan kalau pipih
sudah boleh dilayangkan). Artinya suatu kesepakatan telah memperoleh
persetujuan bersama dan dapat dilaksanakan. Untuk mencapai kesepakatan,
musyawarah harus berpegang teguh pada prinsip alur dan patut (asas
rasionalitas) yang disesuaikan dengan kondisi, situasi, waktu dan tempat. Dengan
kata lain, tidak berlaku segala zaman dan keadaan.
Perbedaan pendapat dalam musyarawah di kenagarian
tidak menjadi penghalang dalam mencapai mufakat, itu dapat ditunjukkan dengan
ungkapan basilang kayu dalam tungku mako
api ka iduik (bersilang kayu dalam tungku, api akan hidup) artinya berbeda
pendapat, kalau dikelola dengan baik maka dapat memicu kemajuan. Namun
demikian, solusi atas perbedaan pendapat sedapat mungkin dilakukan melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti disebut dalam ungkapan bulek aia dek pambuluah bulek kato dek
mufakaik (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat). Musyawarah
mufakat ini jelas merupakan tradisi yang mengandung nilai-nilai demokrasi dan
telah berlangsung lama sejak dahulu.
Selain hal itu, dalam musyawarah ini juga memberikan
pelajaran kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Dan bisa menerima
perbedaan dalam setiap musyawarah, ini bertujuan mencegah terjadinya pepatah
adat yang mengatakan “rumah selesai,
pahat berbunyi” yang artinya setelah kata kesepakatan dibuat, namun
dibelakang terdapat ketidakpuasan yang berujung pada usaha penggagalan
keputusan yang telah dibuat bersama. Dengan demikian musyawarah harus
mengakomodir semua kepentingan yang ada, sehingga tidak ada lagi permasalahan
dikemudian hari setelah keputusan tersebut dibuat.
Oleh sebab itu, dapat dikatakan karakteristik dari
sistem otoritas tradisional minangkabau adalah demokrasi. Setiap orang secara
adat adalah sama suaranya, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Semua
masalah dirundingkan dalam permusyawaratan unit sosial tadi. Putusan diambil
sebagai hasil musyawarah, yang putusan tersebut dinamakan dengan mufakat
seperti dijelaskan diatas.
Watak demokratis adat Minangkabau juga tercermin
dari posisi perempuan dalam sistem kemasyarakatan. Perempuan minangkabau di
lambangkan dengan predikat ‘bundo
kanduang’ yang merupakan figur sentral dalam keseluruhan sistem keluarga.
Dalam arti fungsional, bundo kanduang
dipersonifikasikan oleh anggota keluarga, matang, dan memiliki kearifan (Naim,
2006:54). Dengan demikian, salah satu karakteristik demokrasi Minangkabau,
antara lain adanya penghargaan terhadap posisi perempuan sebagai bundo kanduang yang memiliki figur
sentral dalam sistem keluarga.
Kaum perempuan yang disebut bundo kanduaag
tadi, tidak hanya bergiat didalam kegiatan PKK dan karang taruna tetapi juga
terlibat dalam musyawarah BPN. Dalam pemilihan walinagari hak perempuan, juga
tak dibatasi. Meskipun calon yang muncul umunya laki-laki, calon perempuan
bukannya tidak dimungkinkan. Akhir-akhir ini beberapa nagari di Sumatera Barat
telah ada yang wali nagari-nya perempuan seperti nagari Gantuang Ciri di Kab.
Solok dan pjs wali nagari di nagari Tanjung
Kab. Tanah Datar juga perempuan. Secara umum boleh dikatakan bahwa
perempuan telah dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan publik di nagari.
Dalam adat Minangkabau posisi perempuan kuat karena dialah yang memiliki tanah.
Kelompok minoritas pun dilindungi, terutama pendatang. Para pendatang biasanya
hidup berbaur dengan masyrakat dalam bentuk perkawinan atau pekerjaan.
Sebenarnya perempuan Minangkabau dinilai punya watak
progresif. Alisyabana menggambarkan bahwa perempuan minangkabau mempunyai
kepercayaan atas dirinya sehingga mereka tidak bergantung sepenuhnya pada suami
yang dijemputnya. Dalam kehidupannaya perempuan minangkabau bisa bekerja dan
bertanggung jawab atas anak, rumah, dan tanah yang ikut dimilikinya serta
dikerjakan dan dinikmatinya. Kepada suami yang dijemputnya, perempuan
Minangkabau tidak merasa berhutang budi dan tidak bergantung. Dalam
perbuatannya., mereka bebas.
Kepercayaan diri perempuan Minangkabau ditunjang oleh
penguasaan mereka atas harta pusaka. Harta pusaka di Minangkabau diturunkan
melalui garis ibu (matrilineal). Itu berarti bahwa yang berhak menerimanya
adalah anggota keluarga perempuan. Anggota keluarga laki-laki dari sebuah
keluarga matrilineal tidak behak menerima harta pusaka. Mereka hanya
berkewajiban untuk menjaga harta pusaka itu agar tidak hilang dan
mengusahakannya bermanfaat bagi kaum kerabaytnya berdasarkan garis keturunan
ibu.
Dalam sistem demokrasi sejumlah
nilai budaya politik demokratis berkembang dengan
baik. Dinamika sosial ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat dalam
kehidupan politik dan pembangunan. Dalam sistem pemerintahan tradisional,
partisipasi masyarakat tidak hanya tetjadi dalam memilih pemimpin adat, tetapi
juga dalam membangun rumah gadang
(rumah kaum). Dalam hal itu, selain menyumbang material, masyarakat juga
bergotong royong menyumbangkan tenaganya. Suasana komunal masih sangat terasa
pada masyarakat Minangkabau.
Aktor-Aktor
Dalam
Pemerintahan Nagari
Sejak pemerintahan desa diganti dengan pemerintahan
nagari, maka dimulailah era baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Nagari disusun berdasarkan prinsip-prinsip sistem
kekerabatan matrilineal dan teritorial. Sebagai unit pemerintahan terendah,
nagari adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan melalui
Kerapatan Adat Nagari yang berfungsi sebagai badan eksekutif, legislatif dan
yudikatif merunut trias politica Montesque.
Kerapatan Adat Nagari (KAN) juga mewakili kepentingan nagari terhadap
nagari-nagari lainnya ataupun struktur kekuasaan lebih tinggi.
Bagan 1.
Struktur Kelembagaan Nagari di Sumatera Barat
a)
Pemerintahan
Nagari
Secara
kultural, nagari merupakan federasi genealogis yang dihuni beberapa suku,
sebagai kesatuan masyarakat yang terbentuk berdasarkan ikatan kekeluargaan
menurut pertalian keturunan yang ditarik dari garis ibu (matrilineal). Nagari
mempunyai wilayah sendiri
dengan batas-batas alam yang jelas dan mempunyai pemerintah yang beribawa dan
ditaati penduduknya. Pemerintahan nagari dilakukan oleh Dewan Kerapatan Adat
yang anggota-anggotanya terdiri atas penghulu-penghulu andiko sebagai wakil
keluarga, kaum atau suku.
Pemerintahan
nagari dijalankan Wali
Nagari bersama dewan
harian nagari (DHN). Keanggotaan Dewan Nagari dipilih langsung oleh rakyat yang
mengurus masalah-masalah pemerintahan. Bila dimasa lalu pengambilan keputusan
dilakukan dengan musyawarah mufakat, sejak saat itu dilakukan didasarkan pada
suara terbanyak.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Wali Nagari dibantu
oleh beberapa orang Kepala Jorong, semacam ketua RT. Wali Nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk
nagari) secara demokratis. Biasanya yang dipilih menjadi wali nagari adalah
orang yang dianggap paling menguasai tentang semua aspek kehidupan dalam budaya
Minangkabau, sehingga wali nagari tersebut mampu menjawab semua persoalan yang
dihadapi anak nagari. Adapun fungsi dari Wali Nagari antara lain sebagai
berikut:
1)
Melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangga
Nagarinya
2)
Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam wilayah Nagarinya
3)
Melaksanakan kegiatan yang ditetapkan bersama Badan Perwakilan Nagari
4)
Melaksanakan koordinasi terhadap jalannya pemerintahan, pembangunan dan
pembinaan kehidupan masyarakat di Nagari.
5)
Melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban
masyarakat
6)
Melaksanakan urusan pemerintahan lainnya.
Dalam
menjalankan pemerintahan nagari sehari-hari, seorang Wali Nagari dibantu oleh
Sekretaris Nagari. Sekretaris nagari berkedudukan sebagai unsur staf pembantu
Wali Nagari dan memimpin secretariat nagari. Sekretaris Nagari mempunyai tugas
melaksanakan administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di
nagari serta memberikan pelayanan administratif
kepada Wali Nagari. Adapun fungsi dari Sekretaris Nagari sebagai
berikut:
1)
Melaksanakan urusan
surat menyurat, kearsipan dan laporan
2)
Melaksanakan urusan
keuangan
3)
Melaksanakan
administrasi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyaratan
4)
Melaksanakan tugas dan
fungsi wali nagari apabila wali nagari berhalangan melaksanakan tugasnya
Secara
kultural perubahan dari pemerintahan nagari ke pemerintahan desa di Sumatera
Barat menimbulkan beberapa implikasi. Diantaranya seperti kepemimpinan formal
terendah telah bergeser dari kepemimpinan kolektif tali tigo sapilin (tali tiga sepilin) dan tungku tigo sajarangan (tiga tungku sejarangan) kepada Wali Nagari. Masa jabatan
walinagari adalah 6 tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali untuk
satu kali periode berikutnya.
Istilah “tigo tungku sajarangan” sendiri muncul
setelah masuknya islam, yakni penghulu, ulma, cerdik pandai yang berlangsung di
nagari-nagari dan suku-suku (sejenis marga) di minangkabau (Zuhro 2009: 102).
Pada tingkat alam minangkabau (wilayah adat seluruh orang minang) eksistensi
tigo tungku sajarangan terlihat adari pembagian kewenangan antara raja alam di
pagaruyuang, raja ibadat di sumpur kudus, dan raja adat dib u. ini menunjukkan
bahwa kepemimpinan diminangkabau bersifat kolektif dan setara.
Hal senanda juga diungkapkan Nusyirwan Effendi (2004)
pada awalnya sebelum masuknya islam, tigo tungku sajarangan tidak dikenal
dinagari, yang ada adalah istilah limbago
(institusi) yang dikenal dengan sebutan limbago
niniak mamak yang mengatur kehidupan masyarakat nagari disegala bidang
seperti adat, ekonomi, sosialdan lain-lain. Istilah tali tigo sapilin baru dikenal setelah terjadi perubahan nagari
menjadi desa selama orde baru dengan acuan tali
tigo sapilin (adat, agama, dan hokum negara).
b)
Badan
Perwakilan Nagari (BPN)
Sebagai
level pemerintahan terendah dan memiliki otonomi sepertihalnya desa dijawa,
maka nagari juga memiliki sebuah badan legislatif yang bernama Badan .
Perwakilan Nagari (BPN). Kehadiran BPN diharapkan dapat membawa perbahan bagi
kehidupan perubahan bagi kehidupan sosial politik masyarakat nagari yang selama
ini bergerak selama ini bergerak secara sentralistis tanpa adanya mekanisme checks and balances serta adanya
pemandulan partisipasi masyarakat.
Keanggotaan
Badan Perwakilan (BPN) ini merupakan utusan unsur-unsur yang ada dalam
masyarakat nagari atau wakil dari penduduk nagari dengan mempertimbangkan
keterwakilan wilayah dan unsur-unsur masyarakat yang ditetapkan secara
musywarah mufakat. Keanggotaan BPN berdasarkan Peraturan Daerah (Perda)
Provinsi Sumatera Barat No 9 Tahun 2000 dan telah diperbaharui dengan Perda
Prov. Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.
Menurut peraturan tersebut keanggotaan BPN adalah berasal dari unsur ninik
mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang dan pemuda. Tiap unsur ini
memiliki basis pada tingkat jorong, sehingga pada pemilihan anggota BPN maka
masing-masing jorong mengutus masing-masing dua orang, kemudian utusan ini
bermusyawarah untuk menentukan siapa wakilnya dalam BPN.
c)
Kerapatan
Adat Nagari (KAN)
Kerapatan
Adat Nagari (KAN) merupakan lembaga yang telah ada sejak tumbuh dan
berkembangnya masyarakat minangkabau. Keberadaan KAN ini tidak bisa dipisahkan
dari ninik mamak karena seluruh penghulu/ninik mamak yang ada dalam sebuah
nagari akan tergabung dalam KAN. Setiap nagari melaksanakan kekuasaan yudikatif
melalui kerapatan adat, didalam kerapatan adat berkumpul para ninik mamak yang
mewakili kaumnya dan melakukan peradilan atas kaumnya.
Sebagai
konsekuensi dihapusnya nagari sebagai unit pemerintahan terendah pada masa orde
baru, maka KAN sebagai salah satu struktur dalam nagari pun dibekukan . akan
tetapi kerapatan nagari sesungguhnya masih ada untuk melindungi nagari sebagai
satu kesatuan hukum adat dikeluarkan sebuah peraturan daerah dengan No 13 pada
tahun 1983. Perda ini kembali mengukuhkan keberadaan KAN.
Perda
Provinsi Sumatera Barat No 9 tahun 2000 dan diperbaharui lagi dengan Perda No 2
tahun 2007 tentang ketentuan pohon pemerintahan nagari masing-masing kabupaten
menyikapinya dengan Perda Kabupaten. Pemerintahan nagari mau mendengarkan dan
memperhatikan pendapat dari KAN, Pemerintah nagari dharapkan mengakomodir
sumbang saran KAN, sehingga hubungan antara walinagari dan KAN berjalan
efektif.
Menurut Mochtar Naim (2004), bahwa dalam masyarakat
tradisional minangkabau, kepemimpinan para ninik mamak merupakan salah satu
unsur kepemimpinan “tungku tigo sajarangan”, yang terdiri dari para ninik
mamak, alim ulama, dan cerdik pandai. Peran ninik mamak berkaitan dengan adat
dan hubungan kedalam dan negosiasi keluar nagari. Sebelum masuknya islam niniak
mamak merupakan pemimpin resmi masyarakat minangkabau yang kuat dan berwibawa terutama
sekali dalam nagari. Saat sekarang ini niniak mamak sebagian besar adalah
pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam masyarakat minangkabau. Ketua KAN
biasanya dipegang oleh salah satu niniak mamak yang ada dinagari.
Cara-Cara Nagari Menyaring Globalisasi
a.
Sifat Egaliter masyarakat Minangkabau
Keberhasilan masyarakat ranah Minang
Sumatera Barat dalam menata hubungan kekeluargaan selama ini sangat ditunjang
oleh penerapan nilai-nilai egaliter
yang kita warisi dan tampak jelas dalam hubungan kekerabatan duduk sama rendah dan tegak sama tinggi.
Walaupun
secara formal seorang pemimpin punya
kedudukan lebih tinggi, akan tetapi posisi
pemimpin tidak terlalu berjarak dengan masyarakat. Dalam filosofi budaya
Minangkabau pemimpin itu tak dapat memainkan peran sebagai raja,
sultan, atau kaisar. Ia hanya diberikan kedudukan sedikit saja
lebih tinggi dari rakyat biasa, seperti
tercermin dalam ungkapan tradisional
ditinggikan sarantiang didaulukan
selangkah (ditinggikan seranting didahulukan selangkah). Konsekuensi
politisnya, kalau pemimpin berlaku sewenang-wenang
atau tidak aspiratif, maka rakyat atau lembaga perwakilan rakyat boleh
membantah dan bahkan menggantinya dengan pemimpin yang dianggap lebih baik. Sesuai
dengan pepatah adat orang Minangkabau rajo
alim rajo disambah, rajo lalim rajo disanggah (raja yang alim raja yang
disembah, raja yang zalim raja yang disanggah), jadi ada semacam mosi tidak
percaya dari masyarakat kepada pemimpin yang tidak benar dalam kepemimpinannya.
b.
Perubahan dimungkinkan
dalam adat Minangkabau
Perubahan
bagi masyarakat Minangkabau adalah alamiah dan ini mengakibatkan perubahan
terhadap struktur budaya mau pun struktur nagari di Minang menjadi hal mesti.
Kiranya asumsi ini didukung oleh filosofi Minang “sakali aia gadang, sakali tapian barubah (sekali air besar, sekali
tepian berubah)”. Pepatah adat
ini bermakna bahwa perubahan dikiaskan dengan banjir tadi, bisa terjadi kapan
saja, dan ini akan membawa efek bergesernya nilai-nilai adat tersebut yang
dikiaskan dengan tepian. Pepatah ini juga dimaknai bahwa perubahan (banjir)
boleh saja terjadi, tetapi adat (tepian) tidak boleh hilang dan hanya boleh
bertransformasi.
c.
Pemilihaan wali nagari (kepala Pemerintahan nagari)
Nagari adalah produk dari sejarah. Maka
perubahan-perubahan pun hampir tidak pernah luput dari pertumbuhan nagari, ini
membuat nagari dari masa ke masa semangkin jauh berlari meninggalkan identitas
aslinya. Hal ini berkaca dari perubahan bentuk “demokrasi” yang membentuk
bangunan nagari, pada awalnya demokrasi dalam pembentukan struktur-formalnya
lebih bersipat representatif, namun akhirnya terpecah-pecah dalam puing
pencarian formasi struktural-formil dan kini bermuara pada demokrasi liberal
dan cenderung memaknai proses demokrasi sebagai. Saat ini nagari menganut
sistem trias politica Montesque.
Pemilihan walinagari saat ini sudah bergeser dari yang dahulu kala bertumpu
pada pemangku adat, namun saat sekarang ini untuk menjadi seorang walinagari
harus melalui pemilihan langsung masyarakat nagari.
d.
Semangat juang merantau orang minangkabau (kompetensi)
Tradisi unik
orang Minangkabau adalah “merantau”,
yang dimaksud dengan merantau dalam perspektif orang minangkabau adalah apabila
seseorang pergi keluar daerah budayanya dengan kemauan sendiri atau tidak dapat
dipandang sebagai perbuatan merantau, selanjutnya meratau mengandung makna
bahwa orang yang merantau tersebut bukan lagi berkomunkasi dan berintekrasi
hanya dengan kaum kerabatnya atau anggota kelompok etnisnya, melainkan juga
dengan orang yang latar belakang etnis dan kulturnya berbeda-beda. Dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau, merantau telah terlembaga secara sosial dan
budaya.
Rantau merupakan
suatu petualangan pengalaman dan geografis. Orang nagari akif mengunjungi
rantau, secara sadar ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan sanak saudara
untuk mencoba merantau, mengadu peruntungan. Merantau memberikan semacam
saluran-saluran atas tekanan-tekanan yang mungkin dengan mudah meletup dalam
keluarga matrilineal sebagai inti masyarakat minangkabau. Rantau, karenanya
menyediakan semacam “katup pelepas” yang mampu melindungi tekanan-tekanan
sosial dan eksplosi. Dengan demikian, tenaga-tenaga atau kekuatan yang
menciptakan timbulnya ketegangan-ketegangan mungkin dapat tersalur diluar. Lagi
pula, ia dapat disalurkan secara positif dan menguntungkan keluarga atau malah
untuk keluarga secara keseluruhan. Keluarga-keluarga yang memiliki sedikit sawah
untuk membantu anggota keluarganya, lebih suka berusaha mencari tambahannya
dengan cara merantau.
e.
Pendidikan generasi muda
Dalam upaya
pembinaan generasi muda dalam budaya orang minangkabau biasanya mendidik mereka
di Surau (mesjid, langgar). Surau pada masa dahulu merupakan kelengkapan suku
dan tempat berkumpulnya anak-anak muda serta remaja dalam upaya menimba ilmu
pengetahuan. Surau sekaligus juga digunakan sebagai tempat tidur bersama,
membahas berbagai ilmu, dan juga dimanfaatkan sebagai tempat penyelesaian
berbagai permasalahan yang dihadapi oleh suku melalui musyawarah bersama yang
merupakan inti demokrasi kultural nagari.
f. Peranan
otoritas adat dalam penggunaan tanah ulayat oleh Investor
Kerapatan Adat
Nagari (KAN) sebagai lembaga yudikatif mengenai permasalahan-permasalahan yang
ada dinagari. Sejak era globalisasi melanda seluruh dunia termasuk sampai ke
Sumatera Barat, banyak tanah-tanah ulayat yang mulai dipergunakan untuk
pembangunan perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit. Otoritas adat sebagai perwakilan
masyarakat nagari bersama-sama dengan pemerintah nagari mencoba mendekatkan
masyarakat dengan kesejahteraan. Namun demikian, tentu semuanya tidak berjalan
dengan mulus, ada beberapa kasus persengketaan antara investor dan masyarakat.
Persengketaan anatara masayarkat dan pihak perkebunan ini lah yang seharusnya
bisa diselesaikan oleh pemerintah nagari bersama dengan pemerintah daerah
setempat. Selama ini kebiasaannya pihak investor selalu memberikan dana CSR nya
kepada otoritas adat untuk dapat diperuntukkan kepada pembangunan nagari.
Penutup
Sebenarnya adat,
bagi orang Minangkabau bukanlah sebuah aturan yang sifatnya kaku dan statis,
tetapi harus ditempakan sebagai sebuah aturan yang dinamis tadi, dan
memungkinkan untuk mengalami perubahan. Ini tertuang dalam pengklasifikasian
adat menurut orang Minangkabau sendiri, yang dibagi atas adat babuhua mati yaitu adat yang cenderung dipertahankan dan tidak
boleh diubah, serta adat babuhua sentak
yaitu adat yang memungkinan untuk dimodifikasi dan diperbaharui sesuai tuntutan
perkembangan masyarakat itu sediri. Memposisikan adat seperti itu, membuat
masyarakat Minangkabau tetap mampu mempertahankan adat itu sendiri ditengah
derasnya arus perubahan dan intervensi budaya luar yang masuk kedalam kehidupan
masyarakatnya (globalisasi).
Daftar Pustaka
Asnan, Gusti. 2007. Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Benda-Beckmann, Kebeet. 2000. Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Jakarta: Gresindo
Eko, Sutoro. 2005. Menggantang
Asap ? Kritik dan Refleksi Atas Gerakan Kembali Ke Nagari. Yogyaarta: IRE
Fattah,
Eep Syaifullah. 1999. Membangun Oposisi:
Agenda-Agenda Politik Masa Depan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Graves, Elizabeth E. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Held,
David. 1995. Demokrasi dan Tatanan Global
(Democracy and The Global Order). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kahin, Audry. 2005. Dari Pemberontakan Ke Integrasi: Sumatera Barat 1926-1998. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Manan,
Imran. 1995. Birokrasi modern dan
otoritas tradisional minangkabau. Padang : Yayasan pengkajian kebudayaan
minangkabau.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi
Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
2006.
Tiga menguak Takdir: Perempuan Minangkabau
di Persimpangan Jalan. Jakarta : Hasanah.
Oki, Akira. 1978. Social
Changes in The West Sumatran Village: 1908-1945. Disertasi, Canberra
Department of Pacific and Souhteast Asian History. The Austalian National
University (online). Diunduh 20 Juni 2012.
Rafni, Al dan Suryanef. 2005. Kembali ke nagari: kembali ke identitas dan demokrasi lokal.
Jakarta: LP3ES.
Ronidin. 2006. Minangkabau di mata
anak muda. Padang : Andalas University Press.
Summarty, Betty.
2007. Revitalisasi Peran Ninik Mamak
Dalam Pemerintahan Nagari. Yogyakarta: Polgov UGM
Zainuddin, Musyair.2008. Implementasi pemerintahan nagari berdasarkan hak asal usul adat
minangkabau. Yogyakarta : Ombak.
Zed, Mustika. 1996. ”Nagari
Minangkabau dan Pengaruh Sistem Kolonial”. Jurnal Genta Budaya 3.
Zuhro, R. Siti dkk. 2009. Demokrasi lokal: nilai-nilai budaya politik lokal. Yogyakarta :
Ombak.
* Mahasiswa S2 Politik dan Pemerintahan UGM
No comments:
Post a Comment