Oleh : Fahrezi*
Muhammadiyah lahir di Yogyakarta pada tahun 1912 yang diprakarsai/didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Persyerikatan muhammadiyah merupakan organisasi social keagamaan yangbertujuan untuk menyebarkan ajaran Nabi Muhammad SAW. Pemberian nama muhammadiyah sebetulnya untuk mengikuti jejak dan meneladani sunnah nabi Muhammad SAW. Dalam perspektif bahasa arab, muhammadiyah berarti Umat Muhammad, mengikuti makna nama Muhammadiyah, istilah organisasi ini menghendaki pemahaman terhadap totalitas identitasnya karena tidak hanya sekedar dimaknai sebagai serikat, kumpulan, himpunan, ikatan atau organisasi belaka tetapi juga sebagai pergerakkan.
Mengutip Abdul Munir Mulkhan dalam “ Islam Murni Dalam Masyarakat Petani”. Dalam penelitiannya mulkhan menemukan sesuatu yang baru berkaitan dengan muhammadiyah yang selama ini dianggap sebagai gerakan kembali kepada ajaran islam yang murni (islam otentik) sebagai gerakan politisasi atau gerakan islam modernis. Mulkhan melihat bahwa varian anggota muhammadiyah disalah satu tempat penelitiannya di wuluhan jember terkelompok dalam empat kategori : pertama, islam murni (al Ikhlas), islam murni yang tidak mengajarkan praktik TBC (takhayul. Bid’ah, dan kurafat) tetapi toleran terhadap praktik itu, yang termasuk kelompoknya Kyai Ahmad Dahlan. Kedua, Neo tradisonalis (kelompok Munu: Muhammadiyah-Nahdatul Ulama). Ketiga, kelompok Neo sinkretis (kelompok Munas: muhammadiyah-Nasionalis). Dan keempat, kelompok Marmud (Marhaenis-Muhammadiyah).
Mengapa saya mengambil muhammadiyah sebagai intermediary juga berangkat dari salah satu keputusan muktamar muhammadiyah ke 42 di Yogyakarta tahun 1990, pada pasal 2 dan 3 menyatakan “meningkatkan peran dan partisipasi politik muhammadiyah dalam kerangka dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui saluran yang dipandang efektif dan strategis sesuai dengan kepribadian khitah muhammadiyah”. Muhammadiyah sebagai organisasi massa tentu akan mengalami perubahan jika dikaitkan dengan persoalan-persoalan eksternal yakni perubahan eksternal yang mengglobal khususnya perkembangan teknologi yang semakin canggih, perubahan social politik dunia, dan perubahan tata nilai dalam masyarakat sebagi akibat dari semakin materialismenya umat.
Mengenai relasi muhammadiyah dan politik. Pernah didalam serasehan pra muktamar muhammadiyah di malang, PJ Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Amien Rais, mengutarakan bahwa muhammadiyah harus “high politic”, maksudnya bergerak dikawasan moral dan etika politik. Ini sebagai konsekuensi kepemimpinan obligasi moral muhammadiyah yang menuntut concern terhadap kepentingan bangsa yang lebih luas. Jangan sampai terperangkap pada “low politic” (politik rendah) seperti mengejar kursi DPR atau titip-titip orang ke Orsospol.
Bila sebuah organisasi menunjukan sikap yang tegas terhadap korupsi, mengajak masyarakat luas untuk memerangi ketidakadilan, menghimbau pemerintah untuk terus menggulirkan proses demokrasi dan keterbukaan, maka organisasi itu pada hakikatnya sedang memainkan high politic. Sebaliknya bila sebuah organisasi melakukan gerakan maneuver politik untuk memperebutkan kursi DPR, minta bagian dilembaga eksekutif, membuat kelompok penekan, membangun lobi, berkasak-kusuk untuk mempertahankan atau memperluas Vasted interest, maka organisasi tersebut sedang melakukan low politic. Ungkapan yang menyatakan bahwa muhammadiyah tidka akan ikut bermain politik praktis.
Pada saat muktamar ke 42 muhammadiyah di Yogyakarta telah menghasilkan antara lain suatu corak kepemimpinan yang berbeda dengan masa sebelumnya. Walaupun dilihat dari personel yang terpilih hampir tidak ada tokoh yang baru setelah tetapi setelah turunya KH. AR Fachruddin, ada 2 gejala baru. Pertama, berakhirnya kepemimpinan karismatik. Kedua, makin dominasinya peran kaum intelektual yang begitu getol mengumbar tekad menerapkan fungsionalisasi dalam kepemimpinan guna memungkinkan muhammadiyah lebih lincah lagi dalam mengahadapi arus globalisasi dan makin tangguh dalam berpacu dengan tuntutan perubahan dasyhat yang dialami bangsa Indonesia. Terbukti setelah wafatnya KH. Ahmad Azhar Basyir, praktis kepemimpinan muhammadiyah bercorak intelektual, Prof. DR. Amien Rais, dilanjutkan oleh Prof. Syafii Ma’rif dan Prof. Din Syamsudin disamping tokoh-tokoh intelektual yang tergabung didalamnya seperti Malik Fadjar, dan Ismail Sunni.
Menurut Haedar Nashir muhammadiyah kekinian, menurutnya berangkat dari muhammadiyah yang sering dianggap oleh sebagian kalangan sebagai “biang” alergi dan anti-politik, bahkan membuat gerakan Islam ini “banci” atau ambigu dalam menghadapi politik, maksudnya politik kekuasaan dalam makna perebutan kursi kekuasaan di pemerintahan. Dengan Khittah itu Muhammadiyah menjadi pasif, bahkan tidak ada jalan keluar sebaiknya bagaimana peran politik Muhammadiyah. Muhammadiyah bahkan dipandang tidak memiliki konsep politik yang jelas, cenderung sekuler karena memisahkan politik dari gerakannya. Dipandang pula Muhammadiyah menjauhi politik itu sebagai bentuk keputusasaan atau marjinalisasi (peminggiran) diri dari dinamika politik yang sesungguhnya jauh lebih penting ketimbang dakwah.
Pandangan yang demikian mungkin ada benarnya dilihat dari satu sudut kepentingan politik-praktis, yakni politik yang berorientasi pada perjuangan merebut, menggunakan, dan mempertahankan kekuasaan politik di pemerintahan. Para politisi pada umumnya berada dalam posisi yang berpandangan demikian. Hal itu tentu wajar karena di satu pihak politik-kekuasaan memang penting dan para politisi maupun partai politik memerlukan dukungan politik dari kekuatan-kekuatan masyarakat seperti Muhammadiyah. Namun bukan berarti Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan harus mengubah diri menjadi partai politik, memberikan dukungan proaktif atau mendirikan partai politik, maupun terlibat dalam perjuangan politik-praktis sebagaimana fungsi partai politik. Muhammadiyah melakukan pilihan politik untuk tidak berpolitik-praktis itu justru sebagai langkah sadar sejak awal bahwa perjuangan politik-praktis memang bukan niat awal Muhammadiyah. Tentu plus-minus dari pilihan itu tetapi itulah sebuah pilihan gerakan, sebab menjadi partai politik atau terlibat dalam perjuangan politik-praktis pun sama plus-minusnya, sehingga posisi yang demikian wajar adanya dan perlu dihormati sebagai suatu pilihan gerakan yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi objektivitas politik maupun idealisme gerakan.
Pandangan yang terlalu pro-politik dan menegasikan peran Muhammadiyah tersebut lebih-lebih dengan memandang Khittah sebagai “biang” kesulitan Muhammadiyah, sesungguhnya juga tidak tepat jika dipahami Khittah dalam spirit dan konteks gerakan Muhammadiyah secara keseluruhan. Lebih-lebih dengan Khittah Denpasar tahun 2002 tentang Khittah Berbangsa dan Bernegara, di dalamnya terkandung pandangan sekaligus garis dan alternatif langkah Muhammadiyah dalam menghadapi politik. Khittah Denpasar merupakan konsep yang cukup mewakili dari seluruh Khittah sebelumnya termasuk Khittah tahun 1971, yang memberikan sinyal pandangan Muhammadiyah tentang politik, posisi Muhammadiyah dalam politik, dan pilihan jalan keluar dari tidak berpolitik-praktis. Khittah Denpasar sebenarnya merupakan Khittah utama yang dapat menjadi bingkai pandangan, pembatas, sekaligus jalan keluar bagi Muhammadiyah dalam menghadapi politik.
Dalam kasus tertentu boleh jadi terdapat kebijakan atau pilihan organisasi yang berbeda dari Khittah karena pertimbangan-pertimbangan darurat atau situasional, sejauh hal itu dilakukan secara kelembagaan melalui mekanisma organisasi yang diproses secara matang demi mencegah kedaruratan atau karena kepentingan yang lebih besar, tentu dapat dibenarkan sebagai bentuk fleksibilitas organisasi. Tetapi semestinya secara umum tetap mengacu atau mempertimbangkan Khittah dan prinsip organisasi sehingga tidak melampaui batas garis gerakan. Para kader atau elite pimpinan dalam menerjemahkan kebijakan organisasi pun dituntut kearifan, kecerdasan, dan etika organisasi agar kebijakan organisasi tidak keluar jauh dari koridornya karena apapun Muhammadiyah itu merupakan organisasi Islam yang besar dan menjadi amanah sejarah perjuangan umat Islam dan bangsa Indonesia yang harus tetap dijaga eksistensi, keutuhan, dan komitmen utama gerakannya. Muhammadiyah tidak boleh menjadi lahan pertaruhan politik dan karena itu diperlukan Khittah Perjuangan.
Terakhir untuk dapat dicermati muhammadiyah sangat eksis akhir-akhir ini dalam kelompok Lintas Agama untuk mengkoreksi pemerintah. Sehingga mau tidak mau, muhammadiyah harus ikut ambil bagian dalam kebijakan yang dibuat oleh Negara. Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi massa yang telah jauh memiliki pengalaman dalam perjuangan bangsa tidak akan diam begitu saja dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang dirasakan oleh rakyat banyak. Kesemuannya itu adalah corak muhammadiyah yang berlandaskan ammar ma’ruf nahi munkar.
Pertanyaan yang ingin saya cari bagaimana muhammadiyah memposisikan dirinya sebagai sebuah organisasi islam di antara rakyat dan negara?. Bagaimana muhammadiyah menyampaikan aspirasi masyarakat serta mengkoreksi kebijakan pemerintah?. Bagimana afiliasi muhammadiyah setelah para kadernya membentuk partai seperti PAN oleh Prof. DR. Amien Rais dan Partai Matahari Bangsa oleh Pemuda Muhammadiyah atau Muhammadiyah tetap jalan sendiri walaupun kader-kadernya sudah ke partai ?. Sehingga jelas kita dapatkan bahwasanya muhammadiyah adalah salah satu kelompok kepentingan (Aktor) yang bermain diranah intermediary.
* Mahasiswa Pascasarjana Politik dan Pemerintahan UGM
No comments:
Post a Comment