Dalam sistem ini
proporsi yang dimenangkan oleh sebuah partai politik dalam sebuah wilayah
pemilihan akan berbanding seimbang dengan proporsi suara yang diperolah partai tersebut
dalam pemilihannya. Dalam sistem ini dikenal istilah district magnitude, sebab
setiap distrik berwakil majemuk (>1). Variasi dari system ini adalah daftar
proporsional representasion, dan single transferable vote.
a.
Propotional
representation (PR)
Menurut Farrel,
sistem proporsional selalu diasosiasikan dengan nama 4 (empat) orang, yaitu
Thomas Hare (inggris), Victor d’Hondt (belgia) , Eduard Hagenbach-Bischoff
(swiss), dan A. Saint-Lague (Prancis). Meskipun demikian, menurut Farrel
asosiasi itu tidak selamanya tepat sebab kemunculan sistem proporsional adalah berhimpitan
dengan perkembangan demokrasi perwakilan, dan terutama dengan perluasan
universalitas hak pilih dan perkembangan partai massa.
Ciri dari tipe
ini adalah : pertama, setiap distrik berwakil majemuk. Kedua, setiap partai
menyajikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan
kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan. Ketiga, pemilih memilih
salah satu kandidat. Keempat, partai memperoleh kursi sebanding dengan suara
yang diperoleh. Terakhir, kandidat yang dapat mewakili adalah yang berhasil
melampaui ambang batas suara (threshold).
Pada sistem
proporsional ada sejumlah mekanisme yang digunakan untuk menentukan perolehan kursi dari partai
politik. Secara garis besar teknik penghitungan suara itu dipilah menjadi dua,
yaitu teknik kuota dan divisor. Teknik kuota atau dikenal juga dengan suara
sisa terbesar (the largest remainder) digunakan di Ausrtria, Belgia, dan
Denmark untuk majelis tinggi, Yunani, Islandia, dan Italia untuk majelis
rendah. Teknik kuota mengenal beberapa varian, dan yang sangat terkenal adalah
varian Here dan Droop. Ciri umum dari teknik kuota adalah adanya bilangan
pembagi pemilih yang tidak tetap, tergantung pada jumlah pemilih.
Pada varian
Here, bilangan pembagi pemilih ditentukan dengan cara membagi total jumlah sura
yang sah dengan jumlah kursi yang disediakan pada setiap daerah pemilihan, atau
HQ= vis dimana HQ adalah kuota Hare, v adalah jumlah total suara yang sah, dan
s adalah jumlah kursi yang disediakan untuk setiap daerah. Perolehan kursi
masing-masing partai ditentukan oleh pembagian antara perolehan suara partai
dengan bilangan pembagi pemilih tersebut.
Penerapan
terhadap varian Here tersebut dapat dilihat seperti dalam tabel. Terdapat
100.000 suara sah yang berasal dari 4 kontestan yaitu A, B, C, dan D untuk
memperebutkan 6 kursi di sebuah daerah pemilihan. Dengan demikian kuota Hare
didapat 100.000 (suara)/6 kursi = 16.667. A, B, C, dan D masing-masing
memperoleh suara 42 ribu suara, 31 ribu suara, 15 ribu suara, dan 12 ribu
suara. Dengan menggunakan kuota Hare mendapat 2,2,1, dan 1 kursi.
Tabel 1.1
Alokasi Kursi Versi Kuota Hare
Partai
|
Suara
|
Kuota
Hare
|
Kursi
dari Kuota Penuh
|
Kursi
Sisa
|
Total
Kursi
|
A
|
42.000
|
2,52
|
2
|
0
|
2
|
B
|
31.000
|
1,86
|
1
|
1
|
2
|
C
|
15.000
|
0,90
|
0
|
1
|
1
|
D
|
12.000
|
0,72
|
0
|
1
|
1
|
Total
|
100.000
|
6,00
|
3
|
3
|
6
|
Sumber : Andrew Reynolds dan
Arend Lijphart
Sementara pada Varian
Droop, bilangan pembagi pemilih diperoleh dengan cara membagi jumlah suara yang
sah dengan jumlah kursi yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan atau DQ=
v/(s+1) dimana DQ adalah Kuota Droop, v adalah jumlah total suara yang sah, dan
s adalah jumlah kursi yang disediakan untuk setiap daerah.
Pada tabel 1.2
adalah contoh penggunaan varian Droop dalam menghitung perolehan kursi setiap
partai dengan total suara 100.000 dan 6 kursi untuk satu daerah pemilihan.
Dengan menggunakan rumus Droop maka bilangan pembagi pemilihnya adalah 100.000
(suara)/(6 kursi+1) = 14.286. Perolehan kursi partai A, B, C, dan D
masing-masing adalah 3,2,1,dan 0 kursi.
Tabel 1.2
Alokasi Kursi Versi Kuota Droop
Partai
|
Suara
|
Kuota
Hare
|
Kursi
dari Kuota Penuh
|
Kursi
Sisa
|
1Total
Kursi
|
A
|
42.000
|
2,94
|
2
|
1
|
3
|
B
|
31.000
|
2,17
|
2
|
0
|
2
|
C
|
15.000
|
1,50
|
1
|
0
|
1
|
D
|
12.000
|
0,84
|
0
|
0
|
0
|
Total
|
100.000
|
7,00
|
5
|
1
|
6
|
Sumber: Andrew Reynolds dan Arend
Lijphart
Jika dibandingkan varian Here dan
Droop terlihat bahwa varian Droop kurang sensitif dengan perolehan partai
kecil.
Pada Teknik
Divisor atau dikenal juga dengan penghitungan rata-rata angka tertinggi (the
highest average) muncul berkaitan dengan kelemahan yang ditemukan pada teknik
kuota. Seperti halnya teknik kuota, teknik Divisor ini juga memiliki beberapa
varian. Yang membedakan dari tiap varian adalah bilangan pembaginya. Ciri khas
dari teknik ini adalah bilangan pembagi (BP) tetap, tidak tergantung pada
jumlah penduduk/pemilih /perolehan suara.
Varian pertama
adalah D’Hondt. Finlandia, Israel, Luxemburg, Belanda, Portugis, Spanyol, dan
Swiss adalah negara-negara yang menggunakan varian D’Hondt. Bilangan pembagi
dari varian ini adalah berangka utuh (1,2,3,4,5,6,7 dan seterunya) kemudian
diseleksi angka tertinggi. Kursi yang tersedia, pertama-tama akan disetorkan
kepada daerah berpopulasi tinggi dan seterusnya.
Tabel 1.3
Alokasi Versi D’Hondt
Partai
|
Suara
|
Alokasi
D’Hondt
|
Total
Kursi
|
||
V/1
|
V/2
|
V/3
|
|||
A
|
42.000
|
42.000 (1)
|
21.000 (3)
|
14.000 (6)
|
3
|
B
|
31.000
|
31.000 (2)
|
15.000 (4)
|
10.333
|
2
|
C
|
15.000
|
15.000 (5)
|
7.500
|
|
1
|
D
|
12.000
|
12.000
|
|
|
|
Total
|
100.000
|
|
|
|
6
|
Varian kedua adalah
Sainte Lague. Negara yang menggunakan varian ini adalah Denmark. Norwegia dan
Swedia. Varian ini menggunakan Bilangan Pembagi (BP) berangka ganjil
(1,3,5,7,9, dan seterusnya) Kemudian disaring angka tertinggi. Kursi yang
tersedia, pertama-tama akan disetorkan kepada partai yang memperoleh suara
tertinggi (lihat Tabel 1.4).
Tabel 1.4
Alokasi Kursi Versi Modifikasi Sainte Lague
Partai
|
Suara
|
Alokasi
Modifikasi Sainte Lague
|
Total
Kursi
|
||
V/1
|
V/2
|
V/3
|
|||
A
|
42.000
|
30.000 (1)
|
14.000(3)
|
8.400
|
2
|
B
|
31.000
|
22.143 (2)
|
10.333 (5)
|
6.200
|
2
|
C
|
15.000
|
10.714 (4)
|
5.000
|
|
1
|
D
|
12.000
|
8.571 (6)
|
|
|
1
|
Total
|
100.000
|
|
|
|
|
b.
Single
Transferable Vote (STV)
Karakter utama dari
tipe ini adalah: pertama, menggunakan distrik beranggota majemuk. Kedua,
pemilih melakukan ranking kandidat secara preferensial (biasanya bersifat
pilihan, boleh memilih 1,2,3, dan seterusnya). Ketiga, kandidat yang
mendapatkan suara melebihi kuota suara (threshold) dinyatakan sebagai wakil
distrik. Keempat, jika tidak ada yang melebihi kuota kandidat yang
preferensinya paling sedikit disingkirkan, tetapi preferensi keduanya diredistribusikan
kepada kandidat lain. Pada saat yang sama, suara surplus kandidat terpilih juga
diredistribusikan tetapi setiap suara dihitung dengan bobot sebagai bagian atau
sebagian persen dari preferensi kedua.
Dalam
penghitungan suara, rumus yang digunakan dalam STV hampir selalu menggunakan
kuota Droop. Bedanya, pada kuota Droop STV penentuan kuotanya dihitung dari
membagi jumlah total suara pemilih dengan jumlah kursi ditambah satu, yang
kemudian dibulatkan. Jika hasil perhitungannya adalah suatu bilangan bulat,
maka hasil tersebut ditambah 1 (sebagai angka penambah).
Tabel 1.5 adalah
contoh dari alokasi kursi dengan STV pada distrik dengan 3 kursi dan 5 kandidat
serta 100 pemilih. Dengan demikian kuota
Droopnya adalah Kuota Droop = (100+ (3+1)+1= 26. Preferensi pemilih sendiri
adalah 23 surat suara untuk P, Q, dan T . ada 23 surat suara untuk P, R, dan S.
Ada 16 surat suara untuk Q dan R. Terdapat 5 surat suara R dan S. Ada 20 Surat
suara S dan T. Ada 8 surat suara T, Q, dan R. Serta terdapat 5 surat suara
untuk T.
Penghitungannya
sangat rumit, sekali melakukan kesalahan menghitung berdampak pada
keseluruhannya. Pada tabel di atas terlihat yang memperoleh kursi adalah P, Q,
dan R.
Tabel 1.5
Alokasi Kursi pada STV
Kandidat
|
Penghitungan
Pertama
|
Penghitungan
Kedua
|
Penghitungan
Ketiga
|
P
|
46
|
-20=26
|
26
|
Q
|
16
|
+10=26
|
26
|
R
|
5
|
+10=15
|
+8=23
|
S
|
20
|
20
|
20
|
T
|
13
|
13
|
-13=0
|
Tidak dapat dipindahkan
|
|
0
|
+5=5
|
Kandidat yang terpilih: P,Q,dan R
|
|
|
Sumber: Diolah dari Buku Sigit Pamungkas "Perihal Pemilu"