Monday, December 1, 2014

Beringin Mulai Memanas



Ketika langit tidak lagi membiru (Demokrat),
Dan padi tidak lagi menguning (Golkar)
Partai Golkar memanas, itulah topik yang akhir-akhir ini menghiasai halaman-halaman berita nasional. Partai Golkar yang merupakan partai kuat dalam ranah elektoral indonesia, sekarang mulai mengalami goncangan dari internalnya. Kisruh ditubuh partai berlambang beringin ini, ketika langit tidak lagi membiru (Demokrat), dan padi tidak lagi menguning (Golkar), karena pemenang legislatif pada pemilu kali ini adalah PDI-P, meski jarak selisih suaranya tidak begitu jauh dari Golkar. Makna dari kebalikan jargon di iklan partai Golkar ketika pemilu kemarin, ditambah dengan hasil Pilpres 9 Juli yang diumumkan oleh KPU, begitu kentara ditubuh Partai Golkar saat ini. mengglindingnya isu pelengseran Aburizal Bakrie (ARB) pada saat Munas Partai Golkar bulan oktober nanti terus menguat.
Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar dianggap gagal dalam dua arena elektoral oleh berbagai kalangan. Kegagalan pertama adalah Partai Golkar yang sebelum akhir tahun 2013 selalu leading diberbagai lembaga survei. Dalam kenyataannya Partai Golkar cuma mampu berada diposisi kedua dengan perolehan suara 14,75 % pada Pemilu 2014. Kalau kita melihat perolehan suara Partai Golkar pada pemilu 2014 sama dengan perolehan Partai Golkar pada pemilu 2009, dalam artian pemilih Partai Golkar pada pemilu 2014 kemarin adalah pemilih Partai Golkar pada 2009. Kegagalan kedua adalah Partai Golkar tidak memajukan kadernya dalam Pilpres 2014. Pada dasarnya meski Partai Golkar memperoleh 14,75 % suara, partai ini masih berpeluang menjadikan capresnya Aburizal Bakrie untuk ikut serta bertarung di Pilpres. Namun kenyataannya, lambat-laun Partai Golkar tidak mampu menggaet partai lain untuk berkoalisi, dan disaat yang sama elektabilitas ARB sebagai calon Golkar tidak naik, jika dibandingkan dengan Jokowi dan Prabowo. Akhirnya, keputusan DPP Partai Golkar bulat mendukung Pasangan Prabowo-Hatta karena tidak bisa mencalonkan Aburizal Bakrie sebagai capresnya.
Ternyata sikap dari Partai Golkar mendukung pasangan Prabowo-Hatta tidak diikuti oleh seluruh kadernya, terutama kader dari kalangan muda Partai Golkar, yang menetapkan pilihan kepada pasangan Jokowi-JK. Kisruh beda pendapat dalam mendukung antara pasangan Prabowo-Hatta dengan Jokowi-JK berujung pemecatan kader-kader muda tadi.
Kemenangan pasangan Jokowi-JK, yang juga didukung kader muda Partai Golkar, akan berdampak kepada situasi dan kondisi ditubuh Partai Golkar itu sendiri. Partai Golkar selalu menjadi partai yang hidup didalam kekuasaan (pemerintahan), baik semasa pemerintahan Orde Baru, dimana Golkar menjadi salah satu pilar penopang kekuasaan disamping ABRI dan Birokrasi. Namun, sifat alamiah Golkar terus berlanjut di era reformasi, Golkar baru versi Akbar Tanjung tetap menempatkan partai beringin didalam pemerintahan (sebutan Partai Golkar hanya ada di era Reformasi). Pasca kemenangan Jokowi-JK oleh keputusan MK, kemana sebenarnya arah Partai Golkar nanti?. Partai Golkar sebaiknya tetap didalam pemerintahan, sebagai sebuah partai yang sudah merasakan asam garamnya memerintah, Partai Golkar sangat diperlukan oleh pemerintahan yang berkuasa. Selain itu, Partai Golkar tetap partai penguasa, hal ini dikarenakan hampir 50 % kepala daerah di Indoneisa adalah berasal dari Partai Golkar (baik kader maupun yang diusung). Jika partai Golkar berpegang teguh dengan komitmennya untuk berada diluar pemerintahan sebagai oposisi bersama koalisi merah putih, tentu saja hal ini akan menjadi babak baru bagi partai Golkar dalam kancah perpolitikan indonesia. Peluang partai Golkar untuk menjadi oposisi terhitung sangat kecil, jika kita cermat melihat sejarah Partai Golkar. Meski didalam UUD 1945 sendiri tidak mengenal istilah koalisi dan oposisi. Namun, inilah dilema sistem presidensial yang dipadukan dengan multipartai, dimana tidak ada partai dominan, sehingga dibutuhkan kompromi politik diantara mereka.
Partai Golkar harus mengambil sikap atas begitu banyaknya faksionaliseme ditubuh partai. Partai Golkar sebagai partai lama, sebaiknya belajar dengan banyaknya partai-partai baru yang dahulunya berasal dari Partai Golkar sendiri, sebagai contoh; Partai Hanura, Partai Gerindra, dan yang terbaru adalah Partai Nasdem. Mereka semua dahulunya adalah satu payung dibawah Partai Golkar, ada yang menciptakan partai baru berdasarkan keinginan sendiri, dan ada pula yang menciptakan partai baru karena terlibat konflik dalam tubuh partai golkar, semisal kalah dalam kompetisi menjadi ketua umum. Jika Partai Golkar tidak mampu meredam api konflik di internalnya, tidak menutup kemungkinan akan ada lagi embrio partai baru dari tubuh golkar dikemudian hari.
Menanggapi kisruh yang terjadi di dalam tubuh partai berlambang beringin ini, pengurus partai harus segera melakukan konsolidasi. Semua pihak yang bertikai dundang untuk dapat duduk bersama, disinalah perlu dituntut kepemimpinan ARB yang probem solver (pemecah masalah), dengan melakukan manajemen konflik yang baik. Aburizal bersama dengan pengurus DPP Partai Golkar harus melakukan kembali komunikasi politik dengan pihak Tri Karya selaku ormas sayap dan pendiri Partai Golkar. Hal ini dikarenakan Tri Karya merupakan ormas penopang kemapanan Golkar selama ini, disamping pihak ini jugalah yang terus mengkritisi kepemimpinan Aburizal dan DPP Partai Golkar saat ini.
Bagaimana kelanjutan turbulensi (goncangan) ditubuh Partai Golkar, sama-sama kita lihat pada Munas Partai Gokar bulan oktober nanti, ketua umum?, berkoalisi atau beroposisi?, yang jelas akan mendewasakan Partai Golkar dikemudian hari.   

Fahrezi, S.IP, M.A (Alumni Pascasarjana FISIPOL UGM)