Tuesday, June 26, 2012

Demokrasi Lokal Di Sumatera Barat: Menguak Demokrasi Khas Masyarakat Minangkabau



Ditulis Oleh : Fahrezi*
1.      Pengantar
Hampir dua abad lalu, ketika pertama kali datang didaerah pedalaman Sumatera Barat pada 1818, Sir Thomas Stamford Raffles pernah merasa frustasi terhadap sistem pemerintahan Minangkabau yang bertumpu kepada Mufakat. Disana dia disambut oleh sekelompok pemimpin setempat (penghulu). Raffles meminta merka segera memutuskan berapa dia harus membayar agar diizinkan melewati wilayah mereka (Kahin, 2005).[1]
Setelah diberitahu keinginan Raffles untuk dapat segera melanjutkan perjalanan, dengan tenang mereka mengatakan bahwa mereka telah mempertimbangkan keinginan itu, telah memusyawarahkan sepanjang hari, dan akhirnya sampai kepada kesepakatan  bahwa mereka belum mencapai keputusan apapun, sebab jumlah penghulu yang hadir hanya dua pertiga sedangkan sepertiga lain tidak dapat hadir, dan mereka menawarkan tempat untuk Raffles dan rombongannya untuk menginap selama tiga hari sambil menunggu keputusan akhir. Baru setelah sepertiga penghulu itu hadir dan mereka semua bermusyawarah selama sekitar satu atau dua jam, akhirnya dicapai keputusan tentang jumlah uang yang harus dibayar rombongan Raffles agar dapat melanjutkan perjalanan.
Istilah minangkabau sendiri adalah nama sebuah etnik atau suku bangsa di Sumatera. Kebanyakan orang mengidentikannya dengan Sumatera Barat (Sumbar), namun demikian sebenarnya daerah Minangkabau juga terbentang sampai ke Prop. Riau bahkan sampai ke Malaysia yakni Negeri Sembilan. Karena pada awalnya orang minangkabau membagi daerahnya kepada daerah Luhak (asal seperti Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota) dan daerah Rantau. Saya dalam tulisan ini tidak akan bercerita tentang asal usul orang minangkabau yang dikatakan berasal dari perjalanan anak Alexader The Great  (Iskandar Agung) dari Masedonia yang mengatakan dia melihat waktu itu Gunung Merapi (gunung yang meliputi Kab. Agam dan Kab. Tanah Datar serta dapat dilihat juga dari Kab. Lima Puluh Kota) sebesar telur itik. Tambo (bukti sejarah) menyebut tiga orang putera Iskandar Zulkarnaen, yakni: Maharajo Alif, Maharajo Depang (atau: jepang) dan yang terkecil Maharajo Dirajo, yang berlayar bersama-sama dilaut lepas. Dalam pelayaran mereka bertengkar siapa diantara mereka yang memilki mahkota berikutnya. Selagi mereka bertengkar, mahkota yang diperebutkan itu jath ke laut. Namun pengiring dari yang terkecil, yang juga pandai bernama Cati Bilang Pandai membuatkan gantinya yang persis yang serupa dengan yang aslinya dan ditunjukkan kepada kedua kakaknya sebagai mahkota yang hilan telah ditemukan kembali. Kedua kakanya percaya bahwa ia yang menemukannya, maka dengan demikian Maharajo Dirajo lah yang berhak atas takhta. Ketiga kakak beradik itu kemudian berpisah, Maharajo Alif seterusnya menjadi raja Bizantim dan memerintah bahagian barat dari kerajaan. Maharajo Dapang menjadi raja Cina dan Jepang dan memerintah bagian timur kerajaan, sementara Maharajo Dirajo melanjutkan pelayaran keselatan dan menjadi raja Minangkabau. Dalam pelayarannya keselatan kapalnya tersandung pada puncak merapi yang waktu itu masih sebesar “telur itik” tadi terapung dilaut. Ketika banjir besar Nabi Nuh surut dan reda, raja dan dan pengikutnya bergerak kebawah dan demikianlah bermulanya alam Minangkabau.
Cerita lain juga menyebutkan asal muasal nama minangkabau juga dari pertarungan kerbau jawa dengan kerbau orang daerah tersebut, kerbau orang daerah dikasih minang (tanduk runcing) yang dipasangkan pada kerbau kecil tersebut yang tidak disatukan dengan induknya selama tiga hari sehingga dia perlu susu, jadi ketika dia bertarung, karena melihat kerbau besar tadi langsung menyerunduk karena dia kehausan, maka kemudian tercabik-cabik lah perut kerbau besar tadi oleh minang (besi runcing yang dilekatkan di tanduk kerbau kecil tadi). Itu adalah salah satu cerita asal muasal kata minang kerbau (minangkabau) dan masih banyak cerita asal muasal namanya yang keabsahannya pun dipertanyakan, tetapi diyakini oleh orang miangkabau secara turun temurun.
Namun demikian tulisan saya lebih kepada mengeksplorasi nilai-nilai demokrasi yang dianut oleh orang minangkabau tadi, seperti cerita Raffles yang dibuat pusing karena keputusannya harus merepresentasikan semua kelompok yang ada. Sebenarnya Minangkabau sejak lama sudah dikenal sebagai suku bangsa (etnik) yang menjunjung nilai-nilai demokrasi yang dianut oleh etnik minangkabau tersebut ada yang bersifat lokal (partikular) dan ada yang bersifat universal. Seperti halnya dalam budaya masyarakat modern, kedua nilai tersebut juga ditemukan pada sistem pemerintahan nagari (desa).
Nilai-nilai demokrasi lokal yang penulis angkat ini dapat menambah khasanah kajian demokrasi lokal dalam ruang politik indonesia. Akan tetapi lebih dari itu, penulis ingin membongkar teorisasi demokrasi khas bagi politik lokal indonesia, dimana selama ini teorisasi demokratisasi dalam skala global lebih dominan dalam studi politik di Indonesia.
2.      Konsep Teoritis
2.1.Demokrasi
Pada prinsipnya demokrasi seperti yang dikutip dari Diane Revitch (2005: 13) adalah kebebasan yang menurut pendapat orang pada umumnya, hanya dapat dinikmati dalam negara seperti itu. Hal ini diakui sebagai tujuan utama setiap demokrasi. Salah satu prinsip kebebasan adalah setiap orang secara bergantian wajib memerintah dan diperintah serta memang keadilan demokrasi merupakan penerapan persamaan jumlah bukan proporsi. Dari sini disimpulkan bahwa mayoritas harus memiliki kekuasaan tertinggi, dan apapun yang disetujui oleh mayoritas harus menjadi tujuan dan adil. Setiap warganegara dikatakan harus mempunyai persamaan dan oleh karenanya dalam sebuah demokrasi, kaum miskin mempunyai kekuasaan lebih banyak daripada kaum kaya, ini disebabkan karena jumlahnya yang lebih besar.
Selain itu, Pengertian demokrasi menurut J. Van Den Doel adalah kumpulan berbagai metode untuk mengkoordinasikan di luar pasar  keputusan orang-orang atau badan-badan yang secara hirearkis mempunyai kedudukan yang sejajar. Maka oleh karena itu demokrasi sama dengan dekonsentrasi, ia melihat inti demokrasi dalam melindungi minoritas terhadap mayoritas dan mayoritas terhadap minoritas. Aristoteles misalnya mengambil kesimpulan bahwa demokrasi  memang didasarkan atas persamaan, akan tetapi  baru dapat dikatakan ada demokrasi apabila rakyat menguasai mayoritas keputusan rakyat menjadi undang-undang   (Doel, 1987:10-11).
Selanjutnya, model-model demokrasi menurut David Held (1995: 5-6). Pertama demokrasi langsung atau demokrasi partisipasi, suatu sistem pengambilan keputusan mengenai masalah-masalah publik dimana warganegara terlibat secara langsung. Ini adalah tipe demokrasi asli yang terdapat di Athena kuno. Kedua, ada demokrasi liberal atau demokrasi perwakilan, suatu sistem pemerintahan yang mencakup pejabat-pejabat terpilih yang melaksanakan tugas “mewakili” kepentingan-kepentingan atau pandangan-pandangan dari para warganegara dalam daerah-daerah yang terbatas sambil tetap menjunjung tingggi aturan hukum. Ketiga, demokrasi yang didasarkan atas model satu partai (meskipun sementara orang mungkin meragukan apakah hal ini merupakan suatu bentuk demokrasi juga).
Sedangkan menurut Dahl, kriteria demokrasi itu mencakup 1). Hak suara yang merata, 2). Partisipasi yang selektif, 3).pengertian yang berdasarkan informasi, 4). Kontrol akhir terhadap agenda rakyat. (Dahl, 1992: 40-41). Perkataan Dahl tersebut berkaitan dengan bagaimana mensinkronisasikan Peran negara didalam sistem demokrasi untuk mengentaskan kemiskinan yang melanda masyarakatnya. Tujuan akhir dari proses demokrasi seperti diakuinya setiap hak individu yang merata dimana semua dipandang sama oleh negara, semua mempunyai kesempatan pekerjaan yang sama oleh negara. Mereka bisa berpartisipasi untuk melakukan akses politik di dalam sistem demokrasi.
Pernyataan diatas mengisyaratkan bahwasanya setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama dimata negara. Demokrasi seperti hidup dizamannya sendiri terutama pada saat sekarang ini. Banyak negara-negara di penjuru ini mulai dan menyukai sistem demokrasi berkembang dinegaranya. Umumnya negara-negara ketiga yang lebih sering disebut dengan negara berkembang termasuk indonesia didalamnya menganut sistem ini dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
2.2.Model Mengkaji Representasi Demokrasi Lokal Minangkabau 
Demokrasi Lokal dihadapkan kepada bagaimana merepresentasikan kepentingan-kepentingan masyarakat terhadap negara. Berikut ini akan dipaparkan penjelasan mengenai metode yang bisa untuk mengkaji demokrasi yang orientasinya representasi, model yang digunakan berasal dari konsep yang ditawarkan oleh Olle Tornquist (2009), seperti model dibawah ini.
Bagan 1.
Model Untuk Mengkaji  Demokrasi Yang Berorientasi Representasi

Dari model Olle Tornquist tersebut sejumlah masalah krusial dapat dipaparkan sebagai; pertama, institusi pemerintahan apa saja yang didekati pertama oleh para aktor ?. kedua, bagaimana aktor-aktor utama mencapai dan mempengaruhi institusi pemerintahan itu?. Kita bisa melihat persoalan dari dua cara analisis. Pertama, berhubungan dengan kecenderungan umum mengenai lemahnya urusan publik dan menguatnya pemerintahan yang polisentris. Isu paling krusial disini adalah bagaimana prospek pengaturan demokratis terhadap institusi-insttusi pemerintahan yang kurang lebih terprivatisasi, dan bukan persoalan bagaimana merebut insitusi-institusi itu, yang mungkin tidak dapat dilakukan. Seperti tergambar pada kotak-kotak paling atas dari model Olle Tornquist, yaitu sarana transportasi massal, sekolah dan pelayanan kesehatan yang diprivatisi.
Pertanyaan mendasar lainnya adalah apakah tata pemerintahan yang demokratis dapat atau tidak dapat mendukung pemberantasan korupsi dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang sekaligus bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan ?. Ada kebutuhan mendesak untuk menganalisis alternatif-alternatif demokratis terhadap munculnya tesis yang mensyaratkan perlunya mengutamakan penguatan institusi-institusi penegakan hukum dan pembangunan ekonomi, daripada mengedepankan kedaulatan rakyat melalui aturan-aturan yang otoritarian. Ada juga kebutuhan mencari alternatif-alternatif demokratis untuk mengakomodasi kelompok separatis seperti di Aceh, lebih penting daripada melalui cara-cara klientelisme dan hubungan-hubungan istimewa.
Dalam skema representasi, upaya-upaya unuk mengaplikasikan pemerintahan yang partispatoris, untuk meningkatkan daya tanggap dan akuntabilitas, perlu dilakukan melalui pengaturan yang lebih substansial menyangkut partisipasi dan representasi yang melekat pada berbagai institusi pengelola urusan publik terutama di jajaran eksekutif dan kelompok-kelompok masyarakat.selain itu pertumbuhan ekonomi yang dijamin oleh negara dengan kesepakatan upah kolektif dan pengangguran yang terjadi antara kelompok-kelompok kapital produktif dalam konteks institusi privat dan kelompok pengelola urusan publik yang relevan serta kelompok serikat buruh yang terorganisir dengan baik.
Apa-apa yang direpresentasikan bisa bersifat subtantif, deskriptif dan simbolik. Representasi substantive adalah ketika wakil bertindak untuk (acts for) mereka yang diwakili, seperti misalnya sorang pemimpin memperjuangkan kepentingan buruh. Representasi deskriptif adalah ketika wakil berdiri untuk (stands for) orang-orang yang secara ojektif serupa. Misalnya, seorang perempuan mewakili perempuan dan seorang penduduk desa mewakili keseluruhan desanya. Jenis terakhir adalah representasi simbolik yaitu ketika seorang aktor dianggap oleh mereka yang diwakili, juga berdiri untuk (stands for)  mereka, tetapi kali ini dalam pengertian kesamaan kebudayaan dan identitas.     
Cara analisis model tersebut, yang berhubungan dengan mediasi antara masyarakat dan urusan publik. Mediasi itu berhubungan dengan baik dengan sisi input maupun output demokrasi. Pengaturan untuk partisipasi dan representasi berhubungan dengan berbagai macam institusi pengelolan urusan publik berada dalam bagian paling atas pada model tersebut. Hal ini bukan hanya meliputi dewan legislatif terpilih dan eksekutif ditingkat nasional maupun lokal. Berbagai institusi yang memungkinkan untuk konsultasi dan partisipasi dalam hubungannya dengan sejumlah dewan dan komisi administratif, partisipasi pekerja dalam pengelolaan perusahaan, pertemuan antar organisasi warga, atau organisasi swakelola dilingkungan akademis.
Dalam sebagian besar kasus, pengenalan atas bentuk-bentuk representasi yang terlembagakan dilakukan dari bawah melalui program-program percontohan dan atau tuntutan dari politisi. Dibagian paling bawah dari gambar model tersebut, representasi juga dibingkai oleh berbagai formasi dan ekspresi masyarakat yang berbeda-beda, begitu pun dengan perangkat representasinya. Perangkat-perangkat itu meliputi aktor dan mandat, daya-tanggap dan akuntabilitas ini dilakukan dengan dasar kesetaraan politik. Di sisi kiri dari model tersebut adalah bentuk representasi dan partisipasi, secara pasti dapat dikatakan bahwa hanya inilah bentuk demokrasi langsung, dimana tidak ada perwakilan yang terlibat. Disisi kanan adalah representasi dengan mediator. Mediasi memiliki perbedaan yang mendasar diantaranya melalui: 1). Masyarakat sipil yang didefenisikan sebagai kehidupan asosiasional antara warga negara dengan LSM yang berorientasi pada isu-isu kewarganegaraan, komunitas lokal, organisasi masyarakat, media, akademisi dan organisasi budaya. 2). Pemimpin-pemimpin informal dan asosiasi non-sipil seperti tokoh pelindung, asosiasi komunal,pemimpin suku dan figur-figur populer, serta . 3). Lembaga politik, termasuk partai politik, dan organisasi yang kepentingan yang berbasis politik serta kelompok penekan dan lobi.
3.      Demokrasi Lokal Minangkabau
3.1. Muatan Demokrasi Dalam Adat Orang Minangkabau
Untuk kasus demokrasi lokal minangkabau sendiri akan penulis jelaskan sebagai berikut. Sebenarnya pengertian demokrasi yang dikemukakan diatas adalah makna demokrasi yang dilaksanakan waktu belakangan ini sedangkan demokrasi di Minangkabau telah berlangsung setidaknya sejak adat Minangkabau ada pada zamannya Dt. Perpatih nan sabatang dan Dt. Katumanggungan yang merancang adat tersebut dengan musyawarah pada abad ke-12 dulu. Menurut orang “bijak” bahwa “demokrasi di Minangkabau” dulu terkenal di luar.
Faktor utama yang menentukan dalam dinamika demokrasi masyarakat Minangkabau tradisional ialah terdapatnya kompetisi yang konstan diantara individu dan keluarga-keluarga untuk mendapatkan penghargaan dan status seerti posisi-posisi yang dicapai secara mandiri (achieved status), pada saat yang sama juga posisi yang diterima atau diperoleh dari kekuasaan dan prestise keturunan menurut adat. Kelahiran, kekayaan dan prestise dalam berbagai bentuknya telah membuka jalan untuk mencapai posisi puncak bagi suatu keluarga atau anggota-anggota keluarga yang menginginkannya. Walaupun nagari-nagari secara sepintas cenderung menunjukkan jaringan oligarkis (persekutuan) yang ketat untuk mengatur kepentingan-kepentingan kelompok sebagai pewaris langsung dari keluarga induk yang mula-mula mendiami suatu nagari tertentu, namun dilihat secara lebih dekat maka jelaslah bahwa sirkulasi yang konstan justru terjadi di dalam dan di luar jaringan kebangsawanan ini. Maka factor kelahiran, walapun mungkin paling penting, tidaklah selalu berarti menentukan sama sekali. Nilai pentingnya lebih banyak ditentukan oleh tingkat pengaruh yang dimiliki oleh pihak keluarga-keluarga tertentu dalam persaingan mereka untuk meperoleh kekayaan dan prestise daripada yang berdasarkan darah keturunan itu sendiri. Terlihat jelaslah bagaimana watak egaliter orang minangkabau untuk ikut serta dalam setiap kompetisi dalam bidang kehidupan yang  pada akhirnya mencipatakan sebuah sistem demokrasi yang khas.  Demokrasi di Minangkabau (Zainuddin, 2008:113) dapat dilihat implementasinya pada peninggalan-peninggalan buah tutur, tambo (bukti sejarah) maupun warisan lainnya seperti :
  1. Dalam memilih walinagari, walinagari dipilih secara langsung oleh masyarakat nagari. Kerapatan Ninik Mamak di sanagari-sanagari merupakan perwakilan masyarakat nagari melalui pimpinan sukunya masing-masing. Dalam pemerintahan suku/kaum, musyawarah dipimpin oleh penghulu dan mendengarkan pendapat dari semua anggota suku (mempunyai hak suara yang sama) baik laki-laki maupun perempuan (Bundo Kanduang). Pada musyawarah ini terkenal dengan pepatah adat yang mengatakan:

Kamanakan barajo ka mamak            kemenakan ber-raja ke mamak
Mamak barajo ke penghulu                mamak ber-raja ke penghulu
Panghulu barajo ka mupakaik            penghuluber-raja ke mufakat
Mupakaik barajo ka-nan bana            mufakat ber-raja kepada kebenaran
Nan bana berdiri sendirinyo               yang benar berdiri sendirinya
Kebenaran yang dicari secara bersama-sama itulah yang merupakan otoritas tertinggi dalam alam pikirkan orang Minangkabau. Dengan demikian otoritas tertinggi terletak pada nilai abstrak. Hakekat otoritas menurut teori politik orang Minangkabau terletak pada dewan, otoritas merupakan sebuah abstraksi dan sebuah kebenaran yang harus dicari dala permusyawaratan sebuah dewan adat. Dalam hubungan ini menarik melihat perbedaan antara konsepsi kekuasaan yang tersirat dala teori politik masyarakat Jawa tradisional yang melihat kekuasaan sebagai sesatu yang konkret dan tebatas. Sementara orang Minangkabau memandang kekuasaan besumber dari otoritas yang bersifat abstrak, relatif, dan mesti dicari melalui penggunaan yang tepat dan penalaran dan logika.    
b.      Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang hidup dalam suasana yang penuh kegotoroyongan. Rasa gotong royong dalam kerangka nilai-nilai ke-minangkabau-an memiliki makna yang dikaitkan dengan dengan akhlak dan budi seseorang. akhlak dan budi berdasarkan kesanggupan merasakan perasaan orang lain yang dapat dirasakan bagi diri sendiri, karena menurut adat yang disebut raso (rasa)  adalah yang terasa bagi diri, pareso (perasaan) adalah yang terkandung dalam hati, dengan demikian lahirlah rasa seperti kata adat nan elok de awak katuju de urang, sakiek dek awak sakiek dek urang (yang baik bagi kita juga baik bagi orang lain, yang sakit bagi kita juga sakit bagi orang lain).
Dalam kehidupan sehari-hari telah dilaksanakan secara luas di dalam adat Minangkabau yang melahirkan sifat tolong menolong, saling membantu yang terlepas dari perhitungan laba dan rugi, karenanya masyarakatnya dihubungkan oleh tali kekeluargaan yang kuat dan kokoh yang senantiasa menghayati budi luhur dan halus. Dari budi inilahnya sifat baik lainnya dan berbagai bentuk sifat sosial dalam kehidupan. 
c.       Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang Egaliter, nilai-nilai  keterbukaan  dan  kesamaan  (egaliterianisme) tercermin  dalam  pepatah  duduak samo randah tagak samo tinggi (duduk sama  rendah  berdiri  sama  tinggi).  Walaupun  secara  formal  seorang pemimpin punya kedudukan  lebih  tinggi,  akan tetapi posisi pemimpin tidak terlalu berjarak dengan  masyarakat. Dalam filosofi budaya Minangkabau pemimpin itu tak dapat memainkan peran sebagai raja,  sultan,  atau kaisar. Ia hanya diberikan kedudukan sedikit saja lebih  tinggi  dari  rakyat  biasa,  seperti  tercermin dalam ungkapan tradisional  ditinggikan  sarantiang didaulukan selangkah (ditinggikan seranting   didahulukan   selangkah). Konsekuensi  politisnya,  kalau pemimpin  berlaku  sewenang-wenang  atau  tidak aspiratif, maka rakyat atau lembaga perwakilan rakyat boleh membantah dan bahkan menggantinya dengan pemimpin yang dianggap lebih baik. Sesuai dengan pepatah adat orang Minangkabau rajo alim rajo disambah, rajo lalim rajo disanggah (raja yang alim raja yang disembah, raja yang zalim raja yang disanggah), jadi ada semacam mosi tidak percaya dari masyarakat kepada pemimpin yang tidak benar dalam kepemimpinannya.
d.      Dalam pengambilan kebijakan, ada dua model dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Pengambilan kebijakan ini didasarkan kepada kelarasan suku di Minangkabau yakni kelarasan Koto Piliang  dari Dt. Katumanggungan dan Kelarasan Bodi Chaniago dari Dt. Parpatih Nan Sabatang. Kelarasan Koto Piliang pengambilan kebijakannya lebih bersifat top down, dengan falsafahnya titiak dari ateh (titik dari atas) yang lebih teknokratis. Sedangkan kelarasan Bodi Chaniago lebih bersifat bottom up, dengan falsafahnya mambasuik dari bumi (muncul dari bumi/bawah) yang lebih kepada keputusan dari rakyat.
  1. Di Minangkabau perkawinan bersifat eksogami dimana laki-laki yang datang dirumah perempuan. Bila keluarga suku mempunyai anak perempuan maka mempunyai pertanda sebagai pelanjut generasi suku/kaum dan persiapan membuat rumah baru. Kehidupan dan posisi perempuan di Minangkabau lebih terhormat, hal ini merupakan wujud demokrasi yang memiliki penghargaan yang baik terhadap perempuan.
  2. Pembagian harta di Minangkabau mengunakan prinsip berkeadilan dan komunal. Harta, di Minangkabau terbagi dua yakni: sako dan pusako. Sako adalah nama/gelar yang ada dalam suku (gala salingka kaum, adaik salingka nagari) dan pusako adalah berbentuk benda tak bergerak maupun bergerak seperti tanah/sawah/ladang, rumah dan pakaian atau peralatan kebesaran adat  yang disebut dengan pusaka tinggi yang berfungsi sebagai milik bersama (komunal) suku/kaum yang berlaku turun temurun dalam suku/kaum tersebut dan dibagi menurut hukum syariat/islam.
Padang banamo panjaringan             padang bernama penjaringan
Tampek bajalan rang batigo               tempat berjalan orang bertiga
Mambao adaik jo pusako                    membawa adat dengan pusaka
Anak dipangku jo pancarian               anak dipangku dengan pencaharian
Kamanakan dimbiang jo pusako        kemenakan dibimbing dengan pusaka
Urang kampung ditenggang jo bicaro orang kampung ditenggang dengan    bicara
Pusako adalah warisan nenek moyang untuk dipergunakan generasi yang ada sekarang dan untuk diteruskan pada generasi-generasi anggota kaum yang akan datang (Kebet, 2000:270), “aianyo buliah diminum, buahnyo buliah dimakan, batangnyo tatap tingga” (airnya boleh diminum, buahnya boleh dimakan, tetapi pohonnya tetap tinggal). Disamping itu ada kategori yang namanya transaksi Pegang Gadai, melalui transaksi ini panggadai (penggadai) mengalihkan hak guna atas tanah itu dengan tukaran sejumlah uang atau emas kepada pemegang gadai (pemegang). Dalam adat yang klasik pegang gadai diperbolehkan hanya dalam empat keadaan; a). Apabila membutuhkan uang untuk pesta perkawinan anggota perempuan, b). Untuk pengukuhan gelar Penghulu, c). Untuk penguburan jika ada yang meninggal, d). untuk memperbaiki Rumah Gadang. Transaksi–transaksi pagang gadai idealnya harus didasarkan pada hubungan-hubungan social dan kekerabatan matrilineal. Akan tetapi, tampaknya dalam praktek, alas an lain pun dapat diterima.
Selain harta Pusako, properti yang bukan warisan melainkan diperoleh atas usaha sendiri, misalnya melalui pembukaan tanah peranian, keuntungan dagang, dan hasl dari kerja keras disebut harato pencaharian (harta pencarian).kompleks properti yang dperoleh oleh pasangan dalam perkawinan disebut harato surang (harta perorangan). Dalam sistem adat pusako, garato pencaharian diangap sebagai pusako dalam tahapan kepompong. Status adat dari objek-objek properti ini adalah sementara. Apabila individu pemegang properti itu meninggal dunia, propeti itu diwarisi oleh para anggota kaum-nya.        
Dalam transaksi-transaksi tukar-menukar, orang minangkabau dapat bebas mengalihkan harta pencariannya. Pengalihan dalam bentuk pemberian, dalam prakteknya pemberian dari bapak untuk anaknya, yang menimbulkan ancaman bekurangnya di kemudian hari harato pusako kaum si bapakitu, tunduk pada pembatasan-pembatasan adata. Pemeberian seperti itu, biasanya dinamakan hibah, dioerbolehkan dan sah hanyha apabila “setahu atau seizin ahli waris” dan kerjasama dengan penghulu.
g.      Dalam upaya pembinaan generasi muda dalam budaya orang minangkabau biasanya mendidik mereka di Surau (mesjid, langgar). Surau pada masa dahulu merupakan kelengkapan suku dan tempat berkumpulnya anak-anak muda serta remaja dalam upaya menimba ilmu pengetahuan. Surau sekaligus juga digunakan sebagai tempat tidur bersama, membahas berbagai ilmu, dan juga dimanfaatkan sebagai tempat penyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapi oleh suku melalui musyawarah bersama yang merupakan inti demokrasi kultural nagari.   
h.      Tradisi unik orang Minangkabau adalah “merantau”, yang dimaksud dengan merantau dalam perspektif orang minangkabau adalah apabila seseorang pergi keluar daerah budayanya dengan kemauan sendiri atau tidak dapat dipandang sebagai perbuatan merantau, selanjutnya meratau mengandung makna bahwa orang yang merantau tersebut bukan lagi berkomunkasi dan berintekrasi hanya dengan kaum kerabatnya atau anggota kelompok etnisnya, melainkan juga dengan orang yang latar belakang etnis dan kulturnya berbeda-beda. Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, merantau telah terlembaga secara sosial dan budaya (Naim, 1984:3).
Rantau merupakan suatu petualangan pengalaman dan geografis. Orang nagari akif mengunjungi rantau, secara sadar ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan sanak saudara untuk mencoba merantau, mengadu peruntungan. Merantau memberikan semacam saluran-saluran atas tekanan-tekanan yang mungkin dengan mudah meletup dalam keluarga matrilineal sebagai inti masyarakat minangkabau. Rantau, karenanya menyediakan semacam “katup pelepas” yang mampu melindungi tekanan-tekanan sosial dan eksplosi. Dengan demikian, tenaga-tenaga atau kekuatan yang menciptakan timbulnya ketegangan-ketegangan mungkin dapat tersalur diluar. Lagi pula, ia dapat disalurkan secara positif dan menguntungkan keluarga atau malah untuk keluarga secara keseluruhan. Keluarga-keluarga yang memiliki sedikit sawah untuk membantu anggota keluarganya, lebih suka berusaha mencari tambahannya dengan cara merantau. (Graves, 2007:39)
Kesemuan karakteristik demokrasi yang khas bagi masyarakat Minangkabau ini dibungkus dalam bentuk aturan-aturan yang melekat yakni adat. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang  menempatkan adat sebagai bagian dalam mengontrol dan mengendalikan berbagai aktivitas kehidupan masyarakatnya. Nilai penting adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau ini, tidak hanya ditunjukkan secara simbolik melalui filosofinya Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), tetapi dalam kehidupan sehari-hari jua ditunjukkan dalam bentuk pepatah-petitih, mamangan adat, pantun dan kiasan adat. Pentingnya adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau ini, membuat ia sering dijadikan alat dalam melegitimasi dan menolak prilaku dan aktivitas tertentu. Artinya, apapun aktivitas yang mereka lakukan serta apapun kegiatan luar yang disodorkan kedalam kehidupan mereka, akan selalu dilegitimasi melalui adat yang mereka miliki.
Adat bagi masyarakat Minangkabau adalah roh kehidupan itu sendiri, sehingga berbagai upaya akan dilakukan masyarakatnya untuk tetap mempertahankan keberadaan adat itu sendiri (Arifin, 2011:17). Persoalannya, sebagai masyarakat yang dinamis, intervensi dan gempuran budaya tidaklah mungkin dihindari. Adanya kesadaran seperti inilah, yang kemudian tertuang dalam pepatah adat orang minangkabau, sakali aia gadang sakali tapian berubah (ketika banjir dating, maka tepian mandi akan berpindah). Pepatah adat ini bermakna bahwa perubahan dikiaskan dengan banjir tadi, bisa terjadi kapan saja, dan ini akan membawa efek bergesernya nilai-nilai adat tersebut yang dikiaskan dengan tepian. Pepatah ini juga dimaknai bahwa perubahan (banjir) boleh saja terjadi, tetapi adat (tepian) tidak boleh hilang dan hanya boleh bertransformasi.
Sebenarnya adat, bagi orang Minangkabau bukanlah sebuah aturan yang sifatnya kaku dan statis, tetapi harus ditempakan sebagai sebuah aturan yang dinamis tadi, dan memungkinkan untuk mengalami perubahan. Ini tertuang dalam pengklasifikasian adat menurut orang Minangkabau sendiri, yang dibagi atas adat babuhua mati yaitu adat yang cenderung dipertahankan dan tidak boleh diubah, serta adat babuhua sentak yaitu adat yang memungkinan untuk dimodifikasi dan diperbaharui sesuai tuntutan perkembangan masyarakat itu sediri. Memposisikan adat seperti itu,membuat masyarakat Minangkabau tetap mampu mempertahankan adat itu sendiri ditengah derasnya arus perubahan dan intervensi budaya luar yang masuk kedalam kehidupan masyarakatnya.    
3.2.Nagari Basis Representasi Nilai-Nilai Demokrasi Lokal Minangkabau
Nagari dinilai sebagai basis demokrasi Minangkabau. Institusi ini dipercaya sudah ada sejak lama, bahkan, jauh sebelumnya dikenal sistem kerajaan (Ronidin, 2006:77). Nagari bersifat otonom, seperti tercermin dalam ungkapan adat salingka nagari (adat selingkar nagari). Selain memiliki teritorial yang jelas, nagari juga mempunyai pemerintahan dan adat tersendiri yang mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Itulah sebabnya mengapa nagari-nagari di Minangkabau disebut ’republik-republik mini’ (Manan, 1995). Nagari merupakan bentuk self governing community yang berbasis pada adat atau semacam republik kecil tadi yang mempunyai kekuasaan dan otonomi penuh (Summarty, 2007:22).
Nagari menyerupai sebuah the local state, tetepi ia mungkin tidak bisa dikatakan sebagai sebuah Negara modern dalam pengeritian Max Weber sebagai lembaga yang mempunyai monopoli penggunaan sarana-sarana kekerasan secara absah (Eko, 2005:21). Artinya nagari bukanlah  bentuk kecil Negara sebagai organisasi kekuasaan yang  tersusun secara hirearkhis-sentralistik serta ditopang oleh birokrasi yang digunakan penguasa untuk memerintah rakyatnya. Namun, nagari yang seperti ditegaskan oleh Mestika Zed (1996), justru menyerupai “Negara-kota” (polis) pada zaman Yunani Kuno, dimana setiap nagari bertindak seperti republik-republik kecil yang satu sama lain tidak mempunyai ikatan structural dan terlepas dari kekuasaan federal pusat. Nagari yang dipmpin secara kolektif oleh penghulu suku bersifat otonom dan tidak tunduk pada raja di pagaruyung, melainkan berbasis mewakili kaum (warga) dan keluarga dalam nagari itu sendiri.
Menurut pemahaman sederhana dalam sistem republik kecil, unit-unit politik ada secara terus menerus tanpa menghiraukan masuk dan keluarnya pemimpin-pemimpin tertentu. Anggota-anggota unit politik tidak dilihat sebagai “saudara”, tetapi sebagai warga. Kepemimpinan ditandai oleh adanya pejabat resmi, para spesialis, dan dewan-dewan. Mereka dapat mendelegasikan aspek-aspek tertentu dari tanggung jawab kepemimpinannya kepada asosiasi, atau komite, dan mereka biasanya mempercayai bahwa dewan orang-orang merdeka, atau dewan suku dan dewan nagari memiliki keuasaan tertinggi dalam memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan umum. Dalam sistem republik beberapa ketentuan diikuti, antara lain pemilihan atau rotasi pemimpin-pemimpin, tugas-tugas pemimpin dengan jelas ditentukan , pemimpin-pemimpin mempunyai kekuasaan tertinggi, jabatan merupakan kepercayaan masyarakat dan pejabat adalah pelayan masyarakat.  
Pada dasarnya, nagari disusun berdasarkan prinsip-prinsip sistem kekerabatan matrilineal dan teritorial. Sebagai unit pemerintahan terendah, nagari adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan melalui Kerapatan Adat Nagari yang berfungsi sebagai badan eksekutif, legislatif dan yudikatif merunut trias politica Montesque. Kerapatan Adat Nagari (KAN) juga mewakili kepentingan nagari terhadap nagari-nagari lainnya ataupun struktur kekuasaan lebih tinggi (Rafni dan Suryanef, 2005:353-354).
Pepatah adat menyebutkan persyaratan sebuah nagari adalah ”babalai bamusajik, balabuah balanggang, batapian tampek mandi”. Dengan demikian, suatu daerah dikatakan sebuah nagari jika daerah tersebut telah memiliki balai adat tempat bermusyawarah, masjid tempat beribadah, jalan untuk kepentingan penghubungan, gelanggang untuk berolahraga dan bermain, dan tepian tempat mandi (AA. Navis, 1984:92).
Pada awalnya, pembentukkan nagari melewati proses yang panjang, sepanjang sejarah kehidupan masyarakat tinggal di nagari tersebut. Pembentukkan nagari selalu berkaitan dengan proses persebaran penduduk, perpindahan, atau penggabungan kelompok masyarakat. Ada empat proses terbentuknya nagari yaitu banjar, taratak, koto, dan baru menjadi nagari (Oki, 1978:4). Banjar atau disebut juga kabul merupakan tahap awal dalam pembentukkan nagari. Masyarakat ini masih belum terlalu lama menetap disatu tempat dan masih tinggal di bangunan panggung sedang bertiang empat (dangau). Penduduk yang tinggal di banjar hanya berasal dari satu suku dengan mata pencaharian berburu dan berladang. Dari banjar selanjutnya berubah menjadi Taratak, yang mempunyai arti bercocok tanam, sedangkan kampung tempat para penduduknya tinggal disebut dusun. Di dusun ini tinggal dua suku asal, dengan adanya dua suku asal yang berbeda ini, terbuka kemungkinan diantara kemungkinan diantara mereka menikah dan mengembangkan keturunan. Setelah masyarakat dusun ini semakin berkembang, mereka akan turun ke kaki bukit dan bermukim disana. Kelompok ini cenderung memilih bermukim di pinggiran sungai dan anak-anak sungai. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi koto. Koto terdiri dari tiga suku berbeda. Perkembangan peduduk tahap ketiga ini semakin pesat sehingga mereka membutuhkan lahan yang leih luas. Biasanya mereka akan mencari tempat-tempat yang lebih luas untuk perkampungan mereka. Sebagian besar penduduknya sudah membangun rumah permanen. Perkembangan ini kemudian masuk pada tahap terakhir yakni tahap menjadi nagari.   
Dalam sistem nagari, berlaku kepemimpinan tungku tigo sejarang secara bersama-sama memimpin masyarakat. Penghulu memimpin dalam sistem kemasyarakatan, ulama dalam bidang keagamaan dan kaum cerdik pandai (intelektual) dalam kehidupan sosial ekonomi serta pendidikan, sesuai dengan hakikat dari demokrasi yang tidak bertumpu pada satu orang kekuasaan atau monopoli kekuasaan layaknya otoriter, di adat Minangkabau kepemimpinan kolektif itu memang berasal dari rakyat yang dipilih dan diangkat oleh warga nagari, tidak ada kepemimpinan berdasarkan garis keturunan (feodalisme) dan tidak terpusat pada satu kekuasaaan layaknya otoriter.
Secara sosiologis historis, Minangkabau memiliki akar budaya yang kuat dan kokoh dalam proses meletakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang terintegrasi dengan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat Minang itu sendiri. Masyarakat Minangkabau terkenal sebagai masyarakat yang sejak dulunya sangat demokratis dan egaliter sebagaimana tercermin dari perbedaan pandangan para leluhur orang Minangkabau (Ronidin, 2006:103).
Musyawarah mufakat sebagai landasan demokrasi lokal, orang Minangkabau cenderung menganggap musyawarah sebagai demokrasi ’khas’ etnik Minangkabau. Pemusyawaratan yang dilakukan oleh pemimpin tidak berdasar pada suara mayoritas sehingga sistem voting tidak dikenal. Musyawarah untuk mencapai mufakat didasari asas saiyo-sakato (seia-sekata) serta kesepakatan (konsensus). Hal itu tercermin dalam pepatah ’bulek lah buliah digolongkan, picak lah buliah dilayangkan’ (jika bulat sudah boleh digolongkan dan kalau pipih sudah boleh dilayangkan). Artinya suatu kesepakatan telah memperoleh persetujuan bersama dan dapat dilaksanakan. Untuk mencapai kesepakatan, musyawarah harus berpegang teguh pada prinsip alur dan patut (asas rasionalitas) yang disesuaikan dengan kondisi, situasi, waktu dan tempat. Dengan kata lain, tidak berlaku segala zaman dan keadaan.
Perbedaan pendapat dalam musyarawah di kenagarian tidak menjadi penghalang dalam mencapai mufakat, itu dapat ditunjukkan dengan ungkapan basilang kayu dalam tungku mako api ka iduik (bersilang kayu dalam tungku, api akan hidup) artinya berbeda pendapat, kalau dikelola dengan baik maka dapat memicu kemajuan. Namun demikian, solusi atas perbedaan pendapat sedapat mungkin dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti disebut dalam ungkapan bulek aia dek pambuluah bulek kato dek mufakaik (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat). Musyawarah mufakat ini jelas merupakan tradisi yang mengandung nilai-nilai demokrasi dan telah berlangsung lama sejak dahulu.
Selain hal itu, dalam musyawarah ini juga memberikan pelajaran kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Dan bisa menerima perbedaan dalam setiap musyawarah, ini bertujuan mencegah terjadinya pepatah adat yang mengatakan “rumah selesai, pahat berbunyi” yang artinya setelah kata kesepakatan dibuat, namun dibelakang terdapat ketidakpuasan yang berujung pada usaha penggagalan keputusan yang telah dibuat bersama. Dengan demikian musyawarah harus mengakomodir semua kepentingan yang ada, sehingga tidak ada lagi permasalahan dikemudian hari setelah keputusan tersebut dibuat.  
Oleh sebab itu, dapat dikatakan karakteristik dari sistem otoritas tradisional minangkabau adalah demokrasi. Setiap orang secara adat adalah sama suaranya, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Semua masalah dirundingkan dalam permusyawaratan unit sosial tadi. Putusan diambil sebagai hasil musyawarah, yang putusan tersebut dinamakan dengan mufakat seperti dijelaskan diatas.
Watak demokratis adat Minangkabau juga tercermin dari posisi perempuan dalam sistem kemasyarakatan. Perempuan minangkabau di lambangkan dengan predikat ‘bundo kanduang’ yang merupakan figur sentral dalam keseluruhan sistem keluarga. Dalam arti fungsional, bundo kanduang dipersonifikasikan oleh anggota keluarga, matang, dan memiliki kearifan (Naim, 2006:54). Dengan demikian, salah satu karakteristik demokrasi Minangkabau, antara lain adanya penghargaan terhadap posisi perempuan sebagai bundo kanduang yang memiliki figur sentral dalam sistem keluarga.
Kaum perempuan yang disebut bundo kanduaag tadi, tidak hanya bergiat didalam kegiatan PKK dan karang taruna tetapi juga terlibat dalam musyawarah BPN. Dalam pemilihan walinagari hak perempuan, juga tak dibatasi. Meskipun calon yang muncul umunya laki-laki, calon perempuan bukannya tidak dimungkinkan. Akhir-akhir ini beberapa nagari di Sumatera Barat telah ada yang wali nagari-nya perempuan seperti nagari Gantuang Ciri di Kab. Solok dan pjs wali nagari di nagari Tanjung  Kab. Tanah Datar juga perempuan. Secara umum boleh dikatakan bahwa perempuan telah dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan publik di nagari. Dalam adat Minangkabau posisi perempuan kuat karena dialah yang memiliki tanah. Kelompok minoritas pun dilindungi, terutama pendatang. Para pendatang biasanya hidup berbaur dengan masyrakat dalam bentuk perkawinan atau pekerjaan.
Sebenarnya perempuan Minangkabau dinilai punya watak progresif. Alisyabana menggambarkan bahwa perempuan minangkabau mempunyai kepercayaan atas dirinya sehingga mereka tidak bergantung sepenuhnya pada suami yang dijemputnya. Dalam kehidupannaya perempuan minangkabau bisa bekerja dan bertanggung jawab atas anak, rumah, dan tanah yang ikut dimilikinya serta dikerjakan dan dinikmatinya. Kepada suami yang dijemputnya, perempuan Minangkabau tidak merasa berhutang budi dan tidak bergantung. Dalam perbuatannya., mereka bebas.
Kepercayaan diri perempuan Minangkabau ditunjang oleh penguasaan mereka atas harta pusaka. Harta pusaka di Minangkabau diturunkan melalui garis ibu (matrilineal). Itu berarti bahwa yang berhak menerimanya adalah anggota keluarga perempuan. Anggota keluarga laki-laki dari sebuah keluarga matrilineal tidak behak menerima harta pusaka. Mereka hanya berkewajiban untuk menjaga harta pusaka itu agar tidak hilang dan mengusahakannya bermanfaat bagi kaum kerabaytnya berdasarkan garis keturunan ibu.         
Dalam sistem demokrasi sejumlah nilai budaya politik demokratis berkembang dengan baik. Dinamika sosial ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik dan pembangunan. Dalam sistem pemerintahan tradisional, partisipasi masyarakat tidak hanya tetjadi dalam memilih pemimpin adat, tetapi juga dalam membangun rumah gadang (rumah kaum). Dalam hal itu, selain menyumbang material, masyarakat juga bergotong royong menyumbangkan tenaganya. Suasana komunal masih sangat terasa pada masyarakat Minangkabau.
3.3. Aktor-Aktor Dalam Pemerintahan Nagari
Sejak pemerintahan desa diganti dengan pemerintahan nagari, maka dimulailah era baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Nagari disusun berdasarkan prinsip-prinsip sistem kekerabatan matrilineal dan teritorial. Sebagai unit pemerintahan terendah, nagari adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan melalui Kerapatan Adat Nagari yang berfungsi sebagai badan eksekutif, legislatif dan yudikatif merunut trias politica Montesque. Kerapatan Adat Nagari (KAN) juga mewakili kepentingan nagari terhadap nagari-nagari lainnya ataupun struktur kekuasaan lebih tinggi.





Bagan 2.
Struktur Kelembagaan Nagari di Sumatera Barat

a)      Pemerintahan Nagari
Secara kultural, nagari merupakan federasi genealogis yang dihuni beberapa suku, sebagai kesatuan masyarakat yang terbentuk berdasarkan ikatan kekeluargaan menurut pertalian keturunan yang ditarik dari garis ibu (matrilineal). Nagari mempunyai wilayah sendiri dengan batas-batas alam yang jelas dan mempunyai pemerintah yang beribawa dan ditaati penduduknya. Pemerintahan nagari dilakukan oleh Dewan Kerapatan Adat yang anggota-anggotanya terdiri atas penghulu-penghulu andiko sebagai wakil keluarga, kaum atau suku.
Pemerintahan nagari dijalankan Wali Nagari bersama dewan harian nagari (DHN). Keanggotaan Dewan Nagari dipilih langsung oleh rakyat yang mengurus masalah-masalah pemerintahan. Bila dimasa lalu pengambilan keputusan dilakukan dengan musyawarah mufakat, sejak saat itu dilakukan didasarkan pada suara terbanyak.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Wali Nagari dibantu oleh beberapa orang Kepala Jorong, semacam ketua RT. Wali Nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari) secara demokratis. Biasanya yang dipilih menjadi wali nagari adalah orang yang dianggap paling menguasai tentang semua aspek kehidupan dalam budaya Minangkabau, sehingga wali nagari tersebut mampu menjawab semua persoalan yang dihadapi anak nagari. Adapun fungsi dari Wali Nagari antara lain sebagai berikut:
1)      Melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangga Nagarinya
2)      Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam wilayah Nagarinya
3)      Melaksanakan kegiatan yang ditetapkan bersama Badan Perwakilan Nagari
4)      Melaksanakan koordinasi terhadap jalannya pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakat di Nagari.
5)      Melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat
6)      Melaksanakan urusan pemerintahan lainnya.
Dalam menjalankan pemerintahan nagari sehari-hari, seorang Wali Nagari dibantu oleh Sekretaris Nagari. Sekretaris nagari berkedudukan sebagai unsur staf pembantu Wali Nagari dan memimpin secretariat nagari. Sekretaris Nagari mempunyai tugas melaksanakan administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di nagari serta memberikan pelayanan administratif  kepada Wali Nagari. Adapun fungsi dari Sekretaris Nagari sebagai berikut:  
1)      Melaksanakan urusan surat menyurat, kearsipan dan laporan
2)      Melaksanakan urusan keuangan
3)      Melaksanakan administrasi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyaratan
4)      Melaksanakan tugas dan fungsi wali nagari apabila wali nagari berhalangan melaksanakan tugasnya
Secara kultural perubahan dari pemerintahan nagari ke pemerintahan desa di Sumatera Barat menimbulkan beberapa implikasi. Diantaranya seperti kepemimpinan formal terendah telah bergeser dari kepemimpinan kolektif tali tigo sapilin (tali tiga sepilin) dan tungku tigo sajarangan (tiga tungku sejarangan) kepada Wali Nagari. Masa jabatan walinagari adalah 6 tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali untuk satu kali periode berikutnya.
Istilah “tigo tungku sajarangan” sendiri muncul setelah masuknya islam, yakni penghulu, ulma, cerdik pandai yang berlangsung di nagari-nagari dan suku-suku (sejenis marga) di minangkabau (Zuhro 2009: 102). Pada tingkat alam minangkabau (wilayah adat seluruh orang minang) eksistensi tigo tungku sajarangan terlihat adari pembagian kewenangan antara raja alam di pagaruyuang, raja ibadat di sumpur kudus, dan raja adat dib u. ini menunjukkan bahwa kepemimpinan diminangkabau bersifat kolektif dan setara.
Hal senanda juga diungkapkan Nusyirwan Effendi (2004) pada awalnya sebelum masuknya islam, tigo tungku sajarangan tidak dikenal dinagari, yang ada adalah istilah limbago (institusi) yang dikenal dengan sebutan limbago niniak mamak yang mengatur kehidupan masyarakat nagari disegala bidang seperti adat, ekonomi, sosialdan lain-lain. Istilah tali tigo sapilin baru dikenal setelah terjadi perubahan nagari menjadi desa selama orde baru dengan acuan tali tigo sapilin (adat, agama, dan hokum negara).  
b)     Badan Perwakilan Nagari (BPN)
Sebagai level pemerintahan terendah dan memiliki otonomi sepertihalnya desa dijawa, maka nagari juga memiliki sebuah badan legislatif yang bernama Badan . Perwakilan Nagari (BPN). Kehadiran BPN diharapkan dapat membawa perbahan bagi kehidupan perubahan bagi kehidupan sosial politik masyarakat nagari yang selama ini bergerak selama ini bergerak secara sentralistis tanpa adanya mekanisme checks and balances serta adanya pemandulan partisipasi masyarakat.
Keanggotaan Badan Perwakilan (BPN) ini merupakan utusan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat nagari atau wakil dari penduduk nagari dengan mempertimbangkan keterwakilan wilayah dan unsur-unsur masyarakat yang ditetapkan secara musywarah mufakat. Keanggotaan BPN berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat No 9 Tahun 2000 dan telah diperbaharui dengan Perda Prov. Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari. Menurut peraturan tersebut keanggotaan BPN adalah berasal dari unsur ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang dan pemuda. Tiap unsur ini memiliki basis pada tingkat jorong, sehingga pada pemilihan anggota BPN maka masing-masing jorong mengutus masing-masing dua orang, kemudian utusan ini bermusyawarah untuk menentukan siapa wakilnya dalam BPN.


c)      Kerapatan Adat Nagari (KAN)
Kerapatan Adat Nagari (KAN) merupakan lembaga yang telah ada sejak tumbuh dan berkembangnya masyarakat minangkabau. Keberadaan KAN ini tidak bisa dipisahkan dari ninik mamak karena seluruh penghulu/ninik mamak yang ada dalam sebuah nagari akan tergabung dalam KAN. Setiap nagari melaksanakan kekuasaan yudikatif melalui kerapatan adat, didalam kerapatan adat berkumpul para ninik mamak yang mewakili kaumnya dan melakukan peradilan atas kaumnya.
Sebagai konsekuensi dihapusnya nagari sebagai unit pemerintahan terendah pada masa orde baru, maka KAN sebagai salah satu struktur dalam nagari pun dibekukan . akan tetapi kerapatan nagari sesungguhnya masih ada untuk melindungi nagari sebagai satu kesatuan hukum adat dikeluarkan sebuah peraturan daerah dengan No 13 pada tahun 1983. Perda ini kembali mengukuhkan keberadaan KAN.
Perda Provinsi Sumatera Barat No 9 tahun 2000 dan diperbaharui lagi dengan Perda No 2 tahun 2007 tentang ketentuan pohon pemerintahan nagari masing-masing kabupaten menyikapinya dengan Perda Kabupaten. Pemerintahan nagari mau mendengarkan dan memperhatikan pendapat dari KAN, Pemerintah nagari dharapkan mengakomodir sumbang saran KAN, sehingga hubungan antara walinagari dan KAN berjalan efektif.
Menurut Mochtar Naim (2004), bahwa dalam masyarakat tradisional minangkabau, kepemimpinan para ninik mamak merupakan salah satu unsur kepemimpinan “tungku tigo sajarangan”, yang terdiri dari para ninik mamak, alim ulama, dan cerdik pandai. Peran ninik mamak berkaitan dengan adat dan hubungan kedalam dan negosiasi keluar nagari. Sebelum masuknya islam niniak mamak merupakan pemimpin resmi masyarakat minangkabau yang kuat dan berwibawa terutama sekali dalam nagari. Saat sekarang ini niniak mamak sebagian besar adalah pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam masyarakat minangkabau.Ketua KAN biasanya dipegang oleh salah satu niniak mamak yang ada dinagari.
4.      Penutup
Demokrasi sejak lama telah hidup dalam masyarakat Minangkabau yang sebagian besar mendiami Provinsi Sumatera Barat. Minangkabau dikenal sebagai suku bangsa yang yang memiliki khazanah budaya yang ekuivalen dengan nilai-nilai demokrasi. Demokrasi lokal minangkabau merepresentasikan semua golongan yang ada dalam masyarakat tersebut. Demokrasi lokal masyarakat minangkabau ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari mereka terutama dalam melakasanakan pemerintahan nagari. Nagari sebagai penguat nilai-nilai demokrasi lokal dapat dilihat dari dimensi penghargaan terhadap hak-hak individu seperti budaya tenggang rasa dengan sesama sekalipun berbeda agama dan suku yang diungkapkan dalam pepatah’lamak dek awak katuju dek urang’ (enak di kita, enak juga di orang lain) selain itu penghormatan pada (hak) sesama sebagai bagian dari nilai ’demokrasi model minangkabau’ juga tercermin dalam ungkapan nan ketek dilindungi, nan tuo dihormati, nan smo gadang dipatenggangkan (yang kecil dilindungi, yang tua dihormati, yang sama besar dihormati) dan diadopsinya nilai-nilai keislaman ke dalam nilai-nilai keseminangan yakni ’adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah menjadi karakter budaya lokal yang ekuivalen dengan budaya islam yang rasional, kosmopolit dan komunal. Selain itu juga adanya dimensi partisipasi seperti adanya peran warga nagari untuk mengekspresikan aspirasinya misalnya melalui musyawarah nagari. Dalam dimensi transparansi dan akutanbilitas misalnya dalam proses penyusunan anggaran di kenagarian, diselenggarakannya public hearing dengan perwakilan masyarakat. Dimensi supremasi hukum, yang mengedepankan hukum adat terhadap sanksi bagi warga dan pejabatnya yang menyimpang dari norma berdasarkan ’adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’. Nagari mencerminkan budaya demokrasi ideal, seperti dalam proses politik dalam rapat adat, terlibat adanya partisipasi dari seluruh elemen masyarakat nagari seperti penghulu, kapalo mudo, wali nagari, bundo kanduang merupakan keterwakilan untuk berpartisipasi. Dalam proses politik pada masyarakat adat inilah ditemukan demokrasi lokal minangkabau berupa musyawarah mufakat yang diwakili oleh semua kalangan masyarakat yang ada di sebuah nagari Minangkabau. Musyawarah mufakat sebagai landasan demokrasi lokal, Musyawarah untuk mencapai mufakat didasari asas saiyo-sakato (seia-sekata) serta kesepakatan (konsensus). Hal itu tercermin dalam pepatah ’bulek lah buliah digolongkan, picak lah buliah dilayangkan’ (jika bulat sudah boleh digolongkan dan kalau pipih sudah boleh dilayangkan). Artinya suatu kesepakatan telah memperoleh persetujuan bersama dan dapat dilaksanakan.
Dengan demikian, karakteristik demokrasi Minangkabau, antara lain, tercermin dalam corak kepemimpinan tradisional, musyawarah mufakat sebagai metode penyelesaian masalah dalam kehidupan, penghargaan terhadap hak asasi manusia, dan posisi kaum perempuan. Semua itu tercermin dalam kearifan lokal tradisional, berupa ungkapan dan pepatah Minangkabau yang menjadi basis nilai-nilai demokrasi lokal dalam pemerintahan nagari. Basis ”demokrasi asli” itu ada di nagari, yang sejak dulu merupakan kesatuan hukum masyarakat adat dan sejak masa kolonial juga menjadi unit pemerintahan terendah. Nagari-nagari bukan hanya republik-republik mini, berdaulat satu dengan lainnya, tetapi juga menjadi sistem pemerintahan adat yang relatif demokratis, dalam arti mengayomi kepentingan orang banyak. Metode musyawarah untuk mencapai mufakat (konsensus) dalam penyelesaian masalah sosial, penghormatan terhadap HAM, peran kepemimpinan sosial, karakter terbuka masyarakat nagari, serta penghargaan yang baik terhadap kaum perempuan (bundo kanduang) adalah khazanah kultur politik masyarakat nagari yang mendukung dan ekuivalen dengan nilai-nilai demokrasi modern yang kini dikembangkan dalam masyarakat politik negara kita.
Penulisan paper ini semoga bermanfaat bagi semua khalayak yang membacanya, masih terdapat kekurangan dalam penulisan ini dan dimungkinkan untuk dikritisi sehingga pada akhirnya tulisan ini menjadi tulisan yang utuh. Tulisan ini semoga menambah kajian-kajian mengenai demokrasi khususnya demokrasi khas lokal yang masih sedikit disentuh oleh para peneliti kajian demokrasi, yang sebagian besar masih berkutat dengan kajian demokrasi secara konteks global.  
Daftar Pustaka
AA. Navis. 1984. Alam terkambang jadi guru: adat kebudayaan minangkabau. Jakarta : Grafiti press.
Arifin, Zainal. 2011. Politisasi Mitos Asal Usul: Proses Rekonstruksi Nagari Ba-Ampek Suku. Dalam Jurnal Analisa Politik Universitas Andalas. Volume 11 No. 1 Tahun 2011.
Asnan, Gusti. 2007. Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Benda-Beckmann, Kebeet. 2000. Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Jakarta: Gresindo
Bengt   Säve – Söderbergh. 2000. Laporan  Penilaian  Demokratisasi   di  Indonesia.   International  IDEA.
Dahl, Robert. A. 1992.Demokrasi Ekonomi Sebuah Pengantar. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Dahl, Robert. 2001. Perihal Demokrasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Doel, J Van Den.1987. Demokrasi Dan teori Kemakmuran. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Eko, Sutoro. 2005. Menggantang Asap ? Kritik dan Refleksi Atas Gerakan Kembali Ke Nagari. Yogyaarta: IRE
Fattah, Eep Syaifullah. 1999. Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Politik Masa Depan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Graves, Elizabeth E. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Held, David. 1995. Demokrasi dan Tatanan Global (Democracy and The Global Order). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: PT Midas Surya Grafindo.
Isra, Saldi. Amandemen Lembaga Legislatif dan Eksekutif: Prospek dan Tantangan, Makalah tidak dipublikasikan
Kahin, Audry. 2005. Dari Pemberontakan Ke Integrasi: Sumatera Barat 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Manan, Imran. 1995. Birokrasi modern dan otoritas tradisional minangkabau. Padang : Yayasan pengkajian kebudayaan minangkabau.
Mas’oed, Mochtar. 1994. Negara, Kapital, dan Demokrasi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
                          2006. Tiga menguak Takdir: Perempuan Minangkabau di Persimpangan Jalan. Jakarta : Hasanah.
Oki, Akira. 1978. Social Changes in The West Sumatran Village: 1908-1945. Disertasi, Canberra Department of Pacific and Souhteast Asian History. The Austalian National University (online). Diunduh 20 Juni 2012.
Rafni, Al dan Suryanef. 2005. Kembali ke nagari: kembali ke identitas dan demokrasi lokal. Jakarta: LP3ES.
Rauf, Maswadi, Perkembangan UU Politik Pasca Amandemen UUD 1945, Makalah tidak dipublikasikan
Revitch, Diane dan Thernstrom, Abigail. 2005. Demokrasi Klasik dan Modern : Tulisan-tulisan tokoh-tokoh pemikir ulung.
Ronidin. 2006. Minangkabau di mata anak muda. Padang : Andalas University Press.
Summarty, Betty. 2007. Revitalisasi Peran Ninik Mamak Dalam Pemerintahan Nagari. Yogyakarta: Polgov UGM
Tornquist, Olle. 2009. Building Democracy on The Sand. Jakarta: DEMOS
Zainuddin, Musyair.2008. Implementasi pemerintahan nagari berdasarkan hak asal usul adat minangkabau. Yogyakarta : Ombak.
Zed, Mustika. 1996. ”Nagari Minangkabau dan Pengaruh Sistem Kolonial”. Jurnal Genta Budaya 3.
Zuhro, R. Siti dkk. 2009. Demokrasi lokal: nilai-nilai budaya politik lokal. Yogyakarta : Ombak.
Jurnal Mandatory Edisi 3/ Tahun3/2006. Politik Kesejahteraan Di Tanah Republik.
Jurnal UI, Volume 14 No.2 Desember 2010.“Peran Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi”, diakses 15 Februari 2012.



[1] Memoir of the life and public service of sir Thomas Stamnford Raffles, seperti yang dikutip Audry Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi : Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Saya berangkat dari kasus kecil ini, seperti halnya apa yang diangkat oleh Clitford Geertz dalam melahirkan teori politik aliran Santri, Priyayi, dan Abangan. Awalnya Geerzt Cuma melihat disebuah daerah dipulau jawa, orang disebuah rumah menangis merauang-raung, timbul suatu tanda tanya bagi Geertz apakah yang sebenranya terjadi, ternyata ada orang meninggal dan mayatnya tidak boleh dikuburkan karena dia Komunis/PKI sedangkan masyarakat di sana adalah kalangan NU. Dari hal sekecil itu dia membuat sebuah konsep politik aliran tadi yang dia kisahkan dalam bukunya mengenai daerah tersebut yang dia sebutkan dengan nama  Mojokuto. 


*Mahasiswa Pascasarjana Politik dan Pemerintahan UGM