Tuesday, April 10, 2012

Wajah Baru Politik Indonesia Pasca Orde Baru: Sebuah Problematika dan Harapan


Oleh : Fahrezi*
Pengantar
Pasca jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998, gegap gempita mewarnai euphoria kebebasan dan rasa keadilan.Indonesia memasuki babak baru demokrasi, sangat banyak yang harus dibenahi dalam masa transisi.Tarik ulur kepentingan pun mewarnai transisi demokrasi Indonesia.Demokrasi merupakan sebuah harapan yang didamba-dambakan rakyat banyak yang dipercaya bisa mensejahterakannya.Seiring perjalananan transisi ternyata agenda-agenda perubahan refomasi dihadapakan kepada sebuah problematika, sebuah harapan yang menggebu-gebu diawal reformasi mulai tenggelam dengan hadirnya sesuatu yang menggerogotinya.Ditengah polemik tersebut, ditingkat nasional muncul kekuatan-keakuatan koalisi yang mencoba mempertahankan penguasa yang memerintah dengan membentuk blockade kuat di eksekutif maupun legislatife. Ketika rakyat kesusahan mencoba menyampaikan suaranya untuk menembus blockade tersebut muncul aktor-aktor baru yang mencoba menerobos blockade penguasa. Aktor baru itu bernama oposisi yang sebelumnya belum pernah ada dan tidak ada dalam konstitusi negara.

Agenda Perubahan dan Pemasalahan Pasca Jatuhnya Soeharto
Kejatuan Soeharto tidak muncul dengan seketika saja, melainkan ada riak-riak yang telah mengikutinya.Pada tahun 1997 krisis moneter menjadi pelatuk untuk riak-riak ini menjadi gelombang besar untuk menumbangkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya selama 32 tahun. Pemikiran-pemikiran konseptual yang mencoba menerangkan jatuhnya Soeharto dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi dari tahu 1970-an sampai dengan 1998 yang paling nampak menganalisisnya adalah Edward Aspinal dalam Opposing Soeharto: Compromise, Resistence, and Ragime Change In Indoensia (2005)dan Anders Uhlin dalam bukunya yang berjudul Oposisi Berserak. Kedua ahli tersebut sama-sama melihat adanya fenomena-fenomena yang mencoba memaksa Soeharto untuk turun dari kekuasaannya.Secara garis besar dapat ditarik empat inti utama dalam pemikiran Edward Aspinal dan Andres Uhlin yakni; 1).Pembangkangan elit yang terbagi kedalam kelompok-kelompok seperti Petisi 50, YKPK, dan ForumDemokrasi, 2).Timbulnya proto-proto oposisi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat. 3). Student activism yang dikelompokkan kedalam liberal populis, popular political, dan Islamic, 4). Yang terakhir mulai adanya semi opposision yang dimainkan oleh PDI dibawah Megawati.
Kekuatan-kekuatan ini walaupun tidak terkendali dengan benar atau oleh istilah Anders Uhlin “oposisi yang berserak” akan tetapi, memiliki suatu shock terapi kepada rezim penguasa Presiden Soeharto. Puncak dari perjuangan para penentang Soeharto ini terjadi pada 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mundur dari tampuk presiden Republik Indonesia, dan secara konstitusional posisinya digantika oleh Wakil Presiden BJ.Habibie.Euforia kemenangan dirasakan oleh reformis Indonesia, kita menuju babak baru demokrasi bangsa yang menjunjung hak kebebasan berpedapat dan keadilan.
Pasca jatuhnya soeharo tersebut Indonesia menuju babak baru, UUD 1945 diamandemen sampai empat kali.Para tokoh reformis menganggap UUD 1945 sebelum amandemen memberikan kewenangan besar ditangan Presiden dan MPR, makanya mulai diadakan penyamarataan.Didalam amandemnan UUD 1945 tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang dulu diemban oleh MPR tetapi yang ada adalah lembaga tinggi negara, yang bisa saling mengontrol (check and balance).Jabatan Presiden dibatasi (dua periode) hanya boleh dipilih kembali selama satu periode.Ini berarti sudah mengarah kepada adanya suksesi dan regenarasi kepemimpinan nasional.
Partai-partai politik bermunculan seperti cendawan setelah hujan.Pada pemilu tahun 1999 partai-partai bertarung lagi tanpa ada intimidasi dari penguasa. Dalam pemilu ini jumlah partai peserta pemilu sangat besar, tercatat ada 48 partai yag ikut pemilu tahun 1999. Euphoria pemilu ini mengingatkan kita kepada era Demokrasi Parlementer dimana pada saat itu tumbuh partai-partai politik yang menampakkan atau membawa ideologimasing-masing.Puncaknya pada pemilu tahun 1955, dimana pada saat itu ada empat partai besar yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu tersebut, yakni; PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Setelah Soeharto jatuh,euphoria ini terjadi lagi tetapi ada pergeseran-pergesaran, studi yang jelas menganai ini adalah Marcus Mietzner  dalam Comparing Indonesi’s Party System Of The 1950 and The Post-Soeharto Era: From Centrifugal To Centripetal Inter Party Competition (2008). Ada pergeseran-pergesaran idiologi partai, mietzner membagi kedalam lima cluster yakni; communism/socialism, populism/authoritarianism, the centre : existing democratic party, Islamic society, dan Islamic state/syariah. Pada tahun 1955 partai yang ideologi communism/socialism diwakili oleh PKI dengan 18 % suara diparlemen dan partai Murba < 1 %. Populism/authoritarianism diwakili oleh PNI dengan 25 %, selain itu ada IPKI (relatif statis) dan Partai Katolik yang condong ke tengah (the centre : existing democratic policy). Untuk the centre:existing democratic policy) sendiri praktis cuma diwakili oleh PSI.di posisi Islamic society diwakili oleh NU 20 % dan yang terakhir ideologinegara islam/syariah diwakili oleh Masyumi 22 %, PSII dan Perti. Mietzner mengelompokkan ini kepada sistem partai yang sentrifugal.
Pemilu pertama setelah jatuhnya Soeharto yakni pemilu 1999, semua partai bermunculan seperti pada tahun 1955 tapi membawa corak baru. PDI P keluar sebagai pemenang Pemilu 1999 dengan meraup 33 % suara di parlemen, pada pemilu 2004, pola sistem partai di Indonesia sudah semakin jelas, yakni bertransformasi kearah sentripetal. Ideologi-ideologi partai sudah mengarah ketengah, mulai meninggalkan kiri dan kanan khususnya radikal kiri dan radikal kanan, semuanya mulai terpusat pada existing democratic party seperti; Golkar, PKB, PD, PAN, PDS, PBR. Pada posisi populis diwakili oleh PDI P dan PKPI, sedangkan Islamic society diwakili oleh PPP, PBB, PKS.Dengan sistem ini, relatif karakter sistem politik partai lebih stabil daripada tahun 1950 yang sentrifugal.
Marcus Mietzner dalam studinya yang lainparty financing in post-soeharto indoesia (2007).  Mengenai pendanaan partai politik di Indonesia pasca jatuhnya soeharto.Biaya politik Indonesia yang besar telah merubah paradigm partai-partai politik bagaimana untuk mendapatkan pendanaan untuk partainya. Berkurangnya subsidi negara terhadap partai politik membuat partai politik mencari jalan lain untuk tetap hidup.Pada akhirnya tidak mengherankan partai politik mulai bermain dengan para pengusaha berkantong tebal seperti bermain di kebijakan dan tentu saja yang paling menggiurkan bermain di pengadaan proyek.Salah satu kasus yang paling senter menjadi pembicaraan publik saat ini adalah kasus yang menimpa Partai democrat dengan para terdakwa dan calon tersangka merupakan kader-kader partainya seperti Nazarudin dan akan mengarah kepada sang ketua umum partai Anas Urbaningrum dalam Kasus Wisma Atlet dan Hambalang.
Agenda perubahan lain pasca jatuhnya soeharto adalah mengubah sentralisasi menjadi desentralisasi. Ada pengalihan wewenang kepada daerah-daerah untuk mengurus otonominya sendiri. Vedi R. Hadiz didalam Localising PowerIn Post-Authoritarian Indonesian (2004) UU No 22 tahun 1999 menandai otonomi yng seluas-luasnya kepada daerah. Selama orde baru daerah dikuras sumber daya alam yang menjadi kekayaannya tanpa ada pembangunan tidak merata di daerah-daerah yang potensial sumber daya alamnya ini.Semua diatur secara besar oleh pemerintah pusat (sentralisasi), oleh karena itu pasca jatuhnya soeharto pemerataan pembangunan di daerah-daerah khususnya luar jawa menjadi prioritas agenda reformasi.
Desentralisasi sesungguhnya merupakan upaya untuk memastikan bahwa kedua sisi dari konsep kewarganegaraan tersebut dapat dipenuhi secara lebih baik. Dalam konteks ini mempertanyakan persoalan governance, khususnya di daerah menjadi penting. Dari hal ini terlihat jelas bahwa konsep governance secara fundamental mempermasalahkan hubungan antara negara (state) dengan masyarakat (society). Secara lebih konkrit, arena negara dalam ini direpresentasikan oleh political office dan birokrasi, sedangkan arena masyarakat secara lebih rinci dapat dipilah kedalam masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Dengan demikian pengertian governancelebih khusus lagi, berkaitan dengan bagaimana arena political office (jabatan-jabatan politik), birokrasi, masyarakat sipil, dan masyarakat ekonomi berhubungan satu dengan yang lain untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi, guna mencapai tujuan-tujuan bernegara.
Namun demikian kecenderungan agenda-agenda perubahan ini telah melahirkan dampak yang diluar pengertian desentralisasi. Di daerah-daerah mulai tumbuh orang kuat lokal baru.local strongman menurut Migdal dan local bossism menurut John Sidel. Para orang kuat lokal tersebut menambahkan kekuatannya pasca orde baru. Sidel melihat transisi pemilihan yang teratur di Indonesia dimulai paa tahun 1999, kondisi kurang lebih sama dengan yang ditemukan di Filipina dan Thailand, juga berlaku di Indonesia menurut Sidel. Hal ini desebabkan kemungkinan akumulasi kekuasaan oleh mafia, jaringan dan marga di lokalitas seluruh Indonesia. Pemilihan umum 1999 menghasilkan penyerahan kekuasaan negarakepada mereka yang sanggup menggalang dan merebut suara pemilih dan terpilih menduduki posisi tertentu. Kekuasaan orang kuat lokal ini bertahan sampai saat ini.
Oligarki keluarga tumbuh di daerah-daerah, akses kebijakan dikuasai oleh orang kuat ini. Walaupun good governance menjadi sebuah resep diberikan oleh IMF dan World Bank dalam pelaksanaan otonomi didaerah. Akan tetapi Good Governanceini harus berhadapan dengan yang namanya Shadow State. Seperti yang dikatakan Reno seperti yang dikutip oleh Syarif Hidayat dan Abdul Malik dalam Good Governance vs Shadow StateDalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, bahwa praktik shadow stateakan hadir, tumbuh dan berkembang tatkala terjadi pelapukan fungsi pada institusi pemerintah formal. Penyebab utama dari terjadinya pelapukan fungsi tersebut, antara lain, karena para elite penyelenggara pemerintah formal mengalami ketidakberdayaan dalam berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan politik dominan yang berada di luar struktur pemerintah. Selain itu manipulasi kebijakan publik untuk kepentingan pengusaha berupa transaksi bawah tangan anatara penguasa dan pengusaha dalam tender proyek-proyek pemerintah, dan pemaksaan swastanisasi aset-aset negara.
Selain itu hal yang menarik untuk dicermati setelah 14 tahun kejatuhan soeharto, ekonomi Indonesia masih tidak berubah.Kapitalisme semu masih saja menggerogoti bangsa ini. Vedi R. Hadiz seorang pengkritik Neo Institusionalism bersama dengan Robison dalam studi mereka yang berjudul Reorganizing Power: Post Soeharto in Indonesia: Politics of Oligarchy In Age of Market (2004). Robison dan Hadiz melihat oligarki yang berjaya dimasa Soeharto, puncaknya paa tahun 1980-anternyata masih tumbuh subur di Indonesia. Pasca krisis moneter 1997 terjadi reorganizing oligarki.Robison dan Hadiz dalam studi tersebut memaknai oligarki sebagai sistem pemerintahan dengan semua kekuasaan politik berada ditangan sekelompok kecil orang-orang kaya yang membuat kebijakan publik lebih untuk keuntungan finansial mereka sendiri.Melalui kebijakan subsidi langsung terhadap perusahaan-perusahaan milik mereka.Oleh karena itu Robison dan hadiz menyatakan rezim oligarki soeharto menciptakan predatory-state (Negara predator) yang artinya kebijakan-kebijakan dan barang publik dinikmati dan diperjualbelikan oleh para pejabat dan politisi untuk mendapatkan dukungan publik.
Robison dan hadiz menganalisis tumbuhnya kelas kapitalis yang berkuasa yang berintegrasi dengan pasar global.Jatuhnya rezim oligarkis soeharto tidak serta merta merubah oligarkisme melainkan membuatnya bermetamorfosa menjadi model oligarkis yang baru.Metamorfosa yang terjadi adalah munculnya kekuatan oligarkis sejenis ditingkat provinsi maupun kabupaten.Sehingga dengan analisis Robison dan Hadiz ini kita bisa melihat politik lokal di Indonesia. Kasus korupsi yang menjerat para pejabat daerah, baik eksekutif maupun legislatife, menunjukkan bagaimana penyalahgunaan wewenang  untuk kepentingan pribadi dan jaringan oligarkinya bekerja nyata ditingkat lokal. Kekuasaan ditingkat lokal dibagi-bagi ditangan para pengusaha kaya, para birokrat kaya hasil bisnis kapitalisme semu, maupun jaringan keluarga telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Partai Politik, Antara Koalisi Dan Oposisi
Dari semua persoalan agenda dinamika perubahan perpolitikan Indonesia pasca jatuhnya Soeharto diatas. Tulisan ini mengambil kasus yang dianalisis yakni mengenai partai politik setelah jatuhnya orde baru. Partai politik merupakan salah satu institusiinti dari pelaksanaan demokrasi modern. Dalam sistem demokrasi modern mengandaikan sebuah sistem yang disebut keterwakilan (representasi), baik keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti parlemen di indonesia ini (DPR/DPRD), maupun dalam institusi kepartaian. Partaipolitik secara umum memiliki fungsi yakni, sosialisasi politik, rekrutmen politik, fungsi artikulasi dan fungsi agregasi politik.
Saya tidak akan membahas peta ideologi partai politik seperti Herbeth Feith ketika melakukan kategorisasi partai politik pada tahun 1995 adalah seperti nasionalisme radikal, tradisional jawa, islam (tradisional dan modern), sosialisme demokrat dan komunisme. Saya juga tidak membahas transformasi sistem partai di indonesia menurut Marcus Mietzner dari sentrifugal ke arah sentripetal. Namun demikian, saya juga tidak bisa terlepas begitu saja dari konsep yang digagas Feith dan Mietzner. Saya melihat ada sesuatu yang menarik ketika melihat pertarungan partai politik pasca jatuhnya Soeharto. Mengenai kekuasaan partai politik, terlebih dahulu kita ketahui secara umum ada tiga jenis pengelolaan partai politik yakni sebagai berikut:
1.      Dominasi Partai Pemenang dengan adanya partai oposisi
2.      Dominasi  partai pemenang secara mutlak
3.      Koalisi antar partai.
Model dominasi kekuasaan oleh partai pemenang dengan disertai oposisi adalah realitas kekuasaan politik yang dijumpai ketika partai-partai yang kalah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam koalisi, mampu bersikap resisten dan kritis terhadap dominasi kekuasaan politik yang dipegang oleh partai pemenang pemilihan umum. Oposisi politik yang dilakukan oleh partai-partai kecil yang kalah pun seringkali tidak seragam.
Model kedua dominasi mutlak atas kekuasaan politik terjadi pada kondisi ketika satu partai politik memenangkan pemilihan umum secara mutlak. Partai-partai lainnya, meskipun melakukan koalisi antar partai tidak akan mampu menggoyahkan posisi dominan dari partai pemenang tersebut. Situasi seperti ini bisa dijumpai pada rezi-rezim otoriter yang kadangkala melakukan manipulasi atas pemilihan umum. Model ini bisa menjelaskanIndonesia dimasa orde baru dimana Golkar sebagai yang direstui pemerintah selalu meraup suara lebih dari 60 %.
Sedangkan model yang terakhir adalah pengelolaan partai politik oleh partai-partai dengan cara koalisi merupakan kolaborasi kepentingan antar partai ketika suara mayoritas dalam legislatif tidak mampu dicapai oleh satu partai tertentu. Maka blok koalisi antar partai pun mengayun kesana kemari seperti pendulum tergantung kepada kepentingan politik yang hendak dinegosiasikan. Pendekatannya karena ada kepentingan bersama, maka pemetaan koalisi antar politik tidak akan bisa didekati dengan pemetaan ideologi masing-masing partai politik, tetapi harus dianalisis berdasarkan kepentingan yang dimiliki setiap partai.
Berbicara kekuasaan partai politik pasca jatuhnya Soeharto, model manakah yang layak untuk menjelaskannya? Berkaca dengan kehidupan politik sekarang, karena tidak adanya suara mayoritas diparlemen menyebabkan partai politik melakukan satu koalisi untuk membentuk suatu kekuatan besar. Pada pemilu 1999 pun dapat kita lihat bagaimana suara PDI P dan Golkar tidak berbeda jauh. Disamping itu, dapat kita saksikan kabinet pertama setelah pemilu 1999, yang ketika itu sering disebut orang dengan kabinet pelangi karena Gus Dur dan Megawati sesungguhnya merupakan proses akomodasi dan konsesional politik terhadap partai-partai yang mempunyai jasa dalam naiknya Gus Dur dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kita tentu mengetahui dengan koalisi Poros Tengah yang dibangun Amien Rais ketika menaikkan Gus Dur dan Poros Tengah juga yang berkoalisi dengan Golkar dan PDI P untuk menurunkan Gus Dur dari tampuk kekuasaanya pada Sidang Istimewa MPR tahun 2001. Bagaimana Partai Golkar, PDI P, PAN, PPP, PBB yang pada Sidang Umum MPR 1999 saling ngotot untuk memenangkan tokoh-tokohnya ketika Sidang Istimewa MPR 2001 tersebut, mendongkel Gus Dur dari kursi kepresidenannya.
Pada Pemilihan Presiden pada tahun 2004, drama partaipolitik dengan episode upaya koalisi untuk persiapan pencalonan Presiden.Ada baiknya kita telusuri perjalanan koalisi tersebut di dunia nyatanya, mulai dari putaran pertama (Pilpres I), putaran kedua (Pilpres II) Selanjutnya dari hasil peringkat suara terbanyak kesatu dan kedua, pada Pilpres I, keluar dua pasangan capres/cawapres untuk maju pada Pilpres putaran kedua. Proses konsolidasi dalam mendukung pasangan capres/cawapres SBY-JK melalui koalisiPartai Demokrat (PD), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilandan Persatuan Indonesia (PKPI) serta Partai Keadilan Sejahtera (PKS), memperlihatkan penggabungan suara partai memberi pengaruh pada pilihan rakyat dalam Pilpres II, sehingga bisa kita katakan bahwa konsolidasi tampak cukup berhasil dengan format koalisi tersebut
Bergabungnya Partai Golkar di masa Jusuf Kalla(Ketum Partai Golkar) makin memperkuat koalisi di parlemen untuk mendukung kebijakan SBY-JK di eksekutif. Sehingga sangat jelas pelajaran dapat ditarik oleh Partai Demokrat, bahwa koalisi parpol yang dibangunnya di tahun 2004 menjelang Pilpres telah memberikan sinergi sangat kuat bagi Partai Demokrat hingga hasil yang dicapainya sekarang. Tidak hanya stabilitas kepemimpinan nasional selama periode 2004-2009, tetapi juga secara kelembagaan Partai Demokrat mengalami proses pelembagaan yang baik dan sangat berarti.Stabilitas ini tidak terlepas dari koalisi yang sesuai arti dan prinsipnya merupakan penggabungan energi dalam dukungan atau dalam mengatasi ancaman. Kalau prinsip atau sebabnya adalah untuk kepentingan konsolidasi politik, maka ukuran-ukuran seperti parliamentary threshold (PT)akan menjadi sebuah indikator akibat dari proses pengerucutan, akibat kesamaan-kesamaan platformpartaipolitik sehingga dapat mendorong terwujudnya multipartai sederhana. Langkah ini berhasil membangun koalisi dengan dukungan mayoritas absolut (sekitar 70 %) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat tidak membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR.
Pada Pemilu 2009 Demokrat sebagai partai penguasa berhasil keluar sebagai pemenang dengan memperoleh 20 % suara di parelemn. Koalisi jilid baru pun dibangun lagi, Seketraiat Gabungan (Setgab) menjadi nama baru payung bagi para partai koalisi SBY-Boediono.Tujuan dibentuknya Sekretariat Gabungan (Setgab) ini untuk menstabilkan pemerintahan dari goncangan-goncangan partai-partai di parlemen, selain untuk menyolidkan.Intinya sekretariat gabungan (setgab) koalisi merupakan forum atau fasilitas untuk koordinasi dan konsultasi di antara sesama partai koalisi baik itu di kalangan eksekutif maupun legislatife, sehingga pada akhirnya pihak koalisi menghormati pihak-pihak yang menjadi penyeimbang agar demokrasi tetap tegak di Indonesia. Namun demikian, pengadaan Setgab ini menurut penulis membungkam pengkritisan terhadap pemerintah terutama partai yang tergabung di Setgab ini.Setiap anggota legislatife hanya menyuarakan pendapatnya sesuai dengan pendapat partainya, sedangkan pendapat partai tersebut terlebih dahulu mengakomodasi kepantingan sekretariat gabungan (setgab).
Selain adanya koalisi, wajah lain partai politik indonesia juga mulai menyebut-nyebut Oposisi. Meskipun didalam konstitusi negara kita tidak ada pernah disebut-sebut ada oposisi atau memberi peluang kepada oposisi. Namun dapat dipahamioposisi bukanlah penantang, oposisi bukan pula sekedar pihak yang menyatakan ketidaksetujuan, oposisi buakan pula sebagai tukang teriak semata-mata, oposisi bukan juga kalangan yang melawan secara membabi buta/frontal.
Berbicara oposisi, mengutip Eep Saifulah Fatah dalam Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Perubahan politik Masa Depan (1999). Oposisi adalah setiap ucapan atau perbuatan yang meluruskan kekeliriuan tetapi sambil menggarisbawahi dan menyokong segala sesuatu yang sudah ada dijalan yang benar. Maka dalam konteks ini, beroposisi politik berarti melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa juga benar. Ketika kekuasaan menjalani kekeliruan, oposisi berfungsi mengabarkan kepada khalayak kekeliruan itu sambil membangun penentangan dan perlawanan atasnya. Sebaliknya ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara benar maka oposisi menggarisbawahinya sambil membangun kesadaran dan aksi politik untuk meminta kelanjutan konsistensi dari praktik kebenaran itu. Dalam politik kebenaran biasanya diukur dari proses dan produk. Pada tingkat proses, kebenaran hanya diwujudkan keterlibatan sebanyak dan seluas mungkin perspektif dalam kebijakan. Pada tingkat produk kebenaran bisa dilihat dari seberapa adil setiap rumusan dan implementasi sebuah aturan atau kebijakan maka kebenaran dalam politik dapat didefenisikan secara pragmatis sebagai kebijakan publik yang partisipatif dan menghasilkan keadilan.
Di Indonesia Partai yang mencoba menjadi Oposisi dari pemerintah adalah PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan Parta Hanura. Ketiga partai ini mempertegas posisinya sebagai oposisi dengan tidak masuk kabinet pemerintahan SBY-Boediono. Meskipun suara koalisi oposisi perjuangan ini masih kalah jumlah dengan koalisi-koalisi pemeintah berkuasa dibawah naungan Sekretariat Gabungan (setgab) di parlemen. Akan tetapi oposisi yang digalang ketiga partai ini selalu setia pada perjuangannya khususnya dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang dirasakan merugikan masyarakat banyak khususnya masyrakat kecil.Sebagai konsekuensi mereka siap menerima resiko apapun dari pemerintah, oposisi yang dilakukan adalah salah satu bentuk pengawasan/kontrol terhadap pemerintah (check and balances).Oposisi yang dibangun memperlihatkan ada saluran untuk menyuarakan aspirasi rakyat ketika corong pendapat muali disumbat dengan koalisi di parlemen yang mendukung pemerintah.Ini sebuah era baru bagi perpolitikan Indonesia untuk bisa menerima oposisi dalam sebuah negara yang menganut sistem multipartai.

Penutup
Perpolitikan indonesia dimasa transisi demokrasi dari yang sebelumnya otoriter kepada demokrasi yang lebih terbuka membawa sebuah agenda-agenda perubahan. Jatuhnya Soeharto adalah merupakan akhir dari rentetan penentang-penetangan yang mencoba menurunkan soeharto seperti yang diungkapkan Edward Aspinal dan Anders Uhlin dalam studi mereka. Setelah Soeharto jatuh pemerintahan baru pun dihdapakan kepada setumpuk agenda perubahan-perubahan yang harus dilakukan dalam demokrasi indonesia. Perubahan-perubahan ini ada yang mencapai sasaran dan adapula agenda yang malah membuka nostalgia lama mengenang orde baru seperti stdudi Robison dan Hadiz yang menyatakan adanya reoragnizing oligarki di indonesia pasca jatuhnya Soeharto. Desentralisasi yang diterapkan untuk memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah dengan memakai konsep governancesekalipun juga telah semakin memperkuat struktur orang-orang kuat baru ditingkat local yang serring disebut local strongmen. Selain lokal strongmen ada sesuatu yang “exile” (tidak tampak) yang mencoba menggerakkan pemerintahan didaerah, mereka-mereka ini seperti lawan baru yang dihadapi oleh penerapan konsep good governance dalam desentralisasi di Indonesia. Individu atau kelompok ini sering dinamakan dengan istilah shadow state (negara bayangan).
Terlepas dari permasalahan agenda reformasi di daerah tersebut, ditingkat nasional dalam percaturan politik khususnya partai politik sangat menarik untuk dicermati. Sebagai sebuah agenda reformasi pasca jatuhnya Soeharto, partai-partai bermunculan menyambut euforia demokrasi baru indonesia yang lebih beradab. Marcus Mietzner banyak membuat kajian tetang partai politik di Indonesia. Sistem kepartaian Indonesia pasca jatuhnya soeharto telah bertranformasi dari sistem yang sentrifugal menjadi sisem yang sentripetal. Hal menarik dari kekuasaan kepartaian pasca jatuhnya soeharto adalah perbedaan suarasuara partai yang dimasa orde baru ada satu partai mutlak yang menguasai parlemen. Akan tetapi setelah jatuhnya soeharto dengan memakai konsep yang multipartai, suara-suara partai tidak ada yang mayoritas menyebabkan partai-partai harus berkoalisi untuk menggalang suatu kekuatan yang besar. Mulai dari masa keprsidenan Abdurahman Wahid, Megawati, dan SBY koalisi merupakan hal yang harus dilakukan. Namun demikian, selain koalisi ada oposisi yang digalang oleh beberapa partai seperti PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan Parti Hanura, meskipun di dalam konstitusi kita tidak pernah disebutkan adanya oposisi. Oposisi perjuangan ini untuk mengkritisi pemerintah yang didukung oleh koalisi yang bernama Sekretariat Gabungan (Setgab).

Daftar Pustaka
Aspinal, Edward. 2005. Opposing Soeharto: Compromise, Resistence, and Ragime Change In Indoensia. Stanford: Stanford University Press
Fatah, Eep Saifullah. 1999. Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan. Badung: PT Remaja Rosdakarya.
Hadiz, Vedi. R. 2004. Localising Power In Post-Authoritarian Indonesia. California: Stanford University Press
Isra, Saldi.  Simalakama Koalisi Presidensial. (dimuat di Kompas 27 november 2008)
John Harriss, Dkk. 2004. Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos
Koiruddin. 2004. Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mietzner, Marcus. 2007.Party Financing in Post-Soeharto Indonesia: Between State Subsidies and Political Corruptions. Jurnal Contemporory Southeast Asia Vol. 29 No.2.
Mietzner, Marcus. 2008. Comparing Indonesia’s Party Systems of The 1950s and The Psot-Soeharto Era: From Centrifugal to Centripetal Inter-Party Competition. Jurnal Contemporory Southeast Asia Vol. 39 No.3.
Poerwantara, A.P. 1994. Partai Politik di Indonesia. Jakarta. PT Rineka Cipta
Robison, Richard, dan Hadiz, Vedi R. 2004. Reorganizing Power In Indonesia: The Politics of Oligarchy In Age of Market. London: Routlodge Courzon.
Uhlin, Anders. 1998. Oposisi Berserak: arus gelombang demokratisasi ketiga di Indonesia. Bandung: Mizan Pustaka
Urbaningrum, Anas. 2004. Melamar Demokrasi : Dinamika Politik Indonesia. Jakarta: Republika

* Mahasiswa Pascasarjana  Politik dan Pemerintahan UGM, 
Mantan Ketum IMAPASBAR Kota Padang.

Tuesday, April 3, 2012

Intermediary Yang Dimainkan Muhammadiyah Untuk Kemaslahatan Ummat



Oleh : Fahrezi*
Muhammadiyah lahir di Yogyakarta pada tahun 1912 yang diprakarsai/didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Persyerikatan muhammadiyah merupakan organisasi social keagamaan yangbertujuan untuk menyebarkan ajaran Nabi Muhammad SAW. Pemberian nama muhammadiyah sebetulnya untuk mengikuti jejak dan meneladani sunnah nabi Muhammad SAW. Dalam perspektif bahasa arab, muhammadiyah berarti Umat Muhammad, mengikuti makna nama Muhammadiyah, istilah organisasi ini menghendaki pemahaman terhadap totalitas identitasnya karena tidak hanya sekedar dimaknai sebagai serikat, kumpulan, himpunan, ikatan atau organisasi belaka tetapi juga sebagai pergerakkan.
Mengutip Abdul Munir Mulkhan dalam “ Islam Murni Dalam Masyarakat Petani”. Dalam penelitiannya mulkhan menemukan sesuatu yang baru berkaitan dengan muhammadiyah yang selama ini dianggap sebagai gerakan kembali kepada ajaran islam yang murni (islam otentik) sebagai gerakan politisasi atau gerakan islam modernis. Mulkhan melihat bahwa varian anggota muhammadiyah disalah satu tempat penelitiannya di wuluhan jember terkelompok dalam empat kategori : pertama, islam murni (al Ikhlas), islam murni yang tidak mengajarkan praktik TBC (takhayul. Bid’ah, dan kurafat) tetapi toleran terhadap praktik itu, yang termasuk kelompoknya Kyai Ahmad Dahlan. Kedua, Neo tradisonalis (kelompok Munu: Muhammadiyah-Nahdatul Ulama). Ketiga, kelompok Neo sinkretis (kelompok Munas: muhammadiyah-Nasionalis). Dan keempat, kelompok Marmud (Marhaenis-Muhammadiyah).
Mengapa saya mengambil muhammadiyah sebagai intermediary juga berangkat dari salah satu keputusan muktamar muhammadiyah ke 42 di Yogyakarta tahun 1990, pada pasal 2 dan 3 menyatakan “meningkatkan peran dan partisipasi politik muhammadiyah dalam kerangka dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui saluran yang dipandang efektif dan strategis sesuai dengan kepribadian khitah muhammadiyah”. Muhammadiyah sebagai organisasi massa tentu akan mengalami perubahan jika dikaitkan dengan persoalan-persoalan eksternal yakni perubahan eksternal yang mengglobal khususnya perkembangan teknologi yang semakin canggih, perubahan social politik dunia, dan perubahan tata nilai dalam masyarakat sebagi akibat dari semakin materialismenya umat.
Mengenai relasi muhammadiyah dan politik. Pernah didalam serasehan pra muktamar muhammadiyah di malang, PJ Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Amien Rais, mengutarakan bahwa muhammadiyah harus “high politic”, maksudnya bergerak dikawasan moral dan etika politik. Ini sebagai konsekuensi kepemimpinan obligasi moral muhammadiyah yang menuntut concern terhadap kepentingan bangsa yang lebih luas. Jangan sampai terperangkap pada “low politic” (politik rendah) seperti mengejar kursi DPR atau titip-titip orang ke Orsospol.
Bila sebuah organisasi menunjukan sikap yang tegas terhadap korupsi, mengajak masyarakat luas untuk memerangi ketidakadilan, menghimbau pemerintah untuk terus menggulirkan proses demokrasi dan keterbukaan, maka organisasi itu pada hakikatnya sedang memainkan high politic. Sebaliknya bila sebuah organisasi melakukan gerakan maneuver politik untuk memperebutkan kursi DPR, minta bagian dilembaga eksekutif, membuat kelompok penekan, membangun lobi, berkasak-kusuk untuk mempertahankan atau memperluas Vasted interest, maka organisasi tersebut sedang melakukan low politic. Ungkapan yang menyatakan bahwa muhammadiyah tidka akan ikut bermain politik praktis.
Pada saat muktamar ke 42 muhammadiyah di Yogyakarta telah menghasilkan antara lain suatu corak kepemimpinan yang berbeda dengan masa sebelumnya. Walaupun dilihat dari personel yang terpilih hampir tidak ada tokoh yang baru setelah tetapi setelah turunya KH. AR Fachruddin, ada 2 gejala baru. Pertama, berakhirnya kepemimpinan karismatik. Kedua, makin dominasinya peran kaum intelektual yang begitu getol mengumbar tekad menerapkan fungsionalisasi dalam kepemimpinan guna memungkinkan muhammadiyah lebih lincah lagi dalam mengahadapi arus globalisasi dan makin tangguh dalam berpacu dengan tuntutan perubahan dasyhat yang dialami bangsa Indonesia. Terbukti setelah wafatnya KH. Ahmad Azhar Basyir, praktis kepemimpinan muhammadiyah bercorak intelektual, Prof. DR. Amien Rais, dilanjutkan oleh Prof. Syafii Ma’rif dan Prof. Din Syamsudin  disamping tokoh-tokoh intelektual yang tergabung didalamnya seperti Malik Fadjar, dan Ismail Sunni.
Menurut Haedar Nashir muhammadiyah kekinian, menurutnya berangkat dari muhammadiyah yang sering dianggap oleh sebagian kalangan sebagai “biang” alergi dan anti-politik, bahkan membuat gerakan Islam ini “banci” atau ambigu dalam menghadapi politik, maksudnya politik kekuasaan dalam makna perebutan kursi kekuasaan di pemerintahan. Dengan Khittah itu Muhammadiyah menjadi pasif, bahkan tidak ada jalan keluar sebaiknya bagaimana peran politik Muhammadiyah. Muhammadiyah bahkan dipandang tidak memiliki konsep politik yang jelas, cenderung sekuler karena memisahkan politik dari gerakannya. Dipandang pula Muhammadiyah menjauhi politik itu sebagai bentuk keputusasaan atau marjinalisasi (peminggiran) diri dari dinamika politik yang sesungguhnya jauh lebih penting ketimbang dakwah.
Pandangan yang demikian mungkin ada benarnya dilihat dari satu sudut kepentingan politik-praktis, yakni politik yang berorientasi pada perjuangan merebut, menggunakan, dan mempertahankan kekuasaan politik di pemerintahan. Para politisi pada umumnya berada dalam posisi yang berpandangan demikian. Hal itu tentu wajar karena di satu pihak politik-kekuasaan memang penting dan para politisi maupun partai politik memerlukan dukungan politik dari kekuatan-kekuatan masyarakat seperti Muhammadiyah. Namun bukan berarti Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan harus mengubah diri menjadi partai politik, memberikan dukungan proaktif atau mendirikan partai politik, maupun terlibat dalam perjuangan politik-praktis sebagaimana fungsi partai politik. Muhammadiyah melakukan pilihan politik untuk tidak berpolitik-praktis itu justru sebagai langkah sadar sejak awal bahwa perjuangan politik-praktis memang bukan niat awal Muhammadiyah. Tentu plus-minus dari pilihan itu tetapi itulah sebuah pilihan gerakan, sebab menjadi partai politik atau terlibat dalam perjuangan politik-praktis pun sama plus-minusnya, sehingga posisi yang demikian wajar adanya dan perlu dihormati sebagai suatu pilihan gerakan yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi objektivitas politik maupun idealisme gerakan.
Pandangan yang terlalu pro-politik dan menegasikan peran Muhammadiyah tersebut lebih-lebih dengan memandang Khittah sebagai “biang” kesulitan Muhammadiyah, sesungguhnya juga tidak tepat jika dipahami Khittah dalam spirit dan konteks gerakan Muhammadiyah secara keseluruhan. Lebih-lebih dengan Khittah Denpasar tahun 2002 tentang Khittah Berbangsa dan Bernegara, di dalamnya terkandung pandangan sekaligus garis dan alternatif langkah Muhammadiyah dalam menghadapi politik. Khittah Denpasar merupakan konsep yang cukup mewakili dari seluruh Khittah sebelumnya termasuk Khittah tahun 1971, yang memberikan sinyal pandangan Muhammadiyah tentang politik, posisi Muhammadiyah dalam politik, dan pilihan jalan keluar dari tidak berpolitik-praktis. Khittah Denpasar sebenarnya merupakan Khittah utama yang dapat menjadi bingkai pandangan, pembatas, sekaligus jalan keluar bagi Muhammadiyah dalam menghadapi politik.
Dalam kasus tertentu boleh jadi terdapat kebijakan atau pilihan organisasi yang berbeda dari Khittah karena pertimbangan-pertimbangan darurat atau situasional, sejauh hal itu dilakukan secara kelembagaan melalui mekanisma organisasi yang diproses secara matang demi mencegah kedaruratan atau karena kepentingan yang lebih besar,  tentu dapat dibenarkan sebagai bentuk fleksibilitas organisasi. Tetapi semestinya secara umum tetap mengacu atau mempertimbangkan Khittah dan prinsip organisasi sehingga tidak melampaui batas garis gerakan. Para kader atau elite pimpinan dalam menerjemahkan kebijakan organisasi pun dituntut kearifan, kecerdasan, dan etika organisasi agar kebijakan organisasi tidak keluar jauh dari koridornya karena apapun Muhammadiyah itu merupakan organisasi Islam yang besar dan menjadi amanah sejarah perjuangan umat Islam dan bangsa Indonesia yang harus tetap dijaga eksistensi, keutuhan, dan komitmen utama gerakannya. Muhammadiyah tidak boleh menjadi lahan pertaruhan politik dan karena itu diperlukan Khittah Perjuangan.
Terakhir untuk dapat dicermati muhammadiyah sangat eksis akhir-akhir ini dalam kelompok Lintas Agama untuk mengkoreksi pemerintah. Sehingga mau tidak mau, muhammadiyah harus ikut ambil bagian dalam kebijakan yang dibuat oleh Negara. Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi massa yang telah jauh memiliki pengalaman dalam perjuangan bangsa tidak akan diam begitu saja dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang dirasakan oleh rakyat banyak. Kesemuannya itu adalah corak muhammadiyah yang berlandaskan ammar ma’ruf nahi munkar.
Pertanyaan yang ingin saya cari bagaimana muhammadiyah memposisikan dirinya sebagai sebuah organisasi islam di antara rakyat dan negara?. Bagaimana muhammadiyah menyampaikan aspirasi masyarakat serta mengkoreksi kebijakan pemerintah?. Bagimana afiliasi muhammadiyah setelah para kadernya membentuk partai seperti PAN oleh Prof. DR. Amien Rais dan Partai Matahari Bangsa oleh Pemuda Muhammadiyah atau Muhammadiyah tetap jalan sendiri walaupun kader-kadernya sudah ke partai ?. Sehingga jelas kita dapatkan bahwasanya muhammadiyah adalah salah satu kelompok kepentingan (Aktor) yang bermain diranah intermediary. 

* Mahasiswa Pascasarjana Politik dan Pemerintahan UGM