Oleh: Fahrezi*
A. Pengantar
Pemerintah Daerah menghadapi berbagai persoalan
dalam melaksanakan tugasnya. Persoalan-persoalan sosial seringkali menghantui
implementasi kebijakan Pemerintah Daerah di Indoensia. Persoalan-persoalan
tersebut muncul, bisa disebabkan oleh kurang matangnya perencanaan, sampai
dengan faktor-faktor non teknis yang mengganggu proses implementasi
kebijakan. Hal tersebut juga melanda
Pemerintah Kota Padang, yang memiliki persoalan dalam implementasi Terminal
Regional Bingkuang (TRB) Aia Pacah.
Jika kita berkunjung ke Kota Padang, yang juga Ibu
Kota Propinsi Sumatera Barat, maka kita tidak akan menjumpai bus-bus yang akan
berhenti di terminal. Begitulah keadaan kota Padang saat sekarang ini, kota
yang tidak memiliki terminal pemberhentian penumpang. Sebenarnya Kota Padang
memiliki terminal yang sangat bagus dengan Tipe A, yang merupakan satu-satunya
di Propinsi Sumatera Barat, namun dalam pemanfaatannya terminal ini
terbengkalai dengan kata lain tidak dapat difungsikan dengan berbagai
persoalan.
Pada awalnya, pembangunan Terminal Regional
Bingkuang (TRB) Kota Padang ini bertujuan untuk mengembangkan/memperluas
pembangunan Kota Padang ke arah utara. Pelaksanaan Terminal Regional Bingkuang
(TRB) Kota Padang belum berjalan secara maksimal. Dinas perhubungan selaku
instansi yang berwenang untuk menjalankan kebijaksanaan mengenai TRB, mengaku
kesulitan untuk mengoptimalkan TRB sebagai terminal bis representatif.
Pelaksanaan Pembangunan Terminal Regional Bingkuang
(TRB) Kota Padang telah mulai dibangun sejak tahun 1999. Pembangunan Terminal
Tipe A ini diatas lahan seluas 50 Hektar. Namun pemanfaatannya tidak dapat
dirasakan secara nyata untuk perkembangan Kota Padang. Kurangnya infrastruktur
penunjang mengakibatkan kurangnya akses masyarakat ke terminal, maka bus AKDP
dan AKAP Kota Padang beroperasi dengan menaikkan dan menurunkan penumpang di
tempat-tempat yang potensial ramai calon penumpang, seperti Basko Grand Mall Air
Tawar, Simpang Tabing, Simpang Kalumpang, Pasar Duku, Simpang Lubuk Begalung,
dll. Hal tersebut juga berdampak pada kemacetan. Banyak ruas-ruas jalanan yang
berubah menjadi terminal bayangan. Angkutan kota dan taksi pun juga memarkir
kendaraannya di kawasan yang sama.
Hal ini menjadi suatu permasalahan yang sangat
serius, karena terminal penumpang yang telah
dibangun dan dirancang sedemikian rupa namun dalam pengoperasian fungsi, dan
keberadaannya masih belum dilaksanakan secara utuh. Terlebih lagi sudah diatur
di dalam Pasal 36 UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
disebutkan bahwa setiap kendaraan
bermotor umum dalam trayek wajib singgah di terminal yang sudah ditentukan,
kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek. Dalam hal ini, adanya sesuatu
yang menjadi penyebab kegagalan dalam pengoperasian terminal penumpang khususnya
dalam pelaksanaan kebijakan penyelenggaran terminal Air Pacah di Kota Padang,
yang menuai kegagalan dalam pelaksanaannya, sehingga perlu dilakukan suatu penelitian.
B.
Kerangka
Teoritis
Menurut Van Mater dan Van Horn (Lineberry, 1978:70),
implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu,
dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta, yang diarahkan pada pencapaian
tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan.
Menurut Lineberry (1978:70-71), proses implementasi
setidak-tidaknya memiliki beberapa elemen-elemen antara lain: 1). Pembentukan
unit organisasi baru dan staf pelaksana, 2). Penjabaran tujuan ke dalam
berbagai aturan pelaksana (standard
operating procedure/SOP), 3). Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran
kepada kelompok sasaran, pembagian tugas di dalam dan diantara
dinas-dinas/badan pelaksana, 4). Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai
tujuan.
Konsep implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier
(1987:4) mengatakan bahwa mengkaji masalah implementasi kebijakan berarti
berusaha memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan
diberlakukan atau dirumuskan. Pendapat kedua tokoh ini menunjukkan bahwa
implementasi kebijakan pada hakekatnya tidak hanya terbatas pada
tindakan-tindakan atau perilaku badan-badan administratif atau unit birokrasi
yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan
dari kelompok sasaran (target group). Namun demikian, hal itu juga perlu memperhatikan
secara cermat berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi, sosial yang
berpengaruh kepada perilaku semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya
membawa dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Namun, tidak semuanya implementasi kebijakan dapat
dilakukan dengan mulus. Kegagalan implementasi kebijakan disebabkan oleh
keterbatasan kemampuan pemerintah, memberi peluang keterlibatan pasar dan
masyarakat dalam implementasi kebijakan (Wahyuningsih, 2011:32). Hal tersebut
mendorong berkembangnya konsep segitiga besi, memunculkan metafora jaringan dan
komunitas yang memainkan peranut mempengaruhi pembuatan kebijakan dan hasil
kebijakan.
Ada beberapa hal yang harus dipahami mengenai kegagalan
implementasi sistem transportasi seperti pengoperasian Terminal Regional
Bingkuang ini. Sebuah jaringan transportasi umum yang relatif baik perlu
menyediakan akses yang mudah dan biaya yang lebih murah untuk para
pengguna. Biaya operasi dan biaya tetap
merupakan masalah penting dan nyata bagi terminal transit saat sekarang ini.
Selain itu, kenyamanan dan kualitas yang signifikan merupakan hal yang utama bagi
penumpang. Studi pada perilaku penumpang
terhadap penggunaan transportasi umum harus dikaji terlebih dahulu (
Rozmi Izmail dkk, 2012: 411). Selain itu, Pemerintah dalam membuat kebijakan transporatsi harus
mengkaji interval waktu memulai perjalanan dari satu persinggahan
(terminal) ke tempat-tempat tujuan pengguna. Oleh karena itu harus ada sistem yang
terintegrasi dalam perencanaan transportasi (Szabolcs Duleba dkk, 268). Sebagai
contoh di Belanda, cost benefit Analisis (CBA) adalah alat wajib untuk menilai rencana
transportasi yang akan diterapkan oleh pemerintah (Els Boukersn, 2014: 61-72).
Dengan melihat perkiraan biaya dan waktu yang dibutuhakan maka kebijakan yang
diterapkan sudah dikaji secara mendalam oleh pengambil keputusan.
Hal-hal diatas, menegaskan bahwa transportasi adalah
salah satu cabang utama memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi.
Layanan transportasi terorganisir dan handal yang diperlukan untuk membantu kinerja
di bidang-bidang lain seperti industri, konstruksi, pertaninan dan budaya. (Prentkovskis,
2012: 434). Jika transportasi lancar, seperti dengan adanya terminal yang
mumpuni, maka orang-orang akan datang ke Kota Padang.
Gagalnya implementasi kebijakan terminal ini,
mengharuskan kita mencarikan solusi rekomendasi kebijakan selanjutnya. William
N. Dunn (2004) mengatakan, rekomendasi kebijakan mengharuskan analis kebijakan
menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dan alasannya. Hal ini disebabkan
karena prosedur analis kebijakan berkaitan dengan masalah etika dan moral.
Rekomendasi pada dasarnya adalah pernyataan advokasi.
Pendekatan untuk membuat rekomendasi
menurut Dunn, terdiri dari beberapa pilihan. Pertama, public choice versus private
choice. Pendekatanya adalah mempertanyakan apakah kebijakan dilakukan
dengan pendekatan pemerintah atau swasta (pasar). Kedua, penawaran versus permintaan. Ketiga,
pilihan publik murni. Keempat,
analisis cost-benefit yang menghitung
dalam ukuran moneter. Kelima, analisis cost-effectiveness,
sama dengan cost-benefit namun
perbandingannya dengan efektivitas kebijakan.
C.
Faktor-Faktor
Kegagalan Implementasi Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang
Kegagalan implementasi pengoperasian fungsi dan
keberadaan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang disebabkan oleh
beberapa persoalan. Faktor-faktor yang menyebabkan persoalan tidak bisa
digunakannya Terminal Regional Bingkuang (TRB) Aia Pacah Kota Padang tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Faktor
Tata Ruang
Pemilihan lokasi yang terlalu
berorientasi/terikat kepada arahan lokasi sesuai dengan rencana umum tata ruang
kota (RUTRK) dan skenario perkembangan. Berkaitan dengan pertimbangan terhadap faktor
tata ruang ini ditemukan ketidaksinkronan antara kondisi riel perkembangan kota
dengan konsep yang diterapkan. Pola perkembangan Kota Padang yang sampai saat
ini masih berpola konsentris dan memperlihatkan kecenderungan perkembangan pola
sektoral, pada sisi lain pemerintah mencoba menerapkan pola pengembangan kota
dengan konsep kota berpusat banyak (multi nuclei) yang paradigma serta
pendekatannya akan sangat berbeda dengan konsep pengembangan kota pola konsentris.
Akibatnya tentu menyebabkan konsep yang diterapkan tidak akan sesuai dengan
kondisi yang perkembangan masyarakatnya seperti pola pergerakan dan sebagainya.
Hal lain yang dapat disimpulkan dari
faktor tata ruang adalah lokasi terpilih juga kurang mempertimbangkan karakter
kota sebagai tujuan, penempatan terminal kota-kota yang karakter kotanya sebagai
kota transit atau kota persinggahan tentu letak terminalnya tidak akan begitu
berpengaruh banyak kepada kegiatan kotanya. Lain halnya, kota sebagai tujuan lokasi
terminal akan sangat mempengaruhi kegiatan kota lainnya.
2.
Faktor
Aksesibilitas
Salah satu penyebab tidak berfungsinya
Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang adalah akibat rendahnya aksesibilitas
lokasi terminal. Rendahnya asesibilitas lokasi Treminal Regional Bingkuang
(TRB) Kota Padang terindikasi dari beberapa hal seperti berikut; a). Panjang
perjalanan menjadi bertambah jika memanfaatkan terminal, b). waktu perjalanan
menjadi lebih lama jika memanfaatkan terminal, c). Biaya atau ongkos angkutan
menuju terminal menjadi lebih mahal, d). Trayek serta jumlah armada angkutan
menuju terminal sangat terbatas sehingga perlu berganti-ganti angkutan.
Padahal menurut Bert Van Wee (2014: 2)
dalam mengkaji sistem transportasi harus ada mengacu kepeda opsi sinkronisasi tata ruang atau
sinkronisasi temporal antara lokasi dalam jaringan transportasi. Sinkronisasi
dapat meningkatkan accessibility
individu dengan mengurangi jarak perjalanan dan waktu perjalanan antara lokasi yang menjadi aktivitas pengguna
terminal.
3.
Faktor
Lokasi Site
Artinya lokasi yang terpilih kurang
mempertimbangkan atau dengan kata lain mengabaikan hal-hal yang secara teknis
disyaratkan dalam pemilihan lokasi suatu terminal seperti; a). Tidak terletak pada
arah pelayanan, dalam artian tidak mempertimbangkan arag geografis lokasi
pemasaran regional, b). terletak dipinggir Kota yang cukup jauhdari pusat-pusat
kegiatan kota, sehingga sulit untuk mencapainya, c). Tidak terletak pada titik
kritis pergantian modal angkutan (seperti persimpangan jalan arteri) pertemuan
angkutan regional dengan angkutan lokal (kota), d). Tidak terletak pada daerah
seperti pusat pemukiman, kawasan industri, pusat-pusat kegiatan kota, f). Tidak
integral dengan sistem angkutan primer lainnya seperti pelabuhan laut, bandara,
atau dengan stasiun kereta api.
4.
Faktor
Keamanan Terminal
Salah satu faktor yang menjadi
permasalahan yang dihadapi oleh Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang
adalah masalah keamanan penumpang. Banyak keluhan yang disampaikan oleh
masyarakat pengguna mulai dari masalah kecil sampai yang berbau kriminal
seperti ketertiban calo penumpang, pedagang asongan yang sering memaksa, serta
pencopetan dan penodongan, sehingga penumpang merasa tidak aman untuk datang ke
terminal. Disamping itu, diperparah lagi oleh kondisi kawasan di sekitar
Terminal Regional Bingkuang (TRB) yang masih kosong, sehingga pada sore dan
malam hari sangat rawan terhadap tindak kriminal terhadap penumpang.
Faktor-faktor tersebut menyebabkan rendahnya tingkat
pemanfaatan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang yang berkaitan
langsung dengan jumlah penumpang, karena dengan berkurangnya penumpang di
terninal mengakibatkan jumlah bus yang masuk ke terminal juga berkurang.
Sedikitnya jumlah penumpang yang mau ke termninal membuat kerugian bagi
Pemerintah Kota Padang, karena Terminal yang dibangun sangat megah tidak mampu
untuk dioperasikan. Selain itu, Pemerintah Daerah juga tidak mampu untuk
meningkatkan pendapatan dari sektor retribusi.
Gambar 1
Peta
Letak Terminal Regional Bingkuang
Ket :
Terminal
Regional Bingkuang (TRB) Air Pacah
Terminal Lama yang menjadi Plaza Andalas
Gambar diatas memberikan gambaran kepada kita,
bagaimana letak terminal baru untuk menggantikan terminal lama begitu jauh dari
pusat keramaian. Pada awalnya tujuan dari Pemerintah Kota Padang memang patut
diapresiasi untuk mengembangkan kawasan kota padang, ke arah kawasan yang masih
kurang dalam pembangunan. Namun, kajian yang teknokratis ini tidak melihat
sisi-sisi lain seperti tambahan biaya bagi penumpang jika harus ke terminal baru
yang sangat jauh dari pusat kota. Hal ini, menyebabkan wisatawan dari daerah
malas berkunjung ke kota padang karena jarak yang jauh dari terminal, dan
membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke tempat-tempta perbelanjaan di pusat
kota.
D.
Munculnya
Terminal Bayangan: Sebuah Dampak Dari Kegagalan Implementasi Terminal Regional Bingkuang
(TRB) Kota Padang
Kegagalan dalam pengoperasian Terminal Regional
Bingkuang (TRB) Kota Padang telah menimbulkan masalah sosial yang lain bagi
kota Padang. Kegagalan pengoperasian Terminal Regional Bingkuang (TRB)
menimbulkan terminal bayangan dimana-mana di kota Padang. Kerap kita dengar di
Kota Padang istilah ‘Terminal Bayangan’, terminologi ini berkaitan dengan suatu
tempat yang seyogyanya bukan terminal menjadi terminal dan berlangsung secara
terus menerus. Misalnya di jalan utama kawasan kampus Universitas Negeri Padang
dan kawasan Simpang Lubug Begalung Padang, serta kawasan Gaung dekat Pelabuhan
Teluk Bayur.
Gambar 2.
Terminal Bayangan di Deapan Kampus
Universitas Negeri Padang
Kegagalan pengoperasian terminal tersebut, menjadikan
terminal bayangan, sebagai solusi bagi masyarakat untuk bepergian. Baik di
dalam kota, ataupun antar kota dalam provinsi (AKDP). Khusus antar kota antar
provinsi (AKAP), sudah di-handle perusahaan masing-masing seperti tempat-tempat
diatas.
Selain itu, Terminal angkot di Pasar Raya berubah
fungsi jadi pusat perbelanjaan. Setelah terminal tergusur, angkot akhirnya
terpaksa nge-tem di depan Masjid
Muhammadiyah yang berimplikasi pada kesemrawutan lalu lintas. Kesemerawutan
bentuk kota oleh membludaknya angkot-angkot yang tidak memiliki terminal
menjadikan jalan Pasar Raya Kota Padang sebagai terminal pemberhentian. Kesemerawutan
tersebut, tampak jelas pada gambar berikut ini.
Gambar 3.
Kesemerawutan
Kota Padang oleh Terminal Bayangan Angkot
Akibat dari terminal bayangan ini, menjadikan kemacetan
tak bisa dihindari. Kesemrawutan transportasi di Kota Padang memang menuntut
kerja keras aparatur Negara untuk mengembalikan kondisi kota menjadi tertib dan
aman seperti sedia kala. Sebuah kota dikatakan modern tidak saja dilihat dari
indicator pembangunanan fisik saja, tapi juga dari perilaku
masyarakatanya. Memang sudah menjadi
problema sebuah kota besar dengan kesemrawutan yang mengakibatkan kemacetan
lalu lintas yang disebabkan oleh ketidak teraturan manusia dalam berkendara
(reflesi budaya).
Kebutuhan
sistem transportasi di kota Padang yang lebih aman dan nyaman sudah sangat
mendesak. Sebab dengan sistem transportasi yang lebih baik lagi, hal
itu akan memiliki efek positif ke
berbagai sektor. Ekonomi akan lebih efisien dan bisa berkembang lebih cepat
serta investor akan tertarik menanamkan
modalnya. Sistem transportasi yang teratur mencerminkan kondisi kehidupan kota.
E.
Rekomendasi:
Dialog Kebijakan Yang Melibatkan Semua Unsur
Kebijakan pembangunan Terminal Regional Bingkuang
(TRB) Kota Padang dipandang sebagai kebijakan yang teknokratis dan top–down. Kebijakan seperti ini tidak
memandang dimensi lain yang ada dalam pendekatan kebijakan publik yang bottom-up, dimana unsur masyarakat juga
dilibatkan dalam mengambil keputusan.
Talcot Parson, setelah mengelaborasi pendapat
Habermas dan Foucault, mengemukakan argumen bahwa dalam menganalisis kebijakan
perlu memahami mode-mode pemikiran tentang “proses” dan “problem”. Pemahaman
mode-mode pemikiran tentang proses dan menyiratkan perlunya melakukan analisis
kebijakan secara demokratis, tidak elitis, karena harus memahami konteks proses
dan konteks pendefenisian masalah yang dihadapi.
Oleh karena itu harus ada sebuah konsep yang mampu
untuk menjembatani dua perspektif antara top-down
dan bottom-up ini dalam kebijakan
publik. Ada sebuah konsep yang dikemukakan Juergen Hebermas yakni collaborative policy, yakni kebijakan
yang disusun dengan mempertimbangkan keanekaragaman maupun saling
ketergantungan. Basis teori yang digunakan adalah konsep communicative rationality dan transformative
power of dialogue, seperti gambar dibawah ini:
Gambar 4.
Konsep Collaborative Policy
Dari kerangka pikir collaborative policy diatas,
dialog yang terbentuk harus bersifat otentik dan bukan bersifat repetisi atau
retoris, serta ada pemahaman tentang adanya perbedaan dan saling ketergantungan
antar stakeholder. Hal ini berarti
perlu pemahaman karakteristik tipikal partisipan, sehingga terbangun
resiprositas, kerjasama, pembelajaran antar stakeholder,
dan munculnya kreativitas untuk pemecahan masalah. Jadi dalam dialog ini
diperlukan adanya saling kepercayaan antar stakeholder,
memperkecil kesenjangan kekuasaan, serta adanya pemahaman informasi yang cukup
diantara stakeholder sehingga pendapat, aspirasi, dan kebutuhan setiap anggota
dapat disampaikan dengan terbuka.
Dari proses tersebut dapat dihasilkan saling
pemahaman tentang identitas satu dengan yang lain, berbagai makna antar stakeholder yang selanjutnya akan
menjadi social capital baru dalam
masyarakat untuk menghasilkan inovasi. Sedangkan pemahaman konteks lokal
berfungsi untuk menghubungkan kebijakan dengan politik yang berlangsung.
Argumen yang tersembunyi dalam rumusan formal kebijakan didefinisikan ulang
melalui pemahaman warga dan aktor-aktor yang tersembunyi dalam rumusan formal
kebijakan didefenisikan ulang melalui pemahaman warga dan aktor-aktor yang
terlibat dalam implementasi kebijakan dilapangan, sehingga bias-bias wacana
kebijakan dapat disingkirkan.
Dalam perspektif ini, partisipasi dari masyarakat
dan stekeholder lainnya sangat diperlukan. Partisipasi hanya akan berlangsung
bila ada kesedian dari kedua belah pihak baik pemerintah daerah maupun warga
masyarakat. pemerintah harus mempunyai i’tikad untuk memberikan keleluasaan
bagi warganya untuk terlibat dan mempengaruhi keputusan-keputusan yang ada
dalam proses kebijakan. Bila belum muncul kesadaran masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses kebijakan maka pemerintah daerah (Kota Padang)
seyogyanya bersedia membuka ruang dan mekanisme yang memungkinkan partisipasi
bisa tumbuh dan berkembang (Tim JPP, 2009:17). Disisi lain, masyarakat pun
dituntut untuk bersedia terlibat lebih jauh dalam proses kebijakan yang ada.
Partisipasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan dapat
dilakukan dalam dua model yakni:
1.
Dengar
Pendapat Publik (Public Hearing)
Teknik
ini dilakukan dengan cara membentuk pertemuan publik dalam jumlah yang
terbatas. Dalam teknik ini biasanya pemerintah daerah mengundang elemen-elemen
masyarakat yang tertarik dan pakar-pakar yang kompeten dalam bidang kebijakan
tertentu. Di sini pemerintah daerah merepresentasikan rencana yang ingin
dijalankan dan mendengarkan pendapat publik tentang persoalan tersebut.
Teknik
ini memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah kemampuan menginformasikan
persoalan kepada publik secara cepat, meminimalisasi potensi konflik serta
mendorong terciptanya pengambilan keputusan yang lebih baik.
2.
Focus
Group Discussion (FGD)
Teknik
ini dilakukan dengan cara mendiskusikan satu topik tertentu yang melibatkan
perwakilan-perwakilan dari kelompok-kelompok dalam masyarakat; misalnya
elemen-elemen organisasi sosisal, etnis, dan pemerintah daerah sendiri. Diskusi
ini hanya dilakukan dalam satu kali tatap muka dan sebisa mungkin dijalankan
secara informal agar terjadi suasana diskusi yang terbuka. Dengan cara semacam
ini diharapkan akan mendorong munculnya ide-ide dan komitmen untuk
mengembangkan inovasi-inovasi baru dalam menangani persoalan publik. Sebuah kelompok fokus diadakan untuk
menentukan perilaku pengguna terminal transportasi dan selanjutnya dipelajari untuk memilih
variabel yang relevan digunakan sebagai alternatif kebijakan (Dell’Olio dkk,
2012: 277)..
Teknik
ini memiliki kelebihan terutama adanya kemungkinan yang besar untuk menciptakan
konsensus dan pengayaan informasi diantara para peserta yang mewakili
masing-masing elemen masyarakat. Bila persoalan formalitas bisa diatasi maka
forum ini bisa menjadi mekanisme diskusi dengan suasana santai. Selain itu, FGD
bisa dijadikan salah satu cara untuk mengukur opini publik tentang sebuah
persoalan.
Dengan demikian, dari perspektif kebijakan diatas,
nampaknya tersedia ruang bagi pemerintah untuk berbagi informasi kepada
masyarakat dalam rangka membangun kesepahaman substansi kebijakan. Pemerintah
Kota memberi ruang pelibatan warga untuk mengkritisi wacana kebijakan. Demikian
pun masyarakat mempertanyakan kembali tunjuan kebijakan versi pemerintah.
Masyarakat juga memiliki ruang mengevaluasi implementasi dan manfaat dari
kebijakan pemerintah. Selain itu, warga masyarakat juga memiliki kesempatan
untuk mengusulkan perubahan kebijakan sesuai kerangka pengalaman dan referensi
mereka atas kebijakan yang pernah ada.
F.
Penutup
Terminal Regional Bingkuang (TRB) kota Padang, pada
dasarnya mampu memberikan kebanggan bagi kota padang sebagai satu-satunya kota
yang memiliki terminal tipe A di Sumatera Barat. Namun dalam pelaksanaannya
terdapat berbagai macam kendala. Kendala yang terjadi baik dari segi internal
maupun dari eksternal pemerintah sendiri. Dari segi internal Pemerintah Kota
Padang belum memperlihatkan konsistensi dan keseriusan dalam upaya mengembangkan
Terminal Regional Bingkuang (TRB) sebagai terminal yang representatif.
Sedangkan dari segi eksternal adalah kurangnya komunikasi antara Pemerintah
Kota dengan pengusaha bus AKDP dan masyarakat sehingga kebijakan yang dibuat
tidak bisa diimplementasikan.
Selain itu, beberapa kendala lain adalah lokasi yang
dianggap tidak strategis dan jauh dari pusat kota. Hal ini menyebabkan
masyarakat/penumpang harus mengeluarkan biaya lebih untuk menuju terminal dan
fasilitas lainnya yang dianggap kurang dan tidak mampu memenuhi beberapa
kebutuhan pemiliki angkutan. Sehingga untuk memeperoleh kebutuhan armada
kendaraannya mereka harus mengeluarkan biaya lebih dan cukup memberatkan.
Rekomendasi untuk mengatasi kegagalan implementasi
terminal di Kota Padang, baik penumpang (masyarakat), pemerintah dan pengusaha
diharapkan mampu memberikan simbiosis mutualisme diantara
ketiganya. Konsep colaborative policy
diharapkan mampu untuk menjembatani semua stakeholder
yang ada di kota Padang, baik pemerintah maupun aktor diluar pemerintah, sehingga
terminal sebagai tempat persinggahan memberikan kenyamanan bagi penumpang dan
pengusaha Bus AKDP, serta tentunya memberikan kontribusi yang besar dari
retribusi yang dipungut bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang nantinya dapat
diteruskan untuk menjalankan pembangunan bagi kota Padang.
Daftar Pustaka
Arbi Winarko S dan Chalid Sahuri. Implementasi
Kebijakan Ketertiban Terminal Penumpang. Jurnal Kebijakan Publik, Volume 4,
Nomor 1, Maret 2013, hlm. 1-118
Bert Van Wee, Policies for
Syinchronization in the transport-land use system. Transport
Policy 31 (2014) 1–9.
Dunn, William N.
2004. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas.
Els Beukersn,
Luca Bertolini, Marco Te Brömmelstroet. Using cost benefit analysis as a learning
process : identifying interventions for improving communication and trust.
Transport Policy 31 (2014) 61–72. journal homepage: www.elsevier.com/locate/tranpol
Gito Sugiyanto,
dan Sugiyanto. Elastisitas Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Permintaan Kebutuhan Angkutan Umum di London dan Yogyakarta.
Jurnal Transportasi, Vol. 9 No. 1. Juni 2009.
Hajer, M. And
Wagenaar, H. 2003. Deliberative Policy
Analysis: Understanding Governance in the Network Society. London: The
Policy Press.
John Preston. The Deregulation and Privatisation of Public
Transport in Britain: Twenty Years On. Transport Policy 31 (2014) 61–72.
Lisa Davison. A Survey of Demand Responsive Transport in
Great Britain. Transport Policy 31 (2014) 47–54
Luigi Dell’Olio1, Angel Ibeas2, Alberto Dominguez3, Felipe Gonzalez. Passenger Preference Analysis: light Rail
Transit Or Bus versus Car. TRAN 2012 Volume 27(3): 276–285.
Monograph
on Politic and Government Vol.3, No. 1. 2009. JPP UGM, Yogyakarta.
M. Vetrivel
Sezhian. Performance Measurement In
Public Sector Passenger Bus Transport Company Using Fuzzy Topsis, Fuzzy AHP and
ANOVA-A Case Study. International Journal of Engineering Science and
Technology (IJEST), Vol 3. No. 2 Feb 2011.
Parson, W. 2006.
Public Policy: Pengantar Teori dan
Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana Pranada Media Group.
Piere B. Vilain,
Janet Cox, and Vicente Mantero. Public
Policy Objectivities and Urban Transit. New York and New Jersey
Olegas
Prentkovskis. Research Journal Transport
Reviewing Process in 2012. http://www.tandfonline.com/TRAN 2012 Volume
27(4): 434–438. Vilnius Gediminas Technical University (VGTU) Press Technika
Ralph Buehler
and John Pucher. Demand for Public
Transport in Germany and The USA: An Analysis of Rider Characteristics. Transport Reviews, Vol. 32, No. 5, 541–567, September
2012
Rui
Careira, Lia Patricio, Renato Natal Jorge, and Chris Magge. Understanding the Travel Experience and its
Impact on Attitudes , Emotions, and Loyality Towards the Transportasion
Provider Quantitative Study With Mid-distence Bus
Trips.
Transport Policy 31 (2014) 35–46.
Rutiana Dwi
Wahyuningsih, Membangun Kepercayaan
Publik Melalui Kebijakan Sosial Inklusif, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UGM, vol. 15, No. 1. 2011. Yogyakarta
Rozmi
Izmail, dkk. Passengers Preference and Satisfaction of Public Transport in Malaysia. Australian
Journal of Basic and Applied Sciences, 6(8): 410-416, 2012
Siti
Aminah. Transportasi Publik dan
Akesesibilitas Masyarakat Perkotaan. FISIP Universitas Airlangga.
Szabolcs Duleba, Tsutomu Mishina, Yoshiaki Shimazaki. A Dynamic Analysis on Public Bus Transport’s
Supplay Quality By Using AHP. Transport 2012 Volume 27(3): 268–275. Vilnius
Gediminas Technical University (VGTU) Press Technika
Thomas M.
Schimitt. Global Cultural Governance,
Decesion –Making Concerning World Haritage Between Politics and Science.
Vol. 63 No.2. 2009. Jstor.org.
http://admneg08029.blogspot.com/2011/02/analisis-kasus-kegagalan-implementasi.html
* (Mahasiswa Pascasarjana Politik dan Pemerintahan UGM)