Monday, May 28, 2012

CONTENTIOUS POLITIK DI MASA TRANSISI PASCA ORDE BARU: HABIBIE DALAM KEPUNGAN POLITIK



1.      Pengantar
Rezim soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun akhirnya tumbang juga. Hari itu kamis, 21 Mei 1998 gegap gempita menyambut pengunduran diri Presiden Soeharto. Mundurnya Soeharto dari kursi Presiden secara konstitusional akan digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie. Akan tetapi dalam melanjutkan pemerintahan ditangan Habibie selama masa transisi ternyata tersendat-sendat oleh goncangan politik lawan-lawannya. Kaum reformis menganggap Habibie adalah status quo yang merepresentasikan rezim Orde baru. Habibie sepertinya tidak memiliki kemewahan politik seperti yang diperoleh Soeharto. Kekuasaanya sangat rapuh, dan tidak jarang didalam menjalankan kekuasaannya ia seperti memperlihatkan gejala ketakutan kaerna siapa saja tampaknya diberi konsesi.
Lawan-lawannya memberikan tekanan yang tekanan kepada Habibie agar pemilihan Umum dipercepat. Habibie mempercepat pelaksanaan pemilu, ini menandakan dia sudah sangat rapuh dalam menghadapi hadangan kelompok reformis. Derajad legitimasi kekuasaan Habibie pun banyak dipertanyakan. Kalangan sejak semula tidak menerima Habibie sedangkan kalangan yang memperjuangkan reformasi malah diposisi berbeda. Mereka yang sejak semula menolak Habibie menyatakan bahwa pemerintahan Habibie tidak sah karena proses transisi dari Soeharto ke Habibie tidak konstitusional. Kelompok ini menyatakan perlu memperjuangkan reformasi total.
Perseteruan Habibie ini akan penulis sampaikan dalam beberapa hal yang menyebabkan pemerintahannya begitu rapuh. Habibie seperti berdiri dalam kesendirian, meskipun dia berhasil pada akhirnya mengkonsolidasikan ABRI. Akan tetapi, dalam ABRI sendiri dia sudah semakin memperuncing permasalah faksionisme ABRI, barisan Sakit hati dibawah Prabowo dan kawan-kawan secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap diriya. ABRI yang terkonsilidasipun terjadi kompromi semu dengan Habibie.
Perseteruan yang namapak jelas adalah konflik Habibie dengan kelompok perjuangan reformasi. Goncangan-goncangan ini membuat Habibie makin kelimbungan menghadapinya. Dalam mengahdapi para lawan-lawannya ini Habibie pun terkena batu sandungan, ucapannya yang ceplas-ceplos dan tanpa terkendali malah semakin membuat dirinya blunder. Kesalahannya ini dimanfaatkan oleh gerakan perlawanan terhadapnya. Sidang Umumu MPR 1999 menjadi saksi bagaimana akhir perseteruan Habibie ditengah kepungan politik terhadapnya. Laporan pertanggung jawabannya ditolak oleh Sidang Umum MPR 1999. Habibie pun tidak dibolehkan untuk mencalonkan diri menjadi calon presiden. Akhir yang tragis bagi ahli teknologi ini, karier politiknya dipemerintahan pun terhenti.     
2.      Konsep Teoritis
masalah contentious politics tentunya tidak bisa dilepaskan dari apa  yang disebut sebagai gerakan sosial, secara definitif gerakan sosial berarti  sekelompok orang yang melakukan perlawanan terhadap apa yang kelompok tersebut anggap sebagai common enemy (musuh bersama) yang selanjutnya hal itu dikembangkan sebagai basis identitas kelompok dengan tujuan bersama.
Dalam menjalankan aksinya kelompok mengembangkan apa yang disebut sebagai repertoire, istilah ini bukan merujuk pada istilah musik dalam paduan suara tetapi merujuk pada sebuah metode aksi gerakan yang dilaksanankan berulang-ulang, terencana dan terstruktur, atau biasa disebut sebagai tak-tik dalam tahapan gerakan. (Hanspieter Kriesi, 2007). Bentuk repertoir sendiri beragam bentuknya antara lain dapat dilakukan dengan : petisi, festival, demonstrasi, konfrontasi, pertemuan, kekrasan ringan, sampai kekerasan berat.
Contetentious sendiri mengfokuskan kajiannya pada gerakan sosial yang bersifat konfliktual, sehingga dalam  hal ini  identifikasi relasi sebagai kawan atau lawan menjadi penting. Tulisan ini berujtuan  menggambarkan kepada pembaca bagaimana contentious bekerja dalam suatu fenomena kasus, yakni perseteruan politik dimasa transisi yang berujung pada penolakan pertanggungjawaban Presiden Habibie di MPR. Penolakan Laporan pertanggungjawaban tersebut berimbas kepada tidak dibolehkannya Habibie untuk mencalonkan diri menjadi Presiden lagi.
Dalam Contentious politik terdapat protagonist, adalah kelompok yang memperjuangkan sesuatu untuk perubahan (pembuatan kebijakan, otoritas publik, partai politik dan kelompok kepentingan). Selain protagonist juga ada antagonist yakni kelompok yang anti terhadap perubahan (otoritas publik, agen pemerintah yang represif, gerakan anti terhadap perubahan. Selain kedua itu juga terdapat satu kelompok lagi yang bernama bystanders, yaitu kelompok atau individu yang terlibat langsung tapi ikut memperhatikan jalannya pertentangan (attentive public).

Bagan 1.
Komponen Perseteruan Politik
Text Box: CONTENTIOUS POLITIC
 

                                                                                             
Text Box: Tilly & CastaƱeda 2007)
 







3.      Perseteruan Habibie dan Militer
3.1.  ABRI, Habibie, dan Islam Pasca-Soeharto
Bulan-bulan setelah kejatuhan Soeharto ditandai dengan adanya disorientsi kolektif. Setelah 32 tahun diawasi dengan ketat, makadari itu prose politik dapat diduga bahwa para aktor politik berjuang untuk arti kekuasaan yang dianugrahkan pada posisi sebagai presiden. Dia menggunakan kekuasaan ini dengan baik untuk membatasi ambisi wiranto dan memperkokoh posisinya sendiri. Sebagai akibat dari Juli 1998 dan seterusnya pengaruh ABRI terhadap politik cenderung menurun. Alasan terjadinya hal ini akan diuraikan sebagai berikut.
Habibie sendiri mempunyai awal yang sulit. Ia tidak disenangi ABRI, ditolak oleh sebgaian besar organisasi sosial politik, dan dikelilingi oleh komunitas investor yang skeptis, dia mempunyai tugas mencarikan jalan keluar bagi kehancuran ekonomi dan politik yang diwarisi Soeharto. Tetapi keyakinan Habibie membuahkan hasil keadaan yang lebih baik dibulan juli, ketika dia menemukan hak-hak institusionalnya  sebagai panglima tertinggi dan mampu mencapai saling pengertian dengan para pemimpin ABRI. Sementara itu  perkembangan politik islam menjadi faktor yang penting dalam hubungan antara Habibie dan ABRI. ABRI merasa tidak senang dengan keterbatasan pembentukan Partai-Partai Islam dan berkesimpulan bahwa Golkarnya Habibie akan merupakan Patner ABRI yang dapat dipercaya daripada salah satu partai besar islam, serta di sisi lain kelompok partai sekuler reformis menuntut penghapusan Dwifungsi ABRI. Dari pandangan Habibie sendiri, pembentukan lebih dari selusin partai islam telah mengikis basis kekuatannya, sementra ia telah merencanakan untuk merekrut anggota parlemen golongan islam untuk melegitimasi jabatan kepresidenannya. Karena hal ini tampaknya merupakan upaya yang tidak membawa hasil, dia akhirnya berpaling kepada kekuasaan institusionalnya untuk memperkuat kedudukannya.[1]
Di minggu-minggu jabatan kepresidenan Habibie, semuanya tampak seolah-olah menentangnya. Konsolidasi internal ABRI, keputusan kontroversial Habibie untuk meliberalisasi sistem politik, respon yang kurang memadai dari masyarakat sipil, penolakan secara terbuka dari lawan politiknya NU, Muhammadiyah dan PDI, serta kegagalannya mengendalikan ekonomi, semuanya ini tampak seolah-olah melemahkan Habibie. Dengan adanya  fragmentasi masyarakat sipil secara keseluruhan, memberikan kesempatan kepada ABRI untuk mengambil alih pimpinan dan mencampakkan Habibie sesegera mungkin.
3.2.  Perseteruan Habibie dan Militer (ABRI): Pencopotan Prabowo sebagai Pangkostrad
Sudah banyak buku yang menulis tentang konflik segitiga Habibie, Wiranto dan Prabowo. Menurut Pambudi (2002), Prabowo subianto adalah sosok yang paling menarik perhatian dalam sejarah TNI pada dekade 1990-an. Meraih tiga bintang pada usia 46 tahun, ia memcahkan rekor jenderal termuda dalam TNI modern. Kariernya sangat berkilau, nama prabowo mulai diperhitungkan sejak menjabat Komandan Jenderal Kopassus (1996-1998) dan mempelopori pemekaran satuan baret merah ini. Bulan januari 1998 dia dilantik menjadi panglima Kostrad (jabatan prestisius dalam struktur militer).[2]
Namun bulan Mei 1998, petaka menimpa diri sang Rising Star. Tanggal 22 Mei 1998, sehari setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri, Letjen Prabowo Subianto dicopot dari jabatannya. Kemudian ia dimutasi jadi Komandan  Sekolah Staf Komando ABRI, sebelum akhirnya pensiun dini dengan pangkat Letjen.[3]
Kejadian ini merupakan awal dari tantangan presiden (Habibie) bagaimana menangani maslaah Prabowo yang susah payah berupaya mempertahankan pengaruhnya. Prabowo ditinggalkan oleh banyak teman militernya setelah kejatuhan kekuasaan Soeharto. Probowo mulai memperkuat hubungannya dengan organisasi-organisasi Muslim. Tidak lama sebelum pengunduran diri Soeharto, ia menemui wakil-wakil dari kelompok Islam yang kurang begitu penting. Basis kekuatan Prabowo dari kalangan modernis radikal kanan mulai berdisintegrasi.
Menyadari akan keadaan bahwa kelompok muslim yang tersisa hanya akan mendukungnya jika ia mempunyai peranan penting dilingkungan ABRI, prabowo mulai berjuang untuk mengorganisir transisi pribadi yang lancar diera setelah kejatuhan soeharto. Prabowo mencium gelegat bahwa Wiranto telah mempersiapkan pemecatannya dibelakang layar, Prabowo muncul pada Rabu malam, 20 Mei, dirumah Sobagyo HS, ditemani sekutu loyalnya, Mayjen Muchdi PR. Ia kembali tanpa hasil. Hari berikutnya, Prabowo mencoba mendatangi Habibie, yang baru saja dikukuhkan sebagai presdien menggantikan Soeharto. Sesampainya dirumah Habibie, Prabowo segera menyampaikan sebuah daftar lengkap usulan reshuffle, dengan mempromosikan dirinya sebagaiu KASAD dan Soebagyo sebagai PANGAB. Sedangkan wiranto dibiarkan untuk jabatan –jabatan seremonial yaitu Menteri Pertahanan dan keamanan. Pengawal Habibie menelepon Wiranto, yang segara datang kerumah Habibie. Mendengar kedatangan atasannya, Prabowo meninggalkan rumah melalui pintu belakang.[4]
Pada jum’at pagi, 22 Mei, sebelum pengumuman anggota Kabinet, Wiranto membahas kejadian pada hari sebelumnya dengan Habibie. Walaupun Wiranto jelas telah mendapatkan persetujuan dari Soeharto untuk memberhentikannya, bahkan sebelum pengambilan sumpah presiden. Habibie mengtakan kepada wiranto bahwa Pangkostrad harus diganti sebelum matahari terbenam. Sekarang Habibie telah menyiapkan jalan untuk menenggelamkan Prabowo, ia jatuh menjadi korban dari kecenderungan buruknya sendiri. Dalam masalah pilihan pengganti Prabowo, pilihan Wiranto untuk pengganti posisi Pangkostrad Mayor Jenderal Jhony Lumintang  diganti dalam waktu 18 jam kemudian oleh pilihan Habibie yakni Mayor Jenderal Djamari Chaniago. Tetapi insiden itu telah meningkatkan ketegangan antara Habibie dan Wiranto yang mendominasi kepemimpinan ABRI.[5]
Dalam memoarnya yang paling fenomenal Detik-Detik Yang Menentukan, Habibie memaparkan perseteruannya dengan Prabowo. Ketika itu setelah makan siang, Presiden Habibie menemui Pangkostrad Letjen Prabowo yang memasuki ruangan tanpa membawa senjata apapun, Habibie pun merasa puas. Terjadi dialog antara Habibie dan Parbowo dalam bahas inggris.[6] 
Pada saat itu prabowo mengatakan kepada Habibie atas pencopotannya sebagai pangkostrad adalah sebuah penghinaan bagi keluarganya sendiri amupun penghinaan terhadap keluarga mertuanya yakni Presiden Soeharto. Terjadi dialog panjang mengapa dia harus dipecat dari jabatan pangkostrad. Habibie mengatakan bahwa parabowo bukan dipecat tetapi diganti dan dipindah tugaskan, karena Habibie menganggap Prabowo telah menggerakakna pasukan liar Kostrad menuju Jakarta. Prabowo membantah dnegan mengatakan dia bertujuan untuk mengamankan Presiden dan keluarganya.[7]
Pencopotan Prabowo makin meperuncing faksionisme dalam tubuh militer. Semakin jelas mana ABRI merah dan mana ABRI hijau. Habibie dihadapkan kepada dua masalah baru. Disatu sisi pencopotan prabowo dan rekan-rekannya telah menciptakan barisan Sakit hati kepada Habibie. Disisi lain ABRI dibawah Wiranto sudah terkonsolidasi. Menurut Marcus Mirtzner (2002), kekompakkan intern ABRI berubah menjadi masalah utama bagi Habibie. Ketidaksenangan terhadap Habibie di kalangan ABRI sudah diketahui dan mempunyai sebab-sebab. Kepemimpinannya di ICMI dan intervensinya dalam masalah militer yang berkaitan dengan masalah pembelian senjata selama masa pemerintahan Soeharto belum dapat diterima dengan baik oleh kebanyakan perwira ABRI.
3.3. Kompromi Semu antara Habibie dan ABRI
Walaupun ada perasaan tidak senang dikalangan struktur internal ABRI tentang cara Habibie dan jaringan perwira-perwira eksetrnalnya telah mempengaruhi proses pengambilan keputusan Angkatan Bersenjata, tetapi persepsi untuk mempertahankan kepentingan ABRI lebih diutamakan yang akan lebih mudah jika kepemimpinan ABRI mendukung Habibie dan Golkar. Ada dua pertimbangan penting ketika itu dari pimpinan-pimpinan ABRI. Pertama, Habibie sebagai Panglima tertinggi dan berada dalam posisi yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan ABRI adalah lebih baik mendukung presiden dan kebebasan intern yang lebih luas daripada mengambil resiko mengorbankan jabatan Panglima Angkatan Bersenjata. Analisis kedua, dengan adanya kebebasan membentuk partai-partai politik, maka telah bermunculan berbagai partai yang menuntut ditinggalkannya Dwifungsi ABRI, para pemimpin ABRI mulai menyadari bahwa militer akan jauh lebih baik mendukung Golkar, sebagai satu-satunya partai yang menyatkan komitmennya terhadap peran sosial politik ABRI. Dalam hubungan ini, para pimpinan ABRI mengetahui bahwa sebagian besar dari partai-partai Islam menolak Habibie. Terlepas dari pemilih-pemilih islam yang semula direncanakan untuk memobilisasinya, nampaknya sekarang Habibie harus bersekutu dengan ABRi daripada tahun-tahun sebelumnya.
Pemecatan Prabowo dari Angkatan Darat dengan hak pensiun penuh dipandang masyarakat sebagai upaya setengah hati ABRI melihat masa lalunya. Walaupun para pembantu wiranto yakin bahwa akan banyak lagi permasalahan yang akan datang, kesan yang melekat pada ABRI sangat melemahkan yaitu tidak mampu membuat garis pemisah yang jelas dengan sejarahnya dibawah pemerintahan rezim Soeharto. Menghadapi tuntutan untuk penghapusan Dwifungsi Angkatan Darat dan penyelidikan keterlibatan lembaga itu dengan Soeharto, Habibie, dan Golkar sepertinya akan merupakan Patner yang dapat dipercaya dan sama-sama mempunyai kepentingan dengan ABRI atau paling tidak mempertahankan sebagian dari keberhasilan politik yang pernah dicapai selama Orde Baru.
4.      Perseteruan Habibie Dengan Reformis
4.1.  Kaum Reformis Menentang Habibie
Con Husein Pontoh dalam Partai Politik dan Konsolidasi demokrasi ”pengalam Tiga Pemerintahan Pasca reformasi. Dalam skenario dimasa Habibie, skenario politik pun digelar seperti jurus-jurus politik dagang sapi. Munculnya kekuatan baru untuk membendung laju gerakan Megawati dan Habibie. Gagasan Amien Rais[8] memelopori pembentukan Poros tengah yang merupakan persekutuan dari beberapa partai dengan latar belakang islam. Pembentukan Poros tengah ini, seperti dikemukan oleh Amien Rais adalah untuk mengantisipasi bentrokan diantra pendukung Habibie dan dan Megawati. Berikut akan saya paparkan tabel kekuatan koalisi dimasa transisi presiden habibie ini, yakni sebagai berikut.


Tabel 1.
Kekuatan Koalisi Habibie, Gus Dur, dan Megawati
Habibie
Gus Dur
Megawati
Golkar
120
PPP
59
PDI-P
154
TNI
38
PKB
51
PKB
6
PDI
2
PAN
35
PBTI
3
IPKI
1
PBB
3
PDKB
3
PDR
1
PK
6
PNI-M
1
PP
1
PKU
1
PNI F-M
1


PSII
1




PNU
1


Jumlah
163

169

168
Sumber: Diolah dari Suharsono. Hlm. 92
Berikut pernyataan tokoh Reformasi Amien Rais mengenai kekuatan baru untuk membendung habibie yang dipandang oleh kaum reformis adalah bagian dari status quo (masih bagian Orde Baru):[9]
“saya termasuk orang yang sepenuhnya mendukung gagasan kreatif ini demi menyelamatkan masa depan kita semua. Oleh karena itu, hanya dengan poros tengah yang berjiwa reformasi betul-betul mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa, maka pertandingan antara kubu Megawati dan Habibie dapat dinetralisir...
Namun demikian jangan dilupakan bahwa ‘poros tengah’ ini harus melakukan pendekatan dengan pimpinan TNI agar terjadi mutual understanding (saling pemahaman) yang betul-betul jujur dan terbuka. Oleh karena pada instansi terakhir, apabila kita menganalisa perpolitikan bangsa indoensia, maka faktor TNI jelas merupakan sebuah faktor yang tidak mungkin dapat diabaikan...”
Amien Rais harus bekerja mati-matian untuk membentuk dan mengukuhkan aliansi itu. Ada tiga masalah krusial yang harus ditanganinya. Pertama, banyaka politisi dalam PPP dan PBB secara cukup terbuka telah mendukung Habibie sebagai presiden dalam satu masa jabatan lagi. Kedua, Gus Dur terlanjur menggerakkan PKB memasuki kubu Megawati untuk mengantisipasi suatu aliansi PKB-PDI-P dibawah patronase Gus Dur. Ketika  Gus Dur lalu akan merubah strategi itu, partai tersebut akan sulit diajak mengikuti pergeseran kebijakan ini. Ketiga, kalau kedua masalah itu berhasil diatasi, aliansi itu masih jauh dari kemungkinan mayoritas mutlak dalam Sidang Umum. Tanpa dukungan cukup besar dari Golkar, tidak mungkin Poros Tengah menang.[10] Perlawanan kelompok reformis ini nampak jelas terhadap Habibie, dimana Amien Rais dengan berterus terang akan mendukung Abdurrahman Wahid. Sikap Amien Rais yang merepresentasikan kaum refomis ini dengan gamblang menentang pencalonan Habibie untuk menjadi presiden.
“saya mendukung Gus Dur menjadi Presiden, karena saya kaget saat tokoh-tokoh Aceh mengatakan jika Megawati jadi Presiden, semangat Aceh untuk merdeka seperti dipercepat. Ditempat lain, bila Habibie jadi presiden akan terjadi pertumphan darah. Artinya, Habibie maupun Megawati sebuah masalah. Gus Dur bisa ditonjolkan sebagai tokoh alternatif. Selama ini, Gus Dur dikenal sebagai guru bangsa, wali pembaharu, dan kalangan LSM pun bagus. Gus Dur tak negatif, reaksi pasar internasional pun tentu netral, tak akan negatif.”[11]  
Posisi Habibie dalam keadaan semakin genting. Meskipun demikian, beberapa dari kelompok pro reformasi tadi dengan orang-orang seperti Amien Rais, Abdurahman Wahid, dan Emil Salim dalam tanda kutip tetap menerima Habibie sebagai pemimpin transisional sampai presiden dan wakil presiden baru dapat dipilih setelah pemilihan umum dilaksanakan. Sedangkan kelompok reformis bawahannya tetap menginginkan Habibie segera lengser.[12] Ketika menjelang Sidang Umum MPR 1999 semua kelompok ini bersatu.  
Disamping tekanan kaum reformis tersebut, Habibie juga terpeleset oleh kata-katanya sendiri. Habibie adalah tokoh yang kadang-kadang kontroversial, terlalu polos, ceplas-ceplos, bahkan berujung dengan blunder seperti pembentukan ICMI yang memcah konsentrasi bersama kaum intelektual. Kini habibie terpelset oleh idiom yang disebutnya dengan “KOMAS”. Apa arti komas tersebut? Istilah ini merupakan singkatan dari Komunisme, Marhaenisme, dan Sosialisme. Istilah tersebut keluar dari benak Habibie, tatkala menerima Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah ketika itu. Komas Menurut Habibie kala itu merupakan gerakan yang menghalalkan segala cara untuk memcah belah bangsa. Hal tersebut Habibie kaitkan dengan kerusahan yang terjadi di Indonesia pada saat itu.
Kali ini yang kebakaran jenggot bukan kelompok Prabowo, melainkan kelompok-kelompok politik yang berideologi Marhaenis dan Sosialis yang dibuatnya meradang. Bagaimana tidak bila tiba-tiba mereka dicap secra politik setara dengan komunis? Tidak hanya terbatas dalam kelompok itu, kalangan “islam tradisional” semacam Gus Dur, juga ikut memberi reaksi keras. Belakangan pada waktu itu kelompok Gus Dur amat akrab dengan kelompok nasionalis yang notabene dekat dengan ideologi Marhaenisme yang tempo dulu diajarkan Bung Karno.[13]
Kontan saja, sinyalemen Habibie soal KOMAS menimbulkan kegelisahan politik. Spekulasi politik yang berkembang pun bermacam-macam. Spontanitas Habibie tersebut bagaimanapun merupakan sasaran empuk bagi lawan politiknya untuk mengatakan bahawa Habibie mengutuik seorang tokoh nasionalis tua (bodoh, picik, dan dungu).[14] Ini lah salah satu resiko dari Habibie untuk menghadapi Sidang Umum MPR 1999.
Habibie dikenal sebagai sosok yang unik secara politik. Bukan karena ada sesuatu yang aneh tetapi memang gaya politik Habibie menampilkan antitesis dari pendahulunya presiden Soeharto yang tenang dan tanpa ekspresi. Kelincahan gaya Habibie inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa sponitas amat mewarnai kenyataan pernyataanya. Apalagi publik indonesia ketika itu sudah mengenal bahwa Habibie adalah orang yang agak boros bicara dan agak kesulitan untuk mendengar.
Spontanitas dan kepolosan Habibie, secara politik bisa dibaca sebagai sebuah kelemahan. Terpelesetnya Habibie lewat ungkapannya yang spontan dan polos itu. Memang bisa menjadi bumerang bagi citra dirinya sebagai seorang presiden yang membawahi masyarakat yang plural dan untuk saaat ini peka politik. Meskipun dimasa transisi posisi Habibie adalah orang nomor satu di Indonesia, namun belumlah membuat posisinya aman. Banyak celah yang mampu menhantarkan Habibie dihantam oleh lawan-lawannya satu persatu untuk melihat kelemahan Habibie. Spontanitas Habibie acap kali justru menyediakan ruang tembak bagi para penentangnya dan sekaligus telah mempersiapkan amunisi bagi lawan politiknya menuju Sidang Umum MPR 1999.
Disamping itu beban tanggung jawab Habibie untuk mengentaskan persoalan yang mendesak dimasa transisi juga menjadi sasaran tembak lawan-lawannya. Habibie terkesan banyak memberikan janji-janji politik. Dalam kasus aceh dijanjikannya kepada masyarakat Aceh untuk segera mendapati penyelesasian secara terbuka, jujur dan adil terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM semasa DOM. Ketidak jelasan yang sama terjadi pada kasus Tri Sakti sampai kasus-kasus SARA yang terjadi pada waktu itu. Persoalan ini makin menyudutkan Habibie dan memperkuat kekuatan lawan-lawannya.
Selain itu ada bebrapa hal menuurut Affan Gaffar (1999) mengapa Kepresidenan Habibie sangat lemah. Pertama, legitimasi kekuasaanya dipertanyaka oleh banyak orang. Sejak semula panggung politik nasional terutama ketika Habibie membentuk Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Habibie selalu mengundang kontroversi. Banyak orang yang senang terhadap terbentuknya ICMI, akan tetapi banyak pula yang tidak senang dan tidak jarang ketidaksenangan tersebut berhubungan erat dengan posisi dan personality Habibie sebagai seorang yang dianggap dekat dengan Soeharto. Kelompok yang tidak senang ini kalangan YKPK yang dipimpin Bambang Triantoro dan Matori Abdul Jalil dengan sangat terbuka menolak kehadiran Habibie sebagai Wakil Presiden.[15]
Alasan kedua adalah, munculnya persepsi yang sangat kuat dikalangan masyarakat bahwa Habibie merupakan warisan Soeharto yang perilaku dan kebijaksanaannya akan sama persis dengan Soeharto. Sentimen anti Soeharto kenyataannya juga merambat kepada siapa saja yang secara langsung mempunyai hubungan dengannya, dan Habibie termasuk didalamnya. Habibie diberikan kepercayaan sepenuhnya untuk menjalankan program teknologi Soeharto termasuk mengembangkan pesawat modern.[16]
Persoalan ketiga adalah, Habibie tidak memiliki basis massa yang kuat untuk membangun kekuasaanya. Habibie bukanlah politisi dalam arti sebenarnya. Dia adalah seorang yang muncul dari atas dan dibesarkan oleh Soeharto lewat kepercayaan untuk memegang jabatan menteri dan sejumlah posisi lainnya. Jadi, berbeda sekali dengan politisi lain pada saat itu yang membangun basis politik dari bawah.[17]
Alasan terakhir sumber masalah dalam kepresidenan Habibie adalah timnya yang dianggap tidak kuat dan sebagian besar masih merupakan warisan Soeharto. Ketika Presiden Habibie membentuk kabinet yang disebutnya Kabinet Reformasi banyak sekali reaksi negatif yang muncul, seperti banyak kalangan masyarakat yang menyayangkan bahwa sejumlah menteri peninggalan Soeharto masih dipakai dan memegang peranan kuat dalam kabinet Habibie.[18]    
4.2.  Puncak Perseteruan pada Sidang Umum MPR 1999: Pertanggungjawaban Habibie Ditolak
Ketegangan menyelimuti ratusan orang yang berada di Gedung MPR dan jutaan orakyat indonesia  yang ketika itu menonton televisi di seluruh penjuru tanah air, sejak awal perhitungan suara. Sebab suara yang diumumkan saling susul-menyusul antara yang menolak dan yang menerima. Bahkan beberapa kali suara yang menerima pidato pertanggungjawaban sempat mengungguli jauh dari suara yang menolak. Menurut informasi beberapa sumber pada tahun 1999 setelah penutupan sidang paripuran itu, ditolaknya pidato pertanggungjawaban presiden Habibie tersebut membuat Partai Golkar tambah berantakan. Semua anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) diminta langsung masuk ke ruang fraksi untuk mengadakan rapat evaluasi guna menentukan terus atau ditariknya pencalonannya Habibie sebagai presiden. Dari sejumlah informasi, kubu Habibie yang dimotori Marwah Daud Ibrahim tetap ngotot untuk tetap mencalonkan Habibie. Namun kubu Marzuki menolaknya dengan alasan etis dan moral. "Karena pertanggungjawabannya ditolak, secara etis dan moral, Habibie tak layak jadi calon presiden mendatang," kata salah seorang fungsionaris FPG. Sebelum Rapat FPG dimulai, Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung mengatakan bahwa rapat FPG itu untuk membahas soal capres Golkar. Ia mengatakan Ada dua hal yang akan dibahas yaitu tetap terus mencapresankan Habibie dan kemungkinan penyerahan penuh kepada setiap anggota MPR dari FPG untuk memilih presiden. Menurut Akbar tanjung artinya setiap anggota memilih sesuai dengan hati nuraninya sendiri-sendiri.  
Sementara itu, presiden Habibie konon dini hari itu juga akan memberikan keterangan pers mengenai pengunduran dirinya sebagai calon presiden. Namun hingga berita ini diturunkan belum bisa dikonfirmasi kebenarannya. Sejumlah pengamat menuturkan, kuatnya suara menerima pidato pertanggungjawaban presiden Habibie tersebut merupakan konfigurasi sebenarnya yang bisa menggambarkan kondisi MPR saat ini. "Itu bisa dibaca, pertama kekuatan pro status quo masih kuat. Kedua, suara Golkar masih utuh dan ketiga kekuatan uang sangat berperan," kata sumber SiaR. Sumber ini juga menyebutkan, bahwa jika Habibe tetap saja maju ke pencalonan, maka nasib Megawati dan Gus Dur akan terancam. Karena suara 355 yang menolak itu adalah inti dari dukungan terhadap Mega dan Gus Dur. Sedangkan dukungan ke Habibie masih dari Golkar dan partai poros tengah dengan jumlah sekitar 322 suara tersebut.
Dengan hasil akhir penghitungan suara voting tanggapan anggota MPR RI terhadap Pidato Pertanggungjawaban Presiden Habibie memupus harapannya untuk maju menjadi presiden lagi. Dari jumlah 690 orang anggota MPR yang hadir, 355 suara menyatakan menolak, 322 suara menyatakan menerima, 9 suara abstain dan 4 suara dinyatakan tidak sah.[19]
Selesainya penghitungan suara dengan kemenangan kubu penolak pertanggungjawaban tersebut disambut pekik histeris sejumlah anggota MPR terutama dari PDI Perjuangan, wartawan dan masyarakat yang hadir di balkon. Mereka memekikkan Allahu Akbar beberapa kali. Bahkan beberapa pimpinan PDIP terlihat menangis terharu.  Kemenangan penolakan pidato Habibie ini juga disambut dengan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh anggota MPR maupun hadirin yang hadir di dalam ruangan Nusantara itu. Berakhir sudah perjuangan Habibie atas kepungan lawan-lawan politiknya.





[1] Marcus Mietzner. “Dari Soeharto Ke Habibie: ABRI dan Kekuatan Politik Islam Pada Masa Transisi”, dalam Geoff Forrester (ed.). “Indonesia Pasca Soeharto”, Tajidu Press, Yogyakarta, 2002, hlm 124
[2]  Pambudi, “Kontroversi ‘Kudeta’ Prabowo”, Meddia Pressindo, Tangerang, 2002, hlm. 53
[3]  Ibid.
[4] Geoof Forrester. “catatan Harian Jakarta, Mei 1998”, dalam Geoff Forrester dan R.J. May (ed.). “Jatuhnya Soeharto”, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jakarta, 1999, hlm. 48
[5]  Mietzner, Op.Cit.
[6] Lihat B.J. Habibie, “Detik-Detik Yang Menentukan: Jalan Panjang Indoensia Menuju Demokrasi, THC Mandiri, Jakarta, 2006, hlm. 102
[7]  Habibibie, Ibid, hlm. 95
[8]  Amien Rais, “Posros Tengah : Fraksi Reformasi”, hlm. 186
[9]  Ibid , hlm. 146
[10]  Lihat Marcus Mietzner, Sidang Umum MPR 1999: Wahid , Megawati dan pergulatan perebutan Kursi Presiden”. Dalam Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed.). “Indonesia Ditengah  Transisi Aspek-Aspek Sosial Reformasi Dan Krisis”. LKIS, Yogyakarta, 2000, hlm. 49.
[11]  Lihat Amien Rais” Gus Dur Presiden, Saya Tak Jadi Oposisi,” dalam Gouzali Saydam. “Dari Balik Suara Ke Masa Depan Indonesia Potret Konflik Politik Pasca Pemilu dan Nasib Reformasi”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.204.
[12]  Lihat Dewi Fortuna Anwar, “Jabatan Presiden Habibie”, dalam Geoff Forrester (ed.),”Indonesia Pasca Soeharto”,  Tajidu Press, Jakarta, 2002, hlm. 47.
[13] Anas Urbaningrum. “Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia”, Republika, Jakarta, 2004, hlm 94.
[14] Ibid.
[15]  Afan Gaffar. “Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 309
[16]  Afan Gaffar, Ibid, hlm 310.
[17]  Afan Gaffar, Ibid, hlm 313.
[18]  Afan Gaffar, Ibid, hlm. 314.
[19]  Situs Sekretariat Negara., diakses 24 Mei 2012