Ketika langit tidak
lagi membiru (Demokrat),
Dan padi tidak lagi
menguning (Golkar)
Partai Golkar memanas, itulah topik
yang akhir-akhir ini menghiasai halaman-halaman berita nasional. Partai Golkar yang
merupakan partai kuat dalam ranah elektoral indonesia, sekarang mulai mengalami
goncangan dari internalnya. Kisruh ditubuh partai berlambang beringin ini,
ketika langit tidak lagi membiru (Demokrat), dan padi tidak lagi menguning
(Golkar), karena pemenang legislatif pada pemilu kali ini adalah PDI-P, meski
jarak selisih suaranya tidak begitu jauh dari Golkar. Makna dari kebalikan
jargon di iklan partai Golkar ketika pemilu kemarin, ditambah dengan hasil Pilpres
9 Juli yang diumumkan oleh KPU, begitu kentara ditubuh Partai Golkar saat ini.
mengglindingnya isu pelengseran Aburizal Bakrie (ARB) pada saat Munas Partai
Golkar bulan oktober nanti terus menguat.
Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai
Golkar dianggap gagal dalam dua arena elektoral oleh berbagai kalangan. Kegagalan
pertama adalah Partai Golkar yang sebelum akhir tahun 2013 selalu leading diberbagai lembaga survei. Dalam
kenyataannya Partai Golkar cuma mampu berada diposisi kedua dengan perolehan
suara 14,75 % pada Pemilu 2014. Kalau
kita melihat perolehan suara Partai Golkar pada pemilu 2014 sama dengan perolehan
Partai Golkar pada pemilu 2009, dalam artian pemilih Partai Golkar pada pemilu
2014 kemarin adalah pemilih Partai Golkar pada 2009. Kegagalan kedua adalah
Partai Golkar tidak memajukan kadernya dalam Pilpres 2014. Pada dasarnya meski
Partai Golkar memperoleh 14,75
% suara, partai ini masih berpeluang menjadikan capresnya Aburizal Bakrie untuk
ikut serta bertarung di Pilpres. Namun kenyataannya, lambat-laun Partai Golkar
tidak mampu menggaet partai lain untuk berkoalisi, dan disaat yang sama
elektabilitas ARB sebagai calon Golkar tidak naik, jika dibandingkan dengan
Jokowi dan Prabowo. Akhirnya, keputusan DPP Partai Golkar bulat mendukung Pasangan
Prabowo-Hatta karena tidak bisa mencalonkan Aburizal Bakrie sebagai capresnya.
Ternyata sikap dari Partai Golkar
mendukung pasangan Prabowo-Hatta tidak diikuti oleh seluruh kadernya, terutama
kader dari kalangan muda Partai Golkar, yang menetapkan pilihan kepada pasangan
Jokowi-JK. Kisruh beda pendapat dalam mendukung antara pasangan Prabowo-Hatta
dengan Jokowi-JK berujung pemecatan kader-kader muda tadi.
Kemenangan pasangan Jokowi-JK, yang
juga didukung kader muda Partai Golkar, akan berdampak kepada situasi dan
kondisi ditubuh Partai Golkar itu sendiri. Partai Golkar selalu menjadi partai
yang hidup didalam kekuasaan (pemerintahan), baik semasa pemerintahan Orde
Baru, dimana Golkar menjadi salah satu pilar penopang kekuasaan disamping ABRI
dan Birokrasi. Namun, sifat alamiah Golkar terus berlanjut di era reformasi,
Golkar baru versi Akbar Tanjung tetap menempatkan partai beringin didalam
pemerintahan (sebutan Partai Golkar hanya ada di era Reformasi). Pasca
kemenangan Jokowi-JK oleh keputusan MK,
kemana sebenarnya arah Partai Golkar nanti?. Partai Golkar sebaiknya tetap
didalam pemerintahan, sebagai sebuah partai yang sudah merasakan asam garamnya
memerintah, Partai Golkar sangat diperlukan oleh pemerintahan yang berkuasa.
Selain itu, Partai Golkar tetap partai penguasa, hal ini dikarenakan hampir 50
% kepala daerah di Indoneisa adalah berasal dari Partai Golkar (baik kader
maupun yang diusung). Jika partai Golkar berpegang teguh dengan komitmennya
untuk berada diluar pemerintahan sebagai oposisi bersama koalisi merah putih,
tentu saja hal ini akan menjadi babak baru bagi partai Golkar dalam kancah
perpolitikan indonesia. Peluang partai Golkar untuk menjadi oposisi terhitung
sangat kecil, jika kita cermat melihat sejarah Partai Golkar. Meski didalam UUD
1945 sendiri tidak mengenal istilah koalisi dan oposisi. Namun, inilah dilema
sistem presidensial yang dipadukan dengan multipartai, dimana tidak ada partai
dominan, sehingga dibutuhkan kompromi politik diantara mereka.
Partai Golkar harus mengambil sikap
atas begitu banyaknya faksionaliseme ditubuh partai. Partai Golkar sebagai
partai lama, sebaiknya belajar dengan banyaknya partai-partai baru yang
dahulunya berasal dari Partai Golkar sendiri, sebagai contoh; Partai Hanura, Partai
Gerindra, dan yang terbaru adalah Partai Nasdem. Mereka semua dahulunya adalah
satu payung dibawah Partai Golkar, ada yang menciptakan partai baru berdasarkan
keinginan sendiri, dan ada pula yang menciptakan partai baru karena terlibat
konflik dalam tubuh partai golkar, semisal kalah dalam kompetisi menjadi ketua
umum. Jika Partai Golkar tidak mampu meredam api konflik di internalnya, tidak
menutup kemungkinan akan ada lagi embrio partai baru dari tubuh golkar
dikemudian hari.
Menanggapi kisruh
yang terjadi di dalam tubuh partai berlambang beringin ini, pengurus partai harus
segera melakukan konsolidasi. Semua pihak yang bertikai dundang untuk dapat
duduk bersama, disinalah perlu dituntut kepemimpinan ARB yang probem solver (pemecah masalah), dengan
melakukan manajemen konflik yang baik. Aburizal bersama dengan pengurus DPP
Partai Golkar harus melakukan kembali komunikasi politik dengan pihak Tri Karya
selaku ormas sayap dan pendiri Partai Golkar. Hal ini dikarenakan Tri Karya
merupakan ormas penopang kemapanan Golkar selama ini, disamping pihak ini
jugalah yang terus mengkritisi kepemimpinan Aburizal dan DPP Partai Golkar saat
ini.
Bagaimana kelanjutan turbulensi
(goncangan) ditubuh Partai Golkar, sama-sama kita lihat pada Munas Partai Gokar
bulan oktober nanti, ketua umum?, berkoalisi atau beroposisi?, yang jelas akan
mendewasakan Partai Golkar dikemudian hari.
Fahrezi,
S.IP, M.A (Alumni Pascasarjana FISIPOL UGM)