A.
Macam-Macam
Stakeholder Dalam Formulasi Kebijakan
Pelaku (stakeholders)
perumusan kebijakan publik pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu: (1) Resmi, termasuk dalam pelaku ini adalah lembaga pemerintahan seperti
birokrasi, presiden (eksekutif), DPR/D (legislatif) dan Mahkamah Agung beserta
badan peradilan di bawahnya (yudikatif); (2) Tidak Resmi, termasuk dalam pelaku
ini adalah kelompok kepentingan, partai poitik, LSM, media massa dan manajemen
individu.
Pembuat kebijakan resmi atau disebut pula aktor
resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam
perumusan kebijakan publik. Yang termasuk dalam aktor resmi adalah agen-agen
pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Selain
pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses
kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik;
organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini
yang disebut oleh Anderson (2006) sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental participants) atau
aktor tidak resmi, karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah
situasi kebijakan tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan
yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan informasi;
memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi. Mereka juga dapat
menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka siapkan. Untuk memahaminya
perlu memahami pula sifat-sifat semua pemeran serta (participants), bagian atau
peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka
miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta saling mengawasi.
Namun demikian, Lembaga/instansi pemerintah lah yang
banyak terlibat dalam perumusan ataupun pengembangan kebijakan publik. Hal ini
terkait dengan pemahaman bahwa kebijakan sebagai apa yang dilakukan oleh
pemerintah mengenai masalah tertentu sehingga keterlibatan lembaga itu sebagai
aparat pemerintah dalam ikut menentukan kebijakan menjadi semakin terbuka.
Dengan pemahaman tersebut, maka lembaga/instansi pemerintah telah menjadi
pelaku penting datam proses pembuatan kebijakan. Selain itu, lembaga/instansi
pemerintah juga menjadi sumber utama mengenai usul-usul pembuatan kebijakan
dalam sistem politik. Lembaga/ instansi tersebut secara khas tidak hanya
menyarankan kebijakan, tetapi juga secara aktif melakukan lobi dan menggunakan
tekanan-tekanan dalam penetapan kebijakan publik.
Di tingkat daerah lembaga legislatif disebut DPRD
bersama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota membentuk Peraturan Daerah.
Setiap peraturan perundangundanganyang menyangkut persoalan-persoalan publik
harus mendapat persetujuan dari lembaga legislatif. Selain itu, keterlibatan lembaga
legislatif dalam perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari mekanisme rapat
kerja, rapat dengar pendapat, penyelidikan-penyelidikan, dan kontak-kontak yang
mereka lakukandengan pejabat pemerintah, kelompok-kelompok kepentingan, dan
lain sebagainya. Keberadaan lembaga legislatif tidak serta merta muncul dengan
sendirinya. Lembaga ini terbentuk melalui permilu yang diselenggarakan dengan
tujuan untuk memilih wakil rakyat serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis,
kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.
Partai politik yang memenangkan pemilu akan
menempatkan para wakil rakyatnya yang selanjutnya akan mengartikulasikan
tuntutan-tuntutan masyrakat. Tuntutan-tuntutan itu kemudian dirumuskan dalam
bentuk kebijakan yang “seharusnya” dapat memberikan kemaslahatan bagi
masyarakat. Dengan kata lain, partai politik merupakan perwakiIan dari suara
rakyat yang telah memandatkan suaranya melalui proses pemilu untuk duduk di
lembaga legislatif serta diharapkan dapat memper- juangkan apa yang menjadi
aspirasi, tuntutan, dan kepentingan masyarakat. Kelompok kepentingan merupa-kan
pemeranserta tidak resmi yang memainkan peran penting dalam pembuatan kebijakan
di hampir semua negara.Perbedaan yang mungkin ada bergantung pada apakah negara
demokratis atau otoriter, moderen atau berkembang. Perbedaan tersebut me
nyangkut keabsahan serta hubungan antar pemerintah dengan kelompok-kelompok
tersebut. Dalam sistem politik demokratis, kelompok-kelompok kepentingan akan
lebih memainkan peran yang lebih dengan kegiatan yang lebih terbuka dibanding sistem
otoriter.
Dalam sistem demokrasi kebebasan berpendapat
dilindungi, serta warga negara mempunyai keterlibatan politik. Walaupun dalam
kedua sistem tersebut kelompok-kelompok kepentingan berbeda dalam hal hubungan
dan sifat aktivitasnya, namun pada semua sistem tersebut, kelompok-kelompok kepentingan
menjalankan fungsi artikulasi kepentingan, yaitu mereka berfungsi menyatakan
tuntutan-tuntutan dan memberikan alternatif-alternatif tindakan kebijakan.
Kelompok kepentingan juga saling memberikan informasi kepada para pejabat
publik dan sering informasi yang diberikan bersifat teknis mengenai sifat serta
konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari usul-usul kebijakan yang
diajukan, sehingga kelompok kepentingan telah memberikan sumbangan yang berarti
bagi rasionalitas pembuatan kebijakan.
Dalam sistem demokrasi, partai-partai politik
memegang peranan penting karena digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan.
Hal ini berarti bahwa partai-partai politik pada dasarnya lebih berorientasi
kepada kekuasaan dibandingkan kebijakan publik. Namun demikian, pengaruh mereka
tidak dapat diabaikan begitu saja dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Partai politik mernpunyai tugas untuk menyalurkan aspirasi, menampung, mengolah
dan mengintegrasikan aspirasi masya-rakat yang selanjutnya membuat usulan kebijakan.
Partisipasi warga negara dalam sistem politik,
walaupun sistem politik tersebut merupakan sistem politik demokratis, sering
dianggap mempunyai partisipasi rendah. Hal ni didasarkan pada kenyataan bahwa
banyak orang tidak memberikan suaranya pada waktu pemilihan umum, tidak ikut
serta dalam kegiatan partai politik, tidak terlibat dalam kelompok-kelompok
penekan serta mempunyai perhatian yang rendah terhadap sistem politik.
Di negara-negara yang berdasarkan sistem otoriter,
kepentingan-kepentingandan keinginan-keinginan para warga negara biasanya
merupakan akibat dan kebijakan-kebijakan publik. Penguasa akan tetap menaruh
perhatian terhadap apa yang menjadi keinginan rakyat agar kekacauan sedapat
mungkin diminimalkan, dan juga mempunyai keinginan untuk menjaga keutuhan
negara, seperti halnya keinginan para warga negara meskipun mereka tidak
dliibatkan secara langsung dalam pembuatan kebijakan.
Dalam proses pembuatan suatu kebijakan, perlu
keterlibatan para pembuat kebijakan, baik pelaku yang resmi maupun yang tidak
resmi. Untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan, terlebih
dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pelaku (participant), bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang
atau kekuasaan yang mereka miliki, bagaimana mereka saling berhubungan dan
saling mengawasi.
Dengan demikian harus dipandang sebagai proses
akomodasi dan pelibatan berbagai elemen yang ada dalam masyarakat yang hendak
dijadikan sasaran dari kebijakan publik yang akan dibuat. Lembaga atau pihak
yang hendak membuat kebijakan publik harus melibatkan semua elemen yang ada
sebagai bagian dari sistem. Pembuat kebijakan diharapkan tidak lagi memandang
dirinya sebagai satu-satunya aktor yang menentukan dalam pembuatan kebijakan
publik. Informasi dan preferensi yang ada dari berbagai sumber dilingkungannya
harus sedapat mungkin diproses dan diserap sebagai bahan mentah dalam proses
pembuatan kebijakan publik yang dihasilkan nantinya akan semakin kaya dan
mendapatkan legitimasi politik yang kuat dari lingkungannya.
B.
Prinsip-Prinsi
Stakeholder
Dalam Formulasi kebijakan menurut Mustopadidjaja (2003),
para Stakeholder harus memiliki Views (pandangan), yakni semacam intellectual
ventures yang bertalian dengan kajian dan formulasi kebijakan. Adapaun
pandangan ataupun prinsip-prinsip dari Stakeholder sebagai berikut:
1. Agenda
setting adalah suatu tahap sebelum perumusan kebijakan
dilakukan, yaitu bagaimana isu-isu itu muncul pada agenda pemerintah yang perlu
ditindakianjuti berupa tindakan-tindakan pemerintah. Banyak isu yang masuk ke
pemerintah, yang diharapkan agar pemerintah segera mengambil tindakan, ternyata
pemerintah tidak bertindak sesuai dengan keinginan masyarakat.
2. Cara
pandang sistemik; tak ada suatu permasalahan kebijakan publik yang tidak
terkait dengan masalah-masalah lainnya, kita harus mengenali benar saling
hubungan tersebut, dan mengidentifikasi secara obyektif posisi permasalahan
yang dihadapi dalam konteks keseluruhan masalah yang dihadapi masyarakat.
3. Eksternalitas
dan jastifikasi intervensi pemerintah; analisis kebjakan juga harus
memperhatikan berbagai biaya dan manfaat yang tidak langsung (indirect cost
and benefits) yang mungkin timbul belakangan dan sulit diukur, disamping
perhatiannya yang sangat intensif terhadap biaya dan manfaat langsung dan
berbagai kebijakan yang justru mudah dilihat dan diukur.
4. Psikologi
penentuan pilihan; adanya keterbatasan pendekatan rasional dan informasi
mengenai kompleksitas dalam pengambilan keputusan yang memerlukan kebijaksanaan
(wisdom) sebagai kemampuan intelegensia yang timbul sebagai nilai lebih
berkat pengalaman hidup atau akumulasi nilai yang didapat akibat interaksi
sesama aktor dalam proses pengambilan keputusan dimana juga dipertimbangkan
berbagai diagnosis dan prognosis.
5. Pemetaan
alternatif; perjalanan mencari sesuatu memerlukan peta sehingga jelas jalan dan
arah mana yang telah kita lalui dan kemana lagi kita harus melangkah. Dalam
pengambilan keputusan kita mengenal konsep decision tree yang dapat
membantu mengembangkan peta dan jalur-jalur pilihan yang dapat ditempuh.
6. Pentingnya
analisis marjinal; kita harus memperhatikan batas-batas toleransi biaya yang
mungkin harus dikeluarkan untuk mencapai kinerja dengan batas-batas kepuasan
atau tingkat capaian tertentu, karena akan lebih realistis dari pada bersikap
babwa keseluruhan tujuan atau tingkat kepuasan maksimal dapat dicapai.
7. Biaya
ekonomis; konsep opportunity costs yang menyatakan bahwa biaya
sesungguhnya dari suatu program belum terungkap sepenuhya dalam nilai uang,
tetapi dari berbagai nilai yang harus dikorbankan karena pendanaan program
tersebut dan itulah yang kita harus perhitungkan.
8. Pluralitas,
interdependensi dan dinamika kepuasan; yang ingin dikemukakan adalah
kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan, siapa yang melakukannya, dan
kapan harus dilakukan adalah tidak mudah dan dapat cepat dicapai dan banyak
faktor yang berpengaruh di dalamnya.
9. Output;
bukan hanya input yang jadi tuntutan pertanggungjawaban, esensinya adalah
kebijakan harus dinilai tidak atas dasar upaya apa yang telah dicoba untuk
mencapai sesuatu, melainkan atas dasar apa yang secara nyata telah dicapainya.
Uraian di atas
mengisyaratkan perlunya kita mengantisipasi perilaku politik stakeholder dalam
proses formulasi kebijakan. Pluralitas sosiopolitik yang melekat pada konsep
dan mewarnai kehidupan demokrasi, bersama dengan masalahmasalah etika dan
psikokultural yang berpengaruh terhadap perilaku para aktor sosial politik,
perlu mendapat perhatian tersendiri dalam manajemen proses kebijakan pada
keseluruhan tahapannya. Pada tahap formulasi kita perlu menandai peta politik
dengan mengantisipasi kemungkinan sikap para stakeholder yang berperan
dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam menentukanpilihan atas sejunlah
opsi kebijakan.
C.
Variabel-variabel
Yang Mempengaruhi Stakeholder dalam Formulasi Kebijakan
Dalam formulasi kebijakan publik paling tidak
terdapat sebanyak enam variabel penting yang
biasanya mempengaruhi Stakeholder, Variabel tersebut meliputi:
1. Faktor
politik. Faktor ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan
suatu kebijakan publik, karena dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan
dukungan dari berbagai aktor kebijakan (policy actors), baik aktor-aktor
dari pemerintah maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, LSM, asosiasi
profesi, media massa, dan lain-lain).
2. Faktor
ekonomi/finansial. Faktor ini pun perlu dipertimbangkan
terutama apabila kebijakan tersebut akan menggunakan atau menyerap dana yang
cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam suatu daerah.
3. Faktor
administratif/organisatoris. Dalam perumusan kebijakan perlu
pula dipertimbangkan faktor administratif atau organisatoris yaitu apakah dalam
pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh kemampuan administratif
yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan
itu.
4. Faktor
teknologi. Dalam perumusan kebijakan publik perlu
mempertimbangkan teknologi yaitu apakah teknologi yang ada dapat mendukung
apabila kebijakan tersebut diimplementasikan. Faktor sosial, budaya, dan
agama. Faktor ini pun perlu dipertimbangkan, misalnya apakah kebijakan
tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya, dan agama atau yang sering
disebut masalah Sara.
5. Faktor
pertahanan dan keamanan. Faktor pertahanan dan keamanan
ini pun akan berpengaruh dalam perumusan kebijakan, misalnya apakah kebijakan
yang akan dikeluarkan tidak mengganggu stabilitas keamanan suatu daerah.
D.
Analisis
Kepentingan Stakeholders dalam Formulasi Kebijakan
Sebagai alat untuk memprediksi konflik antar
stakeholder, maka analisis stakeholder adalah suatu proses yang secara
sistematis menggali informasi kualitatif untuk menjelaskan siapa yang memiliki kepentingan
dan diperhitungkan ketika mengembangkan/menerapkan suatu kebijakan atau
program. Analisis stakeholders bertujuan agar pembuat kebijakan memperoleh
pemahaman yang baik menyangkut keleluasaan dan keanekaragaman stakeholder dalam
masyarakat. Analisis stakeholder ini mempunyai beberapa kegunaan yaitu:
v Mendefinisikan
pola hubungan antar stakeholder yang telah ada
v Menganalisis
tingkat kepentingan stakeholder
v Sebagai
alat untuk manajemen dalam pembangunan kebijakan
v Sebagai
alat untuk memprediksi konflik antar stakeholder
Daftar Referensi
Anderson,
James E. 2006. Public Policy Making: An
Introduction. Boston: Houghton Mifflin
Dunn, William
N.. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan
Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dye,
Thomas R.. 1995. Understanding Public
Policy. New Jersey: Prentice Hall.
Mustopadidjaja
AR. 2003. Manajemen Proses Kebijakan Publi: formulasi, implementasi dan evaluasi
kinerja. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI.
Putra,
Fadillah. 2003. Paradigma Kritis Dalam
Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riant Nugroho
Dwijowijoto. 2009. Public Policy, Teori
Kebijakan, Analisis Kebijakan, Proses Kebijakan, Perumusan, Implementasi, Evaluasi,
Revisi Risk Management Dalam Kebijakan Publik, Kebijakan Sebagai The Fifth
Estate, Metode Penelitian Kebijakan. Jakarta: PT. Elex Media Computindo.
Santoso, Purwo.
2010. Analisis Kebijakan Publik.
Yogyakarta: POLGOV