Friday, April 4, 2014

Padang Kota Tanpa Terminal (Studi: Kegagalan Implementasi Kebijakan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Air Pacah Kota Padang, Sumatera Barat)





Oleh: Fahrezi*
A.    Pengantar
Pemerintah Daerah menghadapi berbagai persoalan dalam melaksanakan tugasnya. Persoalan-persoalan sosial seringkali menghantui implementasi kebijakan Pemerintah Daerah di Indoensia. Persoalan-persoalan tersebut muncul, bisa disebabkan oleh kurang matangnya perencanaan, sampai dengan faktor-faktor non teknis yang mengganggu proses implementasi kebijakan.  Hal tersebut juga melanda Pemerintah Kota Padang, yang memiliki persoalan dalam implementasi Terminal Regional Bingkuang (TRB) Aia Pacah.
Jika kita berkunjung ke Kota Padang, yang juga Ibu Kota Propinsi Sumatera Barat, maka kita tidak akan menjumpai bus-bus yang akan berhenti di terminal. Begitulah keadaan kota Padang saat sekarang ini, kota yang tidak memiliki terminal pemberhentian penumpang. Sebenarnya Kota Padang memiliki terminal yang sangat bagus dengan Tipe A, yang merupakan satu-satunya di Propinsi Sumatera Barat, namun dalam pemanfaatannya terminal ini terbengkalai dengan kata lain tidak dapat difungsikan dengan berbagai persoalan.
Pada awalnya, pembangunan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang ini bertujuan untuk mengembangkan/memperluas pembangunan Kota Padang ke arah utara. Pelaksanaan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang belum berjalan secara maksimal. Dinas perhubungan selaku instansi yang berwenang untuk menjalankan kebijaksanaan mengenai TRB, mengaku kesulitan untuk mengoptimalkan TRB sebagai terminal bis representatif.
Pelaksanaan Pembangunan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang telah mulai dibangun sejak tahun 1999. Pembangunan Terminal Tipe A ini diatas lahan seluas 50 Hektar. Namun pemanfaatannya tidak dapat dirasakan secara nyata untuk perkembangan Kota Padang. Kurangnya infrastruktur penunjang mengakibatkan kurangnya akses masyarakat ke terminal, maka bus AKDP dan AKAP Kota Padang beroperasi dengan menaikkan dan menurunkan penumpang di tempat-tempat yang potensial ramai calon penumpang, seperti Basko Grand Mall Air Tawar, Simpang Tabing, Simpang Kalumpang, Pasar Duku, Simpang Lubuk Begalung, dll. Hal tersebut juga berdampak pada kemacetan. Banyak ruas-ruas jalanan yang berubah menjadi terminal bayangan. Angkutan kota dan taksi pun juga memarkir kendaraannya di kawasan yang sama.  
Hal ini menjadi suatu permasalahan yang sangat serius,  karena terminal penumpang yang telah dibangun dan dirancang sedemikian rupa namun dalam pengoperasian fungsi, dan keberadaannya masih belum dilaksanakan secara utuh. Terlebih lagi sudah diatur di dalam Pasal 36 UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa setiap kendaraan bermotor umum dalam trayek wajib singgah di terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek. Dalam hal ini, adanya sesuatu yang menjadi penyebab kegagalan dalam pengoperasian terminal penumpang khususnya dalam pelaksanaan kebijakan penyelenggaran terminal Air Pacah di Kota Padang, yang menuai kegagalan dalam pelaksanaannya, sehingga perlu dilakukan suatu penelitian.
B.     Kerangka Teoritis
Menurut Van Mater dan Van Horn (Lineberry, 1978:70), implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta, yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan.
Menurut Lineberry (1978:70-71), proses implementasi setidak-tidaknya memiliki beberapa elemen-elemen antara lain: 1). Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana, 2). Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating procedure/SOP), 3). Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran, pembagian tugas di dalam dan diantara dinas-dinas/badan pelaksana, 4). Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.
Konsep implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier (1987:4) mengatakan bahwa mengkaji masalah implementasi kebijakan berarti berusaha memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan diberlakukan atau dirumuskan. Pendapat kedua tokoh ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pada hakekatnya tidak hanya terbatas pada tindakan-tindakan atau perilaku badan-badan administratif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari kelompok sasaran (target group). Namun demikian, hal itu juga perlu memperhatikan secara cermat berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi, sosial yang berpengaruh kepada perilaku semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya membawa dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. 
Namun, tidak semuanya implementasi kebijakan dapat dilakukan dengan mulus. Kegagalan implementasi kebijakan disebabkan oleh keterbatasan kemampuan pemerintah, memberi peluang keterlibatan pasar dan masyarakat dalam implementasi kebijakan (Wahyuningsih, 2011:32). Hal tersebut mendorong berkembangnya konsep segitiga besi, memunculkan metafora jaringan dan komunitas yang memainkan peranut mempengaruhi pembuatan kebijakan dan hasil kebijakan.
Ada beberapa hal yang harus dipahami mengenai kegagalan implementasi sistem transportasi seperti pengoperasian Terminal Regional Bingkuang ini. Sebuah jaringan transportasi umum yang relatif baik perlu menyediakan akses yang mudah dan biaya yang lebih murah untuk para pengguna.  Biaya operasi dan biaya tetap merupakan masalah penting dan nyata bagi terminal transit saat sekarang ini. Selain itu, kenyamanan dan kualitas yang signifikan merupakan hal yang utama bagi penumpang. Studi pada perilaku penumpang  terhadap penggunaan transportasi umum harus dikaji terlebih dahulu ( Rozmi Izmail dkk, 2012: 411). Selain itu, Pemerintah  dalam membuat kebijakan transporatsi harus mengkaji  interval waktu  memulai perjalanan dari satu persinggahan (terminal) ke tempat-tempat tujuan pengguna. Oleh karena itu harus ada sistem yang terintegrasi dalam perencanaan transportasi (Szabolcs Duleba dkk, 268). Sebagai contoh di Belanda, cost benefit Analisis (CBA) adalah alat wajib untuk menilai rencana transportasi yang akan diterapkan oleh pemerintah (Els Boukersn, 2014: 61-72). Dengan melihat perkiraan biaya dan waktu yang dibutuhakan maka kebijakan yang diterapkan sudah dikaji secara mendalam oleh pengambil keputusan.
Hal-hal diatas, menegaskan bahwa transportasi adalah salah satu cabang utama memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi. Layanan transportasi terorganisir dan handal yang diperlukan untuk membantu kinerja di bidang-bidang lain seperti industri, konstruksi, pertaninan dan budaya. (Prentkovskis, 2012: 434). Jika transportasi lancar, seperti dengan adanya terminal yang mumpuni, maka orang-orang akan datang ke Kota Padang.
Gagalnya implementasi kebijakan terminal ini, mengharuskan kita mencarikan solusi rekomendasi kebijakan selanjutnya. William N. Dunn (2004) mengatakan, rekomendasi kebijakan mengharuskan analis kebijakan menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dan alasannya. Hal ini disebabkan karena prosedur analis kebijakan berkaitan dengan masalah etika dan moral. Rekomendasi pada dasarnya adalah pernyataan advokasi.
Pendekatan untuk membuat rekomendasi menurut Dunn, terdiri dari beberapa pilihan. Pertama, public choice versus private choice. Pendekatanya adalah mempertanyakan apakah kebijakan dilakukan dengan pendekatan pemerintah atau swasta (pasar). Kedua, penawaran versus permintaan. Ketiga, pilihan publik murni. Keempat, analisis cost-benefit yang menghitung dalam ukuran moneter. Kelima, analisis cost-effectiveness, sama dengan cost-benefit namun perbandingannya dengan efektivitas kebijakan.
C.    Faktor-Faktor Kegagalan Implementasi Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang
Kegagalan implementasi pengoperasian fungsi dan keberadaan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang disebabkan oleh beberapa persoalan. Faktor-faktor yang menyebabkan persoalan tidak bisa digunakannya Terminal Regional Bingkuang (TRB) Aia Pacah Kota Padang tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Faktor Tata Ruang
Pemilihan lokasi yang terlalu berorientasi/terikat kepada arahan lokasi sesuai dengan rencana umum tata ruang kota (RUTRK) dan skenario perkembangan. Berkaitan dengan pertimbangan terhadap faktor tata ruang ini ditemukan ketidaksinkronan antara kondisi riel perkembangan kota dengan konsep yang diterapkan. Pola perkembangan Kota Padang yang sampai saat ini masih berpola konsentris dan memperlihatkan kecenderungan perkembangan pola sektoral, pada sisi lain pemerintah mencoba menerapkan pola pengembangan kota dengan konsep kota berpusat banyak (multi nuclei) yang paradigma serta pendekatannya akan sangat berbeda dengan konsep pengembangan kota pola konsentris. Akibatnya tentu menyebabkan konsep yang diterapkan tidak akan sesuai dengan kondisi yang perkembangan masyarakatnya seperti pola pergerakan dan sebagainya.
Hal lain yang dapat disimpulkan dari faktor tata ruang adalah lokasi terpilih juga kurang mempertimbangkan karakter kota sebagai tujuan, penempatan terminal kota-kota yang karakter kotanya sebagai kota transit atau kota persinggahan tentu letak terminalnya tidak akan begitu berpengaruh banyak kepada kegiatan kotanya. Lain halnya, kota sebagai tujuan lokasi terminal akan sangat mempengaruhi kegiatan kota lainnya.
2.      Faktor Aksesibilitas
Salah satu penyebab tidak berfungsinya Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang adalah akibat rendahnya aksesibilitas lokasi terminal. Rendahnya asesibilitas lokasi Treminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang terindikasi dari beberapa hal seperti berikut; a). Panjang perjalanan menjadi bertambah jika memanfaatkan terminal, b). waktu perjalanan menjadi lebih lama jika memanfaatkan terminal, c). Biaya atau ongkos angkutan menuju terminal menjadi lebih mahal, d). Trayek serta jumlah armada angkutan menuju terminal sangat terbatas sehingga perlu berganti-ganti angkutan.
Padahal menurut Bert Van Wee (2014: 2) dalam mengkaji sistem transportasi harus ada mengacu kepeda opsi sinkronisasi tata ruang atau sinkronisasi temporal antara lokasi dalam jaringan transportasi. Sinkronisasi dapat meningkatkan accessibility individu dengan mengurangi jarak perjalanan dan waktu perjalanan  antara lokasi yang menjadi aktivitas pengguna terminal.
3.      Faktor Lokasi Site
Artinya lokasi yang terpilih kurang mempertimbangkan atau dengan kata lain mengabaikan hal-hal yang secara teknis disyaratkan dalam pemilihan lokasi suatu terminal seperti; a). Tidak terletak pada arah pelayanan, dalam artian tidak mempertimbangkan arag geografis lokasi pemasaran regional, b). terletak dipinggir Kota yang cukup jauhdari pusat-pusat kegiatan kota, sehingga sulit untuk mencapainya, c). Tidak terletak pada titik kritis pergantian modal angkutan (seperti persimpangan jalan arteri) pertemuan angkutan regional dengan angkutan lokal (kota), d). Tidak terletak pada daerah seperti pusat pemukiman, kawasan industri, pusat-pusat kegiatan kota, f). Tidak integral dengan sistem angkutan primer lainnya seperti pelabuhan laut, bandara, atau dengan stasiun kereta api.
4.      Faktor Keamanan Terminal
Salah satu faktor yang menjadi permasalahan yang dihadapi oleh Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang adalah masalah keamanan penumpang. Banyak keluhan yang disampaikan oleh masyarakat pengguna mulai dari masalah kecil sampai yang berbau kriminal seperti ketertiban calo penumpang, pedagang asongan yang sering memaksa, serta pencopetan dan penodongan, sehingga penumpang merasa tidak aman untuk datang ke terminal. Disamping itu, diperparah lagi oleh kondisi kawasan di sekitar Terminal Regional Bingkuang (TRB) yang masih kosong, sehingga pada sore dan malam hari sangat rawan terhadap tindak kriminal terhadap penumpang.
Faktor-faktor tersebut menyebabkan rendahnya tingkat pemanfaatan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang yang berkaitan langsung dengan jumlah penumpang, karena dengan berkurangnya penumpang di terninal mengakibatkan jumlah bus yang masuk ke terminal juga berkurang. Sedikitnya jumlah penumpang yang mau ke termninal membuat kerugian bagi Pemerintah Kota Padang, karena Terminal yang dibangun sangat megah tidak mampu untuk dioperasikan. Selain itu, Pemerintah Daerah juga tidak mampu untuk meningkatkan pendapatan dari sektor retribusi.
Gambar 1
Peta Letak Terminal Regional Bingkuang
     Ket : Terminal Regional Bingkuang (TRB) Air Pacah
                  Terminal Lama yang menjadi Plaza Andalas
Gambar diatas memberikan gambaran kepada kita, bagaimana letak terminal baru untuk menggantikan terminal lama begitu jauh dari pusat keramaian. Pada awalnya tujuan dari Pemerintah Kota Padang memang patut diapresiasi untuk mengembangkan kawasan kota padang, ke arah kawasan yang masih kurang dalam pembangunan. Namun, kajian yang teknokratis ini tidak melihat sisi-sisi lain seperti tambahan biaya bagi penumpang jika harus ke terminal baru yang sangat jauh dari pusat kota. Hal ini, menyebabkan wisatawan dari daerah malas berkunjung ke kota padang karena jarak yang jauh dari terminal, dan membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke tempat-tempta perbelanjaan di pusat kota.  
D.    Munculnya Terminal Bayangan: Sebuah Dampak Dari Kegagalan Implementasi Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang      
Kegagalan dalam pengoperasian Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang telah menimbulkan masalah sosial yang lain bagi kota Padang. Kegagalan pengoperasian Terminal Regional Bingkuang (TRB) menimbulkan terminal bayangan dimana-mana di kota Padang. Kerap kita dengar di Kota Padang istilah ‘Terminal Bayangan’, terminologi ini berkaitan dengan suatu tempat yang seyogyanya bukan terminal menjadi terminal dan berlangsung secara terus menerus. Misalnya di jalan utama kawasan kampus Universitas Negeri Padang dan kawasan Simpang Lubug Begalung Padang, serta kawasan Gaung dekat Pelabuhan Teluk Bayur.
Gambar 2.
Terminal Bayangan di Deapan Kampus Universitas Negeri Padang
Kegagalan pengoperasian terminal tersebut, menjadikan terminal bayangan, sebagai solusi bagi masyarakat untuk bepergian. Baik di dalam kota, ataupun antar kota dalam provinsi (AKDP). Khusus antar kota antar provinsi (AKAP), sudah di-handle perusahaan masing-masing seperti tempat-tempat diatas.
Selain itu, Terminal angkot di Pasar Raya berubah fungsi jadi pusat perbelanjaan. Setelah terminal tergusur, angkot akhirnya terpaksa nge-tem di depan Masjid Muhammadiyah yang berimplikasi pada kesemrawutan lalu lintas. Kesemerawutan bentuk kota oleh membludaknya angkot-angkot yang tidak memiliki terminal menjadikan jalan Pasar Raya Kota Padang sebagai terminal pemberhentian. Kesemerawutan tersebut, tampak jelas pada gambar berikut ini.
Gambar 3.
Kesemerawutan Kota Padang oleh Terminal Bayangan Angkot
Akibat dari terminal bayangan ini, menjadikan kemacetan tak bisa dihindari. Kesemrawutan transportasi di Kota Padang memang menuntut kerja keras aparatur Negara untuk mengembalikan kondisi kota menjadi tertib dan aman seperti sedia kala. Sebuah kota dikatakan modern tidak saja dilihat dari indicator pembangunanan fisik saja, tapi juga dari perilaku masyarakatanya.  Memang sudah menjadi problema sebuah kota besar dengan kesemrawutan yang mengakibatkan kemacetan lalu lintas yang disebabkan oleh ketidak teraturan manusia dalam berkendara (reflesi budaya).
Kebutuhan sistem transportasi di kota Padang yang lebih aman dan nyaman sudah sangat mendesak.  Sebab dengan  sistem transportasi yang lebih baik lagi, hal itu akan  memiliki efek positif ke berbagai sektor. Ekonomi akan lebih efisien dan bisa berkembang lebih cepat serta  investor akan tertarik menanamkan modalnya. Sistem transportasi yang teratur mencerminkan kondisi kehidupan kota.
E.     Rekomendasi: Dialog Kebijakan Yang Melibatkan Semua Unsur
Kebijakan pembangunan Terminal Regional Bingkuang (TRB) Kota Padang dipandang sebagai kebijakan yang teknokratis dan top–down. Kebijakan seperti ini tidak memandang dimensi lain yang ada dalam pendekatan kebijakan publik yang bottom-up, dimana unsur masyarakat juga dilibatkan dalam mengambil keputusan.
Talcot Parson, setelah mengelaborasi pendapat Habermas dan Foucault, mengemukakan argumen bahwa dalam menganalisis kebijakan perlu memahami mode-mode pemikiran tentang “proses” dan “problem”. Pemahaman mode-mode pemikiran tentang proses dan menyiratkan perlunya melakukan analisis kebijakan secara demokratis, tidak elitis, karena harus memahami konteks proses dan konteks pendefenisian masalah yang dihadapi.
Oleh karena itu harus ada sebuah konsep yang mampu untuk menjembatani dua perspektif antara top-down dan bottom-up ini dalam kebijakan publik. Ada sebuah konsep yang dikemukakan Juergen Hebermas yakni collaborative policy, yakni kebijakan yang disusun dengan mempertimbangkan keanekaragaman maupun saling ketergantungan. Basis teori yang digunakan adalah konsep communicative rationality dan transformative power of dialogue, seperti gambar dibawah ini:
Gambar 4.
Konsep Collaborative Policy
Dari kerangka pikir collaborative policy  diatas, dialog yang terbentuk harus bersifat otentik dan bukan bersifat repetisi atau retoris, serta ada pemahaman tentang adanya perbedaan dan saling ketergantungan antar stakeholder. Hal ini berarti perlu pemahaman karakteristik tipikal partisipan, sehingga terbangun resiprositas, kerjasama, pembelajaran antar stakeholder, dan munculnya kreativitas untuk pemecahan masalah. Jadi dalam dialog ini diperlukan adanya saling kepercayaan antar stakeholder, memperkecil kesenjangan kekuasaan, serta adanya pemahaman informasi yang cukup diantara stakeholder sehingga pendapat, aspirasi, dan kebutuhan setiap anggota dapat disampaikan dengan terbuka.
Dari proses tersebut dapat dihasilkan saling pemahaman tentang identitas satu dengan yang lain, berbagai makna antar stakeholder yang selanjutnya akan menjadi social capital baru dalam masyarakat untuk menghasilkan inovasi. Sedangkan pemahaman konteks lokal berfungsi untuk menghubungkan kebijakan dengan politik yang berlangsung. Argumen yang tersembunyi dalam rumusan formal kebijakan didefinisikan ulang melalui pemahaman warga dan aktor-aktor yang tersembunyi dalam rumusan formal kebijakan didefenisikan ulang melalui pemahaman warga dan aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan dilapangan, sehingga bias-bias wacana kebijakan dapat disingkirkan.
Dalam perspektif ini, partisipasi dari masyarakat dan stekeholder lainnya sangat diperlukan. Partisipasi hanya akan berlangsung bila ada kesedian dari kedua belah pihak baik pemerintah daerah maupun warga masyarakat. pemerintah harus mempunyai i’tikad untuk memberikan keleluasaan bagi warganya untuk terlibat dan mempengaruhi keputusan-keputusan yang ada dalam proses kebijakan. Bila belum muncul kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan maka pemerintah daerah (Kota Padang) seyogyanya bersedia membuka ruang dan mekanisme yang memungkinkan partisipasi bisa tumbuh dan berkembang (Tim JPP, 2009:17). Disisi lain, masyarakat pun dituntut untuk bersedia terlibat lebih jauh dalam proses kebijakan yang ada.


Partisipasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan dapat dilakukan dalam dua model yakni:
1.      Dengar Pendapat Publik (Public Hearing)
Teknik ini dilakukan dengan cara membentuk pertemuan publik dalam jumlah yang terbatas. Dalam teknik ini biasanya pemerintah daerah mengundang elemen-elemen masyarakat yang tertarik dan pakar-pakar yang kompeten dalam bidang kebijakan tertentu. Di sini pemerintah daerah merepresentasikan rencana yang ingin dijalankan dan mendengarkan pendapat publik tentang persoalan tersebut.
Teknik ini memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah kemampuan menginformasikan persoalan kepada publik secara cepat, meminimalisasi potensi konflik serta mendorong terciptanya pengambilan keputusan yang lebih baik.
2.      Focus Group Discussion (FGD)
Teknik ini dilakukan dengan cara mendiskusikan satu topik tertentu yang melibatkan perwakilan-perwakilan dari kelompok-kelompok dalam masyarakat; misalnya elemen-elemen organisasi sosisal, etnis, dan pemerintah daerah sendiri. Diskusi ini hanya dilakukan dalam satu kali tatap muka dan sebisa mungkin dijalankan secara informal agar terjadi suasana diskusi yang terbuka. Dengan cara semacam ini diharapkan akan mendorong munculnya ide-ide dan komitmen untuk mengembangkan inovasi-inovasi baru dalam menangani persoalan publik. Sebuah kelompok fokus diadakan untuk menentukan perilaku pengguna terminal transportasi  dan selanjutnya dipelajari untuk memilih variabel yang relevan digunakan sebagai alternatif kebijakan (Dell’Olio dkk, 2012: 277)..
Teknik ini memiliki kelebihan terutama adanya kemungkinan yang besar untuk menciptakan konsensus dan pengayaan informasi diantara para peserta yang mewakili masing-masing elemen masyarakat. Bila persoalan formalitas bisa diatasi maka forum ini bisa menjadi mekanisme diskusi dengan suasana santai. Selain itu, FGD bisa dijadikan salah satu cara untuk mengukur opini publik tentang sebuah persoalan.
Dengan demikian, dari perspektif kebijakan diatas, nampaknya tersedia ruang bagi pemerintah untuk berbagi informasi kepada masyarakat dalam rangka membangun kesepahaman substansi kebijakan. Pemerintah Kota memberi ruang pelibatan warga untuk mengkritisi wacana kebijakan. Demikian pun masyarakat mempertanyakan kembali tunjuan kebijakan versi pemerintah. Masyarakat juga memiliki ruang mengevaluasi implementasi dan manfaat dari kebijakan pemerintah. Selain itu, warga masyarakat juga memiliki kesempatan untuk mengusulkan perubahan kebijakan sesuai kerangka pengalaman dan referensi mereka atas kebijakan yang pernah ada.
F.     Penutup
Terminal Regional Bingkuang (TRB) kota Padang, pada dasarnya mampu memberikan kebanggan bagi kota padang sebagai satu-satunya kota yang memiliki terminal tipe A di Sumatera Barat. Namun dalam pelaksanaannya terdapat berbagai macam kendala. Kendala yang terjadi baik dari segi internal maupun dari eksternal pemerintah sendiri. Dari segi internal Pemerintah Kota Padang belum memperlihatkan konsistensi dan keseriusan dalam upaya mengembangkan Terminal Regional Bingkuang (TRB) sebagai terminal yang representatif. Sedangkan dari segi eksternal adalah kurangnya komunikasi antara Pemerintah Kota dengan pengusaha bus AKDP dan masyarakat sehingga kebijakan yang dibuat tidak bisa diimplementasikan.
Selain itu, beberapa kendala lain adalah lokasi yang dianggap tidak strategis dan jauh dari pusat kota. Hal ini menyebabkan masyarakat/penumpang harus mengeluarkan biaya lebih untuk menuju terminal dan fasilitas lainnya yang dianggap kurang dan tidak mampu memenuhi beberapa kebutuhan pemiliki angkutan. Sehingga untuk memeperoleh kebutuhan armada kendaraannya mereka harus mengeluarkan biaya lebih dan cukup memberatkan.  
Rekomendasi untuk mengatasi kegagalan implementasi terminal di Kota Padang, baik penumpang (masyarakat), pemerintah dan pengusaha diharapkan  mampu  memberikan simbiosis mutualisme diantara ketiganya. Konsep colaborative policy diharapkan mampu untuk menjembatani semua stakeholder yang ada di kota Padang, baik pemerintah maupun aktor diluar pemerintah, sehingga terminal sebagai tempat persinggahan memberikan kenyamanan bagi penumpang dan pengusaha Bus AKDP, serta tentunya memberikan kontribusi yang besar dari retribusi yang dipungut bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang nantinya dapat diteruskan untuk menjalankan pembangunan bagi kota Padang. 

Daftar Pustaka
Arbi Winarko S dan Chalid Sahuri. Implementasi Kebijakan Ketertiban Terminal Penumpang. Jurnal Kebijakan Publik, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 1-118 
Bert Van Wee, Policies for Syinchronization in the transport-land use system. Transport Policy 31 (2014) 1–9.
Dunn, William N. 2004. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas.
Els Beukersn, Luca Bertolini, Marco Te Brömmelstroet.  Using cost benefit analysis as a learning process : identifying interventions for improving communication and trust. Transport Policy 31 (2014) 61–72. journal homepage: www.elsevier.com/locate/tranpol
Gito Sugiyanto, dan Sugiyanto. Elastisitas Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Kebutuhan Angkutan Umum di London dan Yogyakarta. Jurnal Transportasi, Vol. 9 No. 1. Juni 2009.
Hajer, M. And Wagenaar, H. 2003. Deliberative Policy Analysis: Understanding Governance in the Network Society. London: The Policy Press.
John Preston. The Deregulation and Privatisation of Public Transport in Britain: Twenty Years On. Transport Policy 31 (2014) 61–72.
Lisa Davison. A Survey of Demand Responsive Transport in Great Britain. Transport Policy 31 (2014) 47–54
Luigi Dell’Olio1, Angel Ibeas2, Alberto Dominguez3, Felipe Gonzalez. Passenger Preference Analysis: light Rail Transit Or Bus versus Car. TRAN 2012 Volume 27(3): 276–285.
Monograph on Politic and Government Vol.3, No. 1. 2009. JPP UGM, Yogyakarta.
M. Vetrivel Sezhian. Performance Measurement In Public Sector Passenger Bus Transport Company Using Fuzzy Topsis, Fuzzy AHP and ANOVA-A Case Study. International Journal of Engineering Science and Technology (IJEST), Vol 3. No. 2 Feb 2011.
Parson, W. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana Pranada Media Group.
Piere B. Vilain, Janet Cox, and Vicente Mantero. Public Policy Objectivities and Urban Transit. New York and New Jersey
Olegas Prentkovskis. Research Journal Transport Reviewing Process in 2012. http://www.tandfonline.com/TRAN 2012 Volume 27(4): 434–438. Vilnius Gediminas Technical University (VGTU) Press Technika
Ralph Buehler and John Pucher. Demand for Public Transport in Germany and The USA: An Analysis of Rider Characteristics. Transport Reviews, Vol. 32, No. 5, 541–567, September 2012
Rui Careira, Lia Patricio, Renato Natal Jorge, and Chris Magge.  Understanding the Travel Experience and its Impact on Attitudes , Emotions, and Loyality Towards the Transportasion Provider Quantitative Study With Mid-distence Bus Trips. Transport Policy 31 (2014) 35–46.
Rutiana Dwi Wahyuningsih, Membangun Kepercayaan Publik Melalui Kebijakan Sosial Inklusif, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, vol. 15, No. 1. 2011. Yogyakarta
Rozmi Izmail, dkk. Passengers Preference and Satisfaction of Public Transport in Malaysia. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 6(8): 410-416, 2012
Siti Aminah. Transportasi Publik dan Akesesibilitas Masyarakat Perkotaan. FISIP Universitas Airlangga.
Szabolcs Duleba, Tsutomu Mishina, Yoshiaki Shimazaki. A Dynamic Analysis on Public Bus Transport’s Supplay Quality By Using AHP. Transport 2012 Volume 27(3): 268–275. Vilnius Gediminas Technical University (VGTU) Press Technika
Thomas M. Schimitt. Global Cultural Governance, Decesion –Making Concerning World Haritage Between Politics and Science. Vol. 63 No.2. 2009. Jstor.org. 
http://admneg08029.blogspot.com/2011/02/analisis-kasus-kegagalan-implementasi.html

* (Mahasiswa Pascasarjana Politik dan Pemerintahan UGM)


Wednesday, December 25, 2013

Stakeholders Mapping dalam Formulasi Kebijakan





A.    Macam-Macam Stakeholder Dalam Formulasi Kebijakan
Pelaku (stakeholders) perumusan kebijakan publik pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu: (1) Resmi, termasuk dalam pelaku ini adalah lembaga pemerintahan seperti birokrasi, presiden (eksekutif), DPR/D (legislatif) dan Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya (yudikatif); (2) Tidak Resmi, termasuk dalam pelaku ini adalah kelompok kepentingan, partai poitik, LSM, media massa dan manajemen individu.
Pembuat kebijakan resmi atau disebut pula aktor resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Yang termasuk dalam aktor resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini yang disebut oleh Anderson (2006) sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental participants) atau aktor tidak resmi, karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi kebijakan tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan informasi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi. Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka siapkan. Untuk memahaminya perlu memahami pula sifat-sifat semua pemeran serta (participants), bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta saling mengawasi.
Namun demikian, Lembaga/instansi pemerintah lah yang banyak terlibat dalam perumusan ataupun pengembangan kebijakan publik. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa kebijakan sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah mengenai masalah tertentu sehingga keterlibatan lembaga itu sebagai aparat pemerintah dalam ikut menentukan kebijakan menjadi semakin terbuka. Dengan pemahaman tersebut, maka lembaga/instansi pemerintah telah menjadi pelaku penting datam proses pembuatan kebijakan. Selain itu, lembaga/instansi pemerintah juga menjadi sumber utama mengenai usul-usul pembuatan kebijakan dalam sistem politik. Lembaga/ instansi tersebut secara khas tidak hanya menyarankan kebijakan, tetapi juga secara aktif melakukan lobi dan menggunakan tekanan-tekanan dalam penetapan kebijakan publik.
Di tingkat daerah lembaga legislatif disebut DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota membentuk Peraturan Daerah. Setiap peraturan perundangundanganyang menyangkut persoalan-persoalan publik harus mendapat persetujuan dari lembaga legislatif. Selain itu, keterlibatan lembaga legislatif dalam perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, penyelidikan-penyelidikan, dan kontak-kontak yang mereka lakukandengan pejabat pemerintah, kelompok-kelompok kepentingan, dan lain sebagainya. Keberadaan lembaga legislatif tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Lembaga ini terbentuk melalui permilu yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.
Partai politik yang memenangkan pemilu akan menempatkan para wakil rakyatnya yang selanjutnya akan mengartikulasikan tuntutan-tuntutan masyrakat. Tuntutan-tuntutan itu kemudian dirumuskan dalam bentuk kebijakan yang “seharusnya” dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat. Dengan kata lain, partai politik merupakan perwakiIan dari suara rakyat yang telah memandatkan suaranya melalui proses pemilu untuk duduk di lembaga legislatif serta diharapkan dapat memper- juangkan apa yang menjadi aspirasi, tuntutan, dan kepentingan masyarakat. Kelompok kepentingan merupa-kan pemeranserta tidak resmi yang memainkan peran penting dalam pembuatan kebijakan di hampir semua negara.Perbedaan yang mungkin ada bergantung pada apakah negara demokratis atau otoriter, moderen atau berkembang. Perbedaan tersebut me nyangkut keabsahan serta hubungan antar pemerintah dengan kelompok-kelompok tersebut. Dalam sistem politik demokratis, kelompok-kelompok kepentingan akan lebih memainkan peran yang lebih dengan kegiatan yang lebih terbuka dibanding sistem otoriter.
Dalam sistem demokrasi kebebasan berpendapat dilindungi, serta warga negara mempunyai keterlibatan politik. Walaupun dalam kedua sistem tersebut kelompok-kelompok kepentingan berbeda dalam hal hubungan dan sifat aktivitasnya, namun pada semua sistem tersebut, kelompok-kelompok kepentingan menjalankan fungsi artikulasi kepentingan, yaitu mereka berfungsi menyatakan tuntutan-tuntutan dan memberikan alternatif-alternatif tindakan kebijakan. Kelompok kepentingan juga saling memberikan informasi kepada para pejabat publik dan sering informasi yang diberikan bersifat teknis mengenai sifat serta konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari usul-usul kebijakan yang diajukan, sehingga kelompok kepentingan telah memberikan sumbangan yang berarti bagi rasionalitas pembuatan kebijakan.
Dalam sistem demokrasi, partai-partai politik memegang peranan penting karena digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Hal ini berarti bahwa partai-partai politik pada dasarnya lebih berorientasi kepada kekuasaan dibandingkan kebijakan publik. Namun demikian, pengaruh mereka tidak dapat diabaikan begitu saja dalam proses pembuatan kebijakan publik. Partai politik mernpunyai tugas untuk menyalurkan aspirasi, menampung, mengolah dan mengintegrasikan aspirasi masya-rakat yang selanjutnya membuat usulan kebijakan.
Partisipasi warga negara dalam sistem politik, walaupun sistem politik tersebut merupakan sistem politik demokratis, sering dianggap mempunyai partisipasi rendah. Hal ni didasarkan pada kenyataan bahwa banyak orang tidak memberikan suaranya pada waktu pemilihan umum, tidak ikut serta dalam kegiatan partai politik, tidak terlibat dalam kelompok-kelompok penekan serta mempunyai perhatian yang rendah terhadap sistem politik. 
Di negara-negara yang berdasarkan sistem otoriter, kepentingan-kepentingandan keinginan-keinginan para warga negara biasanya merupakan akibat dan kebijakan-kebijakan publik. Penguasa akan tetap menaruh perhatian terhadap apa yang menjadi keinginan rakyat agar kekacauan sedapat mungkin diminimalkan, dan juga mempunyai keinginan untuk menjaga keutuhan negara, seperti halnya keinginan para warga negara meskipun mereka tidak dliibatkan secara langsung dalam pembuatan kebijakan.
Dalam proses pembuatan suatu kebijakan, perlu keterlibatan para pembuat kebijakan, baik pelaku yang resmi maupun yang tidak resmi. Untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan, terlebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pelaku (participant), bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau kekuasaan yang mereka miliki, bagaimana mereka saling berhubungan dan saling mengawasi.
Dengan demikian harus dipandang sebagai proses akomodasi dan pelibatan berbagai elemen yang ada dalam masyarakat yang hendak dijadikan sasaran dari kebijakan publik yang akan dibuat. Lembaga atau pihak yang hendak membuat kebijakan publik harus melibatkan semua elemen yang ada sebagai bagian dari sistem. Pembuat kebijakan diharapkan tidak lagi memandang dirinya sebagai satu-satunya aktor yang menentukan dalam pembuatan kebijakan publik. Informasi dan preferensi yang ada dari berbagai sumber dilingkungannya harus sedapat mungkin diproses dan diserap sebagai bahan mentah dalam proses pembuatan kebijakan publik yang dihasilkan nantinya akan semakin kaya dan mendapatkan legitimasi politik yang kuat dari lingkungannya. 
B.     Prinsip-Prinsi Stakeholder
Dalam Formulasi kebijakan menurut Mustopadidjaja (2003), para Stakeholder harus memiliki Views (pandangan), yakni semacam intellectual ventures yang bertalian dengan kajian dan formulasi kebijakan. Adapaun pandangan ataupun prinsip-prinsip dari Stakeholder sebagai berikut:
1.      Agenda setting adalah suatu tahap sebelum perumusan kebijakan dilakukan, yaitu bagaimana isu-isu itu muncul pada agenda pemerintah yang perlu ditindakianjuti berupa tindakan-tindakan pemerintah. Banyak isu yang masuk ke pemerintah, yang diharapkan agar pemerintah segera mengambil tindakan, ternyata pemerintah tidak bertindak sesuai dengan keinginan masyarakat.
2.      Cara pandang sistemik; tak ada suatu permasalahan kebijakan publik yang tidak terkait dengan masalah-masalah lainnya, kita harus mengenali benar saling hubungan tersebut, dan mengidentifikasi secara obyektif posisi permasalahan yang dihadapi dalam konteks keseluruhan masalah yang dihadapi masyarakat.
3.      Eksternalitas dan jastifikasi intervensi pemerintah; analisis kebjakan juga harus memperhatikan berbagai biaya dan manfaat yang tidak langsung (indirect cost and benefits) yang mungkin timbul belakangan dan sulit diukur, disamping perhatiannya yang sangat intensif terhadap biaya dan manfaat langsung dan berbagai kebijakan yang justru mudah dilihat dan diukur.
4.      Psikologi penentuan pilihan; adanya keterbatasan pendekatan rasional dan informasi mengenai kompleksitas dalam pengambilan keputusan yang memerlukan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kemampuan intelegensia yang timbul sebagai nilai lebih berkat pengalaman hidup atau akumulasi nilai yang didapat akibat interaksi sesama aktor dalam proses pengambilan keputusan dimana juga dipertimbangkan berbagai diagnosis dan prognosis.
5.      Pemetaan alternatif; perjalanan mencari sesuatu memerlukan peta sehingga jelas jalan dan arah mana yang telah kita lalui dan kemana lagi kita harus melangkah. Dalam pengambilan keputusan kita mengenal konsep decision tree yang dapat membantu mengembangkan peta dan jalur-jalur pilihan yang dapat ditempuh.
6.      Pentingnya analisis marjinal; kita harus memperhatikan batas-batas toleransi biaya yang mungkin harus dikeluarkan untuk mencapai kinerja dengan batas-batas kepuasan atau tingkat capaian tertentu, karena akan lebih realistis dari pada bersikap babwa keseluruhan tujuan atau tingkat kepuasan maksimal dapat dicapai. 
7.      Biaya ekonomis; konsep opportunity costs yang menyatakan bahwa biaya sesungguhnya dari suatu program belum terungkap sepenuhya dalam nilai uang, tetapi dari berbagai nilai yang harus dikorbankan karena pendanaan program tersebut dan itulah yang kita harus perhitungkan.
8.      Pluralitas, interdependensi dan dinamika kepuasan; yang ingin dikemukakan adalah kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan, siapa yang melakukannya, dan kapan harus dilakukan adalah tidak mudah dan dapat cepat dicapai dan banyak faktor yang berpengaruh di dalamnya. 
9.      Output; bukan hanya input yang jadi tuntutan pertanggungjawaban, esensinya adalah kebijakan harus dinilai tidak atas dasar upaya apa yang telah dicoba untuk mencapai sesuatu, melainkan atas dasar apa yang secara nyata telah dicapainya.
Uraian di atas mengisyaratkan perlunya kita mengantisipasi perilaku politik stakeholder dalam proses formulasi kebijakan. Pluralitas sosiopolitik yang melekat pada konsep dan mewarnai kehidupan demokrasi, bersama dengan masalahmasalah etika dan psikokultural yang berpengaruh terhadap perilaku para aktor sosial politik, perlu mendapat perhatian tersendiri dalam manajemen proses kebijakan pada keseluruhan tahapannya. Pada tahap formulasi kita perlu menandai peta politik dengan mengantisipasi kemungkinan sikap para stakeholder yang berperan dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam menentukanpilihan atas sejunlah opsi kebijakan.
C.    Variabel-variabel Yang Mempengaruhi Stakeholder dalam Formulasi Kebijakan
Dalam formulasi kebijakan publik paling tidak terdapat sebanyak enam variabel penting  yang biasanya mempengaruhi Stakeholder, Variabel tersebut meliputi:
1.      Faktor politik. Faktor ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan suatu kebijakan publik, karena dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai aktor kebijakan (policy actors), baik aktor-aktor dari pemerintah maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, LSM, asosiasi profesi, media massa, dan lain-lain).
2.      Faktor ekonomi/finansial. Faktor ini pun perlu dipertimbangkan terutama apabila kebijakan tersebut akan menggunakan atau menyerap dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam suatu daerah. 
3.      Faktor administratif/organisatoris. Dalam perumusan kebijakan perlu pula dipertimbangkan faktor administratif atau organisatoris yaitu apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh kemampuan administratif yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu.
4.      Faktor teknologi. Dalam perumusan kebijakan publik perlu mempertimbangkan teknologi yaitu apakah teknologi yang ada dapat mendukung apabila kebijakan tersebut diimplementasikan. Faktor sosial, budaya, dan agama. Faktor ini pun perlu dipertimbangkan, misalnya apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya, dan agama atau yang sering disebut masalah Sara.
5.      Faktor pertahanan dan keamanan. Faktor pertahanan dan keamanan ini pun akan berpengaruh dalam perumusan kebijakan, misalnya apakah kebijakan yang akan dikeluarkan tidak mengganggu stabilitas keamanan suatu daerah.
D.    Analisis Kepentingan Stakeholders dalam Formulasi Kebijakan
Sebagai alat untuk memprediksi konflik antar stakeholder, maka analisis stakeholder adalah suatu proses yang secara sistematis menggali informasi kualitatif untuk menjelaskan siapa yang memiliki kepentingan dan diperhitungkan ketika mengembangkan/menerapkan suatu kebijakan atau program. Analisis stakeholders bertujuan agar pembuat kebijakan memperoleh pemahaman yang baik menyangkut keleluasaan dan keanekaragaman stakeholder dalam masyarakat. Analisis stakeholder ini mempunyai beberapa kegunaan yaitu:
v  Mendefinisikan pola hubungan antar stakeholder yang telah ada
v  Menganalisis tingkat kepentingan stakeholder
v  Sebagai alat untuk manajemen dalam pembangunan kebijakan
v  Sebagai alat untuk memprediksi konflik antar stakeholder

Daftar Referensi
Anderson, James E. 2006. Public Policy Making: An Introduction. Boston: Houghton Mifflin
Dunn, William N.. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dye, Thomas R.. 1995. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall.
Mustopadidjaja AR. 2003. Manajemen Proses Kebijakan Publi: formulasi, implementasi dan evaluasi kinerja. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI.
Putra, Fadillah. 2003. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riant Nugroho Dwijowijoto. 2009. Public Policy, Teori Kebijakan, Analisis Kebijakan, Proses Kebijakan, Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi Risk Management Dalam Kebijakan Publik, Kebijakan Sebagai The Fifth Estate, Metode Penelitian Kebijakan. Jakarta: PT. Elex Media Computindo.
Santoso, Purwo. 2010. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: POLGOV