Aksi Massa
Tan Malaka
(1926)
2
DISCLAIMER
Aksi Massa Oleh Tan Malaka adalah publikasi ECONARCH
Institute. E-book pdf ini adalah bebas dan tanpa biaya apapun.
Siapapun yang menggunakan file ini, untuk tujuan apapun dan
karenanya menjadi pertanggungan jawabnya sendiri. Pihak
institusi, editor, atau individu yang terkait dengan ECONARCH
Institute tidak dalam kapasitas sebagai pihak yang bertanggung
jawab atas isi dokumen atau file perihal transimisi elektronik
dalam hal apapun.
Aksi Massa Oleh Tan Malaka, ECONARCH Institute, Electronic
Classics Series, Editor, Indonesia adalah file PDF yang
diproduksi sebagai bagian proyek publikasi belajar untuk
memberikan literatur klasik bebas dan mudah diakses bagi
mereka yang bermaksud mendayagunakannya.
Cover Design: Rowland
3
Aksi Massa
Tan Malaka (1926)
Ditulis oleh Tan Malaka pada tahun 1926 di Singapura.
Sumber: Diambil dari buku "Aksi Massa" terbitan Teplok Press,
2000.
4
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS
I. REVOLUSI
II. IKHTISAR TENTANG RIWAYAT INDONESIA
Pengaruh Luar Negeri
Bangsa Indonesia yang Asli
Pengaruh Hindu
Kegundahan (Pesimisme) Empu Sedah
Tarunajaya
Diponegoro
III. BEBERAPA MACAM IMPERIALISME
Berbagai Cara Pemerasan dan Penindasan
Sebab-Sebab Perbedaan
Akibat dari Berbagai Macam Cara Pemerasan dan
Penindasan
India
Filipina
Indonesia
IV. KAPITALISME INDONESIA
Kapitalisme yang Masih Muda
Tumbuh Tidak dengan Semestinya
Kapital Indonesia Itu Internasional
V. KEADAAN RAKYAT INDONESIA
Kemelaratan
Kegelapan
Kelaliman dan Perbudakan
5
VI. KEADAAN SOSIAL
VII. KEADAAN POLITIK
Tinjauan ke Belakang
Pokok Undang-Undang Minangkabau
Perwakilan Rakyat atau Soviet
Dewan "Rakyat" Kita!
Harapan kepada Badan Perwakilan Rakyat
VIII. REVOLUSI DI INDONESIA
Kemungkinan Besar Akan Timbulnya Revolusi
Sifat Revolusi Indonesia yang Akan Timbul
IX. PERKAKAS REVOLUSI KITA
Partai dan Sifat-Sifatnya
Program Nasional Kita
Tugas dan Organisasi Partai
X. SEKILAS TENTANG GERAKAN KEMERDEKAAN DI
INDONESIA
Kegagalan Partai Borjuis
Budi Utomo
National Indische Party
Sarekat Islam
Bagaimana Sekarang?
De Indonesische Studieclub
XI. FEDERASI REPUBLIK INDONESIA
XII. KHAYALAN SEORANG REVOLUSIONER
LAMPIRAN: RANCANGAN UNTUK PROGRAM
PROLETAR DI INDONESIA
6
PENGANTAR PENULIS
Alles was besteht ist wert,
dass es zu Gruende geht.
(Mephistopheles)
Asia sudah bangun!
Lambat laun bangsa-bangsa Asia yang terkungkung itu tentu
akan memperoleh kebebasan dan kemerdekaan. Tetapi tidak ada
seorang pun yang dapat mengatakan bilamana dan dimana
bendera kemerdekaan yang pertama akan berkibar. Siapa yang
menyelidiki sedalam-dalamnya perekonomian Timur, politik dan
sosiologi akan dapat menunjukkan halkah rantai yang selemah-lemahnya dalam rentengan rantai panjang yang mengikat
perbudakan Timur. Indonesialah halkah rantai yang lemah itu. Di
Indonesia benteng imperialisme Barat yang pertama dapat
ditempur dengan berhasil.
Imperialisme Belanda lebih tua dan lebih kuno dari pada
imperialisme Inggris dan Amerika, dipisahkan oleh satu lembah
yang tak dapat diseberangi dari jajahannya. Negeri Belanda,
karena tidak mempunyai bahan-bahan untuk industrinya, dari
dahulu hanya mengusahakan pertanian dan perdagangan.
Penjabaran kapitalnya dari permulaan abad ini ke seluruh
Indonesia sangat luasnya.
Pusat industri Belanda sekarang terletak di Indonesia, sedang
pusat perdagangan dan keuangannya ada di negeri Belanda.
Bankir, industrialis dan saudagar tinggal di negeri Belanda,
sedang buruh dan tani di Indonesia. Jika kita perhatikan kedua
lautan yang memisahkan Belanda dengan Indonesia itu, serta
tidak pula kita lupakan perbedaan bangsa, agama, bahasa, adat-istiadat antara penjajah dan si terjajah, antara pemeras dan si
terperas, tampaklah kepada kita satu perbandingan dari pergaulan
yang luar biasa di dunia imperialisme waktu sekarang. Luar
7
biasa, sebab kaum modal bumiputra tak ada. Jadi, titian antara
negeri Belanda dengan Indonesia putus sama sekali.
Ketiadaan kaum modal bumiputra yang sifatnya hampir
bersamaan dengan imperialisme Belanda (samasama mau
menggencet buruh dan tani) menyebabkan imperialisme Belanda
sukar sekali membereskan krisis ekonomi di Indonesia.
Dimanakah ada di Indonesia tuan-tuan tanah bumiputra seperti di
Mesir, India dan Filipina yang dapat menunjang kaum
imperialisme untuk membela kepentingan-kepentingan ekonomi
mereka? Dan dimanakah ada kaum modal bumiputra yang kuat,
yang meminta-minta kekuasaan dalam politik perekonomian-nya
seperti di India?
Tuan-tuan tanah Indonesia yang sedikit berarti telah lama
menjadi gembala, kuli atau kuli tinta! Bangsa-bangsa Eropa,
Tionghoa dan dan Arab menguasai semua perdagangan besar,
menengah ataupun kecil! Bangsa Indonesia yang menengah atau
yang kecil telah lenyap dari Pulau Jawa sejak beberapa tahun
yang silam oleh pemasukan barang-barang pabrik dari Eropa.
Soal perguruan dengan sengaja dilengahkan oleh Belanda, kaum
intelektual jadi kurang. Sebab itu, kendatipun kaum saudagar
bumiputra seperti India, mau menyokong mereka mendirikan
industri, toh tidak akan berhasil.
Sebab ketiadaan kaum modal tuan tanah bumiputra itu, maka
setiap aksi parlementer dari partai nasional mana pun tidak
berguna.
Bagaimanakah "bapak gula" dan "nenek minyak" di negeri
Belanda akan dapat memberikan hak pemilihan umum kepada
bangsa Indonesia? Atau dengan lain arti: mempercayakan
kekuasaan politik kepada wakil-wakil tani dan buruh yang
miskin? Jika sekiranya di belakang kaum intelektual, berdiri
tuan-tuan tanah dan kaum modal bumiputra yang akan mereka
wakili di parlemen, tentulah akan berlainan keadaan itu. Dan
cakap angin tentang "perubahan dalam pemerintahan di
8
Indonesia" ada juga artinya sedikit. Imperialis Belanda
berangsur-angsur, lambat laun dapat menyerahkan pemerintahan
itu kepada bangsa Indonesia yang cakap dan jujur. Bukankah
melindungi modal bumiputra, sebagian juga berarti melindungi
modal bangsa asing? Di dalam nisbah sekarang ini nyatalah
bahwa flap pemerintahan bangsa Indonesia haruslah tunduk
kepada kemauan modal asing yang besar-besar. Dan
pemerintahan seperti itu tak akan diakui sebagai berasal dari
rakyat dan oleh rakyat!
Pendeknya, Indonesia tak mempunyai faktor-faktor ekonomi,
sosial ataupun intelektual buat melepaskan diri dari perbudakan
ekonomi dan politik di dalam lingkungan imperialisme Belanda.
Bersamaan dengan itu, kans untuk mencapai kemerdekaan dalam
arti yang seluas-luasnya dengan jalan menguasai setengah, tiga
perempat, hingga tujuh per delapan parlemen lenyap buat
selamanya. Impian seorang makhluk seperti Notosuroto yang
mengangan-angankan Nederlandia Raja akan tetap jadi lamunan
orang yang fasik.
Indonesia dapat menaikkan ekonominya jika kekuasaan politik
ada di tangan rakyat. Dan Indonesia akan mendapat kekuasaan
politik tidak dengan jalan apa pun, kecuali dengan aksi politik
yang revolusioner lagi teratur, dan yang tidak mau tunduk.
Dewan Rakyat kadang-kadang boleh dimasuki! Tetapi bukan
dipergunakan sebagai senjata yang sah untuk memperoleh
pemerintahan nasional yang bertanggung jawab penuh dengan
perantaraan Dewan Rakyat bekerja sama dengan imperialis
Belanda. Tetapi guna mengembangkan usaha revolusioner
hingga ke dalam kamar-kamar diperoleh dengan perantaraan
aksi-aksi parlementer samalah dengan seseorang di Gurun Sahara
yang membum fatamorgana. Tetapi siapa yang mempergunakan
sekalian pengetahuannya untuk aksi massa yang teratur, niscaya
memperoleh kemenangan itu seumpama "ayam pulang ke
kandangnya".
9
Soal kemerdekaan Indonesia bukanlah satu soal yang terbatas di
Indonesia saja, yang dapat dipecahkan dengan perantaraan
kongres dan putusan-putusan yang lembek di Dewan Rakyat,
jangan dikata lagi dengan perantaraan kelakar-kelakar ekonomi
dan kebudayaan di warung kopi. Soal itu mempunyai hubungan
yang sangat rapat dengan kekuasaan Barat terhadap bangsa
berwarna di benua Timur.
Salah satu sebab — dan ini bukan sebab yang terkecil —
mengapa Amerika tidak juga memberikan kemerdekaan yang
seluas-luasnya kepada orang Indonesia Utara (Filipina) yang
menurut perkataan kawan ataupun lawannya telah lama matang
(seperti kata surat-surat kabar imperialisme Amerika di Manila)
adalah bahwa kemerdekaan Filipina berarti satu pemberontakan
dan penyembelihan di Asia melawan kekuasaan kulit putih (a
general revolt in Asiatic countries against white authority,
uprising being attended by slaughter). Kelepasan Indonesia (pu-sat arti ilmu bumi dan peperangan Asia, penduduk lima kali lebih
besar dari Filipina dan dengan perdagangan internasional)
mustahil tidak berarti sebagai satu pistol yang ditujukan kepada
kekuasaan Barat terutama Inggris di Asia.
Belum lama ini bekas putra mahkota Wilhelm menerangkan
kepada seorang wakil dari United Press di Locarno yang
diumumkan oleh radio ke seluruh dunia, bahwa bila manusia
yang berjuta-juta di Asia pada satu hari bergerak memukul
Anglosakson (Inggris, Prancis dan Belanda) niscaya bangsa
Melayulah yang pertama kali akan menyebabkan kesusahan.
Pengharapan imperialistis dan sindiran macam apakah yang
dimaksud putra mahkota yang senewen itu, bagi kita tetap nyata:
bahwa Indonesia sekarang bukan Indonesia pada beberapa tahun
yang lalu. Indonesia telah mengambil tempat yang penting dalam
barisan berjuta-juta manusia di Asia.
Karena itu, kemenangan yang diperoleh dengan jalan damai dan
parlementer sama sekali tak boleh dipikirkan. Bukankah hal
serupa itu tepat mengganggu ketentraman kapitalis di Timur?
Bila suatu hari Indonesia terlepas dan mempertahankan
10
kemerdekaannya dari musuh-musuh dalam dan luar negeri,
tentulah hal tersebut ditentukan oleh kodrat revolusioner, yakni
yang disebabkan oleh aksi massa: dari massa dan untuk massa.
Kalau penjajahan Belanda selama 300 tahun itu tidak berupa
perampokan (membunuh habis industri bumiputra) niscaya
derajat kaum intelektual kita jauh berbeda dari keadaan
sekarang! Dan kita tentulah mempunyai semangat kecerdasan
(inteligensia) yang menurut asal, didikan dan perasaan menjadi
pemuka dari tuan-tuan tanah, industri, saudagar dan pegawai
bumiputra. Pun juga akan timbul pergerakan demokrasi dan
kemerdekaan nasional yang bersifat kerja sama (kompromis)
dengan bangsa Belanda atas pertolongan buruh dan tani seperti di
India, Mesir dan Filipina lebih kurang.
Atas ketiadaan kaum modal bumiputra, intelegensia kita tak kuat
berdiri. Ia melayang-layang di antara rakyat dengan pemerintah.
Ia tidak mempunyai perasaan ingin mengorbankan diri seperti
yang ditunjukkan nasionalis di negeri-negeri lain. Ia tidak
mempunyai alat-alat perasaan, pemikiran yang mendekatkan
dirinya kepada massa (rakyat murba). Disebabkan imperialis,
kaum intelektual kita jauh dari massa.
Mereka tidak mempunyai satu kesaktian yang dapat
mempengaruhi dan menarik hati rakyat. Kaum intelektual kita
tidak beroleh kepercayaan dan simpati massa untuk
menggerakkan mereka, membuat aksi-aksi serta memimpin
mereka. Tambahan lagi, sebab jumlah kaum terpelajar yang tidak
seberapa, mereka masih tinggal di dalam kelas mereka dan
belum menjadi buruh terpelajar.
Untuk sementara waktu, dapatlah mereka menonton dari jauh.
Lain halnya kalau jumlah mereka banyak, tentulah mereka akan
luntang-lantung dan merasakan kemelaratan sebagai buruh
industri dengan penuh "kegembiraan" dalam medan perjuangan.
Kecepatan timbulnya kelas intelektual, kekecewaan terhadap
Budi Utomo (B.U.) dan National Indische Party (N.I.P.) serta
11
kekejaman reaksi, mencakar pemandangan mereka ke jurusan
yang lain. Sungguhpun masih sangat lambat dan masih berdiri
beberapa pal (1 pal = 1.5 kilometer) jauhnya dari massa serta
dalam keaktifan dan politik terjejer sangat jauh di belakang
dibandingkan dengan kelas mereka di lain koloni, tetapi mereka
telah mulai bangun dari tidur. "Jubah malaikat" dari Notosoeroto
telah dilemparkan mereka, dan mulai bersetuju kepada aksi-aksi
revolusioner. Sekarang dari beberapa universitas di negeri
Belanda yang jauh itu berdengung-dengung suara mereka hingga
kedengaran oleh kaum intelektual yang ada di Indonesia.
Tetapi harapan buruh dan tani di Indonesia tidak cuma
persetujuan hati saja dari intelektual itu. Mereka menghendaki
perbuatan atau bukti-bukti.
Selama kaum terpelajar kita melihat bahwa perjuangan
kemerdekaan sebagai masalah akademi saja, selama itulah
perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong belaka. Biarlah
mereka melangkah keluar dari kamar belajar menyeburkan diri
ke dalam politik revolusioner yang aktif.
Gelombang pemogokan, pemboikotan dan demonstrasi yang
beralun-alun setiap hari bertambah besar, melalui rapat nasional
menuju ke Federasi Republik Indonesia, inilah jalan mereka,
tidak lain!
Tan Malaka
12
I
REVOLUSI
Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa,
serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa.
Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun
revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan,
tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri. Sebuah revolusi
disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari
tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang
dinamis, dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang
timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam.
Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu
ditentukan oleh pelbagai macam faktor: ekonomi, sosial, politik,
dan psikologis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin
beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya
semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas
yang diperintah semakin besarlah hantu revolusi. Tujuan sebuah
revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan memegang
kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu
dijalankan dengan "kekerasan".
Di atas bangkai yang lama berdirilah satu kekuasaan baru yang
menang. Demikianlah, masyarakat feodal didorong oleh
masyarakat kapitalistis dan yang disebut lebih akhir ini sekarang
berjuang mati-matian dengan masyarakat buruh yang bertujuan
mencapai "satu masyarakat komunis yang tidak mempunyai
kelas", lain halnya jika semua manusia yang ada sekarang
musnah sama sekali tentulah terjadi proses: werden undvergehen,
yakni perjuangan kelas terus-menerus hingga tercapai pergaulan
hidup yang tidak mengenal kelas (menurut paham Karl Marx).
Di zaman purba waktu ilmu (wetenschap) masih muda, semua
perjuangan dalam kegelapan (kelas-kelas) diterangi (dibereskan)
oleh agama yang bermacam-macam; perjuangan golongan
menyerupai keagamaan, umpamanya pertentangan Brahmanisme
dan Budhisme, Ahriman, Zoroastria dengan Ormus (terang
dengan gelap), Mosaisme dengan Israilisme, kemudian
13
Katholisme dengan Protestanisme. Akan tetapi, pada hakikatnya
semuanya itu adalah perjuangan kelas untuk kekuasaan ekonomi
dan politik.
Kemudian sesudah ilmu dan percobaan menjadi lebih sempurna,
sesudah manusia melemparkan sebagian atau semua "kepicikan
otak" (dogma), setelah manusia menjadi cerdas dan dapat
memikirkan soal pergaulan hidup, pertentangan kelas disendikan
kepada pengetahuan yang nyata. Dalam perjuangan untuk
keadilan dan politik, manusia tidak membutuhkan atau mencari-cari Tuhan lagi, atau ayat-ayat kitab agama, tetapi langsung
menuju sebab musabab nyata yang merusakkan atau
memperbaiki kehidupannya. Di seputar ini sajalah pikiran orang
berkutat dan ia dinamakan cita-cita pemerintahan negeri. Kepada
masalah itulah segenap keaktifan politik ditujukan.
Tatkala kehidupan masih sangat sederhana dan terutama
tergantung kepada pekerjaan tangan dan pertanian, pendeknya di
zaman feodal, seorang yang mempunyai darah raja-raja, biarpun
bodohnya seperti kerbau, "boleh menaiki singgasana dengan
pertolongan pendeta dan bangsawan", menguasai nasib berjuta-juta manusia.
Cara pemerintahan serupa itu menjadi sangat sempit tatkala
teknik lebih maju dan feodalisme yang sudah bobrok itu pun
merintangi kemajuan industri. Kelas baru, yaitu "borjuasi" yang
menguasai cara penghasilan model baru (kapitalisme), merasa
tak senang sebab ketiadaan hak-hak politik. Mereka meminta
supaya pemerintahan diserahkan kepada mereka yang lebih
cakap dan pemerintah boleh "diangkat" atau "diturunkan" oleh
rakyat. Cita-cita politik borjuasi adalah demokrasi dan
parlementarisme. Ia menuntut penghapusan sekalian hak-hak
feodal dan juga menuntut penetapan sistem penghasilan dan
pembagian (distribusi yang kapitalistis).
Tatkala raja dan para pendetanya tetap mempertahankan hak-haknya hancurlah mereka dalam nyala revolusi. "Revolusi
borjuasi" tahun 1789 sebagai buah pertentangan yang tak
14
mengenal lelah antara feodalisme dengan kapitalisme
menjadikan negeri Prancis sebagai pelopor sekian banyak
revolusi yang kemudian berturut-turut pecah di seluruh Eropa.
Nasib raja Prancis (yang digulingkan) diderita juga oleh raja
Rusia yang mencoba-coba mengungkung borjuasi dan buruh
dengan perantaraan kesaktian takhayul dan kekerasan di dalam
sekapan feodalisme yang lapuk itu.
Cita-cita revolusioner berjalan terus tanpa mengindahkan adanya
pukulan, peluru dan siksaan yang tak terlukiskan walaupun
dengan pena pujangga Dostoyevsky. Di dalam gua-gua yang
gelap, di dalam tambang-tambang di Siberia, di dalam penjara
yang mesum, dingin dan sempit itu, angan-angan dan kemauan
revolusioner memperoleh pelajaran yang tak ternilai. Kerajaan,
gereja dan Duma (parlemen di Rusia) dalam waktu yang singkat
habis disapu oleh gelombang revolusioner yang tak terbendung.
Dalam revolusi buruh bulan November 1917 kelihatan bahwa
kelas buruh mempunyai kekuatan dan kemauan yang melebihi
borjuasi.
Raja Inggris, George III, yang tak mengindahkan riwayat
negerinya sendiri menyangka bahwa armada yang kuat dan
kebesaran kekayaannya dapat merintangi tumbuhnya kesosialan.
Bangsa Amerika Utara dengan tak mengindahkan jumlahnya
yang kecil, kurangnya pengalaman dalam soal penerangan, uang
dan lain-lain alat material, dapat mencapai kemerdekaannya
sesudah mengadakan perlawanan habis-habisan yang tak kenal
lelah itu.
Baru setelah kungkungan ekonomi dan politik berhasil
diputuskan dari imperialisme Inggris, dapatlah Amerika Utara
melangkah menuju kekayaan kekuasaan dan kebudayaan yang
sungguh tiada dua dalam riwayatnya.
Seandainya ia belum dua kali menceburkan diri kedalam revolusi
(pada tahun 1860), Amerika Utara tak akan dikenal dunia selain
sebagai Australia dan Kanada.
15
Revolusi sosial bukanlah semata-mata terbatas di Eropa saja,
tetapi merupakan kejadian umum yang tidak bergantung kepada
negeri dan bangsa. Tidakkah Jepang 60 tahun yang lalu (1868)
menghancurkan sekalian hak-hak feodal dengan perantaraan
revolusi? Sesudah kejadian itu, lenyaplah Kerajaan Matahari
Terbit.
Pendeknya dengan jalan revolusi dan perang kemerdekaan
nasionallah (yang dapat dimasukkan dalam revolusi sosial!),
maka sekalian negeri besar dan modern tanpa kecuali,
melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan.
Revolusi bukan saja menghukum sekalian perbuatan ganas,
menentang kecurangan dan kelaliman, tetapi juga mencapai
segenap perbaikan dari kecelaan.
Di dalam masa revolusilah tercapai puncak kekuatan moral,
terlahir kecerdasan pikiran dan teraih segenap kemampuan untuk
mendirikan masyarakat baru.
Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan
peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi,
niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi.
Revolusi adalah mencipta!
16
II
IKHTISAR TENTANG RIWAYAT INDONESIA
1. Pengaruh Luar Negeri
Riwayat Indonesia tak mudah dibaca, apalagi dituliskan. Riwayat
negeri kita penuh dengan kesaktian, dongengan-dongengan,
karangan-karangan dan pertentangan. Tak ada seorang jua ahli
riwayat dari Kerajaan Majapahit atau Mataram yang mempunyai
persamaan dengan ahli riwayat bangsa Roma kira-kira di zaman
1400 tahun yang silam, seperti Tacitus dan Caesar. Kita terpaksa
mengakui bahwa kita tak pernah mengenal ahli riwayat yang
jujur.
Paling banter kita cuma mempunyai tukang-tukang dongeng,
penjilat-penjilat raja yang menceritakan pelbagai macam
keindahan dan kegemilangan supaya tertarik hati si pendengar.
Tetapi meskipun demikian ada jugalah batas dari karangan-karangan dan putar-memutar kejadian yang sesungguhnya. Tak
usah terlampau jauh kita langkahi batas itu, niscaya berjumpalah
dengan intisari yang sebenarnya. Demikian jugalah dengan
riwayat-riwayat negeri kita. Di antara kekusutan-kekusutan
dalam karangan itu, terbayanglah kebenaran, tampaklah
Kepulauan Indonesia, kerajaan-kerajaan dan kota-kotanya yang
berdiri dan kemudian runtuh, laskar yang berderap-derap,
berperang, kalah dan menang, kekayaan, kesentosaan, dan
pasang-surut kebudayaan dan seterusnya. Tak dapat dipungkiri
bahwa di Malaka, Sumatera dan Jawa berdiri negeri-negeri yang
besar. Di Borneo Tengah pun ada satu kerajaan yang agaknya tak
seberapa kurangnya dari Kerajaan Majapahit. Di sana berdiri
kota-kota yang besar penuh dengan gedung dan perhiasan yang
indah-indah, sebagaimana yang dibuktikan oleh barang-barang
yang dijumpai di dalam tanah hingga waktu sekarang.
Dapat pula dipastikan, bahwa Indonesia belum pernah
melangkah keluar dari masyarakat feodalisme, dan bahwa ia jauh
17
tercecer dari feodalisme di Eropa. Bangsa Yunani jauh lebih
tinggi dari bangsa Indonesia — dalam hal ini Majapahit bila
kerajaan ini dianggap sebagai tingkatan yang setinggi-tingginya
— dalam hal pemerintahan negeri, politik, ilmu hukum dan
kebudayaan. Ya, rakyat Majapahit sebenarnya tak pernah
mengenal cita-cita pemerintahan negeri. Berabad-abad
pemerintahan itu bukan untuk dan milik rakyat. Perkataan: "Bagi
Tuankulah, ya, Junjunganku, kemerdekaan, kepunyaan dan
nyawa patik," pernah dan berulang-ulang diucapkan rakyat
Indonesia terhadap raja-rajanya!! Di sana tak ada Orachus,
Magna Charta dan tak ada pengetahuan yang diselidiki dengan
betul-betul seperti yang dipergunakan Aristoteles, Pythagoras
dan Photomeus. Pengetahuan mendirikan gedung-gedung dan
ilmu obat-obatan kita masih dalam tingkatan percobaan.
Keajaiban Borobudur kita tak seajaib segitiga Pythagoras, sebab
yang pertama berarti jalan mati, sedang yang kedua menuntun
manusia menuju pelbagai macam pengetahuan. Di manapun tak
ada jejak (bekas-bekas) pengetahuan serta puncak kecerdasan
pikiran!
Biarlah, tak usah kita ceritakan ilmu kebatinan Timur! Hal ini
ada di luar batas pikiran; tambahan lagi bangsa Barat di Zaman
Kegelapan (Abad Pertengahan) pun sudah mengenal itu. Lagi
pula, kebatinan tidaklah bersandarkan kepada kebenaran sedikit
jua, bahwa masyarakat kita senantiasa memperoleh dari luar dan
tak pernah mempunyai cita-cita sendiri. Agama Hindu, Budha
dan Islam adalah barang-barang impor, bukan keluaran negeri
sendiri.
Selain itu, cita-cita ini tak begitu subur tumbuhnya seperti ke-Kristen-an di Eropa Barat. Mesin penggerak segenap pemasukan
agama Hindu, Budha dan Islam sampai kepada masa kedatangan
kapitalisme Belanda, serta semua perang saudara di waktu itu
adalah berada di luar negeri. Indonesia adalah wayangnya
senantiasa, dan luar negeri dalangnya.
18
2. Bangsa Indonesia yang Asli
Di zaman dahulu, tatkala bangsa Indonesia asli didesak oleh
bangsa Tionghoa dan Hindu ke luar negerinya — Hindia-Belakang — dan melarikan diri ke Nusantara Indonesia, mereka
telah mempunyai suatu peradaban. Pak tani di zaman itu
menjelma menjadi bajak laut yang sangat buas dan ditakuti
orang. Dengan Vintas (semacam perahu) kecilnya, mereka
mengarungi seluruh kepulauan antara dua lautan besar, antara
Amerika dan Afrika. Penduduk asli dari India dan Oceania
ditaklukannya. Rimba raya hingga puncak gunung dijadikannya
huma. Rumah yang bagus-bagus didirikannya, permainan dan
pengetahuan dimajukannya. Tatkala bangsa Barat dan Timur
menyembah kepada pedang Jengis Khan dan Timurleng serta lari
ketakutan, waktu itu mereka bukan saja menentang, tetapi dapat
pula mengundurkan laskar Mongolia. Bajak laut bernama
Pakodato dari Kerajaan Singapura di Semenanjung Tanah
Melayu pada tahun 500 dapat menggeletarkan Kerajaan
Tiongkok dan Hindustan dengan angkatan armada serta
pedangnya.
3. Pengaruh Hindu
Agaknya hawa tropika di lingkungan katulistiwalah, yang
terutama menyebabkan teknik kita tak maju. Hawa yang subur
dan melemahkan itu, serta sedikitnya penduduk, menjadikan
kaum tani yang senang hidupnya itu, tinggal diam dan menerima,
sedangkan kepulauan yang sangat banyak itu menarik hati
penduduk di pantai-pantai, kepada perantauan dan pengalaman.
Menurut riwayat dapat diketahui bahwa, sesudah dibawa
pengaruh Hindu, kebudayaan mereka bertambah naik dan
mereka mulai berkenalan dengan perampas. Kejadian itu
berlangsung sesudah bangsa kita bercampur darah dengan
penjajah-penjajah bangsa Hindu. Kini terbayanglah dalam benak
kita kejadian-kejadian yang dapat digambarkan oleh kejadian-kejadian itu, yang membangkitkan tenaga terpendam itu jadi
dinamis. Bukan oleh percaturan hidup kita sendiri (melawan atau
antara kelas-kelas) maka penguraian kita perihal teknik
19
kebudayaan feodalistis seperti tersebut di atas, tetapi disebabkan
pengaruh yang datang dari luar.
Biarlah kita tinggalkan di sini perihal peraturan matriarchaat
(pusaka turun kepada kemenakan) di Minangkabau yang
berhubungan dengan keadaan alam dan kedudukannya yang
terpencil. Dengan mendirikan demokrasi satu-satunya di
Indonesia, kita tinggalkan pula riwayat Sriwijaya dan kerajaan
lain-lain di Pulau Jawa, dengan menunjukkan garis-garis yang
besar saja. Agama bangsa Indonesia, animisme, didesak oleh
agama Hindu dan Budha, demikianlah kata orang kepada kita.
Bangsa yang lebih pintar itu mengajarkan pemerintahan negeri,
teknik kebudayaan yang lebih sempurna. Penduduk Pulau Jawa
yang suka damai itu belum mempunyai pertentangan kelas dalam
anti yang seluas-luasnya. Mereka tidak memberi kesempatan
kepada pengikut-pengikut agama Hindu untuk mempertaruhkan
kepercayaan mereka dalam sebuah pertentangan, yakni
Hinduisme yang aristokratis dan Budhisme yang lebih
demokratis. Ketajaman pertentangan agama, oleh masyarakat
Jawa yang tidak mengenal kelas itu, dapat diredam. Sedikit atau
banyak, semua filsafat Hindu diterima oleh penduduk Pulau Jawa
yang asli. Siwa, Wisnu, dan dewa-dewa agama Budha yang di
negeri asalnya satu dan lainnya bermusuhan serta berpisah-pisah,
hidup bersama di Pulau Jawa dengan damainya.
Dalam hal yang seperti itu, Islam pun datang dan akhirnya
mengambil kedudukan Hindu dan Budha.
Penduduk Jawa sekarang adalah "kristalisasi" dari bermacam-macam agama ketuhanan dan agama dewa-dewa (animisme). Ia
bukan seorang animis, bukan seorang Hindu, bukan seorang
Budha, bukan seorang Kristen dan bukan seorang Islam yang
sejati. Indonesia menurut alam, tetapi Hindu-Arab dalam
pikirannya.
20
4. Kegundahan (Pesimisme) Empu Sedah
Di kerajaan Daha yang kokoh lagi termashur yang diperintah
oleh Raja Jayabaya, seorang yang cerdik dan pandai, lagi
bijaksana, ada seorang ahli nujum yang bernama Empu Sedah,
yang selalu gundah karena sangat curiga terhadap pengaruh luar
negeri yang makin lama semakin besar. Dalam tulisannya
disebutkan: "Sebuah revolusi di Pulau Jawa akan timbul,
dipimpin oleh orang yang berkulit kuning dan akan memperoleh
kemenangan buat beberapa lama". Dalam perkataan sindirannya
tertulis "akan memerintah seumur jagung".
Tidakkah ramalan itu kemudian terbukti dengan kemenangan
seorang Tionghoa Jawa bernama Mas Garendi yang dalam waktu
yang singkat menggenggam kota Kartasura?
Di masa Empu Sedah, pengaruh bangsa Tionghoa makin lama
bertambah besar.
Sudah pada tempatnya bangsa Tionghoa itu sedapat mungkin
mempergunakan bangsawan Jawa sebagai alat untuk memenuhi
kepentingan ekonomi mereka!
Bila maksud ini tak berhasil dengan pengaruhnya itu, adakalanya
dengan jalan revolusi mereka mencoba-coba merebut
pemerintahan negeri. Tetapi, supaya mereka dapat tetap
memperoleh kemenangan mestilah mereka lebih kuat atau
mendirikan satu kelas. Mereka haruslah menjadi anak negeri atau
bercampur darah dengan bumiputra. Barulah mereka dapat
menaklukkan raja dengan perantaraan kaum tani yang tidak
senang itu. Karena bangsa Tionghoa dalam hal sosial tetap
tinggal dalam ke Tionghoaannya dan tak memperoleh bantuan
militer dari tanah air mereka, maka tak lamalah mereka sanggup
mempertahankan kemenangan atas raja-raja Jawa itu.
Rupanya Empu Sedah mengerti betapa kebencian rakyat dan
revolusi yang akan pecah. Sedang kekuatan nasional tak cukup
kuat menahan revolusi sosial tersebut. Itulah yang menimbulkan
kegundahannya.
Di Kerajaan Majapahit berdiri beberapa perusahaan batik,
genteng dan kapal dengan kapital yang cukup besar. Dalam
21
beberapa perusahaan bekerja ribuan kaum buruh. Nahkoda-nahkodanya telah ada yang dengan kapal-kapalnya berlayar
sampai ke Persia dan Tiongkok. Boleh jadi sungguh besar
modalnya, malah modal orang asing. Saudagar-saudagar yang
kaya di bandar-bandar seperti Ngampel, Gresik, Tuban, Lasem,
Demak dan Cirebon agaknya adalah bangsa asing atau yang
sudah bercampur darah dengan orang-orang Jawa. Nahkoda
Dampu-Awang, menurut ceritanya yang berlebih-lebihan,
mempunyai kapal yang layarnya setinggi Gunung Bonang dan
kekayaannya kerapkali dijadikan ibarat, rasanya seorang
Tionghoa-Jawa. Satu statistik di zaman itu tak ada pada kita!
Tetapi banyak bangsa yang diam di Pulau Jawa dapat dibuktikan
dengan perkataan seorang pujangga Majapahit, bernama
Prapanca, "Tidak henti-hentinya manusia datang berduyun-duyun dari bermacam-macam negeri. Dari Hindia-Muka,
Kamboja, Tiongkok, Annam, Campa, Karnataka, Guda dan Siam
dengan kapal disertai tidak sedikit saudagar ahli-ahli agama,
ulama dan pendeta Brahma yang ternama, siap datang dijamu
dan suka tinggal.”
Sudah tentu, penduduk bandar-bandar yang makin lama makin
maju itu merasa memperoleh rintangan dari kaum bangsawan di
ibukota. Sebagaimana terjadi di negeri Eropa, penduduk bandar
meminta hak politik dan ekonomi lebih banyak. Dari
pertentangan antara pesisir dengan darat, perdagangan dengan
pertanian, penduduk dengan pemerintah, timbullah satu revolusi
yang membawa Pulau Jawa ke puncak ekonomi dan
pemerintahan.
Bila bandarnya mempunyai industri dan perdagangan nasional
yang kuat, niscaya Jawa akan mengalami satu revolusi sosial
yang dibangkitkan, dipecahkan dan dipimpin satu revolusi sosial
yang dibangkitkan, dipecahkan dan dipimpin oleh tenaga-tenaga
nasional seperti terjadi di Eropa Barat, jadi revolusi borjuis
terhadap feodalis.
Tetapi Jawa sesungguhnya dikungkung oleh ramalan Empu
Sedah : "orang asing akan memimpin".
Seorang keturunan Hindu bernama Malik Ibrahim pada tahun
1419, dengan membawa agama yang belum dikenal orang di
22
Pulau Jawa, datang di Gresik yang ketika itu penduduknya
kebanyakan orang asing. Dengan cepat ia memperoleh pengikut.
Jadi boleh dikatakan, dengan kedatangannya yang membawa
agama Islam ketika itu, bumiputra bagaikan memperoleh "durian
runtuh", karena ketika itu sedang berapi-api pertentangan antara
penduduk pesisir dengan ibukota.
Keadaan bertambah kusut, dan pada akhirnya sampai ke
puncaknya, yaitu penyerangan terhadap raja-raja yang dipimpin
oleh seorang Tionghoa-Jawa, bernama Raden Patah. Dengan
perbuatannya, Raden Patah menghancurkan kerajaan yang ada.
Hal itu menunjukkan lagi bahwa seorang asing, dengan
membawa paham baru (agama Islam) dan untuk
mempertahankan kedudukan saudagar-saudagar asing di pesisir
itu, berhasil menjatuhkan kerajaan bangsawan setengah Hindu.
Kerajaan Demak berdiri dengan kemashurannya! Tetapi akhirnya
terpecah belah oleh perang saudagar yang dinyala-nyalakan oleh
orang asing yang cerdik-jahat.
Jipang bermusuhan dengan Pajang, Demak dengan Mataram.
Semua perang saudara ini, besar atau kecil, untuk kepentingan
bangsa asing, dalam waktu singkat berakhir dengan kemenangan
seorang Tionghoa-Jawa bernama Mas Garendi.
5. Tarunajaya
Sebagaimana di Kerajaan Roma dan Tiongkok, gundukan
pengendali pemerintahan yang tidak mencocoki kebenaran di
ibukota disapu oleh kekuatan baru dari daerah; demikianlah,
darah Kerajaan Mataram akan dibersihkan dan dikuatkan oleh
Tarunajaya serta kawan-kawannya.
Seorang putera Indonesia datang dari Makasar yang mengetahui
jiwa (psikologi) rakyat Jawa mendapat pengikut yang besar, serta
berhasil mengalahkan Raja Mataram yang keluar dari garis
kebenaran itu. Pulau Jawa khususnya dan Indonesia umumnya
akan mempunyai riwayat lain bila tidak datang satu kekuasaan
baru di Pulau Jawa. Ramalam Empu Sedah yang lain sekarang
seakan-akan terbukti, "Pemerintahan bangsa asing, yaitu kerbau
23
putih yang bermata seperti mata kucing" (kebo bule siwer
matane).
Dengan datangnya kekuasaan Belanda lenyaplah segala sesuatu
yang menyerupai kemerdekaan. Pengaruh bangsa asing dan
percampuran darah dengan bangsa Asia lain-lain menyebabkan
gencetan yang sebuas-buasnya. Sekalian hak-hak ekonomi dan
politik "ditelan" bangsa itu (Belanda) dengan kekerasan dan
kecurangan, seperti yang belum pernah dikenal oleh bangsa
Indonesia! Pemerasan yang serendah-rendahnya (kebiadaban)
serta kelaliman menjadi kebiasaan setiap hari!
Tarunajaya tak dapat melawan kekuasaan Belanda yang
memakai senjata asing (Barat). Maka kucing melihat keadaan ini
dan untuk pertama kali dipergunakanlah jalan politik devide et
impera, memecah-belah dan menguasai, yang mashur itu.
Sesudah Raja Mataram berjanji kepada Kompeni Hindia Timur
untuk memberikan kekuasaan dan tanah, mulailah setan-setan itu
bekerja.
Panembahan di Madura, seorang kawan dari Tarunajaya,
disumbat oleh Kompeni Hindia Timur dengan mas intan dan
perkataan yang manis-manis hingga mereka dapat bergandengan.
Sekarang Tarunajaya berdiri di antara "tiga api": Belanda, raja
dan kawan lamanya. Inilah yang menyebabkan kalahnya
Tarunajaya dengan disaksikan oleh Kompeni Hindia Timur
sendiri!
Kerajaan Mataram yang tak semanggah itu mendapat
"kemenangan" atas sokongan yang tak langsung dari Kompeni,
namun suatu hal yang tak semanggah itu lambat laun akan
menjadi kenyataan juga seperti yang terbukti pada akhirnya.
6. Diponegoro
Jalan raya dari Anyer ke Banyuwangi yang mesti mempertalikan
daerah-daerah yang dirampok itu dibangun oleh Gubernur
Jenderal Daendels dengan cucuran peluh dan taruhan nyawa
orang Jawa. Dengan adanya jalan itu, proses penanaman kapital
jadi teratur. Tetapi proses itu tidak secara sukarela diterima oleh
24
bangsa Indonesia. Ia adalah satu proses paksaan dan tidak
menurut undang-undang alam. Saudagar di bandar-bandar
didesak. Pelayaran dimonopoli oleh Belanda, bumiputra
dilarangnya mempunyai hak milik. Pemasukan katun dari Barat
yang murah harganya menghancurkan industri dan perdagangan,
baik yang kecil maupun yang sedang. Borjuasi Jawa atau
setengah Jawa dapat meneruskan langkahnya, yakni perjalanan
antara feodalisme menuju kapitalisme. Akan tetapi, ia diperas
sampai kering, oleh kapital Barat dan perangkatnya; begitulah
feodalisme Mataram yang hampir tenggelam itu.
Seorang anak jantan dengan kemauannya yang keras seperti baja,
berpengaruh laksana besi berani, yakni seorang laki-laki yang di
dalam dadanya tersimpan sifat-sifat putera Indonesia sejati, tak
berdaya mengubah nasib yang malang itu. Jika Diponegoro
dilahirkan di Barat dan menempatkan dirinya di muka satu
revolusi dengan sanubarinya yang suci itu, boleh jadi ia akan
dapat menyamai sepak terjang Cromwell atau Garibaldi. Tetapi
ia "menolong perahu yang bocor", kelas yang akan lenyap.
Perbuatan-perbuatannya, meskipun penuh dengan kesatriaan,
dalam pandangan ekonomi adalah kontra-revolusioner. Dan
sangat susah dipastikan, macam apakah Diponegoro dalam
pandangan politik, sebab tak dapat disangkal lagi bahwa cita-citanya adalah "Singgasana Kerajaan Mataram". Satu kekuasaan
yang mudah berubah menjadi kelaliman.
Diponegoro menunjang kesuburan modal serta perluasan jalan.
Karena itu, ia menghalang-halangi kenaikan penghasilan atau
secara ekonomi, kontrarevolusioner. Tak pernah kita baca bahwa
ia menentang kapital-imperialistis dengan menghidupkan kapital
nasional. Pendeknya, ia tidak mempunyai program politik atau
ekonomi. Ia merasa didesak oleh kekuasaan baru dan setelah dia
lihat bahwa kekuasaan baru itu mempergunakan kekuasaan
Mataram yang bobrok itu sebagai alat, maka kedua musuh itu
pun diterjangnya.
Sekiranya Pulau Jawa mempunyai borjuasi nasional yang
revolusioner, Diponegoro dalam perjuangannya melawan
Mataram dan Kompeni pastilah berdiri di sisi borjuasi itu.
Dengan begitu niscaya dapatlah tercipta suatu perbuatan yang
25
mulia dan pasti. Tetapi itu tak ada, borjuasi yang berbau
keislaman dalam lapangan ekonomi dihancurkan oleh kapital
Belanda sama sekali. Dalam kekecewaan yang hebat terhadap
Mataram dan Kompeni, dapatlah ia mempersatukan diri di bawah
pimpinan Kyai Mojo, seorang ahli agama Islam yang fanatik dan
bersemboyan "Perang Sabilullah", bukan kebangsaan.
Menarik satu kesimpulan terhadap pemberontakan Diponegoro
bukanlah satu pekerjaan yang mudah. Karena hal ini
sesungguhnya perjuangan kaum borjuasi Islam Jawa menentang
kapital Barat yang disokong oleh satu kerajaan yang hampir
tenggelam (Mataram).
Akibatnya sungguh jelas. Tak ada seorang pun mampu,
bagaimanapun pintarnya, menolong satu kelas yang lemah, baik
teknik maupun ekonomis melawan satu kelas yang makin lama
makin kuat.
Satu kelas baru mesti didirikan di Indonesia untuk melawan
imperialisme Barat yang modern.
Apakah kesimpulan dari riwayat-riwayat yang tersebut di atas?
Pertama, bahwa riwayat kita ialah riwayat Hindu atau setengah
Hindu; kedua bahwa perasaan sebagai kemegahan nasional jauh
dari tempatnya; dan yang penghabisan, bahwa setiap pikiran
yang mencitakan pembangunan (renaissance) samalah artinya
dengan menggali aristokratisme dan penjajahan bangsa Hindu
dan setengah Hindu yang sudah terkubur itu.
Bangsa Indonesia yang sejati dari dulu hingga sekarang masih
tetap menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari
perampok-perampok asing.
Kebangsaan Indonesia yang sejati tidak ada kecuali ada niat
membebaskan bangsa Indonesia yang belum pernah merdeka itu.
Bangsa Indonesia yang sejati belum mempunyai riwayat sendiri
selain perbudakan.
Riwayat bangsa Indonesia baru dimulai jika mereka terlepas dari
tindasan kaum imperialis.
26
III
BEBERAPA MACAM IMPERIALISME
1. Berbagai Cara Pemerasan dan Penindasan
"Tuhan menciptakan dunia menurut gambaran-Nya sendiri".
Orang asing yang menjajah Asia selama 300 tahun adalah untuk
memenuhi kebutuhan mereka masing-masing dan mereka
memerintah negeri-negeri taklukannya dengan berbagai cara.
Adapun secara ekonomis, dari dulu sampai sekarang dapat dibagi
sebagai berikut.
a. Perampokan terang-terangan, dahulu dilakukan oleh Portugis
dan Spanyol.
b. Monopoli, yang dalam praktiknya sama dengan perampokan,
masih terus dilakukan oleh Belanda di Indonesia sampai
sekarang (± tahun 1926, peny.).
c. Setengah monopoli, mulai dilakukan oleh Inggris di India.
d. Persaingan bebas, mulai dilakukan oleh Amerika di Filipina.
Cara-cara imperialis lain hampir dapat disamakan dengan cara
yang tersebut di atas.
Adapun cara penindasan dalam politik adalah seperti di bawah
ini.
a. Imperialisme biadab, yakni menghancurkan sekalian
kekuasaan politik bumiputra dan menjalankan
pemerintahan yang sewenang-wenang, misalnya adalah
Spanyol di Filipina.
b. Imperialisme autokratis, yakni yang hampir tak berbeda
dengan yang tersebut pasal a seperti Belanda.
c. Imperialisme setengah liberal, yakni imperialisme yang
memberikan kekuasaan yang sangat terbatas kepada
bumiputra yang berkuasa (raja-raja atau kepala negara yang
turun-temurun seperti Inggris di India).
27
d. Imperialisme liberal, yakni imperialisme yang memberikan
kemerdekaan sepenuhnya kepada tuan tanah yang besar
serta kepada borjuasi bumiputra yang mulai naik, misalnya
adalah imperialisme Amerika di Filipina.
2. Sebab-Sebab Perbedaan
Perbedaan dalam cara pemerasan dan penindasan terhadap si
terjajah disebabkan bukan oleh perbedaan tabiat manusia di
negeri-negeri imperialis tersebut. Tetapi karena kedudukan
kapital dari masing-masing negeri waktu mereka sampai di Asia,
dan juga cara menjalankan kapital tersebut.
Waktu Spanyol dan Portugis kira-kira tahun 1500 datang di Asia,
mereka belum terlepas sama sekali dari feodalisme. Portugis dan
Spanyol adalah negeri pertanian, pekerjaan tangan, kaum
bangsawan dan kaum agama (jadi belum ada industri).
Barang-barang industri yang dapat dijual di pasar-pasar tanah
jajahan belum ada. Mereka datang ke koloni-koloni untuk
merampok hasil-hasil di sana lalu dijual dipasar Eropa dengan
harga tinggi. Karena mereka sangat keras memeluk agama
Katholik yang baru saja mengusir Islam dari Spanyol, maka
bangsa Indonesia yang memeluk agama animis di Filipina itu
dipaksa menjadi orang Kristen. Siapa yang tidak suka mengikut
paksaan itu dipancung dengan pedang.
Waktu Belanda mengikuti Spanyol dan Portugis sampai ke
Indonesia kira-kira tahun 1600, sebagian besar dari feodalisme
Belanda telah didesak oleh borjuasinya. Mereka telah
melepaskan diri dari tindasan feodalisme serta Katholikisme dan
mengambil jalan menuju perdagangan merdeka, liberalisme dan
Protestanisme. Negeri Belanda ada di dalam zaman kapitalisme
muda.
Inggris yang pada tahun 1750 dapat berdiri tetap di India,
sebenarnya telah 100 tahun lamanya menyelami revolusi borjuasi
di bawah pimpinan Cromwell.
28
Setelah itu kapitalisme Inggris semakin maju dengan sangat
cepatnya, disertai dengan paham-paham perdagangan bebas,
liberalisme, konstituationalisme dan kepercayaan merdeka.
Amerika sampai di Filipina pada tahun 1898 setelah mengalami
dua revolusi borjuasi (1775 dan 1860). Ia kokoh memegang
paham Monroe, demokrasi dan politik pintu terbuka.
3. Akibat dari Berbagai Macam Cara Pemerasan dan Penindasan
Sebagai buah dari cara perampokan itu, maka Portugis dan
Spanyol akhirnya dihalau dari tanah jajahannya (Siapakah yang
akan dihalaukan sekarang).
Sekalipun semangat revolusioner di Indonesia sudah matang dan
menyala-nyala tetapi persediaan belum cukup, maka
imperialisme Belanda masih berdiri.
Dengan jalan memberikan konsesi-konsesi yang besar, kalau
terpaksa, serta politik kompromis kepada segolongan orang
India, maka imperialisme Inggris masih berdiri di sana.
Dengan berkedok untuk mengasuh, menolong dan mengasihi
manusia serta memberikan otonomi-ekonomi, politik ekonomi
yang besar kepada bumiputra di Filipina maka, imperialisme
Amerika masih dapat membuat kekacauan di sana.
a. India
Meskipun Waren Hasting dan Lord Clive membunuh dan
merampok, perbuatan mereka tidak boleh disamakan dengan
perbuatan Daendels, van den Bosch serta lain-lain, sebab sistem
kolonial Inggris dari segi "material dan riwayat" jauh lebih
mendingan daripada sistem Belanda (tentu saja kita tak
menghendaki imperialisme macam apa pun). Nafsu membunuh
dan merampok dari imperialisme Inggris tak dapat
menghancurkan kemauan bangsa India.
29
Kemauan itu memperlihatkan dirinya terutama dengan barang-barang hasil India yang belum dirampok oleh Inggris. Setelah
mengalami beberapa perjuangan politik dan ekonomi, dapatlah
bangsa India mendirikan industri, pertanian besar, dan
perdagangan besar nasional. Selain itu, imperialisme Inggris
mengadakan sekolah dari tingkatan terendah sampai sekolah-sekolah tinggi (lebih dari lima universitas) dan semenjak
beberapa lama telah mengadakan sistem pemerintahan sampai
kepada "dominion" atau lebih jauh lagi. India telah mempunyai
seorang Tilak, Mahatma Gandhi, Das, Tagore, Dr. C. Bose dan
Dr. Naye yang termashur ke seluruh dunia. Sekalian kaum
terpelajar ini dilahirkan dalam pengakuan imperialisme Inggris.
Karena Inggris di negerinya sendiri mempunyai bahan-bahan
untuk industri (arang dan besi), dengan sendirinya ia menjadi
bengkel dunia. Sebab ia tak mempunyai kapas pada
permulaannya, dijadikanlah India sebagai kebun kapas. Selain
itu, sebagai negeri industri yang mempunyai penghasilan yang
amat besar, Inggris membutuhkan pasar-pasar. Karena itulah,
tanah Inggris (negeri industri semata itu) terpaksa bekerja
bersama-sama dengan India, meskipun pada permulaannya
secara tak langsung. Bukankah firma-firma dan maskapai-maskapai, baik impor atau ekspor dalam perdagangan yang
sedemikian besarnya antara Inggris dan India, membutuhkan
kaum saudagar pertengahan bangsa India sebagai perantaraan?
Dan lagi bukankah tak selamanya "bayonet" dapat memaksa
suatu bangsa untuk membeli barang-barang? Mau tak mau ia
mesti menaikkan taraf hidup, jika ia ingin memperoleh
pembelian yang tetap. Inilah yang memaksa imperialisme Inggris
memberikan pendidikan Barat kepada segolongan bangsa India.
Sekolah Tinggi pertama di Benggala yang sekarang sudah
berusia 100 tahun, yang pada mulanya hanya boleh dimasuki
oleh anak orang kaya dan aristokrasi, kemudian dibenarkan juga
buat anak orang biasa.
Dalam waktu yang singkat, sekolah-sekolah tinggi itu pun
menghasilkan sekian banyak kaum terpelajar, hingga birokrasi
Inggris tak dapat menerima mereka sama sekali. Timbullah di
30
sana kelas yang terdidik secara Barat dan yang merasa tak
senang, yaitu kaum buruh halus. Dari kelas inilah kemudian lahir
beberapa orang pemimpin pergerakan kemerdekaan yang
terkenal sebagai ekstrimis, yakni kaum kiri. Demikianlah,
imperialisme Inggris melahirkan musuhnya serta menggali
kuburnya sendiri.
Dengan pimpinan Tilak yang termashur itu, timbullah aksi boikot
pada tahun 1900-1905. Maksudnya supaya industri dan
perdagangan nasional hidup, yaitu dengan jalan memboikot
barang-barang pabrik Inggris yang diimpor ke India (kapas
ditanam di India, sesudah itu dikirimkan ke negeri Inggris,
dengan harga yang berlipat ganda dijual pula kepada pembeli
bangsa India).
Dengan mempergunakan barang-barang yang belum dirampok
"sebagai senjata", kaum terpelajar memperoleh kemenangan.
Tuan tanah yang besar-besar dan saudagar-saudagar memberikan
pertolongan berupa kapital, semangat dan alat untuk memenuhi
program kaum ekstrimis. Meskipun penuh dengan rintangan-rintangan politik, ekonomi, keuangan dan alat yang luar biasa
dapat jugalah Tilak dan kawan-kawannya meraih kemenangan.
Berbagai industri, termasuk industri tenun — industri nasional
waktu sekarang — adalah buah tangan yang terpenting dari Tilak
dan kawan-kawannya. Pun industri itu sudah mempunyai
lapangan internasional. Sebagian besar kemenangan itu juga
tergantung pada pertolongan buruh dan tani bangsa India.
Berdiri di atas kemenangan Tilak, dapatlah Mr. Gandhi meraih
kemenangan dalam pergerakan noncooperation atau gerakan
boikot. Hampir semua pabrik tenun di Bombay (lebih kurang 200
jumlahnya) sekarang dimiliki dan dikelola oleh otak dan tenaga
India. Kapas Inggris terpukul dalam persaingan yang hebat,
bukan saja di India tetapi juga di Afrika, Melayu, Tiongkok dan
lama-kelamaan juga di Eropa.
Undang-undang perdagangan India belakangan ini melindungi
kapas keluaran India. Tidak sedikit kebun-kebun firma dan bank
31
sekarang bekerja dengan kapital India dan dipimpin oleh bangsa
India. Industri-industri seperti arang dan besi; serta industri
logam yang modern sekarang dipegang oleh bangsa India. Jika
waktu perang dunia Inggris membeli gerobak kereta api dari
"Tata Coy", sekarang (semenjak lebih kurang 2 tahun) ia
membuat perjanjian akan membeli juga mesin-mesin kereta api.
Pendeknya, tanpa kekerasan imperialisme Inggris, kapital
nasional India berdiri — yang berakibat perjuangan yang tak
mau kalah, yang kadang-kadang menimbulkan pertumpahan
darah. India sekarang ada di zaman industri besar yang modern.
Negeri Inggris bukan lagi jadi pusat bengkel di dunia meskipun
di dalam kerajaannya sendiri; dan India bukan lagi kebun kapas
bagi Britania.
Setelah Inggris takluk dalam percaturan ekonomi, terpaksalah ia
mengakui kemenangan India dalam politik. Di sana sekarang
berdiri industri nasional yang kepentingan materialnya dalam
beberapa hal bersamaan dengan kepentingan penjajah. Tinggal
lagi bagi Inggris memberikan konsesi-konsesi politik kepada
wakil-wakil tuan tanah yang besar dan borjuasi modern.
Memang inilah artinya kerja islah pemerintahan negeri yang
telah bertahun-tahun dilakukan — MontageuChelmsfordsplan.
Daerah besar-besar yang berpenduduk 50,000,000 seperti
Benggala dan Daerah Tengah setelah diadakan islah
(hervorming) dengan perantara majelis-majelis daerah, hampir
jatuh ke tangan bangsa India sepenuhnya. Pemilihan dewan yang
tertinggi (Duma bangsa India), dipengaruhi oleh kaum Swaray,
militer, perguruan, dan pengadilan, dalam beberapa tahun ini
disediakan - ditempati oleh putera-putera India yang cakap dan
setia.
Meskipun demikian, belumlah ada satu perwakilan rakyat
(parlemen) dan kabinet yang bertanggung jawab. Sungguhpun
islah pemerintahan India jauh lebih sempuma dari Dewan Rakyat
ala Belanda, tetapi belum sampai seperti Dominion Canada,
konstitusi Filipina atau Mesir. Tetapi sejumlah pemimpin dan
kaum ekstremis dapat ditarik hatinya oleh islah itu. Karena itu
32
pergerakan kaum revolusioner untuk sementara waktu
"terkandas" hingga imperialisme Inggris memperoleh
kesempatan untuk menarik napas.
b. Filipina
Keadaan di Filipina berlainan sedikit dengan di India. Bangsa
Amerika datang, pada tahun 1898, waktu bangsa Filipina telah
"tiga perempat berhasil" melemparkan kekuasaan Spanyol.
Awalnya Amerika berlaku sebagai kawan, tetapi setelah kokoh
pendiriannya dia tinggal terus dalam negeri itu. Perang Filipina
-Amerika yang 33 tahun lamanya (1898-1901) tak berhasil
menghalau pencuri itu. Sebelum kedatangan Amerika, bangsa
Filipina sudah dapat menunjukkan beberapa nasionalis besar
seperti Dr. Rizal (yang ditembak orang Spanyol dari belakang);
seorang organisator, Bonifacio, seorang diplomat Mahbini dan
panglima perang Luna serta Aquinaldo.
Karena itu perlulah dipakai suatu tipu daya yang sangat fisik
untuk mengelabui mata sebuah bangsa yang gagah lagi cerdik,
seperti rakyat Filipina itu.
Disebabkan oleh kebesaran dan kekayaan Amerika dan oleh
salah satu paham anti-imperialisme di antara bangsa Amerika
yang berpengaruh, dengan segera kaum imperialis mengerjakan
islah. Politik dalam negeri, dengan perantara "Senat" dan "House
of Representative", sekarang boleh dikatakan ada di dalam
tangan bumiputra. Semua wakil dari kedua dewan itu — kecuali
dari beberapa daerah Islam — dipilih dengan hak memilih yang
sepenuh-penuhnya dan semuanya adalah orang Filipina.
Sebagian besar gubernur dari daerah-daerah adalah juga orang
Filipina. Hanya beberapa kepala departemen saja orang Amerika.
Di dalam satu konstitusi, Amerika mesti berjanji akan
memberikan "kemerdekaan" yang seluas-luasnya "kepada bangsa
Filipina setelah mereka dapat menunjukkan kecakapan
mendirikan pemerintahan yang tetap".
33
Sekolah rendah diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan
mementingkan pertanian.
Perusahaan yang menjadi pokok dari ekonomi Filipina sekarang
dipegang oleh bumiputra sepenuhnya. Beberapa pabrik, rumah-rumah perdagangan dan maskapai-maskapai kapal adalah
kepunyaan atau dipimpin oleh orang Filipina. Empat buah
Universitas dan beberapa sekolah tinggi setiap tahun meluluskan
putera dan puteri Filipina dalam jumlah besar untuk
mempertahankan bangsa yang 12,000,000 jiwa itu dari tipu daya
dan kecurangan Amerika.
Hanya sedikit sekali penduduk yang buta huruf. Boleh dikatakan
semua anak-anak masuk sekolah. Hingga sampai ke sudut-sudut
yang jauh, selain dari bahasa sendiri, pemuda-pemudanya
mengerti bahasa Inggris.
Biarpun perguruan di sana tak menyenangkan hati seorang
Belanda yang terpelajar seperti Dr. Nieuwenshuis - yang tentu
sekali akan selamanya menjilat-jilat kudis pemerintahannya
sendiri, sambil menghinakan perbuatan orang lain, tetapi karena
ketinggian intelek Filipina, orang-orang Amerika yang hebat dan
kaya-kaya itu tak dapat berbuat sesuka hatinya sendiri.
Sebab Amerika pada tahun 1925 mesti membayar harga karet f
540,000,000 lebih banyak daripada tahun 1924 kepada Inggris,
timbullah pikiran orang Amerika untuk membuka kebun di
Filipina Selatan yang tanahnya bagus buat karet.
Tetapi pemimpin-pemimpin Filipina bekerja keras untuk
menghindari terkaman "serigala-karet" bangsa Amerika.
Sebelum mereka bertindak lebih jauh buat memperoleh tanah
yang luas untuk kebun karet, dalam konsesi — berkat usaha
pemimpin-pemimpin Filipina, anggota Senat dan House dengan
hukum tanah (landwet) nya yang lama ditentukan bahwa "tidak
lebih dari 2500 acres (satu acre 4840 yard persegi) yang boleh
disewakan kepada orang asing. Belum berapa lama berselang
serigala karet itu, dengan perantaraan Firestone datang meminta
34
konsesi untuk kebun karet itu. Mereka disambut dengan
perkataan bahwa hukum tanah Filipina "tidak memberi izin".
Pemimpin-pemimpin Filipina berpendapat bahwa apabila
Amerika menanam kapitalnya di Filipina, selain rakyat segera
akan menjadi sengsara (seperti di Jawa) juga Amerika akan
mendapat satu alasan untuk merintangi kemerdekaan Filipina.
Imperialisme Amerika yang tidak kurang cerdiknya dari
imperialisme Anglosakson bukankah kelak dapat mengatakan,
bahwa satu kegoncangan boleh jadi akan muncul karena
kepergian Amerika yang belum pada waktunya? Kepentingan-kepentingan Amerika membahayakan di Filipina.
Inilah sebabnya maka pemimpin-pemimpin Filipina dengan
tergesa-gesa mengeluarkan hukum tanah tersebut dari kitab
undang-undang dan membeberkannya kepada seluruh rakyat...
Layaknya sebuah kampung kedatangan seekor macan.
Sebuah bangsa yang sudah terbuka matanya seperti Filipina,
tambahan pula diberi wawasan oleh surat-surat kabar bumiputra
(disebabkan sekolah tinggi yang dikutuki Dr. Nieuwenshuis yang
terpelajar itu!), dapat melihat dan melaksanakan kebenaran dari
pemimpin-pemimpinnya. Dengan diiringi oleh seluruh rakyat,
dapatlah pemimpin-pemimpin Filipina setiap waktu memanah
serigala karet imperialisme Amerika dengan panah hukum tanah
yang liat itu.
Tidak seorang pun yang mencela sistem perguruan yang tidak
nasional itu selain dari pemimpin-pemimpin Filipina sendiri.
Selain itu pun ada kesulitan-kesulitan untuk mengambil peran
perdagangan dari bangsa asing. Tetapi semuanya mereka sekata
(semufakat) bahwa sistem perguruan yang sehat dan perubahan
ekonomi yang sebaik-baiknya hanya dapat dilakukan dengan
sempurna setelah tercapai kemerdekaan bangsa. Dan di sudut
dunia manakah hal itu dipandang secara berlainan? Adanya
Gubernur Jendral yang mempunyai hak mencegah (recht van
veto) menjadi rintangan bagi islah ekonomi yang semata-mata
bagi bangsa Filipina. Itulah sebabnya, saudara-saudara kita di
35
sebelah utara sana masih terus berjuang semata-mata untuk
kemerdekaan yang seluas-luasnya.
Konsesi yang besar-besar, yang dengan terpaksa diberikan oleh
Amerika mulai 25 tahun yang silam tak dapat mendinginkan
sanubari bangsa Filipina untuk merampas hak kelahiran dan
kemerdekaannya.
Seandainya yang dipertuan bangsa Filipina bukan Amerika (satu
negeri yang terkuat dan terkaya di atas dunia), tetapi "perampok
di tepi Laut Utara (Belanda) yang termashur itu", niscaya telah
lama yang dipertuan itu dihalau mereka masuk ke dalam neraka.
Inggris menguasai karet lebih dari dua pertiga dan Amerika
memakai 72 % dari hasil dunia. Disebabkan masih berlakunya
"Stevenson Rubber Restriction's policy", tuan-tuan kebun dan
mereka yang mempunyai monopoli, bangsa Inggris sajalah yang
menguasai karet sedunia ini — verslag kamer van koophandel
Amerika yang diumumkan dalam Manila Tribune, 26 Juli '25.
c. Indonesia
Keadaan India dan Filipina yang saya kemukakan di atas, saya
maksudkan untuk menambah pengetahuan kita tentang
imperialisme.
Perihal Indonesia, sekarang dan nanti, akan kita uraikan di
belakang dengan panjang lebar. Setelah memperhatikan semua
yang diuraikan di atas, niscaya tak sudah bagi pembaca untuk
mengartikan perampokan, pembakaran, dan pembunuhan yang
dilakukan orang Belanda. Karena itu, kita tidak akan berlama-lama menggambarkan hongi-hongi (merica di Ambon), kebun
kopi yang sekarang dipanggil penanam merdeka. Semuanya telah
terkenal dan dikutuki oleh setiap manusia yang berotak.
Jauh dari maksud kita mengatakan bahwa sekalian kejadian itu
adalah semata-mata perbuatan "manusia" Belanda. Kita sendiri
telah cukup mengenal pekerti dan tabiat bangsa Belanda. Tetapi
36
lagak dan lagu imperialisme Belanda menjadikan seorang bangsa
Belanda seperti yang kita kenal dulu dan sekarang — jahat dan
bengis.
Tatkala Belanda mengarahkan kapal pembajaknya ke Indonesia,
waktu itu negeri mereka hanyalah negeri tani dan tukang warung
kopi yang kecil-kecil.
Juga sekarang negeri itu masih tetap tinggal sebagai negeri tani
dan saudagar. Dan ia tidak akan menjadi lain, karena ia tak
mempunyai bahan dasar untuk industri besar, yakni arang, besi
dan kapas. Sekiranya negeri Belanda tidak mempunyai tanah
jajahan niscaya ia tak dapat menyamai Belgia atau Swedia.
Setinggi-tingginya ia hanya satu negeri tani dan saudagar-saudagar kecil yang sunyi seperti Denmark.
Dengan keberanian dan kemauan seorang bajak laut serta
ketamakan seorang tukang warung kopi yang kecil, habislah
sekalian hasil negeri Indonesia dirampasnya. Tak ada sebutir
batu pun untuk perumahan ekonomi bumiputra yang ketinggalan.
Bagaimana mungkin kita harapkan pemerintahan bijaksana dari
bajak laut, tukang warung kecil ini ! (Hoe kan men okk
vooruitziensheid en staatsmanschap van een piraat - kruidenier
verwachten!).
Sebelum datang Kompeni Hindia-Timur, orang Tionghoa,
Hindu-Arab (lama-kelamaan) menjadi orang Jawa atau setidak-tidak terus tinggal di negeri ini, tetapi bangsa Belanda datang ke
Indonesia dan balik ke negerinya dengan karung yang penuh
berisi. Di sana dihambur-hamburkan uang Indonesia dan di
sanalah mereka menyedot dana pensiunnya dari peti uang
Indonesia. Akibatnya, bocor dan keringlah ekonomi Indonesia!
Sekiranya negeri Belanda adalah sebuah negeri industri yang
maju niscaya lambat laun terpaksalah ia seperti Inggris dan
Amerika, memakai politik yang lain.
37
Ia tentu akan memakai politik liberal terhadap orang Jawa atau
Indo-Jawa serta bangsawan Jawa. Dengan demikian, kemajuan
politik dan ekonomi sebagai sekarang terjadi di Filipina dan
India, boleh juga terjadi di Indonesia. Biarpun Belanda semenjak
20 tahun belakangan ini mulai mengindustrialisasi Indonesia,
tetapi tujuannya tetap monopoli. Kapitalnya tetap kapital luar
negeri.
Jurang antara penjajah dan si terjajah sekarang masih tetap
sebagai di zaman Daendels dan van den Bosch. Hanya suara
revolusi yang gemuruh sajalah yang dapat menimbun jurang
yang dalam itu.
Tetapi agaknya oleh karena hal inilah maka Indonesia dan
negeri-negeri Asia yang lain kelak memberi selamat kepada
imperialisme yang dipertahankan Belanda itu. Sebab dari
pertentangan sosial yang tajam di Indonesia itu, satu masa
niscaya akan timbul kodrat baru yang dapat melepaskan
Indonesia dan seluruh Asia dari tindakan Barat untuk selama-lamanya.
38
IV
KAPITALISME INDONESIA
Kapitalisme di Indonesia adalah cangkokan dari Eropa yang
dalam beberapa hal tak sama dengan kapitalisme yang tumbuh
dan dibesarkan dalam negerinya sendiri, yakni Eropa dan
Amerika Utara.
1. Kapitalisme yang Masih Muda
Karena kapitalisme di Indonesia masih muda, produksi dan
pemusatannya belumlah mencapai tingkat yang semestinya.
Kira-kira seperempat abad belakangan baru dimulai
industrialisasi di Indonesia. Baru pada waktu itulah dipergunakan
mesin yang modern dalam perusahaan-perusahaan gula, karet,
teh, minyak, arang dan timah.
Industri Indonesia, terutama industri pertanian, masih tetap
terbatas di Jawa dan di beberapa tempat di Sumatera. Tanah yang
luas, yang biasanya sangat subur dan mengandung barang-barang
logam yang tak ternilai harganya, seperti Sumatera, Borneo,
Sulawesi dan pulau-pulau yang lain masih menunggu-nunggu
tangan manusia. Meskipun Pulau Jawa dalam hal perkebunan
dan alat-alat angkutan sudah mencapai tingkatan yang tinggi,
tetapi umumnya pulau luar Jawa, kecuali Sumatera, masih rimba
raya.
Industri modern yang sebenarnya tidak akan diadakan di Pulau
Jawa. Ia akan tetap tinggal menjadi tempat industri pertanian.
Sebab logam-logam seperti besi, arang, minyak tanah, emas dan
lainnya, tidak atau hanya sedikit sekali didapat di sana.
Sumateralah yang menjadi tempat industri modern yang
sebenarnya. Hal ini sekarang sebagian kecil telah terbukti.
Arang, minyak tanah, emas dan timah hasil Sumatera (kelak juga
besi) besar artinya, baik di kalangan nasional maupun
internasional.
39
Inggris, negeri industri yang tertua di dunia, pada pertengahan
abad yang lalu mengadakan perubahan yang tepat dalam
perindustriannya. Negeri-negeri Eropa yang lain dan Amerika
Utara mengikuti pula berangsur-angsur. Teknik dan peraturan
bekerja di sana sekarang telah sampai pada tingkat yang setinggi-tingginya seperti yang belum pernah dikenal oleh riwayat dunia.
Tenaga produksi dan distribusi jauh melewati batas keperluan
nasional. Eropa dan Amerika Utara telah menjadi negeri kapitalis
yang matang.
Kapital memisahkan kota dengan desa. Kota menghasilkan
produksi industri dan produksi pertanian. Makin maju
kapitalisme, semakin banyak penduduk yang tadinya di desa-desa ditarik ke kota-kota. Bukankah di kota sewaktu keadaan
politik dan ekonomi baik, kita peroleh lebih banyak pekerjaan,
lebih banyak rumah-rumah pendidikan dan lebih banyak
kesenangan daripada di desa-desa? Pada tahun 1790 di kota-kota
berdiam 3.4% dan di desa-desa 96.6% penduduk dari seluruh
penduduk, dan pada tahun 1920 menjadi 51 % dan 49%. Di
tahun 1870 angka-angka itu jadi 21% dan 79% dan di tahun 1910
jadi 51 % dan 49%. Jadi, jumlah penduduk di desa-desa pada
tahun 1920 lebih kecil dari penduduk kota. Angka-angka ini
membuktikan secara nyata pada kita perihal kemajuan kota-kota
Amerika, sebagai akibat dari kemajuan industrialisasi. Di negeri
Inggris proses pembagian itu (perihal kota dan desa) sama teratur
dan sama cukupnya. Pada tahun 1850 di kota-kota berdiam 49%
penduduk dari seluruh penduduk. Pada tahun 1900 perbandingan
ini menjadi 77% dan 23%, (The relation Governement to
industry, M.L. Regua).
Menurut foods No. 73 tahun ini, jumlah penduduk dan kota-kota
yang mempunyai lebih 10,000 jiwa di Jawa dan Madura baru
60% dari seluruh penduduk.
Jika kita pakai perbandingan antara penduduk kota dan desa
sebagai ukuran kemajuan industri satu-satu negeri, niscaya
industri Indonesia masih di dalam keadaan bayi.
Jika kita ambil pula jumlah panjangnya jalan kereta api untuk
menggambarkan kemajuan industri selaku penjelasan uraian kita
yang di atas, nyatalah kepada kita bahwa negeri Jerman, dengan
40
177,000 mil persegi luasnya dan penduduknya yang lebih sedikit
dari Indonesia, pada tahun 1913 mempunyai 38,809 mil jalan
kereta api, sedang Indonesia yang luasnya 735,000 mil persegi,
pada tahun 1919 hanya ada mempunyai 3,914 mil.
Perihal jumlah perdagangan (impor-ekspor) di Indonesia 1924
(sesudah perang dunia) ada f 2,208,800 (menurut International
Ocean, no. 526, Negeri Jerman pada tahun 1913 [sebelum
perang] ada f 13,375,000.000). Angka-angka ini menunjukkan
kemunduran kita. Tetapi jika dibandingkan dengan negeri seperti
Inggris, India, dan Filipina, kelihatannya Indonesia belum berapa
mundur. Dan bila dibandingkan dengan Turki, Siam, dan
Tiongkok, Indonesia jauh lebih baik. Dengan membuat
perbandingan itu sebagaimana yang sudah kita lakukan,
sebetulnya ini telah melebihi dari kemestian. Maksud kita tak
lain ialah untuk menerangkan betapa mudanya kapitalisme di
Indonesia.
2. Tumbuh Tidak dengan Semestinya
Kapitalisme di Indonesia tidak dilahirkan oleh cara-cara produksi
bumiputra yang menurut kemauan alam. Ia adalah perkakas asing
yang dipergunakan untuk kepentingan asing yang dengan
kekerasan mendesak sistem produksi bumiputra.
Bila kita perhatikan perkembangan kapitalisme di Eropa dan
Amerika, nyatalah pada kita bahwa cara produksi yang tua
berturut-turut digantikan oleh yang muda. Biasanya kejadian itu
tidak tampak jelas, tetapi adakalanya cepat sehingga cukup jelas.
Kejadian yang belakangan ini ialah oleh adanya pendapatan-pendapatan baru. Biar bagaimanapun keadaan saat itu, ia adalah
kemajuan menurut alam, sebab tenaga yang mendorongkan pada
kemajuan itu ada di dalam genggaman masyarakat di Eropa dan
Amerika sendiri.
Sebagaimana yang telah kita tunjukkan, kemajuan industri di
setiap negeri sejajar dengan timbulnya kota-kota yang
mengeluarkan terutama barang-barang industri seperti barang-barang besi, perkakas pertanian, obat-obatan dan lain-lain. Desa-41
desa mengeluarkan beras, sayur-mayur, binatang ternak, susu
dan lain-lain. Barang-barang kota yang berlebih — yakni barang
itu dipandang penduduk kota sebagai keperluan hidupnya
ditukarkan dengan barang-barang desa yang berlebih itu.
Di Amerika pada waktu yang biasa seperti pada tahun 1913,
selagi negeri ini terpencil dan kurang imperialistis, seperti
sekarang ini, boleh dikatakan sama besarnya perbandingan antara
barang-barang industri dengan pertanian (harga pasar antara
kedua barang itu hampir sama). Jadi dalam pemandangan
ekonomi kota memenuhi keperluan desa, desa memenuhi
keperluan kota.
Di Indonesia sebagai akibat kemajuan ekonomi yang tidak
teratur sebagaimana mestinya, tidak seperti di atas keadaannya.
Kota-kota kita tak dapat dianggap sebagai konsentrasi dari
teknik, industri, dan penduduk. Ia tak menghasilkan barang-barang baik untuk desa maupun untuk perdagangan luar negeri,
dari kapitalis-kapitalis bumiputra. Mesin-mesin pertanian,
keperluan rumah tangga, bahan-bahan untuk pakaian dan lain-lain tidak dibuat di Indonesia, tetapi didatangkan dari luar negeri
oleh badan-badan perdagangan imperialistis. Desa-desa kita tak
menghasilkan barang kebutuhan untuk kota-kota, karena untuk
mereka sendiri pun tak mencukupi. Beras misalnya, makanan
rakyat yang terutama mesti didatangkan dari luar, di tahun 1921
seharga f 114,160,000, meskipun bangsa kita umumnya sangat
pandai mengerjakan tanahnya dan semua syarat untuk
menghasilkan beras bagi keperluan sendiri bahkan dapat pula
mengeluarkan berasnya yang berlebih. Desa-desa kita
mengeluarkan gula, karet, teh, dan lain-lain barang perdagangan
yang mengayakan saudagar asing, tetapi memiskinkan dan
memelaratkan kaum tarsi; kota-kota kita bukanlah menjadi pusat
ekonomi bangsa Indonesia, tetapi terus-terusan menjadi sumber
ekonomi yang mengalirkan keuntungan untuk setan-setan uang
luar negeri.
Bahan yang menyebabkan kapitalisme bukanlah Indonesia —
mengingat riwayat negeri kita yang tersebut di atas — teranglah
bagi kita.
42
Sudah kita lihat bahwa politik perampok bangsa Belanda,
memusnahkan sekalian benih-benih industri bumiputra yang
modern. Hongi-hongi cultuur stelsel, monopoli stelsel dan
gencetan pajak yang tak ada ampunnya. Dan pemasukan
saudagar-saudagar Tionghoa yang teratur di zaman Kompeni
Timur Jauh (VOC) menghancurluluhkan sekalian alat-alat sosial
ekonomi dan teknik nasional yang kuat.
Jika sekiranya bangsa Indonesia tidak dirampok, dan mempunyai
kepandaian teknik, serta dipengaruhi oleh orang asing, tentulah
orang Indonesia ada kesempatan untuk memenuhi kemauan
alam.
Boleh jadi dengan secara damai (seperti di Jepang) atau dengan
perantara pemboikotan nasional (seperti di India) kaum
menengah Indonesia atau Indo dengan jalan mengumpulkan
kapital nasional mendirikan industri untuk memenuhi kebutuhan
nasional seperti tenun besi.
Demikianlah, kapital Indonesia timbul dengan teratur pula antara
lapisan-lapisan sosial Indonesia dan mempunyai perhubungan
yang teratur. Saudagar Indonesia yang dulu kecil sekarang sudah
menjadi bankir atau mengepalai perusahaan yang besar-besar.
Penempa besi, tukang tukang gula, saudagar batik yang dulu
kecil menjadi pemimpin industri logam, gula atau tenun. Tetapi
imperialisme Belanda dalam 300 tahun tak meningkatkan apa
pun untuk bangsa Indonesia, semua habis diangkut ke negerinya.
Ia memuntahkan kapitalisme kolonial Belanda yang tidak ada
duanya di dunia.
Maju ke dalam perjuangaan ekonomi melawan raksasa asing,
dengan maksud meningkatkan industri nasional sama dengan
"menjaring angin".
3. Kapital Indonesia Itu Internasional
Imperialisme Inggris dengan industri nasionalnya yang nomor
wahid dan armada yang luar biasa, semenjak semula merasa
perlu mengadakan kompromi dengan raja-raja, dan tuan-tuan
tanah bangsa India, untuk mempertahankan diri terhadap borjuasi
bumiputra yang baru timbul. Tetapi tatkala yang tersebut
43
belakangan ini keluar dari medan perjuangan dengan
kemenangan (di tahun 1900-1905 dan 1919-1922), Inggris
mengulurkan tangannya.
Bersama dengan raja-raja, tuan-tuan tanah dan borjuasi India
yang baru itu, dia pergi memperkuda punggung rakyat yang
menggerutu itu. Bagaimanapun sulitnya imperialisme Inggris, ia
masih mempunyai tujuan di dalam kerajaan sendiri.
Imperialisme Belanda memukul dan menendang "kerbau" yang
sabar itu, sekian lamanya, hingga sekarang kerbau itu
mempergunakan tanduknya.
Belanda kecil yang di waktu dulu menelan segalanya untuk
dirinya sendiri, sekarang terpaksa membagi-bagikan itu dengan
negeri-negeri yang lebih kuat.
Adapun kekurangan kapital dan industri, adalah sebab yang
terpenting dari tindakan Belanda itu, maka semenjak beberapa
tahun, kapital Inggris memegang peranan besar di Indonesia.
Raffles yang bijaksana itu sudah lama melihat hal ini dan tidak
puas sebelum ia dapat mengelabui mata Belanda-tani itu. Setelah
perang dengan Napoleon berhenti, Inggris mengembalikan
sekalian koloni Belanda. Perbuatan ini seakan-akan sangat
bertentangan dengan politik yang waktu itu dipakai Inggris,
tetapi setelah dicermati perbuatan itu adalah politik Inggris yang
selicin-licinnya dan semurah-murahnya dalam memakai Belanda
sebagai opas untuk kapital yang ditanamnya di Indonesia.
Apakah pengambilalihan seluruh administrasi yang ada di
Indonesia memberi tanggung jawab dan kesusahan kepada
Inggris? Kapital Inggris yang beberapa tahun belakangan ini
makin hari makin besar, bagi Belanda — kecil sangat
mengkhawatirkan, dan bangsa Indonesia sekarang tak sabar lagi,
hingga Belanda sekarang berniat memakai "politik pintu
terbuka". Istilah yang sebenarnya diambil dari kamus Amerika
ini sungguh cocok dengan politik Belanda di Timur. Dalam kata-kata biasa, ia berbunyi: "Dan terhadap kapital Inggris serta
bangsa Indonesia yang telah terjaga dari tidurnya, semestinya
Belanda lebih kuat bila mempunyai Amerika yang demokratis.
Tetapi negeri ini mesti ditarik ke Indonesia. Kapitalnya ditanam
di Indonesia dengan segala daya upaya dan, jika perlu, diberikan
44
hak-hak yang luar biasa. Jika tiba masanya, kelak Amerika
bergandeng tangan dengan Belanda".
Uang dan susah payah tak diperhitungkan demi kapital Amerika.
Seorang menteri pernah berkata terus terang di dalam kamer,
bahwa: Kedatangan kapital Amerika sangat mudah karena
undang-undang di Indonesia sekarang. Kunjungan Fock ke
Manila pada tahun 1923, dan kedatangan beberapa kapal perang
ke Filipina, mendudukkan seorang konsul jendral di New York
yang kerjanya selain hilir mudik dengan perundingan dan
perjanjian juga menghambur-hamburkan uang buat reklame,
pamflet dan majalah yang selama bertahun-tahun memuat perihal
Jawa sang negeri ajaib (Java the Wonderland). Semuanya itu
adalah untuk memikat pelancong-pelancong dan kapitalis
Amerika supaya datang berduyun-duyun ke Indonesia.
Berapa besar kapital Belanda itu dapat kita lihat pada angka-angka di bawah ini.
Dalam buku Handbook voor cultuur en handsondernemingen in
Ned. India ditulis oleh Agulvant, kapital yang ditanam di
Indonesia ditaksir sejumlah f 3.270.000.000. Di antaranya f
1.27,000,000 di dalam kebun-kebun, minyak f 900,000,000.
Dalam bank dan perdagangan f 750,000,000.
Perusahaan kapal, kereta api dan tram masing-masingnya f
250.000.000, f 220.000.000 dan f 200,000,000. Tambang-tambang f 70,000,000 dan maskapai-maskapai asuransi f
60,000,000.
Kapital yang ditanam di Sumatera Timur pada tahun 1924
sejumlah f 439,000,000. Di antaranya 55.3% kepunyaan Belanda
dan 44.7% kepunyaan bangsa asing. Kapital bangsa asing yang
ditanam dalam industri pertanian sejumlah f 200,000,000. Di
antaranya f 147,500,000 adalah kapital Inggris, f 300,000,000
milik Prancis dan Belgia, f 15.700.000 milik Jepang dan f
4.000.000 milik Jerman (International Ocean. No. 6, 1926).
Luas kebun karet pada tahun 1924 sebesar 241,357 bau [note 1].
Di antaranya 42.2% kepunyaan bangsa asing dan 32.4%
kepunyaan Inggris. Berhubung dengan monopoli Inggris, kapital
karet Amerika beberapa tahun belakangan ini sangat cepat
45
meningkatnya di Sumatera. Luas kebun teh di Jawa 116,664 bau.
Kepunyaan bangsa asing 23.8% dan Inggris 17.8%.
Dari tujuh macam hasil utama yang dikirimkan ke pasar-pasar di
seluruh dunia, ekspor gula di tahun 1924, f 491,100,000 atau
32.1 % dari jumlah ekspor. Karet f 202,600,000, atau 13.2% dari
ekspor. Minyak tanah f 158,300,000, tembakau f 123,600,000,
kopra f 97,400,000, teh f 93,600,000 dan kopi f 56,600,000 yakni
masing-masing 10.3%; 8.1%; 6.4%; 6.1%; dan 4.3% dari jumlah
ekspor semuanya.
Pada tahun 1924 ekspor ke tanah Inggris dan di jajahannya
42.55% dari semua ekspor dan ke negeri Belanda hanya 19.7%,
sedang 40.4% dari Inggris dan tanah jajahannya.
Jadi teranglah, bahwa perdagangan Inggris di Indonesia lebih
besar dari semua negeri asing, sedangkan di dalam perusahaan
minyak dan kebun-kebun yang terpenting, kapital Inggris
memegang peranan yang terbesar di antara kapital bukan
Belanda. Jadi tidaklah mengherankan mengapa orang Belanda
tergesa-gesa memikat kapital Amerika.
Betul beberapa tahun belakangan ini, karena iri hati melihat
Inggris menjalankan politik karet dengan cara monopoli,
Amerika mulai menanam kapitalnya di kebun karet di Sumatera
Timur. Akan tetapi, hal itu belum menjadi satu kepastian, apakah
Amerika hendak menanamkan kapitalnya di Sumatera dan Jawa
saja, sebab di Mindanau (Filipina Selatan) dan Liberia ada tanah
yang subur untuk kebun karet.
Mengakui dan melindungi industri bumiputra yang modern
seperti di India menurut pandangan ekonomi baru tidak akan ada
sama sekali, sebab industri bumiputra modern memang tidak ada.
Rakyat hanya diperas, diinjak-injak dan ditipu. Pemecatan kaum
buruh bukanlah satu keanehan, dan cengkraman pajak makin
lama makin erat. Ekonomi rakyat tak perlu disebut-sebut sebab
negeri Belanda terutama bergantung pada kapital luar negeri.
[note 1] 1 bau = 500 tombak persegi atau 7096 m2.
46
V
KEADAAN RAKYAT INDONESIA
1. Kemelaratan
Berapa ribu, bahkan berapa ratus ribu rakyat Indonesia yang
meringkuk dengan perut kosong di atas balai-balai setiap hari
saat melepas lelahnya, tak terjelaskan dengan tepat. Pemerintah
punya catatan angka-angka yang lengkap tentang kebun-kebun
dan perusahaan yang menguntungkan, terutama nama-nama
orang yang wajib membayar pajak, tetapi lupa memberi
kepastian tentang penghidupan rakyat seluruhnya. Betul kadang-kadang dibentuk oleh pemerintah suatu panitia, tapi badan itu tak
mewakili rakyat, dan tentu saja panitia itu tidak pernah
mendakwa kapital besar, meskipun mencela saja. Pemeriksaan
"teratur" dan "merdeka" sebagai bukti maksud-maksud yang
suci, belum pernah kedengaran.
Jika kita mau tahu berapa jumlah buruh industri, kebun-kebun
dan pengangkutan, tentulah dengan jalan itu kita ketahui berapa
banyaknya "budak belian kolonial" yang kelaparan di Indonesia
sebab sebagian besar dari buruh industri itu miskin, sebab kepada
perusahaan besar-besar itu, mereka harus menjual atau
menyewakan tanahnya, hingga akhirnya kehilangan tanah dan
mata pencaharian.
Hal itu tidak mungkin disebabkan oleh ketakpedulian dan
kelalaian pemerintah. Meskipun kita bekerja dengan angka-angka yang tak cukup, ini belum berarti bahwa keadaan rakyat
Indonesia adalah buku yang tertutup bagi kita; bahkan sebaliknya
tak dapat diduga bahwa dua sampai tiga juta budak yang
tertindas menerima upah yang hanya cukup bertahan agar mati
kelaparan. Bagian yang terbesar dari mereka berorganisasi.
Mereka itu misalnya buruh kereta api, tukang sapu, kuli barang
dan tukang rem, yang mulai bekerja dengan gaji f 15 — dengan
satu sampai dua rupiah kenaikan setiap tahun — dan mencapai
maksimum f 30 sampai f 40 sebulan apabila mereka sudah
47
beruban. Sungguh gaji itu terlalu sedikit di zaman kapitalisme,
dan hal ini sangat menyedihkan, mengingat kepada kecermatan
dan tanggung jawab sekumpulan buruh itu bergantung hidup
beribu-ribu manusia.
Jika beratus ribu buruh gula yang karena tak berorganisasi tidak
berani meminta tambah gajinya; Jika kaum tani yang kehilangan
tanah hanya bekerja beberapa bulan dalam setahun dengan gaji
30 atau 40 sen sehari, yakni di waktu memotong tebu; jika 250
sampai 300 ribu kuli kontrak — yang dinamakan "kuli merdeka"
di Sumatera Timur — mendapat upah 30 sampai 40 sen sehari,
siapakah yang berani mengatakan bahwa di masa ini seseorang
(meskipun ia seorang inlander!), dengan anak bininya, dapat
hidup sebagai manusia dengan upah 12 sampai dengan 25 rupiah
sebulan? Jika ada orang yang berkata seperti itu, ia adalah seekor
keledai atau lebih hina lagi adalah seorang "pengkhianat".
Tukang-tukang besi segolongan buruh yang besar gajinya di
negeri-negeri lain, di Surabaya sangat rendah gajinya, tinggal
seperti di kandang anjing, makanan, pakaian dan keperluan hidup
lain-lain tak cukup, hingga kekallah mereka jadi mangsa lintah
darat Tionghoa dan Arab. Kita masih mendengar gaji mereka
antara 30 sampai 40 rupiah. Di Surabaya yang dikenal sebagai
kota dagang, gaji itu berarti sekadar penghalang agar jangan
sampai mati.
Siapakah nama gubernur jendral yang pada suatu hari dengan
malu-malu menceritakan bahwa beribu-ribu kuli di pelabuhan
Jakarta, sebab upah mereka tidak cukup untuk menyewa gubuk
yang sangat dicintai oleh orang-orang Jawa? Sudah begitu
memalukan dan tak menentunya nasib kaum buruh yang nota
bene masih kerja itu, bagaimanakah halnya kaum penganggur
yang makin lama makin banyak itu?
Dalam Verslag van de Suiker Enquete Commissie (hlm. 99) kita
baca kalimat yang sangat berarti: "Agaknya setengah dari
keluarga rakyat di Pulau Jawa termasuk orang yang mempunyai
tanah, dan selebihnya hidup dari perusahaan dan perdagangan
48
bumiputra ataupun bukan. Di sana tentulah beratus ribu manusia
yang tak punya apa-apa, yang kadang-kadang bekerja pada salah
seorang peladang dan dengan tidak pada tempatnya menamakan
dirinya petani". Selain itu, di kota-kota tidak sedikit orang yang
bergelandangan di sepanjang jalan, makan sesuap kala pagi dan
sesuap kala petang. Kita tidak mempunyai statistik yang lengkap,
benar dan sah tentang berapa jumlahnya.
Tetapi siapapun yang pernah tinggal di kota gula seperti
Banyumas, Solo, Kediri dan Surabaya, serta ia sungguh
memperhatikan kehidupan rakyat, ia akan tercengang dengan
"kesabaran" dan "kebetahan" rakyat menanggung kesusahannya,
bahwa pajak jauh melewati kesanggupan penduduk, tidak asing
lagi bagi orang-orang pemerintah.
Semua dan setiap yang bernyawa (meskipun dia tidak
berpencaharian) mesti membayar pajak. Kutipan-kutipan dari
segala pihak dapat kita cantumkan, tetapi, karena kita anggap
tidak berfaedah, tak perlu kita tambahkan di sini.
(Sepintas lalu kita katakan bahwa industri besar-besar dan
kongsi-kongsi perdagangan juga membayar pajak. Akan tetapi,
hal itu adalah perkara perjanjian belaka, karena dengan berbagai
cara, pajak itu dapat ditimpakan di atas kepala rakyat Indonesia
yang melarat dan tak punya hak lagi itu).
Padoux, penasihat pemerintah Tiongkok dalam "Memorandum
for the National Commission for Study of Financial Problem",
menentukan bahwa setiap kepala di Filipina, Indo-Cina, Prancis,
Siam, Indonesia, dan Tiongkok masing-masing membayar pajak
$7.50, 8.50, 9.50, 15.50, dan 1,20.
Jadi, pajak yang tertinggi di Indonesia! yaitu dua kali Filipina,
hampir dua kali Indo-Cina, Prancis, dan dua belas kali Tiongkok.
Perhitungan itu diambil menurut perbandingan sebelum tahun
1923. Waktu itu masih ada "Inlandsch Verponding" — satu
perbuatan hina yang tidak tahu malu — sebagaimana yang belum
49
pernah dilakukan oleh seorang raja yang selalim-lalimnya di
Jawa.
Mr. Yeekes menerangkan dalam "de Opbouw" (tahun 1923)
bahwa pendapatan rakyat Indonesia pukul rata f 196 setahun.
Dari pendapatan itu banyak yang harus dikeluarkan sebagai
pembayar pajak, dan di luar Jawa untuk rodi pula, hingga
pendapatan sebulan tinggal f 13. Satu angka yang jauh di bawah
minimum. Perhitungan Mr. Yeekes ini adalah untuk seluruh
Indonesia, jadi penda-patan rakyat di Jawa Tengah tentu lebih
sedikit lagi.
Kita di zaman modern ini sedih dan heran melihat orang Jawa
yang tinggal di pondok-pondok rombeng atau tak bertempat
tinggal sama sekali, kelaparan dan berpakaian kotor compang-camping, hidup dalam iklim yang sangat membahayakan sebagai
di Indonesia, kurang terawat kesehatannya, disebabkan wabah
malaria, cacing tam-\bang, kolera dan sampar; "hanya" ratusan
ribu yang mati di waktu penyakit itu merajalela.
Suatu keuletan yang patut dipuji!
2. Kegelapan
Masih saja "pemerintah tani dan tukang warung" Belanda takut
kepada Universitas dan Sekolah Tinggi seperti kepada hantu.
Masih saja belum terlepas ia dari gangguan momok "buruh
intelektual". Ia sudah berbuat keliru dalam pandangan politik
pengajaran Inggris dan mengambil kesimpulan yang salah. Ia
terlalu bodoh untuk memikirkan bahwa berhubung dengan
wawasan dan kecakapan imperialisme Inggrislah, maka dulu
sudah ada kaum terpelajar di India yang pada masa sulit
kerapkali membantu pemerintah Inggris, dan juga berkat adanya
kelas intelektual, termasuk juga kaum ekstrimis, maka Tilak dan
Mahatma Gandhi beroleh kemenangan ekonomi dengan gerakan
boikotnya yang luas. Dan pula karena Inggris bekerja sama
dengan borjuasi bumiputra modern, di lapangan politik dan
50
ekonomi, maka Inggris dapat memerintah terus di India
walaupun digempur oleh gerakan noncooperation baru-baru ini.
Pemerintah Belanda di dalam perdebatan selalu mengemukakan
pelbagai keberatan terhadap pendirian universitas di Indonesia,
yaitu keberatan yang hanya dapat diterima oleh anak-anak kecil.
Semua dalilnya hanya terpakai di zaman timbulnya penjajahan
dan dapat disimpulkan dalam alasan-alasan di bawah ini.
1. Bahwa pemerintah ini, sesudah menyesal, seharusnya
sekarang menjadikan dirinya pendidik rakyat Indonesia dengan
belanja rakyat sendiri dan sepatutnya memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepada anak-anak Indonesia, jika ia tidak doyan
omong kosong.
2. Bahwa bangsa Indonesia baik otak maupun kebangsaan tidak
lebih tinggi, juga sebaliknya tidak lebih rendah dari bangsa mana
saja, dan bahwa mereka itu sungguh matang untuk menerima
pengajaran yang macam mana sekalipun.
3. Bahwa universitas Indonesia yang pertama tak perlu
cangkokan atau tiruan dari Eropa,tetapi dengan memperhatikan
perguruan tinggi di Eropa berdasarkan pada kecerdasan rohani
dan keadaan masyarakat Indonesia sendiri pada masa ini.
Filipina — yang 12 juta penduduknya — sudah mempunyai
empat universitas dan beberapa sekolah tinggi, tapi Indonesia
dengan penduduknya yang lima kali lebih banyak belum
mempunyai sebuah juga.
Sekejap pun tak kita lupakan, bahwa bila "orang Belanda"
mendirikan universitas di Indonesia, pengajarannya niscaya dan
pasti lebih tinggi daripada di koloni lain sebagaimana, katanya,
universitas Belanda jauh lebih tinggi daripada universitas di
mana pun. Tanpa mempedulikan tabiat menurutkan kata hati
sendiri itu, kita hanya ingin mengatakan kepada Belanda,
"Cobalah dulu tunjukkan kecakapanmu itu di Indonesia!"
51
"Perbuatan itulah yang sebenarnya harus kamu buktikan!"
Tetapi, selain duit yang bagi seorang Belanda lebih berat
timbangannya daripada cita-cita dan alasan politik, ada pula
pandangan politik lain yang tak dapat kita harapkan dari si
Belanda tani dusun yang dungu itu.
Belum selang berapa lama Tuan Hardeman, Kepala Departemen
Pengajaran, menerangkan dalam sidang Dewan Rakyat bahwa
mendirikan suatu perguruan tinggi belum tentu melahirkan buruh
terpelajar, karena kebutuhan akan buruh pelajar itu untuk
sementara waktu ini berkurang, disebabkan kesukaran ekonomi
yang nanti tentu akan pulih. Dengan ini lenyaplah "momok"
seperti yang dibuat oleh Java Bode, tanggal 30 Juni.
Akibat politik pengajaran Belanda di sana-sini kelak akan kita
ulas lagi. Di sini kita ingin memastikan, dengan angka-angka,
bahwa perguruan rendah, menengah dan tinggi, semenjak dulu
tidak cukup untuk rakyat yang berjumlah 55 juta. Hal itu harus
diakui tanpa mengindahkan alasan kosong dari yang menyebut
dirinya "pemerintah".
Kita lewati sepintas lalu sekolah-sekolah tinggi yang sudah
beberapa tahun, katanya, mengeluarkan berpuluh-puluh dokter,
mister, dan insinyur. Kita tujukan pembicaraan sebentar kepada
soal sekolah rendah. Jumlah anakanak yang harus masuk sekolah
pada tahun 1919 adalah sebagai berikut: H.I.S. 1%, Sekolah
Rakyat 5%, Sekolah Desa 8% sampai 14%. Lebih kurang 86%
anak-anak yang seharusnya bersekolah tak mendapat tempat
(menurut laporan kongres N.I.O.G. tahun 1923 yang diumumkan
dalam Indische Courant). Mereka yang bisa membaca dan
menulis sekarang ditaksir 5% sampai 6%, mungkin juga 2%
sampai 3%.
Jumlah belanja perguruan di tahun 1919 menurut kabar yang sah
adalah f 20,000,000 dan f 75,000,000 untuk 150,000 orang anak-anak Eropa dan f 12,500,000 untuk anak-anak dari 55,000,000
tukang bayar pajak rakyat Indonesia. Pada tahun 1923 belanja
52
perguruan itu f 34.452.000. Jadi, untuk seorang anak bumiputra
pada waktu itu dikeluarkan 30 sen, sama artinya 1/7 dari yang
dikeluarkan untuk anak Filipina.
Untuk badan-badan lain, yang memperlihatkan contoh yang baik
kepada rakyat yang tak senang, seperti polisi, militer dan armada,
pada tahun itu dikeluarkan belanja sebesar f 156,274,000.
Tambahan pula seperti yang sudah dimufakati antara dia sama
dia, di lain tahun akan dibelanjakan f 300,000,000. Satu beban
yang berat sekali di atas bahu si Kromo yang merana itu.
Kita, kaum revolusioner, pada tahun 1921 bermaksud untuk
memperbaiki keteledoran pemerintah dalam pendidikan itu
dengan mendirikan sekolah-sekolah sendiri. Dengan menempuh
pelbagai macam kesusahan, seperti kesulitan teknis,
kepegawaian, keuangan, politik dan polisi, akhirnya dapat kita
dirikan di seluruh Jawa 52 buah sekolah dengan kira-kira 50,000
orang murid dan jumlah itu bertambah banyak. Akan tetapi,
sekolah itu digencet dengan kekerasan. Dengan alasan yang tak
cukup setiap waktu guru-guru di sekolah itu dilarang mengajar,
dan orangtua murid-murid ditakut-takuti. Pukulan penghabisan
dijatuhkan Serikat Hijau (sebuah kumpulan penyamun yang
dikerahkan, diupah dan dipimpin oleh pemerintah dan orang-orangnya). Penyamun upahan ini disuruh membakar sekolah,
menakut-nakuti dan menganiaya orang, murid dan guru-gurunya.
Dan perintah dijalankan oleh mereka dengan sungguh-sungguh.
Sebuah pergerakan rakyat yang sehat menuju ke pemberantasan
buta huruf yang dipimpin dengan gembira dan tak memandang
susah payah oleh kaum revolusioner di Priangan pada tahun 1922
ditimpa nasib yang seburuk itu pula.
Politik pemerintah ini dalam soal pengajaran boleh disimpulkan
dengan perkataan: "bangsa Indonesia, harus tetap bodoh supaya
ketenteraman dan keamanan umum ter pelihara" .
53
3. Kelaliman dan Perbudakan
Meski sudah 300 tahun Indonesia berkenalan dengan peradaban
Barat, masih saja rakyat kita hidup di dalam keadaan yang tak
mengenal atau mempunyai hak. Pak tani tak pernah sehari juga
mendapat kepastian tentang kepemilikan, kemerdekaan bahkan
nyawanya sekalipun. Setiap tahun skrup pajak rakyat semakin
keras putarannya. Kaum buruh tidak boleh mengadakan
perhimpunan atau mengemukakan keberatannya. Permohonan
rakyat yang pantas tidak didengarkan. Pendidikan dan pemimpin
rakyat yang dipercayai rakyat dicap dan diperlakukan seperti
penghasut dan bandit, dan karena itu, dengan tidak diperiksa
terlebih dahulu, dimasukkan ke dalam penjara, disekap di kamar
tikus, dihalau keluar negeri atau diketok kepalanya sampai mati.
Permintaan dan protes yang beralasan dimusnahkan oleh
birokrasi yang rupanya lebih suka tenggelam dalam
kebusukannya sendiri.
Sekarang marilah kita persilakan Prof. Van Vollenhoyen yang
termashur itu berbicara dan mencela sikap pemerintah Belanda,
seperti yang tertulis dalam buku beliau Indonesier en zijn Grond.
Indonesia boleh jadi mempunyai tidak kurang dari 70%
penduduk yang hidup dari pertanian; dan karena itulah, maka
penting bagi seorang terpelajar — yang kehormatan dan
kedudukannya belum pernah dicurangi orang — supaya
mendengar apakah yang sudah diperbuat terhadap si tani dalam
beberapa tahun oleh sebuah kekuasaan yang mengaku dirinya
sebagai "pengasuh rakyat" serta merasa berbuat serupa itu.
Kita bukan hendak mengorek-orek yang sudah terjadi maka lebih
dulu diperbincangkan kejadian-kejadian semenjak 60 tahun dari
abad yang silam. Siapa saja tentu tahu dan membenarkan
perkataan bahwa di tahun-tahun itu "orang Jawa dianiaya". Akan
tetapi tidak semua orang dengan lekas melihat macam apa dan
sampai ke mana batas penggencetan atas milik kaum tani itu.
Untuk mengetahui hal ini, tak usah kita baca buku-buku
kelaliman pemerintah Belanda ini sebagai "kaum penghasut dan
penyebar kebencian", tetapi kita ambil saja perslahannya sendiri.
54
Kesewenang-wenangan Daendels, biar bagaimana busuknya,
masih dapat dianggap luar biasa. la mempunyai kekuasaan
sendiri atas sawah dan ladang rakyat untuk menggaji pegawai
bumiputra (hlm. 12 dan dll).
Seterusnya van Vollenhoven berkata: "dibandingkan dengan
peratusan raja-raja Jawa yang hampir sama busuk dengan
kebiasaan kita, "masih terbatas" dalam kerajaannya saja, Kedu,
Yogyakarta dan Surakarta, tetapi kita meluaskannya sampai
meliputi seluruh pulau itu" (hlm. 16).
Pegawai-pegawai desa mengambil suatu kepunyaan rakyat yang
baik untuknya dan diberikannya yang buruk kepada rakyat yang
bodoh. Semua itu perbuatan sewenang-wenang (hlm. 17).
"Apakah yang kita harapkan sekarang?” tanya van Vollenhoven
seterusnya. Apakah kita berangsur-angsur akan menghentikan
kerewelan perkara sawah ladang karma pajak tanah (ini sudah
terjadi). Apakah kita berang,sur-angsur tidak lagi akan
mengambil sawah ladang dan kebun paksaan rakyat (ini sudah
terjadi). Apakah kita akan mengurangi dan menghapuskan akibat
yang merugikan dari kerja paksa atas tanah-tanah kepunyaan
rakyat (ini sudah terjadi). Dan selanjutnya kita belajar
mendiamkan tangan kita yang gatal itu. Yang belakangan ini
belum terjadi (hlm. 20).
Bila pada tahun 1919 seorang Jawa yang haknya atas tanahnya
dirugikan f 1,000 datang mengadukan halnya kepada kontrolir, ia
akan dihukum delapan hari kerja paksa. Bila ia menghadap
Presiden Pengadilan Negeri, ia akan dijawab, "Tidak ada waktu!"
dan bila orang itu pergi minta perlindungan Wali Negeri, "Sri
Paduka Tuan Besar tidak berkenan menjawab". Dalam bahasa
Belanda yang agak halus disebut hal itu "godsgeklaagd" (hlm.
26).
Seringkali terjadi di tengah-tengah sebidang tanah yang akan
diberikan pemerintah kepada tuan-tuan besar kebun ada sawah
atau ladang bumiputra. Menurut undang-undang, tanah itu tidak
55
boleh diambil kecuali jika untuk keperluan pemerintah sendiri.
Akan tetapi dalam praktiknya orang berikhtiar membujuk si
inlander supaya mau menukar haknya dengan uang (hlm. 26).
Berikut ini adalah kesimpulan dari Prof. van. Vollenhoven yang
tak dapat dicela kebenaran dan kenyataannya itu.
"Tetapi rupanya inilah yang sepenting-pentingnya orang
Indonesia yang punya tanah sendiri, sungguh sangat susah akan
mempunyai perasaan selain dari pelanggaran terus menerus;
dusta dan penipuan atas hak tanahnya yang sah di atas kertas,
sebagai daya upaya yang tak habis-habisnya untuk merampasi
haknya tadi atau berdaya upaya supaya ia jangan dapat
mempergunakannya" (hlm. 28).
Kita masih dapat mengutip beberapa gugatan dan kesimpulan
van Vollenhoven yang berkenaan dengan penipuan atas tanah
dengan jalan mengubah kalimat undang-undang, dengan merusak
dan melanggar undang-undang itu sendiri dan tentang sebab-sebab pemberontakan di Sumatera, Borneo, yakni pencurian
tanah. Akan tetapi, kutipan tersebut di atas sudah memadai.
Dan tidakkah semua kenaikan pajak sekarang itu adalah suatu
kesewenang-wenangan yang kasar jika kita menggunakan
perkataan Prof. van Vallenhoven itu sendiri? Adakah rakyat kita
diberitahu waktu pemerintah mengambil suatu keputusan dan
memperbincangkan kepemilikan, pekerjaan dan kemerdekaan
kita?
Tidak pernah! Persis sebagaimana pemerintah tidak pernah
bertanya kepada kita, "Apakah kita menyukainya atau tidak?"
Bangsa Indonesia yang 55 juta itu tidak mempunyai wakil
seorang jua pun dalam pemerintahan ini yang boleh
memperdengarkan suara atau nasihat, protes atau celaan.
Gerombolan militeris dan birokrasi yang menghisap darah dan
menguasai nasib kita, tak pernah kita sukai dan kita pilih.
Mereka tak dapat kita hentikan sebab kita tak punya kekuasaan
politik. Mereka ini mesti kita terjang bila kita tidak suka kepada
56
mereka, lain tidak! Kesimpulannya, sekalian dan peraturan yang
menguasai kita di Indonesia dibuat sesuka hati mereka sendiri
dan pembayaran pajak dalam teori atau praktik, semuanya adalah
"pencurian".
Marilah kita perhatikan nasib 300.000 kuli kontrak, yang
"katanya" dilindungi oleh pemerintah ini. Upah yang kurang
lebih f 12 sebulan sungguh hampir tak cukup untuk membeli
pakaian yang biasanya koyak-koyak, sebab setiap hari dipakai
kerja di kebun. Sehari bekerja 14 sampai 18 jam, sebab kebun-kebun tembakau biasanya jauh letaknya dari pondokan kuli, lebih
tepat kandang kuli, meskipun di dalam kontrak hanya tertulis 10
jam.
Perlakuan pengawas-pengawas kebun bangsa Eropa lebih tepat
digambarkan sebagai penikaman, pembacokan; penganiayaan
dan pembunuhan atas asisten-asisten kebun dan "kehalusan yang
diusik-usik hingga menjad kekejaman!" Di sinilah terjadi
pergaulan sosial yang diracuni oleh judi, candu dan persundalan
yang merendahkan tabiat kuli-kuli dan menyebabkan mereka
banyak berutang kepada majikannya, hingga kontrak mereka
terpaksa selamanya diperbaharui.
Syarat-syarat kerja seperti itu — langsung atau tidak —
dipikulkan di atas kaum tani yang kebanyakan buta huruf dan
dungu; mereka ditekan dalam satu "kontrak" yang diakui oleh
pemerintah. Dalam kontrak itu disebutkan mereka "tak boleh
berorganisasi dan mogok" — yang dengan jalan itu mereka dapat
menagih upah dan syarat-syarat kerja yang sedikit mendingan
seperti di negeri-negeri lain. Hal itu diakui oleh pemerintah.
Sungguh hal itu hanya dapat dipertahankan oleh "saudagar
budak" di zaman biadab.
Marilah kita ingat kejahatan-kejahatan yang dilakukan di Deli.
Marilah kita ingat penganiayaan baru-baru ini yang dilakukan
oleh orang-orang Eropa di Lampung dan Sumatera Selatan, yaitu
kejahatan yang dianggap sebagai dongeng saja di abad. Bahkan
57
lebih dari dongeng, yaitu ringannya hukuman yang dijatuhkan
oleh pemerintah atas "bajingan-bajingan" Eropa itu.
Kaum buruh industri, perkebunan dan pengangkutan yang
beratus ribu atau beberapa juta di Jawa dan lainnya, yang
diperbudak tidak dengan kontrak, yang katanya "buruh
merdeka", bernasib tak lebih baik daripada budak kontrak asli.
Satu per satu kakinya diikat dengan rantai aturan, hingga tak
dapat berorganisasi dan berjuang melawan kapitalis yang
sewenang-wenang. Di dalam Dewan Rakyat, Majelis Tinggi dan
Rendah, dan surat-surat kabar yang berlain-lainan tujuan itu,
telah berulang-ulang diperbincangkan hak organisasi dan hak
mogok dari kaum buruh Indonesia! Tak perlu kita ulang lagi di
sini, atau kita uraikan hukum-hukum paksa itu. Sekali lagi
dikatakan undang-undang itu bukanlah menurut perasaan
modern, tetapi aturan paksa yang dihadapkan oleh segerombolan
kaum birokrat kepada buruh Indonesia, buat pengikat segala daya
upaya mereka menuju perbaikan nasib.
Semua undang-undang yang dijalankan itu menyebabkan kita
teringat kepada zaman biadab dan perbudakan yang gelap.
Begitu banyak undang-undang paksa terhadap politik gerakan
sehingga tak dapat kita terus-terang mengatakan atau menulis
sesuatu mengenai si penjajah atau yang dapat membukakan mata
rakyat yang terbelenggu ini.
Rakyat Indonesia mesti menutup mulutnya jika terjadi
penganiayaan atas diri pemimpin-pemimpin yang mereka
percayai dan kasihi, juga apabila dengan sengaja para pemimpin
dirampas beberapa bulan kemerdekaannya atau tanpa diperiksa
lebih dulu terus dibuang sebab dianggap berbahaya atau secara
khianat ditikam, dibacok, diketok kepalanya sampai mati, atau
dicabut nyawanya dengan peluru.
Bila diceritakan kepada rakyat bahwa seorang pemimpin yang
dicintai, seperti Haji Misbach yang katanya mati "disebabkan
demam hitam" pada satu pembuangan yang ditentukan oleh
pemerintah, mau tidak mau, mereka mesti percaya saja.
58
Bilamana rakyat mendengar bahwa seorang pemuda yang
terpelajar dan sopan, seperti Soegono kita, pemimpin V.S.T.G
yang katanya "membunuh diri" dalam penjara, sedangkan pada
kepala dan tangannya terdapat bekas-bekas penganiayaan dan
sebuah jarinya hancur sama sekali, rakyat "tak dapat mendakwa",
juga tidak boleh mengajukan protes sama sekali.
Dan pemerintah yang "katanya" jadi pengasuh dan pelindung
rakyat kita, tidak mengadakan pemeriksaan saksama tentang
sebab-sebab kematian yang sekonyong-konyong dari pemimpin
rakyat yang cakap berjuang dengan dada terbuka dan pendek
kata dicintai dan dipercayai rakyat. Dia tidak mempedulikan atau
tak punya keberanian moral akan mengakui dan membetulkan
kesalahannya dan menghukum yang bersalah menurut undang-undang Fiat justitiaruate cellum.
(Jalankanlah keadilan meskipun langit akan runtuh!)
Keadilan di Indonesia hanya bagi segolongan kecil yaitu si
penjajah kulit putih. Bagi bangsa Indonesia yang berhak atas
negeri itu, tak ada keadilan dan pengadilan.
59
VI
KEADAAN SOSIAL
Kecurangan tukang waning Belanda yang sudah tiga ratus tahun
dalam dunia imperialistis yang disebut kolonisator menciptakan
pertentangan sosial dan kebangsaan yang satu-satunya di seluruh
Asia. Di satu pihak tampak kapital yang beranak pinak dalam
pertanian yang sangat modern, dengan produksi yang sangat
tinggi dan dengan jalinan hubungan internasional yang bersatu
dalam sejumlah sindikat dan trust yang memberi untung yang
berlipat ganda. Di lain pihak, tampak kaum tani, pedagang-pedagang kecil dijadikan buruh. Mereka berjubel-jubel sebagai
buruh industri di kota-kota dan buruh tani di kebun-kebun.
Semua ini melahirkan kesengsaraan, perbudakan dan
kegelisahan.
Jika pertentangan kelas yang sebenarnya menyerupai satu jurang
yang tak dapat ditimbun, yang di negeri-negeri Barat dan Jepang
menimbulkan sosialisme, anarkisme dan bolsyevisme, di
Indonesia jurang itu diperdalam lagi oleh pertentangan bangsa
Belanda kontra Indonesia. Pertentangan ini, meskipun bukan satu
sebab yang terpenting, tetapi mungkin sekali dapat memancing
perang-perang kemerdekaan. "Pertentangan" Belanda kapitalist
dengan buruh Indonesia, itulah nisbah sosial kita yang berbeda
dengan negeri-negeri lain. Pertentangan ini lahir dalam bentuk
yang setajam-tajamnya. Ketajaman itu bukan saja disebabkan
oleh ketiadaan kapital modern dar bangsa Indonesia, melainkan
juga oleh perbedaan agama, bangsa, bahasa, adat istiadat antara
penjajah dan si terjajah.
Di negeri-negeri kapitalis yang maju, pertentangan sosial terbagi
atas dua kelas: kelas kaum kapitalis dengar para pengikutnya dan
kelas buruh. Kaum kapitalis ialah yang mempunyai tanah,
pabrik, kereta api, kapal dan bank, dan menambah kekayaan
dalam keadaan biasa dengan jerih payah kaum buruh yang tidak
dibayar, yang dilukiskan oleh Marx "met de zijn kapitaal
geaccumuleenk meerwaarde". Kaum buruh ialah mereka yang
kepunyaan dan tanahnya dirampas oleh kapitalis. Mereka yang
dulunya adalah petani dan pedagang kecil, tetapi waktu ini segala
60
miliknya punah sama sekali kecuali tenaga, badan dan nyawa.
Harga tenaga ini "tunduk" kepada turun naiknya harga di pasar
tenaga. Kaum kapitalis hidup dari pemerasan dan kaum buruh
dari upah kerjanya. Upah ini disebabkan oleh "undang-undang
besi" dalam "tawar-menawar" di pasar tenaga — tidak dapat
menutup harga kerja yang dilakukan (karena persaingan hebat di
pasar tenaga dan kecemasan akan mati kelaparan, terpaksa buruh
itu menerima upah yang serendah-rendahnya).
Supaya dapat mengadakan pemerasan atas kelas buruh yang
jumlahnya lebih besar, kelas kapitalis yang jumlahnya kecil,
mempergunakan "senjata gaib", seperti sekolah, gereja atau
masjid, dan surat kabar, juga perkakas kelas seperti polisi,
tentara, penjara, dan justisi. Parlemen, masjid, gereja, sekolah
dan surat-surat kabar berdaya upaya menidurkan dan
melemahkan hati buruh dengan pendidikan yang banyak
mengandung racun. Bila mereka tak dapat berlaku seperti itu,
dipergunakanlah penjara, polisi dan militer.
Persaingan ekonomi sesama kaum kapitalis menyebabkan
timbulnya kongsi. Mereka dapat melawan musuh-musuhnya
yang terpencil. Kalau kongsi dalam persaingan "mati-matian" tak
dapat menaklukkan lawannya, ia mencoba mengadakan
kompromi. Kedua kongsi yang dulunya bermusuhan, sekarang
menjadi satu sindikat. Demikianlah mereka dapat menaikkan
harga barangbarangnya dengan sesuka hati, sehingga merugikan
si pembëli (buruh dan tani miskin).
Jadi, sindikat itu adalah gabungan dari beberapa kongsi. Akan
tetapi kongsi bekerja itu menurut caranya sendiri dan merdeka
seperti biasa. Supaya kekuatannya bertambah besar dan terpusat
ke satu pimpinan untuk perjuangan ekonomi, dibentuklah satu
trust. Jadi, sindikat mempunyai banyak ketua, sedangkan trust
seorang saja, dan begitu juga cara kerjanya, sebuah trust dapat
secara lebih sempurna menguasai pasar dunia daripada sindikat.
Di pasar negeri-negeri Barat, terutama Amerika, kita lihat
sejumlah tambang arang, industri besi, pabrik-pabrik minyak dan
maskapai kapal yang dulunya terpecah-pecah sekarang bersatu
dalam trust yang besar, dikepalai oleh raja-raja trust. Kita dengar
61
nama-nama seperti Morgan Raja Bank, Rockefeiler Raja
Minyak, Carnagie Raja Baja dan Ford Raja Mobil.
Di Jerman kita lihat bagaimana trust yang banyak itu diikat
menjadi satu "gabungan trust". Pabrik-pabrik besi, arang dan
kertas, maskapai kapal dan kereta api semuanya tunduk di bawah
pimpinan Stinnes yang baru meninggal dunia. Demikianlah,
Stinnes dapat menguasai harga bahan-bahan mentah dan barang-barang pabrik, selanjutnya ongkos pengangkutan dan advertensi
dari barang-barang pabrik itu. Pembentukan trust seperti ini di-tiru pula oleh bank-bank yang menyatukan diri dari maskapai
menjadi sindikat, dari sindikat ke trust dan dari trust ke gabungan
trust.
Bank meminjamkan uang kepada industri dan perkebunan; bank
itu senantiasa bertambah kaya oleh bunga uang yang tinggi, yang
dibayar oleh si peminjam. Akan tetapi, bunga uang yang tinggi
itu ditarik si peminjam dari buruh mereka, dan si buruh menarik
hanya dari keringat dan tenaganya. Kepada negara, bank juga
meminjamkan uang yang mesti dibayar dengan bunga yang tidak
rendah. Bank negara pada gilirannya menarik pajak yang banyak
sekali dari kaum buruh (sebab merekalah yang terbanyak
jumlahnya) untuk membayar utang itu beserta bunganya. Ke
negeri-negeri asing, bank memimjamkan uangnya dengan bunga
yang serupa. Bank, "benteng kapitalisme", jadi penguasa
industri, pertanian dan pemerintahan suatu negeri, dan dengan
penanaman modal di negeri asing itu, ia juga menguasai negeri-negeri itu.
Supaya tetap memperoleh bunga, maka ia jugalah yang
mengangkat dan memberhentikan kepala-kepala industri, ahli
negara dan ahli politik, dan langsung atau tidak menggaji atau
menyuap mereka. Dengan adanya trust maka ditaruhnya
pimpinan perusahaan bank ke tangan beberapa bankir. Jadi,
bangkirlah pada hakikatnya yang jadi pemimpin industri,
pengangkutan, pertanian perdagangan, negara dan politik,
pendeknya masyarakat kapitalis modern.
Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, tampaklah kepada
kita bahwa makin maju kapitalisme, makin sedikit orang yang
berharta dan jumlah kaum buruh miskin menjadi lebih besar. Di
62
negeri-negeri kapitalistis yang cerdas seperti Inggris, Jerman dan
Amerika, jumlah buruh yang pandai dan yang tidak kurang lebih
75% dari penduduk. Jumlahnya pemangku tangan, tetapi
berkapital dan produksi makin lama makin sedikit. Kekuasaan
dan kekayaan mereka semakin besar. Jumlah buruh, tapi tak
mempunyai apa-apa, makin lama makin banyak, dan organisasi
mereka demikian pula. Pertentangan kaum pemangku tangan
dengan buruh miskin makin lama semakin tajam dan akhirnya
menimbulkan revolusi sosial.
Di Indonesia proses kapitalisasi itu hampir tidak berbeda dengan
garis-garis besar yang diuraikan di atas. Saudagar-saudagar
Indonesia dan perusahaan yang kecil-kecil sudah lama lenyap
dari masyarakat.
Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan "pagi makan,
petang tidak". Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak
berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas tanah pabrik,
alat-alat pengangkutan dan badan perdagangan, kini semuanya
dipesatkan dalam tangan beberapa sindikat seperti Avros,
Suikersyndikaat, Handeslvereeniging Amsterdam dan lain-lain.
Pimpinan sindikat-sindikat besar itu tergantung di tangan
beberapa orang kapitalis.
Pertentangan sosial antara kapitalis dan buruh di Indonesia —
berhubungan dengan satu dan lain hal — lebih tajam daripada
apa yang kelihatan oleh mata. Keuntungan besar dari gula,
minyak, karet, kopi, teh dan lain-lain sebagian besar mengalir ke
Eropa, ke kantong bangsa Belanda, dan sebagian kecil ada juga
kembali ke Indonesia, tetapi bukan sebagai kenaikan gaji buruh,
melainkan sebagai penambah "kapital" yang sudah ada, buat jadi
"alat penghisap" yang baru pula. Sebagian besar keuntungan itu
ada di negeri Belanda sebagai gaji uang verlof atau pensiun
pegawai-pegawai Belanda.
Kemalangan nasib buruh Indonesia hanya dapat diperbaiki
dengan jalan menaikkan gaji mereka yang sepadan (dengan
memperhatikan) harga barang keperluan sehari-hari. Dengan
pembukaan beberapa kebun besar, memang ada kaum buruh atau
penganggur yang mendapat pekerjaan, tetapi sebaliknya tanah
mereka disewakan dan dijual hingga banyak petani yang
63
kehilangan miliknya. Tambahan lagi, karena perluasan
kapitalisasi itu, barang keperluan sehari-hari bertambah tinggi
harganya. Sungguh tak dapat dipungkiri bahwa kenaikan harga
barang dalam sepuluh tahun belakangan ini tidak sejalan dengan
kenaikan gaji buruh.
Demikianlah rakyat Indonesia tambah lama tambah miskin sebab
gaji mereka tetap seperti biasa (malahan kerapkali diturunkan),
sementara barang-barang makanan semakin mahal. Dan oleh
persaingan yang makin lama makin hebat, karena cacah jiwa
cepat sekali bertambahnya dan kuat, berkuranglah kepastian akan
mendapat pekerjaan.
Jika kaum kapitalis itu bangsa Indonesia, tentulah kemiskinan
dan kemelaratan tak akan sepedih itu sebab sisa keuntungan yang
sangat banyak itu mungkin dilemparkan pada rakyat. Gaji buruh
boleh jadi dinaikkan; pengajaran, koperasi rakyat, industrialisasi
dan kesehatan mungkin diperhatikan dan diperbaiki. Sekarang
tak semua itu terjadi, sebab untung yang berlipat ganda terus
menerus diangkut dari Indonesia keluar negeri.
Selain dari proses pengeringan ini, pertentangan sosial
dipertajam oleh perbedaan bangsa dan apa saja yang
bersangkutan dengan hal itu. Kaum kapitalis berbahasa lain dari
rakyat dan pemerintah bukan pemerintah rakyat. Kaum kapitalis
dan pemerintah memeluk agama lain, mempunyai kesusilaan dan
kebiasaan lain, serta ideologinya berbeda dengan rakyat. Dalam
pergaulan sehari-hari antara kapitalis dan buruh, antara
pemerintah dan rakyat, yang tersebut tadi penting sekali.
Kapitalis Belanda tidak mengenal buruhnya, pemerintah Belanda
mengenal rakyatnya. Bukan dia tak ingin mengenal rakyat.
Meskipun dia sekiranya mau berbuat serupa itu, tidaklah mudah
bagi Belanda akan menyelami batin penghuni khatulistiwa ini
sebab mereka tidak menyiapkan faktor-faktor yang perlu, seperti
pendidikan, bahasa pergaulan sosial dan kepercayaan rakyat.
Oleh karena itulah, Belanda yang katanya "sopan" kerapkali
mengeluarkan kata-kata yang kotor terhadap bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia tidak akan menyukai pemerintah Belanda.
Sebagaimana Filipina yang tak langsung merasakan kekuasaan
Gubernur Jenderal Amerika dan boleh dikatakan tidak mendapat
64
kesusahan dari pembesar-pembesar Amerika, masih saja terus
mereka menuntut kemerdekaannya, demikian jugalah bangsa
Indonesia-selatan akan tetap menagih kemerdekaan yang mutlak
dan seluas-luasnya. Sebagaimana seorang manusia tak suka di-ganggu dan dikuasai oleh orang lain, demikian pula rakyat.
Mereka lama-kelamaan tak akan membiarkan dirinya dijajah atau
dikuasai oleh bangsa lain.
Terserah kepada kita memperhatikan, apakah pertentangan
Belanda kapitalis dan Indonesia buruh akan tetap selama-lamanya atau sementara waktu saja!
Pertentangan ini lambat laun berkurang bila pemerintah
sekarang, bukan nanti, mengadakan perubahan besar, perbaikan
ekonomi, politik dan sosial yang memperbaiki keadaan seluruh
rakyat Indonesia.
Hak ini hanya terjadi dengan mendirikan industri baru (kapas,
karet, pabrik-pabrik mesin, perkapalan, tambang dan lain-lain),
membuka pertanian besar-besar dan memperbanyak jalan-jalan
raya, mendirikan koperasi rakyat dengan bunga yang rendah,
memberi bantuan pikiran dan bahan kepada kaum tani, tanah
kepada bekas-bekas petani yang miskin, menaikan gaji buruh dan
mengurangkan jam bekerja, meringankan atau menghapuskan
pajak dan membesarkan pajak perkebunan atau kebun-kebun
besar, dan industri dijadikan hak bersama, yaitu pemerintah,
memberikan hak dalam pemilihan umum yang seluas-luasnya
kepada bumiputra, mendirikan perwakilan rakyat yang "sejati"
yang daripadanya dipilih satu badan yang bertanggung jawab
sepenuh-penuhnya kepada rakyat Indonesia, menghapuskan
segala badan birokrasi yang tak berfaedah, seperti Raad van
Indie, de Alt gemeene Secretaris dan lain lain.
Tentu tak akan terjadi!
Setengah dari itu pun tak akan terjadi. Taruhlah secara tiba-tiba
imperialis Belanda melemparkan "politik warung kecilnya" dan
mempergunakan politik kolonial sesungguhnya, itu sudah
terlambat! Sekali lagi terlambat! Imperialisme Belanda tak punya
cita-cita, keberanian dan alat-alat untuk mengadakan perubahan
yang berarti sedikit. Ia terlalu "daif" (lemah) untuk
65
melakukannya dan tidak ada pula borjuasi bumiputra modern
dapat membantunya.
Adapun "kapital luar negeri" yang bertitik-titik beberapa dollar
dari wallstreet hanya seumpama beberapa butir kerikil yang
dilemparkan untuk menimbuni jurang yang sangat dalam antara
imperialisme Belanda dan rakyat Indonesia.
Perbaikan radikal seperti di Filipina dapat dan mau Amerika
jalankan, bila ia menerima kekuasaan politik di Indonesia dari
Belanda si tukang warung itu. Jika terjadi yang seperti ini,
Amerika dalam waktu yang singkat niscaya akan datang di
Indonesia dengan beberapa ribu juta rupiah. Tetapi mustahil!
Sebab bertentangan dengan kepentingan dan "kehormatan"
Belanda. Sebab kapital Amerika yang besar di Indonesia akan
mendesak kapital Belanda ke sisi! Dan kalau keuangan terikat,
kapital Belanda tak berarti (dan tukang warung Belanda terpaksa
jadi boneka-boneka Paman Sam).
Tentu saja "Meneerge" tidak mau! Tambahan lagi yang tak
kurang pentingnya, ini berarti kekuasaan ekonomi dan politik
Amerika akan bertambah besar di bagian yang strategis dan
penting sekali di Pasifik. Hal itu tentulah dengan sekuat-kuatnya
akan ditentang oleh Inggris dan Jepang yang dengki, dan
mungkin akan menimbulkan perang dunia yang lama dan
dahsyat.
Oleh sebab itu, bagi Belanda cilik yang enggan musnah, lebih
baik ia berbuat sesukanya sambil menunggu keruntuhannya. Lagi
pula, penjajah lain (Inggris, Amerika dan Jepang) lebih baik
membiarkan Belanda bergumul dengan jajahannya yang mulai
durhaka.
66
VII
KEADAAN POLITIK
1. Tinjauan ke Belakang
"Politik" di Indonesia belum pernah jadi "a common good",
kepunyaan umum rakyat. Paham kenegaraan tak pernah
melewati segerombolan kecil penjajah Hindu atau setengah
Hindu.
Sebagaimana dalam kebanyakan negeri feodalistis di Indonesia,
pemerintahan negeri dipegang oleh seorang raja dan
komplotannya. Seorang raja sesudah berhasil menjalankan peran
"jagoan", lalu mengangkat dirinya jadi raja yang bertuan.
Anaknya yang bodohnya lebih dari seekor kerbau atau seorang
tukang pelesir, di belakang hari, menggantikan ayahnya sebagai
yang dipertuan di dalam negeri. Peraturan turun-temurun ini
"lenyap" apabila seorang "jagoan" baru datang menjatuhkan
yang lama, dari mengangkat dirinya pula jadi raja.
Konstitusi tidak ada yang menentukan penobatan atau
pemaksulan seorang raja dengan menteri-menterinya, serta
menetapkan dengan saksama. Semua kekuasaan dan cakupan
pengaruhnya bersandarkan pada kekerasan dan kemauan raja,
juga kepercayaan dan perhambaan masa. Pemerintahan dari
rakyat, untuk rakyat, rakyat sebagai yang dikatakan Lincoln tak
pernah dikenal di Indonesia.
Kadang-kadang ada seorang rajalela yang "agak adil" di
panggung politik. Akan tetapi, hal ini adalah suatu perkecualian,
kebetulan dan keluarbiasaan. Tidak ada yang dapat dilakukan
rakyat jika tiada raja yang begitu selain berontak. Indonesia
hanya mengenal pemerintahan beberapa orang dan tak pernah
mengenal hukum-hukum yang tertulis.
Keadaan di Minangkabau sedikit berlainan. Pemerintahan oleh
adat diserahkan kepada wakil-wakil rakyat para penghulu, yakni
67
datuk-datuk. Mereka mesti memerintah menurut undang-undang
tertentu. Kekuasaan tertinggi bernama "mufakat" yang diperoleh
dari perundangan dalam satu rapat.
Tiap-tiap rapat mesti terbuka seluas-luasnya dan menurut
kebiasaan yang pasti. Laki-laki dan perempuan dalam rapat
mempunyai hak bicara sepenuh-penuhnya yang dengan cara
bagaimanapun tak boleh dikurangi. Baik terhadap perkara daerah
atau nasional, "undang-undanglah" yang berkuasa setinggi-tingginya.
Akan tetapi, keadaan seperti itu terdapat di Minangkabau saja,
yaitu daerah kecil terpencil di Kepulauan Indonesia. Oleh sebab
itulah, orang di sana tidak seberapa terpengaruh oleh Hindu dan
Arab, pendeknya, dalam hal politik.
Meskipun orang Belanda, andaikata ingin memperlakukan rakyat
Indonesia dengan hormat seperti terhadap sesamanya, misalnya
seperti di bagian lain-lain dari Indonesia, dalam merancang dan
menjalankan undang-undang dan dalam membentuk dan
memaksulkan pemerintah, "rakyat tidak boleh campur tangan".
a. Pokok Undang-Undang Minangkabau
"Anak kemenakan beraja kepada penghulu,
Penghulu beraja kepada mufakat.
Mufakat beraja kepada alur dan patut".
Demikian pula halnya di Kerajaan Poko-Dato, Sriwijaya,
Majapahit dan Mataram.
Karena rakyat tidak campur tangan dalam pemerintahan negeri,
dapatlah Kompeni Hindia-Timur menaklukkan atau
berkompromi dengan raja-raja Indonesia, dan mendapat
kekuasaan sedikit ke sedikit, dan akhirnya seluruh Indonesia
jatuh ke tangannya.
68
b. Perwakilan Rakyat atau Soviet
Selama penjajahan Belanda, terlahir nisbah sosial yang lambat
laun meminta pemecahan atas soal susunan negara tetapi
pemerintahannya belum tentu secara parlemen atau Soviet.
Parlementarisme di negeri-negeri Barat dilahirkan oleh kaum
borjuis sewaktu kekuasaan sewenang-wenang merajalela di sana
dan kaum borjuis dengan perniagaan dan industrinya yang
semakin maju merasa digencet dalam memperbesar
perusahaannya, oleh raja-raja feodal: yang merintangi dengan
pelbagai cukai dan pajak yang tinggi-tinggi, sementara borjuasi
tidak mempunyai hak politik. Dalam keadaan begitulah lahir
Magna Charta, Cromwellisme, dan Revolusi Prancis. Selanjutnya
Voltaire, pemimpin borjuasi yang hebat habis-habisan
menggempur agama Katholik dan pendeta-pendetanya, lalu ia
mengajarkan paham "atheis" (memungkiri Tuhan).
Rousseau menentang autokrasi dengan demokrasi dan untuk
menentang pemerintahan turun-temurun, diajarkannya "kontrak
sosial", yakni satu pemerintahan yang mengadakan kontrak
dengan rakyat. Menurut ajaran Rousseau, seorang raja hanya
boleh memerintah selama ia berbuat sesuai perjanjian; rakyat
harus menentangnya bila perjanjian itu dilanggar.
Karena borjuasi Prancis merasa kurang kuat melawan kekuasaan
raja, bangsawan dan pendeta, bersatulah mereka dengan massa
revolusioner, yaitu kaum buruh dan tani. Akan tetapi, massa ini
tidak boleh berkuasa. Mereka semua hanya dipakai sebagai
umpan meriam dalam revolusi borjuasi, sedang kekuasaan
dipegang oleh kaum borjuis. Dengan semboyan "Liberte, Egalite,
dan Fraternite" yang sekarang jadi demokrasi, liberalisme dan
parlementarisme, mereka dapat merobohkan pemerintah
feodalistis.
Sesudah memperoleh kekuasaan politik, "demokrasi borjuasi"
menunjukkan dirinya. Biarpun dalam negara parlementer, seperti
Inggris, Prancis dan Amerika, tiap rakyat diberi hak dalam
69
pemilihan, tetapi kaum buruh dan si miskin di sana (orang yang
terbesar jumlahnya) senantiasa tidak dapat mempertahankan
calon-calonnya dalam pemilihan parlemen sebab mereka
terkurung di dalam pengaruh pikiran borjuis yang dikembangkan
di sekolah-sekolah, gereja, surat-surat kabar, dan terlebih lagi,
karena mereka kekurangan alat-alat propaganda (ruangan rapat,
koran dan brosur yang semuanya mahal).
Borjuis dengan profesor, jurnalis, pendeta dan kaum diplomatnya
yang bergaji besar, dapat memperoleh kemenangan waktu
pemilihan parlemen.
Karena anggota-anggota parlemen memegang jabatannya selama
tiga atau empat tahun, hubungan antara si pemilih dengan yang
dipilih sangat renggang. Mereka berhadapan dengan rakyat di
waktu pemilihan saja, dan itulah yang menyebabkan wakil tadi
menjadi birokrat sejati. Oleh karena perceraian Majelis Rendah
dan Majelis Tinggi (badan yang membuat undang-undang)
dengan kabinet (badan yang menjalankan undang-undang)
jatuhlah kekuasaan yang sesungguhnya ke tangan kantor-kantor
yang selalu berhubungan rapat dengan bank-bank. Begitulah
akhirnya, asas demokrasi dan aturan parlementer ditelan oleh
tuan-tuan besar bank (Morgan di Amerika, Locheur di Prancis,
dulu Stinnes di jerman), itulah "demokrasi resmi": terbentuk
karena dana.
Begitulah, demokrasi yang sebenarnya di masa ini menjadi
diktator dari borjuasi (Cromwellisme, Napoleonisme dan
sekarang berupa Pascisme) yang bersembunyi di belakang pers,
sekolah, gereja dan bertopeng parlemen dalam ketenangan masa
kecerdasan kapitalisme Dan kekuasaan politik yang sebenar-benarnya, seperti ekonomi, selamanya di tangan borjuasi.
Sovietisme dan parlementarisme sudah saya uraikan dalam
brosur "Parlemen atau Soviet" (dicetak tahun 1911) Oleh sebab
itu, di sini hanya pokok-pokoknya yang saya uraikan.
70
Di zaman pergerakan proletar dan revolusi ini, kaum buruh yang
tak mau damai itu mengemukakan segala pertentangan dan
pendiriannya terhadap kekuasaan kaum. borjuis, seperti borjuasi
merobohkan kaum feodalis dalam perjuangan rohani dan jasmani
selama 100 tahun (1740-1848).
Peraturan ekonomi komunis dipertentangkan dengan kapitalis,
diktator buruh dengan diktator borjuis, Sovietisme dengan
Parlementarisme.
Sebagaimana parlemen adalah ciptaan borjuasi, Soviet adalah
ciptaan diktator buruh yang dengan pertolongan kaum tani
menguasai borjuasi. Jadi Soviet adalah alat politik di tangan
kaum buruh yang diadakan sebelum atau selama revolusi. Soviet
itu merupakan keadaan politik yang membelokkan masyarakat
kapitalisme ke arah komunisme dengan jalan nasionalisasi segala
alat-alati produksi serta mengurus sekalian produksi dan
distribusi secara komunistis.
Badan-badan ekonomi, politik dan pendidikan yang dibentuk
selama pemerintahan diktator itu, dipakai bukan saja untuk
melemahkan dan menghancurkan borjuasi di gelanggang politik,
ekonomi, dan ideologi, melainkan juga untuk mencerdaskan
semua tenaga masyarakat ke arah komunisme.
Sementara buruh mengadakan diktator terhadap borjuis, di dalam
kelasnya sendiri sudah ada demokrasi yang sesungguhnya. Ia
berkekuasaan politik yang sebenarnya sebab ia menguasai semua
alat produksi dan distribusi. Tambahan lagi, ia akan mempunyai
semua alat penyebar semangat, seperti sekolah, surat kabar
dengan secukupnya.
Soviet berikhtiar menghancurkan "birokrasi" yang biasa terdapat
dalam susunan parlementer. Supaya tercapai maksud ini
dijalankan tindakan-tindakan berikut ini.
71
(1) Waktu pemilihan dipersingkat.
(2) Hubungan si pemilih dengan yang dipilih didekatkan dan si
penyusun undang-undang dengan si pelaksana disatukan dan
dibentuk satu badan yang sama-sama membuat dan menjalankan
undang-undang.
(3) Wakil-wakil itu kapan saja boleh diangkat dan diberhentikan.
(4) Ke dalam pemerintahan sedapat mungkin dimasukkan kaum
buruh.
Kaum buruh yang berkesadaran tinggi, yang seharusnya
memegang pemerintahan negeri karena kaum borjuis akan selalu
berdaya upaya menuntut kekalahannya yang dulu dirampas oleh
buruh, dan hal ini tentulah dijalankan mereka dengan
kontrarevolusi. Mereka ini disusun dalam partai komunis.
Menurut keadaan itu, nanti kekuasaan politik diperas sampai
kepada buruh-buruh berorganisasi dan serikat sekerja dan
akhirnya ke seluruh kaum buruh.
Semestinya, tiap-tiap kelas yang revolusioner hendaknya
merampas dan mempertahankan semua kekuatan politik. Karena
kalau ketentaraman politik di tiap negeri sudah kokoh, dapatlah
usaha-usaha ekonomi dijalankan dan, bersama dengan itu,
hiduplah demokrasi ang sesungguhnya.
Indonesia belum pernah mengenal "demokrasi". Dan arena
borjuasi bumiputra yang kuat tak ada, buat sementara waktu,
Indonesia tidak akan berkenalan dengan demokrasi itu. Semua
daya upaya untuk memperolehya tidak akan berhasil, dan boleh
dikatakan bahwa semua cita-cita seperti itu — diktator —
demokrasi borjuis - adalah tidak mungkin. Hanya kelas buruh
Indonesia aja yang dapat memegang diktator (bila ia tetap insaf
dan bekerja). Ia menguasai kehidupan ekonomi.
72
Dan di waktu sekarang, buruh merupakan salah satu kelas yang
mempunyai organisasi yang terkuat di Indonesia. Kita tak usah
menyesal bila kita langkahi zaman “demokrasi tipuan” itu!
Kekokohan politik Republik Indonesia dapat dipertahankan oleh
diktator buruh yang kekuasaan semangatnya terkandung dalam
satu partai revolusioner yang "kuat". Lama-kelamaan kekuasaan
politik dapat diperluas kepada tiap-tiap buruh Indonesia.
2. Dewan "Rakyat" Kita!
Perbuatan birokrasi yang buruk dan kemunafikan besar! Sungguh
hanya pada bangsa Filistin dahulukah kita dapati kekerasan dan
kecurangan seperti sekarang ini?
Di manakah rakyat yang berdiri di belakang Dewan Rakyat itu?
Dan apakah yang sudah diperbuat Dewan Rakyat yang mahal itu
untuk rakyat? Di antara 48 orang anggota, 20 orang adalah
bangsa Indonesia dan 28 orang asing yang mewakili kapital
asing. Dengan keadaan demikian sia-sialah semua ikhtiar
anggota akan mendapat kemenangan suara.
Andaipun dewan itu adalah dewan yang sesungguhnya,
sebenarnyalah dewan itu tak dapat berbuat sesuatupun sebab
semua nasihatnya boleh dibuang ke dalam keranjang sampah
oleh orang yang berkuasa (Dewan Rakyat bukanlah badan
pembuat undang-undang, melainkan badan penasihat).
Jumlah anggota bangsa Indonesia terlalu kecil dan, oleh sebab
itu, mereka tak dapat menyatakan kehendak rakyat. Jika kita
ingat negara Belanda yang jumlah penduduknya 7,000,000
mempunyai 100 orang anggota Tweede Kamer (anggota Eeste
Kamer tidak masuk), niscaya Indonesia yang jumlah
penduduknya 55,000,000 sepatutnya secara parlemen
mempunyai sekurang-kurangnya 600 orang anggota.
Di antara 20 orang anggota Indonesia yang ada di dalam dewan
itu tak seorangpun yang betul-betul wakil rakyat atau dipilih
rakyat, apalagi untuk rakyat. Delapan orang diangkat oleh
Gubernur Jenderal dan kebanyakan dari mereka ini pemburu
pangkat, seperti wakil Sumatera, Demang Loetan, dan dari Jawa,
Dawidjosewojo. Atau mereka itu seperti anak bengal politik
73
seperti contoh yang sebaik-baiknya, ditunjukkan oleh yang
dipertuan Tuan Soetadi. Anggota lain-lainnya dipilih oleh rapat-rapat gementee (PEB), bukti ini cukup terang! Tak ada
faedahnya dalam buku ini kita tuliskan semua kebusukan
birokrasi Belanda. Pun tak ada faedahnya bagi kita, kaum
revolusioner, mengeritik dengan sungguh-sungguh semua usul-usul yang diperbincangkan atau yang telah diterima oleh dewan
itu. Jika kita tak mau diperdaya oleh nama-nama yang bagus dan
janji yang manis-manis dari pemerintah ini, dapatlah kita
menyimpulkan semua politik kolonial Belanda sebagai berikut.
1. Bangsa Indonesia yang 55,000,000 itu tak mempunyai hak
bersuara tentang politik.
2. Kapitalis besar memerintah dengan perantaraan kaum birokrat
yang tak punya hati dan militeris yang picik.
3. Dewan Rakyat itu "seekor lintah" yang melekat di punggung
rakyat Indonesia.
3. Harapan kepada Badan Perwakilan Rakyat.
Adakah harapan bagi Indonesia kelak akan memperoleh
semacam Badan Perwakilan Rakyat? Jawab yang pasti: "tidak".
Mendirikan Badan Perwakilan Rakyat selama pertentangan
sosial dan kebangsaan seperti sekarang, berarti matinya
imperialisme Belanda atau" hancur" mesin politiknya.
Hal ini harus diketahui oleh tiap-tiap bangsa Indonesia!
Ini bukan soal "matang" atau "mentahnya" bangsa Indonesia
melainkan, seperti yang sudah berulang-ulang kita uraikan di
bagian lain dalam buku ini, disebabkan oleh ketiadaan borjuasi
bumiputra modern, yang kepentingan ekonominya sedikit banyak
sama dengan borjuasi imperialistis-kapitalistis.
Kalau di masa sekarang wakil-wakil dari seluruh atau sebagian
rakyat Indonesia dipilih oleh orang Indonesia dengan pemilihan
yang sebebas-bebasnya niscaya dengan segera akan menghadapi
masalah kelas. Jika mereka tak suka menipu si pemilih, wakil-wakil mereka seharusnya mengangkut masalah perbaikan
ekonomi, sosial dan politik untuk melawan kapital besar. Hal ini
bukanlah perbaikan kecil-kecilan yang dijalankan perlahan-lahan
74
oleh kaum birokrat, melainkan perubahan radikal yang
dikerjakan dengan cepat dan praktis di bawah pimpinan dan
pengawasan wakil-wakil rakyat.
Sebagai misal pencuri-pencuri seperti pada Perusahaan Beras di
Selat Jaran dan perusahaan pemerintah yang lain semestinya
tidak dihukum dengan pemecatan yang "tidak terhormat" seperti
yang biasanya dilakukan pada pencuri kecil-kecil. Tuan-tuan
yang berbuat begitu yang digaji oleh rakyat tapi merusakkan
perusahaan rakyat, semuanya harus digantung "dengan hormat".
Jika kelak wakil-wakil rakyat dapat mengadakan islah yang
nyata, rakyat akan merasa, bahwa material dan moral mereka
sungguh bertambah maju, dan soal "bendera" (terjajah atau
terlepas dari Belanda) akan dilupakan sementara waktu. Bukan
karena soal itu tidak penting melainkan karena kesukaran yang
besar-besar dapat disingkirkan dan cita-cita politik sebagian
besarnya dapat diwujudkan.
Kita tidak akan memperbincangkan hal bentuk pemerintahan
yang akan diadakan seperti yang digambarkan di atas. Soal itu
adalah soal angan-angan dan susunan pemerintahan negeri yang
disandarkan kepada "pertimbangan teoretis" belaka.
Pati soal itu, apakah imperialisme Belanda akan sanggup kelak
mengadakan islah-islah yang nyata? Jika sekali lagi kita ingat
jurang pertentangan Belanda-kapitalis dengan buruh Indonesia,
ketiadaan borjuasi bumiputra, kelemahan dalam hal keuangan
dan kepicikan politik imperialis Belanda, pertanyaan itu tanpa
menanggung risiko besar dapat kita jawab dengan "mustahil!"
Kesimpulannya, segala kerewelan tentang perubahan
pemerintahan negeri di Indonesia yang sekarang sedang ramai
diperbincangkan oleh orang-orang pintar dan birokrasi Belanda
itu membuang-buang waktu percuma. Jika rakyat Indonesia satu
waktu memperoleh Badan Perwakilan Rakyat, niscaya ini bukan
"karunia dari atas" melainkan disebabkan "desakan kuat" dari
bawah.
75
VIII
REVOLUSI DI INDONESIA
1. Kemungkinan Besar Akan Timbulnya Revolusi
Masalah politik, ekonomi dan sosial yang mungkin menimbulkan
revolusi di Indonesia rasanya tak perlu kita kupas lagi, karena
sudah beberapa kali kita terangkan di atas. Cukuplah
dikemukakan kesimpulan yang di bawah ini.
1. Kekayaan dan kekuasaan sudah tertumpuk ke dalam
genggaman beberapa orang kapitalis.
2. Rakyat Indonesia semuanya makin lama semakin miskin,
melarat, tertindas dan terkungkung.
3. Pertentangan kelas dan kebangsaan makin lama semakin
tajam.
4. Pemerintah Belanda makin lama semakin reaksioner.
5. Bangsa Indonesia dari hari ke hari semakin bertambah
kerevolusionerannya dan tak "mengenal damai".
Karena dugaan bahwa imperialis Belanda dengan tiba-tiba
menjadi cerdas, cerdik dan sanggup mengadakan islah-islah yang
merugikan kapitalis besar dapat dipandang sebagai khayal dalam
"Cerita Seribu Satu Malam" maka proses revolusi yang
berlangsung sekarang tidak akan tertahan. Sebaliknya, perjalanan
makin lama semakin pesat dan tiap-tiap waktu pecahnya revolusi
boleh diharapkan.
Apalagi sebagian dari revolusi itu sudah terbukti. Beberapa
pemberontakan yang pecah dengan sendirinya di Jawa dan
Sumatera selama 300 tahun dalam "keberkahan" imperialisme
Belanda adalah akibat perbenturan kelas dan kebangsaan yang
pada mulanya berupa pemberontakan agama. Juga kekacauan
politik semenjak 15 tahun, ini berupa berbagai hasutan dan aksi
dan yang lebih jelas berupa niatan dan perbuatan anarkis di Jawa
76
dan pembunuhan atas pegawai-pegawai Pamong Praja di
Sumatera Barat yang melunturkan kepercayaan terhadap
kekebalan imperialisme Belanda, semuanya tergolong akibat
perbenturan kelas dan kebangsaan.
Akan tetapi, perbenturan besar antara kelas dan kebangsaan yang
dahsyat, pecah semata-mata karena pertentangan itu sendiri dan
bersifat modern, yaitu berupa "revolusi", belum terjadi di
Indonesia!
Kelak ia pasti melanda seluruh kepulauan ini dan meletus-letus
dengan sendirinya.
2. Sifat Revolusi Indonesia yang Akan Timbul
Bagaimana rupa revolusi itu? Apakah sifat-sifatnya yang
ditunjukkan bila ia meletus besok atau lusa? Inilah yang harus
kita, sebagai revolusioner, tanyakan kepada diri sendiri dan
menjawabnya sekali, jika kita mau menjauhi politik "terombang-ambing" seperti Douwes Dekker dan Tjokroaminoto. Menurut
jawaban atas pertanyaan itu, kita tempa alat-alat revolusi, yaitu
program organisasi dan taktik kita.
Pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia
merupakan syarat terutama untuk mendapat perkakas revolusi.
Hal itu pulalah yang menjadi syarat pertama yang mendatangkan
kemenangan revolusi kita.
Jika pengupasan itu tidak sempurna atau kita keliru dengan
ramalan dan kesimpulan kita, kemenangan itu tidak akan pasti
atau sebentar saja. Kita tak mempunyai horoskop yang dapat
melihat peristiwa yang bakal terjadi layaknya ahli nujum
meramalkan kehidupan seseorang di kemudian hari. Akan tetapi,
dengan Marx dan Lenin sebagai penunjuk jalan dapatlah kita
tentukan sedikit garis-garis besar dari revolusi di Indonesia
(melihat tingkat kecerdasan kapitalisme pada waktu ini).
77
Tentulah revolusi itu akan berbeda dengan "Pemberontakan
Maroko". Hal ini benar sekali sebab Indonesia tenaga
produksinya lebih tinggi (industri, pertanian, pengangkutan dan
keuangan yang besar kuat) daripada negeri tani kecil dan
gembala domba seperti Maroko. Juga Indonesia, terutama Jawa,
tidak berpegunungan yang dapat didiami dan gurun pasir luas
tempat kaum revolusioner menyembunyikan diri bertahun-tahun
untuk kemudian setiap saat dapat meneruskan perang gerilya.
Dan lagi, ia tak akan berupa revolusi proletar sejati seperti di
Jerman, Inggris dan Amerika (yang penduduknya sebagian besar
terdiri dari kaum buruh) karena kapital Indonesia masih terlalu
muda, belum subur dan masih lemah. Oleh karena itu, kaum
buruh kita kalau dibandingkan dengan kaum buruh di negeri
Barat, jauh ketinggalan, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Tambahan pula, keadaan kaum yang bukan buruh yang juga akan
turut mengadakan revolusi masih ada di dalam zaman revolusi
borjuasi dan revolusi nasional.
Revolusi kita juga tidak akan menyamai revolusi borjuasi seperti
di Prancis tahun 1789 karena borjuasi kita masih terlampau
lemah dan feodalisme sebagian besar sudah dimusnahkan oleh
imperialisme Belanda. Juga ia tidak akan menyamai Revolusi
Prancis tahun 1870 karena kita agaknya mempunyai tenaga-tenaga produksi lebih cerdas, tambahan lagi nisbah sosial sangat
berlebihan.
Akan berlainan pula ia dengan Revolusi Rusia yang
feodalismenya boleh dikatakan lemah dan borjuasinya muda
yang oleh perang bertahun-tahun menjadi sangat mundur,
sedangkan kaum buruhnya muda, gembira dan dididik menurut
aturan Lenin. Kita harus berjuang melawan imperialisme Barat
meskipun kecil, ia tak boleh diabaikan sebab ia mempunyai tipu
kelicinan dan suka menjadi "pelayan" imperialisme Inggris yang
besar itu.
Ia akhirnya tidak akan menjadi revolusi politik semata-mata
seperti yang biasa akan terjadi di India, Mesir dan Filipina, yaitu
78
borjuasi bumiputra merebut kekuasaan politik saja (kekuasaan
parlemen) karena kapitalis nasionalnya kuat dan kaum
intelektualnya sudah lebih banyak daripada di Indonesia.
Revolusi Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa
feodalisme dan sebagian yang terbesar menentang imperialisme
Barat yang lalim. Ia juga didorong oleh kebencian bangsa Timur
terhadap bangsa Barat yang menindas dan menghina mereka.
Pati revolusi (sekurang-kurangnya di Jawa) harus dibentuk oleh
kaum buruh industri modern, perusahaan dan pertanian (buruh
mesin dan tani). Benteng-benteng politik, terutama ekonomi
imperialisme Belanda, hanya dapat dipukul oleh kaum buruh. Di
sekitar kaum bumi itu berbaris kaum borjuasi kecil yang mundur
maju tak pungguh hala (Kaum borjuis akan menurut bila mereka
tahu akan memperoleh kemenangan; itu pun di belakang sekali.
Pun kalau mereka sungguh suka turut. Lebih dari itu "tidak" dan
jangan diharap).
Revolusi Indonesia yang memperoleh kemenangan akan
mendatangkan perubahan yang tepat dalam perekonomian,
politik dan sosial pada waktu kecerdasan kapitalistis menghadapi
krisis. Bila kaum buruh kita tetap giat, dapatlah mereka
memegang peran yang terpenting.
79
IX
PERKAKAS REVOLUSI KITA
Dengan pelbagai ragam suara, dalam keadaan yang berbeda-beda
dan oleh berbagai golongan rakyat, tujuan politik kita sudah
dinyatakan yaitu kemerdekaan nasional. Tentang tujuan akhir ini,
orang di seluruh Indonesia telah bulat sepakat. Hanya tentang
jalan yang akan ditempuh serta alat-alat yang akan dipakai,
berlain-lainan pendapat orang.
Pertukaran susunan negara feodalistis ke kapitalistis yang cepat
dan tidak sesuai dengan kemauan alam menyebabkan bangsa
Indonesia berubah cepat cara berpikirnya. Tetapi, perubahan cara
berpikir ini biasanya tertinggal dari perubahan ekonomi.
Umumnya bangsa kita secara lahiriah tampak modern sesuai
dengan zaman kapitalis tetapi cara berpikirnya masih kuno,
masih tinggal di zaman dahulu, seperti masih menganut
Mahabarata, Islam, dan berbagai macam takhayul dan
kepercayaan kepada hantu, jin, kesaktian gaib, batu keramat dan
lain-lain. Mereka masih terus seperti anak-anak dan berpikiran
fantastis.
Kekalahan dalam persaingan ekonomi dengan kapital Barat yang
lebih kuat itu menyebabkan terbitnya pikiran tidak betul dan
anarkistis (melanggar peraturan) tidak melihat sesuatu dalam
sifatnya yang sebenarnya. Ini terjadi terutama di kalangan
penduduk dusun-dusun kecil yang baru dikalahkan dan digencet
dan sebagian dari kaum buruh industri dan pertanian yang masih
muda yakni mereka yang baru dirampas miliknya.
Sebagaimana perbedaan tingkat dalam industrialisasi demikian
pulalah perbedaan pikiran penduduk di berbagai daerah di
Indonesia. Kita tunjukkan saja perbedaan kemajuan pikiran
antara penduduk Jawa dan saudara-saudara kita di Halmahera,
atau antara saudara-saudara yang ada di Surabaya dan Semarang
yang telah sadar itu dengan penduduk desa yang tidak
berindustri. Di mana kapitalisme tumbuh, serta berurat-berakar,
80
di sana mulai hiduplah rasionalisme dan pikiran yang sehat serta
lenyaplah dengan perlahan-lahan kepercayaan kepada segala
takhayul. Jadi, psikologi dan ideologi jiwa dan akal rakyat
bangsa Indonesia sejalan dengan kecerdasan kapitalisme yang
senantiasa berubah-ubah. Yang lama lenyap dan yang baru
menjadi cerdas.
Sukar sekali membawa sekalian perbedaan pikiran yang sedang
dalam transformasi itu kepada satu cita-cita yang sama
membangun dan tak berubah. Karena itu pekerjaan yang berat
sekali bagi kaum revolusioner akan membawa seluruh rakyat
Indonesia kepada garis-garis yang sesuai dan selaras dengan
aksi-aksi marxistis. Ia mudah tergelincir menjadi tindakan cari
untung, anarki, dan mempercayai jimat-jimat.
Sampai waktu ini belum ada satu partai yang pandai menarik
satu garis yang cocok dengan keadaan-keadaan yang ada di
Indonesia dan memimpin rakyat kita di sepanjang garis itu.
Beberapa partai berturut-turut tersesat di jalan yang tidak
membawa ke tujuan.
Mempercayai jalan parlementer yang tenteram, yakni meretas
jalan kemerdekaan Indonesia dengan cara berebut kursi dalam
Dewan Rakyat dan meminta-minta supaya diberikan kekuasaan
politik, kita namai "percobaan untung-untungan" yang
menyesatkan. Percobaan ini hanya dapat dipikirkan secara
teoretis dan praktis di dalam negeri jajahan yang mempunyai
borjuasi bumiputra. Kerja bersama yang jujur dengan golongan
penjajah Belanda di luar atau di dalam Dewan Rakyat adalah
pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia.
Tidak dimaksudkan bahwa kita selamanya membelakangi Dewan
Rakyat. Sebaliknya, bila besok atau lusa kita mendapat
kesempatan melalui jalan pemilihan yang langsung untuk
menduduki Dewan Rakyat, kewajiban kitalah memasukinya.
Sungguh kita berbuat keliru dan penakut bila tidak bertindak
begitu. Tetapi, belum semenit juga kita bermaksud bekerja
bersama di dalam Dewan Rakyat dengan perampok gula, pencuri
81
minyak dan penyamun getah, kita terpaksa memasukinya,
menentang, melakukan aksi oposisi dengan penuh keberanian,
dan memecahkan topeng mereka. Kita pergunakan Dewan
Rakyat sebagai "Pengadilan Rakyat" dan kita rintangi tindakan
pemerintah dari dalam. Dengan berbuat demikian, dapatlah kita
sekadarnya mendidik rakyat yang tak boleh menulis dan bicara
politik di luar Dewan Rakyat itu.
Mempergunakan cara yang sangat bertentangan dengan yang
tersebut di atas, kita anggap suatu kebodohan pula karena lebih
banyak merugikan usaha kemerdekaan seperti yang dipikir-pikirkan oleh kebanyakan bangsa kita. Selama seorang percaya
bahwa kemerdekaan akan tercapai dengan jalan "putch" atau
anarkisme, hal itu hanyalah impian seorang yang lagi demam.
Dan pengembangan keyakinan itu di antara rakyat merupakan
satu perbuatan yang menyesatkan, sengaja atau tidak.
"Putch" itu adalah satu aksi segerombolan kecil yang bergerak
diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak.
Gerombolan itu bisanya hanya membuat rancangan menurut
kemauan dan kecakapan sendiri tanpa memedulikan perasaan
dan kesanggupan massa. Ia sekonyong-konyong keluar dari
guanya tanpa memperhitungkan lebih dulu apakah saat untuk
aksi massa sudah matang atau belum. Dia menyangka bahwa
semua lamunannya tentang massa adalah benar sepenuhnya. Dia
lupa atau tak mau tahu bahwa massa hanya dengar berturut-turut
dapat ditarik ke aksi politik yang keras (secara modern!) dan
pada waktu sengsara serta penuh reaksi yang membabi buta.
"Tukang-tukang putch" lupa bahwa pada saat revolusi ini kapan
aksi massa berubah menjadi pemberontakan bersenjata tak dapat
ditentukan berbulan-bulan lebih dulu, sebagaimana yang dapat
dilakukan oleh seorang "tukang-tenung". “Revolusi timbul
dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai macam keadaan".
Bila tukang-tukang "putch" pada waktu yang telah ditentukan
oleh mereka sendiri, keluar tiba-tiba (seperti Herr Kapp tukang
"putch" yang termasyhur itu), massa tidak akan memberikan
pertolongan kepada mereka. Bukan karena massa bodoh atau
tidak memperhatikan, melainkan karena "massa hanya berjuang"
82
untuk kebutuhan yang terdekat dan sesuai dengan kepentingan
ekonomi.
Tiada satu kemenangan politik pun, hingga sekarang, yang
diperoleh massa (bukan oleh segerombolan militer!) jika tidak
dengan aksi ekonomi atau politik! Kerapkali pada awalnya orang
melalui jalan yang sah. Akan tetapi, karena tukang-tukang putch
keluar dari jalan yang sah, yaitu tiba-tiba memakai kekerasan
senjata penggempur pemerintah maka 99 dari 100 kejadian,
mereka ditinggalkan oleh massa sebab mereka dari mula sudah
memencilkan diri dari massa. Demikian juga, 99 dari 100
kejadian, "komplot" putch dapat diketahui musuh. Rancangan
putch selamanya bocor karena setengah anggotanya tidak sabar
dan mereka ceramah atau karena pengkhianatan anggota yang
ketakutan. Atau gerakan mereka dapat dicium mata-mata yang
mondar-mandir di mana-mana.
Membuat putch di negeri, seperti Indonesia (terutama di Jawa),
di tempat kapital dipusatkan dengan rapinya dan dilindungi oleh
militer dan mata-mata ala Barat yang modern – sebaliknya,
rakyat masih mempercayai yang gaib-gaib, takhayul dan
dongeng – samalah artinya dengan "bermain api": tangan sendiri
yang akan hangus. Kaum anarkis yang biasanya berkata bahwa
kekuasaan Barat yang kokoh ini dapat dirobohkan dengan
beberapa butir telur "yang meletup" tidak lebih cerdik daripada
seorang yang menembak batu dengan kepalanya.
Hanya "satu aksi massa", yakni satu aksi massa yang terencana
yang akan memperoleh kemenangan, di satu negeri yang
berindustri seperti Indonesia!
Aksi-Massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch
atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan.
Aksi-massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi
kehendak ekonomi dan politik mereka. Ia disebabkan oleh
kemelaratan yang besar (krisis ekonomi dan politik) dan siap,
bilamana mungkin, berubah menjadi kekerasan. Sebuah partai
yang berdasarkan aksi massa yang tersusun pasti mampu
83
membawa aksi massa yang memecah pelabuhan yang tenang dan
aman.
Sebagian dari aksi massa menunjukkan dirinya dengan
"pemogokan atau pemboikotan". Bila buruh yang berjuta-juta
meletakkan pekerjaannya dengan maksud tertentu (menuntut
keuntungan ekonomi dan politik) niscaya kerugian dan kekalutan
ekonomi akibat aksi mereka dapat melemahkan kaum penjajah
yang keras itu.
Menurut kekuatan dan kemenangan kita pada waktu itu, dapatlah
kita memperoleh hak-hak politik dan ekonomi. Di India
pemboikotan itu ternyata adalah pisau bermata dua. Di satu pihak
ia sangat merugikan importir Inggris, di lain pihak ia memajukan
perdagangan bumiputra. Di Indonesia ketiadaan kapital besar
bumiputra yang penting itu memberatkan pemboikotan terhadap
perdagangan asing.
Bukan saja kekuasaan besar itu disebabkan oleh ikhtiar
mengumpulkan kapital yang diperlukan, tapi juga meneruskan
pemboikotan itu. Kita mudah memperkirakan bahwa
pemboikotan nasional Indonesia yang hebat dan keras sangat
dibenci dan dimusuhi oleh imperialis Belanda yang buas, seperti
dia membenci pemogokan umum.
Akan tetapi, pemboikotan di Indonesia bukanlah pekerjaan
mustahil. Di Pulau Jawa dan di luarnya bukankah banyak kapital
bumiputra kecil-kecil yang kalau dikumpulkan ke dalam koperasi
nasional dapat melahirkan kapital yang sangat besar. Tapi ikhtiar
yang serupa itu terlalu banyak meminta kesadaran, keaktifan dari
seluruh lapisan penduduk Indonesia.
Pemboikotan pajak yang dianggap menjadi aksi itu di India tidak
pernah dilakukan karena kekuatiran borjuasi terhadap akibat
revolusioner. Di Indonesia pemboikotan pajak adalah sebuah
senjata ekonomi politik yang sangat sakti.
84
Tetapi, perbuatan seperti itu berarti "melanggar undang-undang"
dan hanya terjadi dalam keadaan-keadaan revolusioner di bawah
pimpinan satu partai revolusioner yang kuat betul.
Bagian politik dari aksi massa menunjukkan diri dengan
demonstrasi dan di India dengan keengganan kerja bersama
mengandung maksud politik dan ekonomi, menagih
pemerintahan sendiri (home rule) dari imperialisme Inggris.
Bagian politiknya berupa tindakan meninggalkan hal-hal sebagai
berikut:
1. badan-badan pemerintahan;
2. pengadilan pemerintahan;
3. sekolah-sekolah pemerintahan; dan
4. polisi dan tentara.
Tindakan yang keempat, karena takut kepada pemberontakan,
tidak pernah dijalankan. Yang pertama sampai yang ketiga tidak
cukup lama dilakukan dan tak cukup memberi hasil. Apakah di
Indonesia dapat lebih lama dijalankan dan lebih berhasil daripada
di India? Pertanyaan ini akan kita jawab kelak dalam satu
pembicaraan yang khusus.
Demonstrasi politik ditunjukkan dengan massa yang berbaris di
sepanjang jalan raya dan di gedung rapat, dengan maksud
mengajukan protes dan memperkuat tuntutan politik dan
ekonomi dan menunjukkan kepada musuh berapa besarnya
kekuatan kita. "Bila semboyan dan tuntutan" sungguh
diteriakkan oleh massa, demonstrasi politik dapat jadi gelombang
hebat, yang makin lama semakin deras, kuat sehingga
meruntuhkan benteng-benteng ekonomi dan politik dari kelas
yang berkuasa.
Di negeri yang berindustri seperti Indonesia, "aksi-massa", yakni
boikot, mogok dan demonstrasi, boleh dipergunakan lebih
sempurna sebagai senjata yang lebih tajam (di India tidak terjadi
sebab bumiputra yang berkapital takut pada pemogokan umum
85
dan kekuasaan politik dari kaum buruh, ketakutan yang tak
berbeda dengan borjuasi Inggris!).
Bila sebuah partai revolusioner berhasil mengerahkan kaum
buruh yang berjuta-juta agar meninggalkan pekerjaannya dan
yang bukan buruh agar tak mau bekerja sama serta seluruh rakyat
berdemonstrasi untuk menuntut hak ekonomi dan politik tanpa
melempar sebutir kerikil pun kepada pegawai pemerintah,
niscaya akibat politik moral dari aksi itu sangat besar artinya. Ia
akan mendatangkan keuntungan dalam perjuangan politik dan
ekonomi lebih besar daripada seratus Pemberontakan Jambi atau
huru-hara, pembunuhan yang aneh-aneh dan dikerjakan oleh
anggota-anggota "bagian B" dan tukang-tukang putch yang
gagah. Kita tidak boleh melupakan bahwa aksi yang akan kita
lakukan itu sekarang dilarang oleh undang-undang tetapi, tidak
ada alasan bagi kita untuk meninggalkan jalan satu-satunya itu.
Tambahan pula, menjadi pertanyaan besar, apakah pemerintah
dapat mempertahankan larangan itu, sekurang-kurangnya jika
tidak lekas patah arang oleh kekalahan kecil seperti yang sudah-sudah. Hak-hak manusia yang asli seperti mogok (menolak
penjualan tenaga sendiri), boikot (menolak kerja bersama,
membeli atau menjual barang-barang) dan hak berdemonstrasi
(mengumumkan cita-cita) akan lenyap selama-lamanya dari
bangsa Indonesia kalau di belakang tiap-tiap orang Indonesia
berdiri seorang serdadu imperialis yang bersenjata.
Kelebihan aksi massa daripada putch, ialah bahwa dengan aksi
massa perjuangan kita dapat dijaga, sedangkan dengan putch,
kita memperlihatkan iri kepada musuh. Di dalam aksi massa,
pemimpin boleh berjalan sekian jauh menurut kepatutan yang
perlu di waktu ini. Ia selamanya dapat menentukan berapa jauh ia
boleh mengadakan tuntutan politik dan ekonomi tanpa tidak
menanggung kerugian besar (pengorbanan mesti ada dalam tiap-tiap aksi massa). Dan ia tidak kehilangan hubungan dengan
massa. Demikian pun, hubungan antara massa itu sendiri tidak
putus. Dengan serangan sekonyong-konyong, yaitu tindakan
keras tukang-tukang putch yang disengaja terhadap musuh,
86
mereka dari awalnya gampang diserang musuh. Pemimpin aksi
massa dengan memegang "peta perjuangan" di tangannya dapat
mempermainkan musuh dengan jalan maju selangkah-selangkah
dan kemudian sekali menggempur habis-habisan.
Aksi massa membutuhkan pemimpin yang revolusioner, cerdas,
tangkas, sabar dan cepat menghitung kejadian yang akan datang,
waspada politik. Ia harus juga bekerja dengan kekuatan nasional
yang sudah ada dan tidak mengharapkan kekuatan yang sekadar
lamunan. Selanjutnya, ia harus mengetahui tabiat massa yang
dipimpinnya (mengetahui waktu dan cara bagaimana reaksi
rakyat terhadap kejadian-kejadian politik dan ekonomi).
Ia harus pandai pula bersemboyan yang menyemangatkan rakyat
sehingga mengubah "kemauan massa" menjadi "tindakan
massa". Selain itu, kedudukan politik dan ekonomi mesti
diketahuinya betul-betul dan ia harus pula pandai
mempergunakannya tanpa ragu-ragu. Disebabkan kelas yang
berkuasa (pemerintah) mempunyai laskar yang lengkap dan
senantiasa siap siaga maka kecakapan dan ketangkasan
pemimpin gerakan modern aksi massa mesti mempunyai
pengetahuan yang praktis tentang politik dan ekonomi dari
negeri serta psikologi rakyat dan kemudian pandai
memperhitungkan kejadian kejadian politik yang akan terjadi.
Terlebih lagi, pemimpin itu harus dapat mempergunakan
"waktu" dengan cepat dan benar, juga mempergunakan sekalian
pertentangan di dalam masyarakat kapitalistis (juga di dalam
laskar) yang dapat mendatangkan keuntungan.
Jadi, kalau "tenaga bodoh" (seperti di zaman feodal) dapat
mengadakan putch, seorang pemimpin pergerakan massa yang
modern haruslah seorang manusia cerdas dan bijaksana.
1. Partai dan Sifat-Sifatnya
Apakah yang dinamakan partai? Jika kita mau mengumpulkan
dan memusatkan kekuatan-kekuatan revolusioner di Indonesia
dengan jalan aksi massa yang terencana buat meretas jalan
87
kemerdekaan nasional, tentulah kita mesti mempunyai satu partai
yang revolusioner. Adapun, hingga kini Indonesia belum
mempunyai partai revolusioner, yang ada hanya perhimpunan-perhimpunan dari orang-orang yang "berlain-lainan" pandangan
dan tindakan politiknya. Satu partai revolusioner ialah gabungan
orang-orang yang sama pandangan dan tindakannya dalam
revolusi. Dan sebaik-baiknya perbuatan revolusioner adalah tiap-tiap anggota bersama, satu dengan lainnya, dipusatkan.
Untuk menghilangkan suatu perasaan yang kurang baik dari tiap-tiap anggota partai, mestilah tiap-tiap orang diberi hak bersuara,
mengemukakan dan mempertahankan keyakinannya dengan
seluas-luasnya. Dan sesuatu keputusan partai mestilah dianggap
sebagai hasil permusyawarahan dan pertimbangan bersama-sama
yang matang dari seluruh anggota. Tiap-tiap permusyawarahan
hendaknya dijalankan dengan secara demokratis yang
sesungguhnya. Tiap-tiap tanda yang berbau birokrasi dan
aristokrasi mesti dicabut hingga ke akar-akarnya. Tetapi,
birokrasi dan otokratisme dalam partai tak dapat dihapuskan
dengan "maki-makian" atau dengan menggebrak meja tetapi
dengan membiasakan bertukar pikiran secara merdeka dan kerja
sama dari semua anggota. Tiap-tiap keputusan partai mesti
diambil menurut suara yang terbanyak. Jika satu keputusan sudah
diterima oleh suara yang terbanyak, mestilah suara yang terkecil,
meskipun bertentangan dengan keyakinannya, " tunduk" kepada
putusan dan dengan jujur menjalankan keputusan itu. Jika tidak
begitu, niscaya tak akan pernah sebuah partai mencapai tenaga
yang revolusioner. Keputusan yang "setengah betul" tetapi
dengan gembira dikerjakan oleh seluruh barisan lebih baik
daripada keputusan yang " bagus sekali" tetapi dikhianati oleh
setengah anggota.
Partai mesti mempunyai "peraturan besi". Selanjutnya, barulah ia
mampu memusatkan tindakan partai. Partai mesti mempunyai
alat-alat revolusioner untuk memeriksa dan memperbaiki
segenap perbuatan anggota. Belumlah mencukupi bila seorang
"mengakui setuju" dengan suatu keputusan atau peraturan partai.
Ia mesti membuktikan dengan perbuatan bahwa ia menjalankan
88
keputusan itu dengan betul dan setia terhadap partai. Perbuatan
itu biasanya adalah, misalnya, mencari kawan dalam surat-surat
kabar partai, kursus, serikat sekerja dan mengerjakan
administrasi dan organisasi partai. Jika ia tak memenuhi hal-hal
tersebut atau "terbukti", bahwa ia tidak setia kepada partai,
mestilah dijalankan pendisiplinan. Lebih baik ia keluar dari
partai daripada ia merusak partai atau memberikan teladan busuk
sebagai seorang revolusioner pemalas kepada anggota-anggota
yang lain.
2. Program Nasional Kita
Tujuan politik, ekonomi dan sosial yang revolusioner dari satu
partai untuk negeri tertentu dan jalan yang akan dituntut
bersama, diterangkan dengan "program nasional" yang
revolusioner. Program itu ialah penunjuk jalan bagi partai dan
harus diakui, dipahamkan, dipertahankan dan dikembangkan
oleh tiap-tiap anggota. Perihal program nasional kita dan sifat-sifatnya yang umum sudah cukup jelas saya uraikan di dalam
brosur Naar de republik Indonesia dan Semangat Muda (yang
masing-masing dikeluarkan bulan April 1925 dan Januari 1926).
Di sini masalah itu tidak akan diuraikan lagi dan silakan
pembaca membaca buku-buku kecil tersebut. Tetapi, demi
memudahkan pembaca, saya lampirkan juga program nasional
itu (tidak dengan keterangan) di belakang buku ini.
3. Tugas dan Organisasi Partai
Partai itu menjalankan tujuan dan pelopor (avantgarde)
pergerakan di segala tingkatan revolusi. Pandangannya lebih jauh
dan senantiasa berjuang di barisan depan sekali dan, karena itu,
ia menjadi "kepala dan jantung" massa yang revolusioner.
Di dalam "revolusi borjuasi" Prancis (1789), avantgarde terdiri
dari borjuasi yang revolusioner dan kaum buruh terpelajar yang
borjuis.
89
Merekalah yang mengepalai dan memikirkan revolusi itu,
sedangkan kaum buruh industri yang masih lemah dipergunakan
sebagai "tenaga budak", sebagai kuda-kuda. Kejadian seperti ini
mungkin juga terjadi di negeri jajahan yang borjuasi
bumiputranya kuat tapi tidak diberi kekuasaan politik oleh si
penjajah sehingga mereka terpaksa menjadi revolusioner. Di
Mesir dan India, pengemudi gerakan kemerdekaan sampai
sekarang boleh dikatakan di tangan kaum intelektual yang
borjuis.
Adapun yang berjuang di negeri-negeri kolonial itu terutama
sekali kaum buruh dan tani revolusioner. Di Indonesia borjuasi
bumiputra tak dapat memimpin, moril dan materiel.
Karena kondisi sosial dan ekonomi terlalu lemah, kaum buruh
mesti mendirikan cita-cita dan menyusun laskarnya sendiri. Jika
kaum borjuis, besar atau kecil, di Indonesia mau memasuki
massa, mereka jangan berjuang dengan kapital nasional dan
parlementarisme tapi mereka mesti berdiri di atas asas-asas
buruh, nasionalisasi dan pemerintahan buruh dan tani. Mereka
mesti_ menjadi kaum buruh terpelajar dan berjuang dengan
kaum buruh untuk cita-cita buruh dan dengan logika.
Jika kaum terpelajar borjuis mau diakui oleh massa sebagai
teman, mereka mestilah berbuat lebih dari kawan-kawannya
segolongan yang ada di Mesir, India dan Tiongkok. Sebagai
kelas, tentulah mereka tak dapat berbuat begitu sebab dirintangi
oleh keturunan, pendidikan dan lingkungan mereka sendiri.
Kelas buruh di Indonesia tak bisa mengharapkan sekalian buruh
terpelajar pada borjuis kita, besok atau lusa, akan menerjunkan
diri ke dalam massa yang sedang berjuang itu. Tetapi beberapa
orang dari mereka (tidak sebagai kelas) "boleh jadi" masuk ke
dalam barisan baru sebagai laskar sukarela. Kaum terpelajar
borjuis yang revolusioner jika dengan mentah-mentah
dimasukkan dalam partai buruh yang revolusioner, itu berarti
memborjuiskan kaum buruh kita. Di Indonesia, terutama, hal itu
sama artinya dengan "mengebiri", merampas perasaan
90
revolusioner dan cita-cita yang lanjut dari kaum buruh. Tak kan
mungkin keluar tenaga dari kaum buruh yang seperti itu. Partai
seperti itu, "bukan ikan dan bukan daging", bukan borjuis
revolusioner proletar.
Malahan jika borjuasi Indonesia lebih kuat dan lebih
revolusioner dari sekarang ini, ia tak kan mau dan sanggup
berjalan lebih jauh dari "kemerdekaan politik", yakni merampas
kekuasaan politik dari imperialisme Belanda.
Pemecahan-pemecahan masalah ekonomi dan politik yang
radikal (dimisalkan ada borjuasi Indonesia yang revolusioner dan
kuat) hanya dapat dijalankan dengan merugikan kapital
bumiputra itu sendiri. Terhadap pemecahan itu, borjuasi yang
dimisalkan itu niscaya tidak menyetujuinya . Di tiap-tiap negeri
yang terjajah, borjuasi bumiputra yang revolusioner (terhadap
imperialisme) itu dengan segera berubah menjadi reaksioner
buruh pada saat imperialisme dirobohkan. Tujuan akhir dari tiap-tiap borjuasi bumiputra yang revolusioner adalah "politik"
semata-mata. Di India, Tiongkok, Mesir dan Filipina hal itu
sudah berbukti. Begitu pulalah segerombolan kaum borjuis kecil
Indonesia. Di dalam perjuangan politik mereka terhadap
imperialisme Belanda, tersembunyi cita-cita kepada harta dan
kekuasan yang lebih besar. Mereka ingin menjadi tuan-tuan
tanah, saudagar kaya raya, bankir dan juga ingin menjadi
gubernur, menteri dan lain-lain. Pendeknya mereka ingin
menjadi borjuis besar, seperti di lain-lain negeri. Nisbah antara
kapital dan tenaga, antara kapitalis dan buruh serta sistem politik,
ketiga-tiganya mereka kehendaki supaya tetap kapitalistis.
Dengan menggulingkan imperialisme Belanda, kaum borjuis
kecil Indonesia ingin kelak dapat menjalankan sekalian
kekuasaan politik dan ekonomi terhadap kaum buruh.
Tujuan buruh melewati batas "anti-imperialisme". Mereka
berniat, terang atau kabur, merobohkan kaum kapitalis sama
sekali. Kaum buruh Indonesia menghendaki pemecahan yang
radikal di dalam perekonomian, sosial, politik dan ideologi,
sekarang atau nanti. Bila sekiranya kelak sesudah imperialis
91
Belanda ditentang dan dimusnahkan hingga ke akar-akarnya,
meskipun tak mungkin dalam arti kemenangan nasional semata-mata, niscaya kaum buruh akan dan mesti memperkuat
barisannya melawan borjuasi.
Jadi, borjuasi Indonesia yang kecil, apalagi yang besar hanya
anti-imperialisme saja, sedangkan kaum buruh anti kedua-duanya: imperialisme dan kapitalisme.
Jadi, buruh Indonesia jika dibandingkan dengan borjuasi
revolusioner menghadapi perjalanan yang jauh lebih panjang
sebelum sampai kemerdekaan sejati. Jadi, semestinyalah mereka
lebih giat dan radikal dalam perjuangan dan sekarang pun sudah
begitu, seperti di negeri lain-lain.
"Soal organisasi" berhubungan rapat sekali dengan cita-cita
sosial, ekonomi dan politik, serta tingkatan revolusioner dari
kelas-kelas yang revolusioner. Menurut cita-cita dan "liatnya"
sekalian kelas yang revolusioner, bolehlah kita bagi laskar
nasional kita dalam: (1) barisan pelopor, yaitu terdiri dari kaum
buruh industri yang seinsaf-insafnya dan kaum buruh terpelajar;
(2) cadangan yaitu terdiri dari kaum buruh yang kurang insaf dan
bukan kaum buruh yang revolusioner yang di masa revolusi
berjuang di bawah pimpinan dan berdiri di sisi barisan pelopor.
Seringkali hubungan itu ditimbulkan oleh pemusatan kerja.
Pekerjaan partai sehari-hari ialah merapatkan anggota dengan
anggota, partai dengan organisasi "sepupunya", mengurus
pembacaan anggota partai, antara partai dan rakyat seluruhnya.
Kadang-kadang hubungan itu didatangkan pula oleh agitasi yang
cocok dan benar.
Agitasi itu mesti didasarkan kepada kehidupan massa yang
sebenarnya. Tak cukup dengan meneriakkan kemerdekaan saja.
Kita harus menunjukkan kemerdekaan dengan alasan yang
sebenarnya. Kita harus menerangkan semua penderitaan rakyat
sehari-hari seperti gaji, pajak, kerja berat, kediaman bobrok,
perlakuan orang atas yang menghina dan kejam. Seorang agitator
92
yang cakap setiap waktu harus siap sedia memecahkan sekalian
soal yang bersangkutan dengan kehidupan materiel Pak Kromo
dengan benar dan revolusioner. Ia juga harus senantiasa bersedia
menarik dan memimpin Pak Kromo-Pak Kromo itu kepada aksi
politik dan ekonomi yang memperbaiki kebutuhan materiel
mereka. Tak boleh kita harapkan bahwa massa akan masuk ke
dalam perjuangan karena didorong cita-cita saja!
Massa (di Timur atau di Barat) hanya berjuang karena kebutuhan
materiel yang terpenting. Dengan perjuangan ekonomi, seperti
pemogokan atau pemboikotan serta ditunjang oleh demonstrasi
politik, kita akan dibawa kepada tujuan yang penghabisan!
Segala agitasi mestilah cocok dengan keadaan tiap-tiap daerah.
Penerangan terhadap seorang buruh industri tak boleh disamakan
dengan seorang tani sebab keduanya mempunyai kebutuhan
materiel yang lain-lain. Seorang tani di Jawa pun tak boleh
disamakan dengan seorang tani di Sumatera sebab keduanya
mempunyai soal-soal tanah dan ekonomi yang berlainan.
Jika agitasi itu benar nyata dan mengenal segala kebutuhan
rakyat yang tergencet pada tiap-tiap daerah di Indonesia,
bilamana program tuntutan dan semboyan-semboyan kita
"sungguh" dipahamkan dan dirasai oleh seluruh lapisan
penduduk, jika pemimpin partai liat, tangkas dan cerdas
mempergunakan sekalian pertentangan yang ada di dalam
masyarakat Indonesia, niscaya hubungan yang perlu "dengan" —
pengaruh yang diinginkan "atas" dan akhirnya kepercayaan yang
dibutuhkan " dari" — massa dapat diperoleh partai.
Pasal ini sudah lebih panjang daripada maksud kita yang semula,
apalagi bila ditambah pula dengan pembicaraan perihal "teknik"
aksi massa. Pun hal ini mestilah kita serahkan kepada
pembicaraan yang praktis karena kita tidak "menelanjangi" diri
di hadapan musuh dengan membukakan rahasia pun teknik
perjuangan kita. Tetapi, di sini mesti kita peringatkan bahwa soal
"persenjataan" — meskipun hal itu penting sekali serta sangat
kuat menarik perhatian kaum revolusioner! — bagi kita bukanlah
93
soal hidup mati. Ia tunduk kepada soal politik dan organisasi
yang revolusioner. Dengan kata lain bahwa massa yang gembira
dalam pimpinan partai revolusioner yang berdisiplin baja,
berkelahi dengan tangan serta suara nyanyian yang revolusioner,
akan merobohkan laskar imperialis sampai ke urat akarnya.
Sebagai penutup pasal ini, boleh kita tambahkan bahwa bagi
kemenangan revolusioner, perlu dua faktor berikut ini.
1. Faktor "objektif", yaitu sebuah tingkatan dari tangan produksi
dan kemelaratan massa. Tingkatan itu terutama di Jawa dan di
beberapa tempat di Sumatera dalam pandangan kita dianggap
cukup.
2. Faktor "subjektif", yaitu kesediaan bangsa Indonesia yang
mesti diwujudkan dalam suatu partai revolusioner yang
"sempurna" (teratur dan matang betul) dan keadaan-keadaan
revolusioner yang baik.
Untuk mencapainya, partai mesti mempunyai disiplin; massa
yang tidak senang itu harus di bawah pemimpinnya. Kemudian
dipecah-belah musuh-musuh dalam dan luar negeri. Lihat
seterusnya Menuju Republik Indonesia pasal "pukulan strategis".
Andaipun partai yang revolusioner tidak dapat diperoleh dengan
pembicaraan-pembicaraan akademis di dalam partai ataupun tak
ada kesempatan bagi bangsa kita yang sengsara dan dihina-hinakan, senantiasa kita dapat mendorong partai itu ke dalam
perjuangan ekonomi dan politik yang besar ataupun yang
menciptakan "disiplin" yang diinginkan yang memberi pengaruh
yang tak dapat ditinggalkan atas massa dan kepercayaan yang
dibutuhkan dari massa serta, selain itu keliatan, kecerdasan
dalam perjuangan. Itulah syarat-syarat yang akan membawa kita
pada kemenangan.
Barisan penduduk yang terdiri dari kelas menengah dan borjuasi
yang lemah hanya akan turut berjuang bila terpaksa.
94
Akan terlampau panjang bila diperbincangkan di sini dengan
panjang lebar perihal satu-dua partai. Maksud kita dengan itu
ialah apakah kaum buruh dan kaum borjuis yang kecil-kecil
mesti dihimpunkan dalam "satu" organisasi nasional dengan
"satu" pusat pemimpin atau dipecah dalam "dua" organisasi
dengan dua pemimpin tetapi bekerja bersama-sama (Pada waktu
ini kaum buruh — sebab sistem yang pasti belum dipakai —
boleh dikatakan belum tersusun dalam Partai Komunis Indonesia
(P.K.I.) dan bukan-buruh dalam serikat rakyat. Keduanya
mempunyai satu pengurus besar.).
Bagaimanapun wujud organisasi itu di dalam satu koloni seperti
Indonesia, kaum buruhlah yang paling aktif dan radikal.
Organisasi tidak boleh menghalang-halangi keaktifan itu.
Sebaliknya, ia mesti tahu mempergunakannya dan dapat
menghidup-hidupkannya. Organisasi itu semestinya menjadi
gabungan dan pemusatan segala keaktifan kaum buruh.
Semestinya diikhtiarkan supaya kaum buruh sebanyak-banyaknya duduk di dalam partai dan memegang pimpinan.
Partai revolusioner kita akan berkembang hidup sebesar-besarnya dan sesehat-sehatnya bilamana benih-benih partai
ditanam pada tiap-tiap pusat industri.
Demikianlah jadinya, kedudukan P.K.I. terbatas di dalam kota-kota, pusat-pusat ekonomi, pengangkutan; dan Serikat Rakyat
(S.R.) harus menjadi partai yang bukan buruh. Selain di kota-kota, di desa-desa pun mestinya didirikan. Dengan jalan seperti
itu, dimasukkanlah api revolusioner ke dalam P.K.I. dan S.R.,
kaum buruh yang setengah insaf dan belum insaf sama sekali tak
boleh tinggal di luar organisasi. Mereka mesti diajak masuk ke
dalam perjuangan ekonomi yang setiap waktu berubah menjadi
perjuangan; mereka dihimpun dalam serikat-serikat kerja sebagai
barisan cadangan yang berdiri langsung di bawah pimpinan
P.K.I.
Kaum bukan-buruh yang setengah insaf dan yang belum insaf
sama sekali dalam politik dan ekonomi, juga tergencet mesti
95
dihimpun ke dalam koperasi rakyat yang juga merupakan barisan
pembantu yang berdiri langsung di bawah pimpinan P.K.I. dan
S.R.
Demikianlah, P.K.I. mesti mempunyai beberapa organisasi
serikat kerja, koperasi dan serikat rakyat yang tiap-tiap beraksi-massa langsung berada di bawah pimpinan P.K.I. Organisasi itu
— yang semangatnya dipengaruhi surat-surat kabar partai dan
serikat kerja — merupakan laskar revolusi nasional dalam
perjuangan menentang imperialisme dan kapitalisme Barat.[1]
Jika satu partai revolusioner benar-benar ingin menjadi
pemimpin massa di Indonesia, terlebih dulu partai itu sendiri
harus dipimpin sebaik-baiknya. Organisasi partai ialah
kesimpulan dari beberapa susunan partai. Dengan kata lain,
menjadi "tali nyawa" dari partai, menjadi yang "terpenting",
misalnya seperti penyusunan, pelatihan, pendidikan bagi
pemimpin dan anggota-anggotanya. Tambahan pula, partai mesti
berhubungan rapat dengan massa, terutama pada saat yang
penting, dengan segala golongan rakyat dari seluruh Kepulauan
Indonesia. Dengan tidak berhubungan seperti itu, tak kan ada
pimpinan yang revolusioner.
[1] Seorang anggota P.K.I. sedapat mungkin adalah seorang
buruh atau buruh terpelajar (bukan borjuis). Ia harus mengetahui
dan pandai menerangkan komunisme dalam teori dan praktik,
taktik nasional dan internasional. Di atas segalanya, ia harus
lebih banyak dan lebih canggih untuk melakukan pekerjaan
revolusioner, yaitu pekerjaan menyusun dan menggalang
pertemanan. Seorang anggota S.R. biasanya adalah bukan buruh,
tani, saudagar atau pelajar (mahasiswa). Ia tak usah melakukan
pekerjaan revolusioner sebanyak yang dikerjakan anggota P.K.I
cukuplah jika ideologinya anti-imperialis dan menghendaki
kemerdekaan nasional. Bila dipakai sistem satu partai, kaum
buruh dan bukan buruh dihimpun dalam sebuah organisasi yang
revolusioner. Dalam partai itu, golongan yang lebih "sadar" dan
buruh terpelajar merupakan sayap kiri. Sayap kiri inilah motor
pergerakan Indonesia.
96
X
SEKILAS TENTANG GERAKAN KEMERDEKAAN
DI INDONESIA
1. Kegagalan Partai Borjuis
Sesungguhnya bukan kualitas pimpinan itu sendiri yang
menyebabkan partai-partai borjuis Indonesia "beriring-iringan
patah di tengah". Para penganjur, seperti Dr. A. Rivai dan Dr.
Tjipto, niscaya akan memegang peranan yang jauh berlainan
sekali di dalam gerakan kemerdekaan Indonesia jika di sini ada
kapital besar milik bumiputra. Lambat laun, dengan sendirinya,
mereka akan sampai pada program nasional borjuis yang dengan
perantaraan satu organisasi dan taktik yang cocok, sebagian atau
seluruhnya, dapat diwujudkan.
Karena kapital besar bumiputra tidak ada, program nasional dan
organisasi mereka sebagai partai borjuis tak tahan hidup. Mereka
dibesarkan oleh pendidikan borjuis secara Barat sehingga tidak
tercerabut massa Indonesia dan tidak berperasaan akan mencari
logika untuk mendapat program nasional yang proletaris. Partai
borjuis yang didirikan dengan perlahan-lahan, lenyap sama
sekali, "hidup enggan mati tak mau" atau tinggal namanya saja
yang hidup.
a. Budi Utomo
Budi Utomo — didirikan pada tahun 1908 — adalah sebuah
partai yang semalas-malasnya di antara segenap partai-partai
borjuis di Indonesia. Seperti seekor binatang pemalas, ia merana
sombong karena umurnya panjang. Karena ia tak mendapat cara-cara aksi borjuis yang radikal dan tidak berani mendekati dan
menggerakkan rakyat maka dari dulu sampai sekarang, kaum
Budi Utomo menghabiskan waktu dengan memanggil-manggil
arwah yang telah lama meninggal dunia. Borobudur yang kolot,
wayang dan gamelan yang merana, semua basil "kebudayaan
perbudakan" ditambah dan digembar-gemborkan oleh mereka
97
siang malam. Di dalam "lingkungan sendin" kerapkali dukun-dukun politik itu menyuruh Hayam Wuruk — Raja Hindu atau
setengah Hindu itu — dengan laskarnya yang kuat berbaris di
muka mereka. Di luar hal-hal gaib itu, paling banter hanya
dibicarakan soal-soal yang tak berbahaya. Di dalam Kongres
Budi Utomo berkali-kali (sampai menjemukan) kebudayaan dan
seni Jawa (?) dibicarakan. Soal yang penting, yaitu mengenai
kehidupan rakyat di Jawa — jangan dikata lagi di seluruh
Indonesia — tak pernah disentuh, apalagi diperbincangkan
mereka. Belum pernah, barangkali, diadakan suatu aksi untuk
memperbaiki nasib Pak Kromo yang tidak hidup di zaman
Keemasan Majapahit, tetapi di dunia kapitalistis yang tak
memandang bulu. Panjangnya umur Budi Utomo sebagian besar
diperolehnya dari "mantera-mantera" pemimpinnya, dari hasil
"main mata" dengan pemerintah dan dari hasil kelemahan teman
seperjuangannya. Sebuah semangat kosong seperti Budi Utomo
dapat diterima oleh pemerintah seperti Belanda.
Selain itu, Budi Utomo tidak menumbuhkan cita-cita
"kebangsaan Indonesia". Fantasi "Jawa-Raya", yakni bayangan
penjajahan Hindu atau setengah Hindu terhadap bangsa
Indonesia sejati, langsung atau tidak, menyebabkan timbulnya
keinginan akan Sumatera Raya, Pasundan Raya atau Ambon
Raya dan lain-lain.
Budi Utomo yang mengangkat kembali senjata-senjata Hindu-Jawa yang berkarat dan sudah lama dilupakan itu, sungguh tidak
taktis dan jauh dari pendirian nasionalis umum. Perbuatan itu
menimbulkan kecurigaan golongan lain yang mencita-citakan
persaudaraan dan kerja sama antara penduduk di seluruh
Indonesia (bukan antara penjajah satu terhadap Iainnya). Dengan
jalan sedemikian, Budi Utomo menimbulkan gerakan ke daerah
yang bila perlu (misalnya Budi Utomo kuat), dengan mudah
dapat dipergunakan imperialisme Belanda. Dengan keadaan
seperti ini, keinginan "luhur" yang satu dapat diadu dengan yang
lain, yang akibatnya sangat memilukan, Indonesia tetap jadi
negeri budak.
98
b. National Indische Party
Dengan pikiran pincang dan ragu-ragu tidak dapat juga N.I.P.
yang didirikan pada tahun 1912 "mencium" kebangsaan
Indonesia. Pohon-pohonan yang terapung-apung — indo-indo
Eropa itu — berdiri dengan sebelah kakinya di sisi jurang
imperialisme dan sebelah lagi di sisi jurang kebangsaan
Indonesia. Yang terutama tidak mempunyai cita-cita nasional
yaitu borjuasi Indonesia; masa bercerai-berai. Karena itulah, satu
program nasional yang konstruktif dan konsekuen tak dapat
diwujudkannya. Rumpun "Indonesisme" ala Douwes Dekker
ialah cita-cita dari Belanda Indo yang tidak kurang
imperialisisnya daripada Belanda totok, mereka merasa
dikesampingkan oleh yang tersebut belakangan dan itulah
semangat yang dikembangkannya. Mereka meminta "persamaan"
dengan totok dan kadang-kadang dibisikkannya perkataan
kemerdekaan. Maksud mereka yang sesungguhnya mau
membagi kekuasaan, satu orang separo diantara mereka berdua.
Karena si totok kerapkali terlalu banyak mengambil bagian
untuknya sendiri, si Indo mengancam "bekerja sama dengan
Inlander". Cap yang lebih dalam tak dapat kita tempelkan kepada
kebangsaan Belanda Indo itu. Mereka tidak berbeda coraknya
dengan bangsa Hindu dan Muslim di zaman perang saudara dulu.
Tatkala Si Jenaka Van Limburg Stirum "pelayan liberal dari
kapital besar" memberikan pekerjaan yang menguntungkan
Teeuwen dan Co waktu itu, program N.I.P. mencapai tujuannya
tanpa menumpahkan darah.
Douwes Dekker berjalan terus; untuk mencapai itu, dia
menganggap perlu memakai kekuatan bumiputra. Dengan
perkataannya yang kabur tentang hak dan kemerdekaan,
tertariklah Dr. Tjipto, Soewardi dan Co ke dalam N.I.P. Kejadian
ini memberi jiwa kepada pohon kebangsaan Indonesia yang tidak
dikenal di seluruh pergerakan Indonesia.
Satu cita-cita modern tentang kebangsaan yang jauh lebih sehat
dan lebih luas daripada fantasi Jawa Raya (cita-cita penjajahan
Hindu dan kasta-kasta) boleh dikatakan lahir di seluruh
Kepulauan Indonesia. Tetapi, sesudah Dr. Tjipto, Soewardi dan
Co duduk di dalam N.I.P., orang betul-betul memperhatikannya;
99
di sana dapat dilihat satu pertentangan antara anggota-anggota
perkumpulan itu. Di satu pihak berdiri Indo-Borjuis yang dididik
secara imperialistis, sombong dan penuh curiga, di pihak lain
berdiri bumiputra yang ekonomi dan politiknya tergencet,
diperas dan diinjak-injak.
Sebuah asimilasi baik sosial ataupun ideologi belum pernah
tercapai. Seorang anggota N.I.P. merasa sangat senang mendapat
pembagian kerja 50 banding 50 dengan si totok yang sangat
dibenci itu.
Pengangkatan Teeuwen menjadi aggota Dewan Rakyat,
kemudian menjadi pegawai tinggi, sesungguhnya menjadi obat
yang mujarab buat penyakit politik N.I.P.
Jangankan aksi revolusioner, mogok saja jauh dari keinginan
Indo anggota N.I.P. Apalagi revolusi meminta hubungan yang
rapat serta asimilasi sejati dengan bangsa Indonesia, bukan
dengan priyayi-priyayi yang bersih saja, melainkan juga dengan
Pak Kromo. Dan yang lebih utama, pembagian kekuasaan politik
dengan si Inlanders yang terbesar jumlahnya.
Dan pemogokan yang mungkin berubah menjadi revolusi meski
sekecil apa pun, tentulah takkan pernah cekcok dengan
kepentingan dan ideologi tuan tanah dan pegawai-pegawai
Belanda-Indo.
Selama perkataan "hak dan kemerdekaan" tetap tinggal gelap,
selama itulah Belanda-Indo dapat bergandengan tangan dengan
priyayi-priyayi Jawa. Tetapi, pertentangan kelas yang beberapa
tahun belakangan ini terbukti dalam pemogokan maka keluarlah
nasionalis-imperialis (nasionalis menurut sebutan dan imperialis
menurut perbuatan) dari "nasional" Indische Party.
Apa yang diidamkan oleh Indo anggota N.I.P. sekarang
dibukakan oleh I.E.V.: hak tanah dan fasisme. Anggota N.I.P.
bumiputra umumnya lebih radikal dari Belanda Indo.
Akan tetapi, mereka terkungkung dalam "kebangsaan Douwes
Dekker" (satu teori yang menggembirakan perihal "darah Timur
dan perasaan Timur") yang bagian ekonominya ditutup dengan
wardisme yang kacau itu. Sekiranya N.I.P. mempunyai seorang
100
pemimpin yang sanggup mempertalikan kebangsaan Indonesia
dengan program proletaris dan sanggup menarik kaum buruh ke
dalam partai itu, niscaya N.I.P., meskipun ditinggalkan oleh
Belanda-Indo yang fasistis itu, dapatlah hidup terus dan boleh
jadi lebih kuat dari yang sudah-sudah.
Tetapi sekali lagi, sebab tak ada borjuasi bumiputra yang modern
maka semangat yang begitu sehat dan revolusioner seperti Dr.
Tjipto tak mendapat tempat dalam pergerakan revolusioner yang
borjuis. Sebaliknya, daripada mendekati massa berulang-ulang,
mereka lebih suka merintang-rintang waktu dengan kerja yang
tak layak baginya, yaitu memanggil-manggil arwah kebesaran
(Hindu dan Islam) yang telah meninggal dunia.
Satu nasionalistis "maya" yang sejati.
c. Sarekat Islam (S.I.)
Sarekat Islam pada tahun 1913 tampil ke muka disertai suaranya
yang gemuruh. Perhimpunan ini adalah penyambung aksi massa
Timur setengah feodal yang sudah berabad-abad mengalami
penindasan. Tetapi, ia bukanlah suatu aksi massa yang teratur,
tetapi manifestasi dari perasaan massa yang kurang senang di
bawah pimpinan saudagar-saudagar kecil.
Dengan melibat-libatkan agama, dikumpulkannya si Kromo ke
dalam satu organisasi yang sangat picik. Dan pada permulaannya
ditujukan untuk menentang saudagar-saudagar Tionghoa.
Di dalam perjuangan ekonomi antara saudagar bumiputra dan
Tionghoa tampak betul kelemahan yang disebut duluan.
Kecurangan pemimpin S.I. menyebabkan dan menimbulkan
datangnya kekalahan ekonomi. Dengan berhentinya gerakan,
terhenti pulalah kegiatan saudagar-saudagar kecil di dalam S.I.
Jika kita mau menamakan paham campur aduk antara Islam,
kebangsaan reformisme dan demagogi dari pemimpin-pemimpin
S.I. itu "politik", maka sekarang kita pandang S.I. sudah
menginjak tingkatan "politik". Pada tingkatan politik ini, berkat
101
pengaruh kaum revolusioner di Semarang, dapatlah mereka
mengadakan aksi-aksi ekonomi pemogokan "liar".
Massa yang kurang senang yang bersatu dalam S.I. tak dapat
menjadi sendi aksi massa yang teratur. Untuk itu, pemimpin S.I.
tak mempunyai pengetahuan sedikit pun perihal pertentangan
kelas, taktik revolusioner dan kepemimpinan. Tambahan pula
program revolusioner yang konstruktif dan konsekuen,
kecakapan organisatoris dan kejujuran administrasi tak ada.
Pergerakan S.I. yang permulaannya demikian hebat dan menarik
perhatian umum — hingga kerapkali disamakan dengan gerakan
Charterisme — tampaknya menang hanya karena beroleh adat
menjongkok-jongkok.
Disebabkan kebimbangan dan kelemahan aksi S.I. itu, pergilah
mereka yang kecewa dan yang lebih radikal-islamistis borjuis
mengambil jalan yang salah. Segala alat-alat feodal seperti
mistik, jimat-jimat dan mantera yang sudah lama terkubur
diambil mereka dan dipergunakannya untuk menentang
imperialisme, dan tentulah mereka jadi hancur luluh.
Meski Afd. B. dari S.I. berhasil kiranya merangkak-rangkak di
bawah tanah lebih lama dan pada waktu yang diperkirakan tepat
lalu menyerbukan diri ke dalam perjuangan, ia tidak akan
mendapat hasil selain dari pemberontakan dan huru-hara agama
seperti yang sudah berulang-ulang terjadi di Indonesia.
Organisasi S.I. mati ketika kaum revolusioner Semarang di tahun
1921 membuang disiplin partai (trade mark Haji A. Salim). Apa
yang terjadi sesudah itu tak lain dari perpecahan anggota S.I.,
yang paling aktif pergi masuk S.R. dan P.K.I. Golongan
Muhammadiyah dengan segala kejujurannya menerima subsidi
dari tangan pemerintah "kafir" untuk sekolah Islam. Kedua Haji
yang termashur itu — Agus dan Tjokro — tak dapat lagi meniup
gelembung sabun Islam dengan patgulipat syariat yang lama dan
yang baru dipikir-pikirkannya.
102
2. Bagaimana Sekarang?
Di dalam perjuangan yang luar biasa beratnya selama beberapa
tahun yang lalu, berhasillah P.K.I. dan S.R. menghimpun kaum
buruh dan revolusioner dari B.U., N.I.P., dan S.I. untuk bernaung
di bawah panji-panjinya. Tak ada partai lain yang sudah
memberikan korbannya seperti P.K.I. dan S.R. Beribu-ribu
anggota yang sudah tertangkap, berpuluh-puluh yang sudah
dibuang, dipukul atau dibunuh. Sungguhpun begitu, masih diakui
BENDERA-nya di seluruh pulau, bukit, gunung, kota dan desa
(Indonesia). Ia dipakai menjadi lambang kemerdekaan yang
sekian lama diidam-idamkan.
Dalam beberapa aksi daerah untuk tujuan yang kecil-kecil, P.K.I.
dan S.R. sudah menunjukkan kekuatan dan kecakapannya. Akan
tetapi, untuk mengadakan satu aksi nasional umum (apalagi di
lapangan internasional), mereka betul-betul belum kuasa. Hal ini,
atas nama kemerdekaan 55 juta manusia, tak boleh didiamkan.
Kalau mereka berbuat seperti itu pula, niscaya akan berarti
menjatuhkan diri ke dalam kesalahan seperti yang terus-menerus
dilakukan oleh partai-partai borjuis (terutama partai Tjokro &
Co). Tatkala muncul Larangan Berkumpul pada penghabisan
tahun yang lalu, kita tidak menunjukkan perasaan tak senang.
Kini sesudah lebih delapan bulan masih saja belum ada sesuatu
yang terjadi. Manakah rakyat yang beratus ribu atau berjuta-juta
di jawa, Sumatera, Sulawesi yang langsung berdiri di bawah
pimpinan atau tunduk ke bawah pengaruh kita? Kemanakah
perginya, dalam waktu delapan bulan itu, kaum revolusioner
yang setia terhimpun di dalam V.S.T.P, S.P.P.L., S.B.G., S.B.B.
dan lain-lain, serta beberapa juta yang tidak diorganisasi tetapi
yang bersimpati kepada kita? Adakah kita dengan segera
mengerahkan dan menarik rakyat untuk membalas dendam atas
kelahiran Larangan Berkumpul, masa penangkapan dan
pembuangan serta kematian saudara Soegono, Misbach dan lain-lain dengan satu aksi massa yang sepadan, tetapi dijalankan
dengan gembira.
103
Tidak, kita sekali-kali tak menangkis serangan lawan sehingga
timbul sekarang pertikaian yang tak dapat dihalang-halangi
dalam barisan revolusioner, dan anggota yang berdarah anarkis
mengambil jalan sendiri serta menarik kawan-kawannya.
Selain seksi-seksi kita yang baik, yang sangat diharapkan,
seperti Sumatera Barat, Medan, Semarang, Surabaya, (semuanya
mana yang tidak?) menderita keputusan dan kelemahan
organisasi yang tak mudah ditolong lagi.
Bila kita membalas Ultimatum Desember dari imperialis Belanda
dengan sepak terjang komunistis yang sempurna, niscaya
kekalahan kita tidak seperti sekarang. Sebusuk-busuknya
pengorbanan materiel (penangkapan, pembuangan,
pembunuhan), tak akan lebih besar dari sekarang, tetapi
kemenangan politik dan moral niscaya tinggal tetap. Dan
siapakah yang dapat mengatakan apa yang bakal kita peroleh
dalam keadaan yang sebaik-baiknya?
Bagaimana larangan berkumpul tidak kita jawab secara
komunistis dan selama delapan bulan itu kita terpaksa kerja di
bawah tanah. Pada waktu itu, kita kehilangan kawan yang
sebaik-baiknya dengan percuma, selain itu, saat-saat yang sangat
bahagia, terutama psikologi yang susah kembali dan masih
banyak.
Di sini bukan tempatnya memperbincangkan hal itu lebih lanjut,
pun bukan tempat untuk memeriksa kepada siapa patutnya
dipikulkan kesalahan itu: pada seksi-seksi, pada pimpinan atau
pada lain hal?
Biarlah kita serahkan hal ini kepada "riwayat" dan kepada
organisasi yang kelak menyelidiki, mengapa kesempatan yang
sebaik-baiknya itu kita biarkan saja lenyap. Di sini pun bukan
tempatnya untuk mengumumkan kekuatan laskar kita saat ini,
serta pengaruh kita terhadap massa dalam keadaan yang sulit ini;
demikian pun, maksud-rnaksud kita dan taktik kita pada yang
akan datang, juga karena kita sekarang terpaksa bekerja di bawah
104
tanah (ilegal). Jadi, untuk kepentingan pergerakan, sangat banyak
yang mesti dirahasiakan, yang di belakang hari akan kita
ceritakan kepada kawan-kawan seperjuangan dan kepada mereka
yang menyetujui kita (Harap diperhatikan sungguh-sungguh!
Maksud kita aksi massa dan bukan putch!).
Harap dicamkan sekali lagi bab IX. Semestinya kita dengan
segera mengorganisasi dan memimpin pemogokan dengan
tuntutan yang cocok dan semboyan-semboyan yang jitu untuk
menentang dan menjawab larangan berkumpul itu.
Sekiranya dari aksi seperti itu pecah revolusi, kita mesti terima.
Berpikir dan berbuat lain dari yang seperti itu tidaklah
komunistis!
Pekerjaan "ilegal" penuh dengan bahaya. Sambil lalu hal itu
patut dan mesti juga kita uraikan di sini. Pekerjaan legal dan
hanyalah pekerjaan legal yang melahirkan organisasi, pembicara,
organisator dan pemimpin. Majalah, partai dan pidato-pidato
yang legal dapat mendidik bangsa kita yang tercecer itu melalui
cara yang berfaedah sekali untuk jadi ahli politik dan
menghidupkan pikiran umum revolusioner yang penting itu.
Sebaliknya, di dalam satu negeri yang sedang dalam transformasi
seperti Indonesia, pekerjaan ilegal mudah sekali terperosok ke
dalam anarkisme, huru-hara atau kepercayaan akan jimat yang
sangat merugikan itu. Segala macam yang bersangkutan dengan
organisasi dan ideologi yang sudah lama kita peroleh akan
lenyap kembali disebabkan ilegalitas yang "tidak pada
waktunya". Provokasi lawan mudah menjatuhkan pemimpin-pemimpin kita yang kurang berpengalaman dan juga
menghancurkan organisasi sama sekali.
Organisasi legal "harus bersedia" untuk menciptakan suatu
organisasi ilegal pada waktu revolusi. Hubungan rahasia, rapat
rahasia, percetakan rahasia, dan markas mencetak rahasia.
Apabila larangan berkumpul dan berorganisasi sekonyong-konyong dikeluarkan, organisasi itu harus bekerja terus dengan
teratur. Organisasi ilegal mesti selamanya berhubungan dengan
105
massa dan tak boleh sekali-kali memisahkan diri darinya. Ia
mesti senantiasa mengetahui perasaan dan keinginan massa.
Karena itu, is mesti mempunyai badan-badan yang cukup dan
orang-orang yang bekerja pada badan partai "bona fido", yaitu
perkumpulan-perkumpulan yang masih diizinkan oleh
pemerintah. Kalau tidak berhubungan dengan massa dan keadaan
yang sesungguhnya, sama halnya dengan sebuah kapal. selam
yang tidak mempunyai kaleidoskop.
Dengan bekerja legal atau ilegal, kita tak boleh sekalikali
melupakan senjata revolusioner kita, yakni aksi massa yang
teratur. Larangan berkumpul dan bersidang harus kita patahkan
dengan aksi massa kita yang teratur, supaya "atas" pemandangan
yang dalam dan tenaga yang besar dapat diteruskan barisan kita
menuju kemerdekaan yang sepenuhnya.
Apakah kita memang bekerja di bawah tanah? Pertanyaan seperti
itu berulang-ulang timbul kepada kita. Ini berhubungan dengan
soal pernahkah kita mempunyai tenaga yang cukup di dalam
partai, yang tidak menghiraukan segala rintangan, setia
menjalankan aksi massa yang teratur. Seterusnya, apakah
pendidikan Marxistis benar dan cukup lama dijalankan sehingga
kaum buruh kita sudah mempunyai kemantapan Marxistis,
kelenturan Leninistis? Bila hal ini tidak dan belum terjadi,
niscaya satu ilegalitas yang dipaksa akan menimbulkan
kakacauan dalam seluruh gerakan revolusioner di Indonesia.
Kaum yang bukan buruh akan memegang komoditi dan
menuntun partai kepada putch atau anarkisisme sehingga
akhirnya hancur sama sekali. Bahaya ini akan semakin besar
karena pemimpin revolusioner yang ulung dan berpengaruh atas
massa sebentar-sebentar dibuang dari Indonesia, sedangkan
reaksi tambah lama tambah sengit.
Karena itu, kita berhadapan dengan satu krisis revolusioner yang
tak mudah dipahami oleh orang luar.
106
Kini kebutuhan bukan pada keberanian semata-mata melainkan
terlebih lagi, "pengetahuan revolusioner dan kecakapan
mengambil sikap revolusioner".
Imperialisme Belanda berniat betul-betul menghancurkan
organisasi revolusioner: Delenda est Chartago (Chartago mesti
dihancurkan). Dan jawablah sekarang atau nanti (selama-lamanya) segala daya upaya musuh untuk menghancurkan kita;
dengan jalan aksi massa yang teratur, pastilah kita menuju
kepada kemenangan!
3. De Indonesische Studieclub
Sampai saat ini saya belum beruntung untuk mengetahui apakah
yang sebenarnya yang diinginkan oleh Indonesische Studieclub
dan alat apakah yang akan dipakainya untuk melaksanakan
maksudnya. Keterangan "majalah bulanan dari studieclub" tidak
berarti apa pun bagi saya.
Keterangan itu terlalu gelap, terlalu elastis dan sangat kurang.
Karena itu, ia tak boleh dianggap sebagai satu "dasar" nasional
buat perjuangan yang praktis. Suluh Indonesia mengumumkan
sekian banyak pandangan yang bermacam-macam. Akan tetapi,
dengan perantaraan ini, kita tak juga dapat mengambil
kesimpulan apakah hal itu dilakukan dengan sengaja atau hanya
sulap-sulapan karena, kadang-kadang, studieclub dapat bercerita
menurut kebiasaan intelektual Indonesia, bahwa "di dalam
kegelapan tersembunyi penerangan".
Dari pidato Mr. Singgih seperti yang diumumkan di dalam Suluh
Indonesia dan majalah lain-lain dapat kita "raba-raba" sedikit
(tak lebih dari itu!) bahwa Mr. Singgih dan konco-konconya
mempunyai maksud yang menyerupai nonkoperasi. Jadi, belum
pasti! Kesan saya secara umum, Mr. Singgih seakan-akan lebih
bersikap sebagai seorang advokat yang menarik diri terhadap
anggota-anggota pemerintah yang mengintip-intip daripada
sebagai seorang duta dari sebuah cita-cita baru yang menyala-nyala untuk berjuta-juta budak berian. Sebuah politik yang dapat
107
dipahami, tetapi menurut pemandangan saya, mendatangkan
kerugian yang tidak kecil. Menurut pengalaman, rasanya dapat
kita ketahui bahwa rakyat kita yang sederhana ini tidak suka
"lempar batu sembunyi tangan", tidak suka paham-paham yang
muskil dan menghabiskan waktu untuk membalas kata-kata yang
kosong. Rakyat kita menghendaki perkataan yang terang dan pas.
Kalau tidak begitu, ia akan tetap meraba-raba dan menduga-duga
dan tak kan dapat diajak mengadakan aksi.
Juga saya tak mengenal isi Studieclub yang borjuis itu. Tetapi,
sesudah dua puluh lima tahun pergerakan kebangsaan, patutlah
kita mempunyai satu ketentuan. Bukankah kita tak boleh
menganggap bahwa kaum terpelajar Studieclub akan tinggal
berabad-abad di dalam laboratorium sosial — mengupas-ngupas
dan mematut-matut saja? Karena itu, biarlah kita menganggap
untuk sementara waktu bahwa Studieclub "menghendaki"
kemerdekaan nasional dan ia mau memakai senjata nonkoperasi.
Akan tetapi, dengan sebab-sebab yang sudah kita maklumi, hal-hal itu sementara waktu dirahasiakan dulu. Jika sungguh seperti
itu, kita akan gembira dan sejauh dan sepantas mungkin akan kita
sokong dengan sepenuh tenaga sebab nonkoperasi termasuk
sebagian dari aksi kita yang termasuk ke dalam program aksi,
dan kita anggap sebagai penambah pemogokan dan demonstrasi.
Tetapi masih jadi satu pertanyaan besar, apakah nonkoperasi saja
— meskipun ia, baik dalam politik maupun ekonomi, dapat
dijalankan dengan sempurna dapat mendatangkan hasil bagi
Indonesia secara umunmya. Perihal ekonomi dan pemboikotan,
kita persilakan pembaca melihat uraian-uraian di muka. Bagian
ekonomi dan pemboikotan itu di Indonesia (terutama di Jawa)
sangat meminta perhatian dan bila kita tidak keliru, belum
pernah sekali juga dibicarakan dalam Studieclub sesungguhnya,
inilah tanda kelemahan nonkoperasi Studieclub.
Pemboikotan tanpa disertai bagian ekonomi merupakan
pekerjaan yang terlampau khayal dan jauh dari memadai.
Meskipun demikian, biarlah kita mengalah. Bahwa nonkoperasi
politik saja yang dapat membawa kemenangan politik, biarlah
tetap tinggal sebagai perumpamaan; dengan boikot ekonomi, kita
dapat mencapai tujuan politik.
108
Kini tinggal soal yang terpenting, bagian manakah dari penduduk
Indonesia yang mesti digerakkan oleh Studieclub yang akan
memutuskan hubungan "kerja sama" dengan imperialisme
Belanda.
Di sinilah sendinya! Kita tidak berhadapan dengan satu negeri
yang pemerintahannya sama sekali ataupun sebagian kecil
dikemudikan oleh wakil-wakil rakyat, seperti di Filipina, Mesir
dan sekarang di India. Jadi, kita tak mempunyai satu
pemerintahan yang "bergerak" (boleh diturunkan dan dinaikkan
dengan jalan pemilihan"), tetapi sebuah kolonial birokrasi yang
berkarat mati. Untuk menimbulkan keributan yang berarti dalam
politik, kita harus lawan dan robohkan birokrasi itu mulai dari
sendi-sendinya. Jadi, mestilah kita mendekati pegawai-pegawai,
seperti bupati, wedana, demang, jaksa dan guru-guru sekolah
supaya masing-masing meletakkan jabatannya.
Kita secara apriori percaya bahwa hal itu tidak mungkin sama
sekali, dan sementara waktu janganlah diberi bukti aposteriori.
Sungguh terang sekali bahwa bupati itu konservatif dan pasti
merangkak-rangkak di bawah kursi, menjilat pantat Belanda
serta takutnya kepada bangsa Eropa lebih dari yang semestinya.
Mereka ditempel oleh saudara-saudaranya dan biasanya banyak
utang; karena itu, mereka akan bergantung seteguh-teguhnya
kepada gaji mereka. Mereka "terlampau suka" memerintah dan
merasa terlalu tinggi, tak layak menyertai pergerakan dan
bersekongkol dengan rakyat yang mau mengadakan huru-hara.
Wedana dan jaksa pun tak kurang dari itu, bahkan terlebih lagi,
sangat haus pangkat yang tinggi; sebab itu, mereka lebih
"perangkak" dan "penjilat" daripada pegawai Indonesia yang
lebih tinggi.
Kita percaya bahwa Mr. Singgih dan teman-temannya akan
mengerjakan pekerjaan yang tak terhingga beratnya untuk
mematahkan birokrasi Belanda yang kokoh itu; seterusnya,
memperoleh kemerdekaan nasional atau konsesi politik yang
besar-besar.
Tinggal lagi bagi Studieclub nonkoperasi terhadap rapat kota.
Kita rasa perbuatan itu tak cukup keliru sama sekali! Kita rasa
lebih berguna bila Dr. Soetomo dan teman-temannya tetap duduk
109
di dalam rapat kota Surabaya, yaitu badan imperialis satu-satunya yang boleh dimasuki bangsa Indonesia dengan pemilihan
langsung (meskipun sangat terbatas) dan dapat mengemukakan
sesuatu dengan leluasa. Di sana Dr. Soetomo dan teman-temannya dengan pengetahuannya yang luas tentang segala tipu-muslihat pihak sana, dengan mengadakan perlawanan yang tidak
putus-putus dan kritik terhadap si pemegang kekuasaan, akan
berhasil "menyusahkan" kedudukan rapat kota.
Setelah memperhatikan semua yang tersebut di atas,
sesungguhnya kita sangat menyesali politik dan aksi Studieclub
yang dilakukannya sampai sekarang ini. Jika Studieclub tidak
"mengambil semua atau sebagian dari program buruh kita" (kita
mengatakan ini bukan karena mau merendahkan atau
menyakitkan hati kaum terpelajar Studieclub), niscaya ia akan
menerima nasib sebagai B.U. dan N.I.P. Sebab hubungan sosial
antara imperialisme Barat dengan bangsa Indonesia yakni
borjuasi bumiputra yang kuat "tidak ada", maka menciptakan
satu modus vivendi politik adalah sebuah pekerjaan yang belum
dimulai. Studieclub besok atau lusa niscaya akan berhadapan
dengan dilema sebagaimana yang sudah dialami oleh partai-partai borjuis, yaitu:
(1) kerja sama dengan Pemerintah Belanda, dan dengan demikian
berarti mengikuti politik imperialisme Belanda; atau
(2) kerja sama dengan rakyat yang sebenarnya, merebut
kemerdekaan yang seluas-luasnya, dan dengan demikian, ia akan
menjadi partai massa buruh serta berpikir secara buruh. "Politik
sama tengah, liberal, bagi Studieclub berarti 'politik matt'."
(3) Politik perlawanan seperti no.2 itu kita yang anjurkan kepada
Dr, Soetomo, Mr. Singgih dan teman-temannya bila mereka
kelak diangkat atau dipilih oleh pemerintah anggota Dewan
Rakyat.
(4) Jadi, kaum terpelajar Studieclub mestilah membuang cara
berpikir berjuang, bercita-cita untuk revolusi borjuis atau
pemerintahan borjuis, tapi menjadi buruh, yaitu memakai cara
pikiran buruh dialektis-materialistis dan berjuang buat
kepentingan kaum buruh
110
XI
FEDERASI REPUBLIK INDONESIA
Meskipun atas kehendak kita sendiri, kita tidak akan membatasi
aksi kita "hanya" pada kemerdekaan bangsa Indonesia yang
terhindar oleh imperialisme Belanda. Pembatasan seperti itu akan
segera menyempitkan kita di dalam arti ekonomi, strategi dan
politik.
Kekuasaan atas Semenanjung Tanah Melayu dengan pusat
armada Singapura di dalam tangan imperialisme Inggris bagi kita
sebagai satu "strategisch Umfasung" senantiasa memaksa kita
menjauhi medan perjuangan. Umfasung ini dilengkapi dengan
Australia putih yang anti kulit berwarna di sebelah selatan.
Dalam arti ekonomi, semenanjung bagi kita adalah sangat
penting sebab negeri itu sudah menjadi pasar terbesar bagi
berbagai macam hasil bumi Indonesia; tambahan pula, banyak
hubungannya dengan seluruhnya. Kedudukan kita di antara
Malaya dengan Australia, dan kapital Inggris yang sangat besar
di Indonesia, membesarkan dan mengekalkan perhatian politik
imperialisme Inggris atas segala kejadian di Indonesia. Kita tak
akan dapat merampas kemerdekaan Indonesia tanpa keributan,
dan bila ribut, serdadu Inggris tentulah akan siap dengan
senapannya.
Tetapnya kedudukan Amerika di Indonesia-Utara (Filipina) bagi
kita lebih berbahaya daripada yang dapat diduga oleh seorang
Indonesia biasa. Strategi kita tetap terancam, baik dari utara
maupun dari selatan oleh imperialisme modern. Ekonomi
Filipina yang mengeluarkan hasil bumi seperti Indonesia-Selatan
menjadi persaingan yang hebat. Pendeknya, selama politik
Indonesia masih terpecah-pecah jadi beberapa bagian seperti
sekarang (bagian Belanda, Inggris, Amerika), tak akan dapat
diadakan persatuan aksi ekonomi, seperti menetapkan harga
maksimum hasil bumi dari negeri-negeri tropik ini di pasar-pasar
dunia. Kemerdekaan kita, bagi Paman Sam yang mungkin sekali
111
berniat untuk selama-Iamanya duduk di Filipina, bukanlah satu
soal "filsafat" politik saja.
Indonesia merdeka yang sekarang meringkuk di bawah
imperialisme Belanda akan dihormati oleh bangsa Indonesia-Utara dengan gembira dan akan menyebabkan timbulnya agitasi
baru untuk kemerdekaan yang seluas-luasnya bagi mereka.
Filipina dalam genggaman Jepang tidak bagus bagi kita.
Sebaliknya, lambat laun ia berarti "penaklukan kita bersama"
kepada kawanan perampok Asiria modern. Satu pusat persatuan
antara seluruh bangsa Indonesia, yakni Indonesia kita.
Semenanjung dan Filipina — tak usah dibicarakan dulu
Kepulauan Oceania dan Madagaskar yang jumlahnya tidak
sedikit — adalah sine qua non, sarat untuk merampas dan
menjaga kebebasan kita. Celaka sungguh, bangsa Indonesia di
Semenanjung Malaka tak dapat mempertahankan diri dari
kebanjiran bangsa India dan Tiongkok yang terus mengalir ke
sana. Perniagaan industri boleh dikatakan semuanya ada di
tangan asing. Bumiputra di kota-kota pesisir senantiasa didesak
ke pinggir kota, dan yang tinggal di darat makin hari makin jauh
menyingkir ke puncak-puncak gunung.
Pabrik-pabrik kereta api, kantor-kantor gubernemen dan
perniagaan sama sekali ada di tangan bangsa asing. Orang
perantauan dari Jawa, Sumatera, Borneo dan Sulawesi terlampau
sedikit dan terlampau lemah kekuatannya untuk mengadakan
perjuangan ekonomi melawan bangsa Benua Asia yang biasanya
pandai bekerja, hidup sederhana dan kompak. Proses pendesakan
bangsa Indonesia dalam hal kediaman, ekonomi, politik dan
negeri menyebabkan lahirnya sebuah pergerakan baru di sana.
Satu perkumpulan orang-orang Indonesia yang bernama
"Kesatuan-Melayu" menguntungkan dan mesti kita perhatikan
yang segala daya dari orang Indonesia di Semenanjung untuk
pertahanan dan politik. Meskipun masih suram dalam perkataan
dan ragu-ragu dalam aksi, sebuah badan politik seperti itu
haruslah dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan dan
mesti kita perhatikan dengan perhatian yang sepenuh-penuhnya.
112
Segenap daya upaya mengembang dan menciptakan suatu
Persatuan Indonesia Raya di seluruh Kepulauan lndonesia "mesti
dan perlu" ada dan didirikan. Tambahan lagi, boleh diharapkan
bahwa besok atau lusa bangsa Indonesia-Semenanjung akan
berikhtiar melahirkan satu pergerakan yang maksudnya akan
memindahkan bangsa Indonesia-Selatan ke sana. Dengan jalan
serupa itu, dapatlah dibatasinya proses pendesakan itu dan
diciptakannya satu dasar tempat Indonesia merdeka "bersandar"
dan akhirnya akan mewujudkan Kemerdekaan Semesta-Indonesia.
Filipino yang terletak di antara Sciylla, Amerika dan Charyb di
Jepang, strategis, "sepenting-pentingnya di Pasifik" bagi
12.000.000 orang Indonesia di sana sungguh menjadi satu soal
yang memutuskan harapan untuk merebut kemerdekaan nasional.
Kedudukan Filipina terlalu penting, sedangkan jumlah
penduduknya terlalu sedikit untuk dapat mengusir musuh
selama-lamanya. Karena itu, memang sudah pada tempatnya jika
mereka merasa sangat bersyukur oleh imigrasi dari Indonesia-Selatan ke sana sebab para imigran itu dalam sedikit waktu saja
dididik bergaul niscaya akan jadi satulah dengan mereka.
Sebagai bangsa satu keturunan, Filipina dengan Indonesia
Selatan tentulah tidak akan berselisih rupa, muka, hidung,
percakapan, kesukaan dan kemauannya bekerja, juga mempunyai
perhubungan bahasa yang tak dapat disangka.[1]
Imigrasi dari Indonesia-Selatan sekali-kali bukanlah akan berarti
"penjajahan" atas bangsa Filipina, baik dalam hal ekonomi,
kebudayaan, politik atau apa pun juga. Sebaliknya, imigrasi itu
berarti menguatkan bangsa itu.
Hanya saja imigrasi tentu tidak akan diizinkan oleh imperialisme
Belanda. Pergaulan antara bangsa Indonesia-Selatan yang
berabad-abad lamanya dijajah dan diabui matanya dengan bangsa
Indonesia-Utara yang mempunyai lebih banyak kemerdekaan
dalam perekonomian politik dan kebudayaan, bukankah sebentar
saja akan membukakan mata mereka dan membangunkan
113
semangat revolusioner? Meskipun bangsa Filipina — berhubung
dengan pertimbangan ekonominya (tingkat penghidupan yang
lebih tinggi) — menentang imigrasi kaum buruh dari Benua
Timur tetapi mereka setuju dengan imigrasi dari Indonesia-Selatan biarpun besar jumlahnya. Bangsa Filipina sangat sulit
memungkiri riwayatnya sendiri sebab mereka pun adalah bangsa
Indonesia-Selatan; Jawa, Sumatera, Semenanjung dan lain-lain
juga pindah ke sana.
Kejadian ini bagi kita sekarang dan seterusnya sangat penting
karena hal itu adalah salah satu sendi persatuan dan kerja
pertama di masa yang akan datang. Selain itu, tidak kecil pula
artinya politik Filipina yang bekerja bersama dengan kita.
Kebanyakan pemimpin politik yang besar pengaruhnya pernah
berkata kepada kita bahwa mereka sangat menanti-nantikan "All
Indonesian Conference" yang pertama. Tetapi sayang kita
sekarang tidak sempat. Sesungguhnya inilah waktu yang baik
untuk meletakkan batu pertama di atas gunung "Persatuan
seluruh bangsa Indonesia".
Marilah kita mulai, dari menit ini, dengan sungguh-sungguh dan
gembira bekerja untuk menjadikan sebagai tujuan kita yang
penghabisan: pendirian "Federasi Republik Indonesia" (FRI) di
dalam arti yang sebenarnya adalah persatuan dari 100,000,000
manusia yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan
perhubungan seluruh Benua Asia dan samuderanya. Selain itu, ia
berarti telah memusatkan semua hasil bumi negeri-negeri panas;
dan bersamaan dengan itu, pembangunan kebudayaan baru,
yakni kebangunan satu bangsa dan kekuasaan baru di Timur.
Oleh karena itu, ia akan menjadi pokok semangat baru yang tak
tertahan-tahan bagi bangsa Asia yang jumlahnya lebih dari
1,000,000,000 dan haus akan kemerdekaan; dan ia berarti pula
kerugian yang tak dapat diperbaiki oleh penjajahan putih.
Bangsa Indonesia-Selatan yang menghendaki kemerdekaan pasti
mengerti benar tugas dan akibat dari perbuatan serta
kemenangannya. Mulai sekarang ia harus menumbuhkan
semangat juang terhadap imperialisme Barat, baik dalam politik
114
perdagangan ataupun militer. Jangan sekali-kali kita mundur atau
meninggalkan perjalanan yang dicita-citakan.
Singsingkanlah lengan baju dengan segera buat menghidupkan
serta menyatukan semua kekuatan nasional; seterusnya, ciptakan
satu pertalian dengan bangsa Indonesia yang lain, yang anti-imperialis Barat atau Timur.
Akan tetapi, jangan kita menggantungkan diri semata-mata
kepada pertolongan luar negeri. Hendaknya kita berkeyakinan
kepada kekuatan sendiri dari awal sampai akhir.
[1] Sebelum bangsa Spanyol datang di Filipina, bahasa Melayu
menjadi bahasa politik yang resmi di seluruh Filipina, menjadi
lingua franca antar pulau yang berjumlah tak kurang dari dua
ribu buah. Akan tetapi, politik devide et impera bangsa Spanyol
membunuh bahasa itu. Selain itu, karena "Utusan Tuhan" itu
mengembangkan segenap dialek yang ada di tiap-tiap pulau-pulau dan daerah di Filipina, dan mereka juga menghapuskan
bahasa Melayu, maka lenyaplah bahasa politik yang resmi tadi.
Setelah bahasa pergaulan itu mati maka lambat laun mati pula
rasa persatuan di antara penduduk sehingga akhirnya Spanyol
dapat mengadu domba mereka. Itulah sebabnya maka hingga kini
sangat susah untuk membangun persatuan nasional.
115
XII
KHAYALAN SEORANG REVOLUSIONER
Sebuah tugas yang berat tapi suci, sekarang dipikulkan di atas
bahu setiap orang Indonesia untuk memerdekakan 55 juta jiwa
dari perbudakan yang beratus-ratus tahun lamanya, dan
memimpin mereka ke pintu gerbang hidup baru.
Zaman yang lalu, zaman penjajahan Hindu dan Islam serta
zaman "kesaktian" yang gelap itu, tak dapat menolong kita
sedikit pun. Marilah sekarang kita bangun termbok baja antara
zaman dulu dan zaman depan, dan jangan sekali-kali melihat ke
belakang dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala
itu untuk mendorongkan masyarakat yang berbahagia. Marilah
kita pergunakan pikiran yang "rasional" sebab pengetahuan dan
cara berpikir yang begitu adalah tingkatan tertinggi dalam
peradaban manusia dan tingkatan pertama buat zaman depan.
Cara berpikir yang rasional membawa kita kepada penguasaan
atas sumber daya alam yang mendatangkan manfaat, dan
pemakaian yang benar — kepada cara pemakaian itu makin lama
makin bergantung nasib manusia. Hanya cara berpikir dan
bekerja yang rasional yang dapat membawa manusia dari
ketakhayulan, kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan,
menuju kepada kebenaran. Kita sangat menjunjung tinggi
kesaktian dan adat istiadat serta kebenaran bangsa Timur. Akan
tetapi semuanya itu tidaklah mendatangkan pencerahan, kemauan
kepada peradaban dan kemajuan, cita-cita tentang masyarakat
yang baik, tinggi, bagus, serta tidak pula mendatangkan yang
baik di dalam sejarah dunia. Pujilah kepintaran Timur sang
pemilik batinnya sendiri, kegaiban atau kekeramatan Timur,
bilamana anda suka. Semuanya itu sebenarnya merupakan asal
mula dari kesengsaraan dan penyiksaan mematikan semangat
kerja dalam masyarakat yang tak layak bagi pergaulan manusia.
Manusia haruslah berdaya, mencoba berjuang, kalah atau
menang dalam ikhtiarnya itu. Sebab, inilah yang dinamakan
hidup! Karena itu, hapuslah segala macam kepuasan yang
116
menyuburkan semangat budak dan buanglah kesalahan kosong
sebab ini adalah kesesatan pikiran semata.
Manusia mesti mematahkan semua yang merintangi
kemerdekaannya. Ia harus merdeka! Sebuah bangsa pun mesti
merdeka berpikir dan berikhtiar. Jadi ia mesti berdiri atau
berubah dengan pikiran dan daya upaya yang sesuai dengan
kecakapan, perasaan dan kemauannya. Tiap-tiap manusia atau
bangsa harus mempergunakan tenaganya buat memajukan
kebudayaan manusia umum. Jika tidak, ia tak layak menjadi
seorang manusia atau bangsa dan pada hakikatnya tak berbeda
sedikit jua dengan seekor binatang.
Tetapi kamu orang Indonesia yang 55,000,000 tak kan mungkin
merdeka selama kamu belum menghapuskan segala "kotoran
kesaktian" itu dari kepalamu, selama kamu masih memuja
kebudayaan kuno yang penuh dengan kepasifan, membatu, dan
selama kamu bersemangat budak belia. Tenaga ekonomi dan
sosial yang ada pada waktu ini, harus kamu persatukan untuk
menentang imperialisme Barat yang sedang terpecah-pecah itu,
dengan senjata semangat revolusioner-proletaris, yaitu dialektis
materialisme. Kamu tak boleh kalah oleh orang Barat dalam hal
pemikiran, penyelidikan, kejujuran, kegembiraan, kerelaan dalam
segala rupa pengorbanan. Juga kamu tidak boleh dikalahkan
mereka dalam perjuangan sosial. Akuilah dengan tulus, bahwa
kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu
jangan jadi peniru orang Barat, melainkan seorang murid dari
Timur yang cerdas, suka mengikuti kemauan alam dan
seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat.
Sebelum bangsa Indonesia mengerti dan mempergunakan segala
kepandaian dan pengetahuan Barat, belumlah ia tamat dari
sekolah Barat. Karena itu, janganlah menjatuhkan diri dalam
kesesatan dengan mengira bahwa kebudayaan Timur yang dulu
atau sekarang lebih tinggi dari kebudayaan Barat sekarang. Ini
boleh kamu katakan, bilamana kamu sudah melebihi
pengetahuan, kecakapan dan cara berpikir orang Barat.
Sekurang-kurangnya masyarakat kamu sudah mengeluarkan
orang yang lebih dari seorang dari Newton, Marx dan Lenin,
barulah kamu boleh bangga. Pada waktu ini sungguh sia-sia dan
117
tak layak bagi kamu mengeluarkan perkataan sudah "lebih
pintar" dan tak perlu belajar lagi, sebab banyak sekali yang
belum kamu ketahui. Pun jika perkataan itu keluar dari seorang
bekas murid yang melupakan ajaran gurunya. Kamu belum boleh
membanggakan kelebihanmu karena kamu belum layak jadi
seorang murid, seperti terbukti dengan kekolotan dan akar-akar
takhayul yang masih berbelit-belit dalam kepalamu. Bila sekalian
keruwetan itu sudah lenyap dari kepalamu, barulah kamu
dianggap orang sebagai murid, dan mulailah mempergunakan
pikiran "baru" dengan sempurna.
Jadi, janganlah bimbang merampas kemerdekaan bila kamu ingin
jadi seorang murid Barat. Juga jangan dilupakan bahwa kamu
belum seorang murid, bahkan belum seorang manusia, bila kamu
tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri! Bagi bangsa
Indonesia, manusia tiada harapan akan memperoleh kemajuan
bila berada di bawah tumit imperialisme Belanda. Bila seseorang
ingin menaiki tangga sosial dan kebudayaan, haruslah ia merdeka
lebih dulu. Adapun paham tentang kemerdekaan, di Baratlah
dilahirkan dan dipergunakan.
Seseorang yang ingin menjadi murid Barat atau manusia,
hendaklah merdeka dengan mernakai senjata Barat yang rasional.
Apabila sudah dapat memakainya, barulah ia dapat menciptakan
sebuah pergaulan hidup yang baru dan rasional.
Kemudian kecakapan dan kemauan menurut alam dapat tumbuh,
dan dengan itu pula kekayaan tanah Indonesia yang tak terkira
itu dapat diusahakan dan dipergunakan buat keluhuran bangsa
Indonesia yang telah tertindas dan merana sekian lama di bawah
tapak kaki Belanda.
Karena itu, wahai kaum revolusioner, siapkanlah barisanmu
dengan selekas-lekasnya! Gabungkanlah buruh dan tani yang
berjuta-juta, serta penduduk kota dan kaum terpelajar di dalam
satu partai massa proletar.
Tunjukkan kepada tiap-tiap orang Indonesia yang cinta akan
kemerdekaan tentang arti kemerdekaan Indonesia dalam hal
materi dan ide. Panggil dan himpunkanlah orang-orang yang
berjuta-juta dari kota dan desa, pantai dan gunung, ke bawah
118
panji revolusioner. Bimbingkanlah tangan si pembanting tulang
dan budak belian itu hari ini dan besok; bawalah mereka
menerjang benteng musuh yang rapi itu! Di sanalah tempatmu
pemimpin-pemimpin revolusioner! Di muka barisan laskar itulah
tempatmu berdiri dan kerahkanlah teman sejawatmu menerjang
musuh; inilah kewajiban seorang yang berhati singa! Dirikanlah
di tengah-tengah laskarmu itu satu pusat pimpinan, tempat
menjatuhkan suatu perintah kepada mereka semua yang haus
serta lapar itu, dan pasti kata-katamu akan didengar dan diturut
mereka dengan bersungguh hati.
Kamu, ahli pidato pahlawan Homerus modern, berserulah di
tengah-tengah massa yang tak sabar menanti-nantikan
kedatanganmu dengan tepuk sorak dan kegembiraan.
Dan dengan pidatomu itu, tegakkanlah mereka yang lemah,
bukakan mata yang buta, korek kuping yang tuli, bangunkan
yang tidur, suruh berdiri yang duduk dan suruh berjalan yang
berdiri; itulah kewajiban seorang yang tahu akan kewajiban
seorang putera tumpah darahnya. Di situlah tempatmu berdiri
dan berdiri, di situ sampai nyawamu dicabut oleh peluru atau
pedang musuh yang bengis keji dan hina itu.
Itu kewajibanmu!
Kamu pahlawan dari angkatan revolusioner! Tuntunlah massa si
lapar, si miskin, si hina, si melarat, si haus itu menempuh barisan
musuh dan robohkanlah bentengnya itu, cabut nyawanya,
patahkan tulangnya, tanamkan tiang benderamu di atas
bentengnya itu. janganlah kamu biarkan bendera itu diturunkan
atau ditukar oleh siapapun. Lindungi bendera itu dengan
bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang
selayaknya bagimu, seorang putera Tanah Indonesia tempat
darahmu tertumpah.
Biarlah yang tersebut di atas itu senantiasa menjadi kenang-kenangan bagi kita semua. Bersama massa, kita berderap
menuntut hak dan kemerdekaan.
119
LAMPIRAN: RANCANGAN UNTUK PROGRAM
PROLETAR DI INDONESIA
A. Politik
1. Kemerdekaan Indonesia dengan segera dan mutlak.
2. Mendirikan satu Republik Federasi dari berbagai-bagai
pulau di Indoesia.
3. Dengan segera mengadakan Rapat Nasional, yang
mewakili semua golongan rakyat dan agama-agama di
seluruh Indonesia.
4. Dengan segera memberikan hak memilih yang penuh
kepada penduduk Indonesia, laki-laki dan perempuan.
B. Ekonomi
1. Menjadikan milik nasional pabrik-pabrik, tambang-tambang, seperti tambang batu arang, minyak dan emas.
2. Menjadikan milik nasional hutan-hutan dan kebun-kebun
besar modern seperti kebun gula, karet, teh, kopi, kina,
kelapa, nila dan ketela.
3. Menjadikan milik nasional alat-alat pengangkutan dan
lalu lintas.
4. Menjadikan milik nasional bank-bank, kongsi-kongsi dan
maskapai-maskapai dagang yang besar-besar.
5. Elektrifikasi seluruh Indonesia dan mendirikan industri-industri baru dengan bantuan negara, misalnya pabrik
tenun, mesin dan perkapalan.
6. Mendirikan koperasi-koperasi rakyat dengan memberikan
pinjaman yang murah oleh negara.
7. Memberikan ternak dan perkakas kepada kaum tani untuk
memperbaiki pertaniannya dan mendirikan kebun
percobaan negeri.
8. Memindahkan rakyat besar-besaran dengan ongkos
negara dari Jawa ke tanah seberang.
120
9. Membagi-bagikan tanah yang kosong kepada tani yang
tak bertanah dan miskin dengan memberikan sokongan
uang untuk mengusahakan tanah itu.
10. Menghapuskan sisa-sisa feodal dan tanah-tanah partikelir
dan membagikan yang tersebut belakangan ini kepada
tani-tani yang miskin.
C. Sosial
1. Menetapkan gaji minimum, tujuh jam bekerja dan
memperbaiki syarat-syarat bekerja dan penghidupan
buruh itu.
2. Melindungi buruh dengan mengakui hak mogok dari
kaum buruh.
3. Buruh mendapat bagian dari keuntungan industri besar-besar.
4. Mendirikan rapat-rapat buruh pada industri besarbesar.
5. Memisahkan negara dari Gereja ataupun Masjid dan
mengakui kemerdekaan agama.
6. Memberikan hak sosial, ekonomi dan politik kepada tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun
perempuan.
7. Menjadikan milik nasional rumah kediaman yang besar-besar, mendirikan kediaman baru dan membagi-bagikan
kediaman kepada pekerja negara.
8. Memerangi sekuat mungkin penyakit-penyakit menular.
D. Pengajaran
1. Pengajaran diwajibkan dan diberikan secara Cuma-cuma
kepada setiap anak-anak warga negara Indonesia sampai
berumur 17 tahun, dengan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar dan bahasa Inggris sebagai bahasa
asing yang terutama.
2. Meruntuhkan sistem pengajaran yang sekarang, dan
mengadakan sistem baru, yang berdasarkan langsung atas
kebutuhan industri yang ada atau yang bakal diadakan.
121
3. Memperbaiki dan memperbanyak sekolah pertukangan,
pertanian dan dagang dan memperbaiki serta
memperbanyak sekolah teknik tinggi dan sekolah untuk
pengurus tata usaha.
E. Militer
1. Menghapuskan tentara imperialistis dan menjalankan
milisi rakyat untuk mempertahankan Republik Indonesia.
2. Menghapuskan aturan tinggal dalam tangsi atau
kampemen dan semua aturan yang merendahkan
serdadu-serdadu bawahan, dan memperkenankannya
tinggal di kampung-kampung dan di rumah yang bakal
didirikan untuknya, memberi perlakuan yang baik dan
memperbesar gajinya.
3. Memberikan hak penuh untuk mengadakan organisasi
dan rapat kepada serdadu-serdadu bawahan.
F. Polisi dan Justisi
1. Memisahkan pamong praja, polisi dan justisi.
2. Memberikan hak penuh kepada tiap-tiap orang yang
didakwa untuk membela dirinya di depan pengadilan dari
serangan undang-undang dan membebaskan yang
didakwa itu dalam 24 jam, jika bukti-bukti dan saksi
kurang cukup.
3. Tiap-tiap perkara yang mempunyai dasar yang sah, harus
diperiksa dalam lima hari di pengadilan yang terbuka,
tertib dan pantas.
G. Program Aksi
1. Menuntut tujuh jam bekerja, gaji minimum dan syarat
bekerja yang lebih baik bagi dan penghidupan kaum
buruh.
2. Mengakui Serikat Sekerja dan hak mogok.
3. Pengorganisasian buruh untuk hak ekonomi dan politik.
4. Menghapuskan poenale sanctie.
5. Menghapuskan undang-undang dan peraturan yang
menindas gerakan politik, seperti hak luar biasa, larangan
122
mogok, larangan pers, larangan rapat dan larangan
memberi pengajaran, dan juga mengakui kemerdekaan
bergerak yang sepenuh-penuhnya.
6. Menuntut hak berdemonstrasi, dikuatkan oleh massa-demonstrasi di seluruh Indonesia untuk pelawan
penindasan ekonomi dan politik, seperti melawan
peraturan pajak, dan menuntut dengan segera
pembebasan orang-orang buangan politik; aksi massa
tersebut harus dikuatkan oleh pemogokan umum dan
massa yang tak menurut perintah.
7. Menuntut penghapusan Volksraad Raad van Indie dan
Algemeene Secretaris, dan membentuk Rapat Nasional.
Majelis Nasional yang darinya akan dipilih Badan
Pekerja yang bertanggung jawab kepada Rapat Nasional
123
No comments:
Post a Comment